I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Wednesday, November 27, 2013

"Medical Reimbursement : ....... "

Barusan intip slip gaji bulan November, dan....senang bukan kepalang...biaya vaksinasi kanker serviks yang gue keluarkan, ternyata dibayarkan oleh perusahaan. Padahal sejak awal gue siap untuk menanggung biayanya secara pribadi. Dan untuk mencapai tingkat kesiapan dan kerelaan itu (terkadang gue bisa sangat pelit pada diri sendiri), gue memerlukan waktu bertahun - tahun. Bayangkan, gue sudah berencana untuk melakukan vaksin saat gue masih bekerja di perusahaan A. Kemudian gue pindah kerja di perusahaan B, dan lalu gue pindah lagi ke perusahaan C, yaitu tempat gue bekerja saat ini. Dan hasil pertimbangan gue yang terlalu lama itu ternyata memberi hasil. Jadwal vaksin kedua gue tepat bersamaan dengan dikeluarkannya kebijakan perusahaan bahwa vaksinasi jenis ini ditanggung oleh perusahaan.

Senangnya karena banyak hal. Satu, gue mendapatkan uang gue kembali. Kedua, ada perasaan lega dan salut pada managemen perusahaan karena kesediaannya menanggung biaya vaksinasi ini menunjukkan perhatian dan kepeduliannya pada karyawatinya. Di perusahaan - perusahaan lainnya, secara umum biasanya biaya vaksinasi, khususnya untuk orang dewasa tidaklah ditanggung. Kebanyakan perusahaan hanya bersedia menanggung biaya sakit, bukan tindakan pencegahannya seperti vaksinasi ini. Ini berdasarkan hasil pengalaman gue pribadi yang berloncat ria dari satu perusahaan ke lainnya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Hari Senin (25 Nov) yang lalu perusahaan ini menerima penghargaan dari Pemerintah Kota Depok sebagai pemenang kegiatan Penilaian Perusahaan Terbaik Yang Mempekerjakan Tenaga Kerja Perempuan Tingkat Kota Depok Tahun 2013. Gue sebagai salah satu karyawati, mengamini dan turut senang. Menurut gue pribadi, itu bukanlah basa - basi atau sekedar predikat belaka. Gue mengatakan ini bukan untuk pamer atau pun menjilat....meskipun bulan Desember adalah bulan bonus akhir tahun...hehhehehe! Ini murni ekspresi dari rasa senang dan apresiasi gue kepada perusahaan yang telah mengapresiasi sumber daya manusianya. Makasih, perusahaan ! *senyum manis mengembang sambil kipas - kipas slip gaji*

Tuesday, November 26, 2013

Curhat Adopsi

dog walking with Momo
Sekedar curhat. Kemarin (Senin, 25 Nov 2013), rumah gue kedatangan penghuni baru, seekor Siberian Husky jantan usia 5 bulan bernama Momo. Gue ngga suka namanya. Melihat fisiknya yang gagah seperti seekor srigala, seharusnya dia layak mempunyai nama yang lebih baik. Tapi biarlah....karena si Momo sudah telanjur mengenal namanya.

Kehadirannya sebenarnya bukan di saat yang tepat, bukan di saat gue menginginkan anjing lain dalam rumah gue, dalam hidup gue. Secara finansial, sejak gue mulai mencicil sebuah rumah mungil, sebenarnya gue sudah berjanji untuk mengetatkan segala pengeluaran. Gue sudah pernah membuat daftar pengeluaran pemeliharaan anjing, dan angkanya fantastis menurut gue. Tapi, perhitungan gue saat itu adalah untuk anjing lokal seperti Bruncuz. Bukan seekor Siberian Husky dalam masa pertumbuhan seperti yang gue miliki saat ini. Artinya, biaya perawatannya pasti jauh lebih tinggi.

Momo si Husky adalah anjing yang diberikan pemilik sebelumnya ke abang gue. Abang gue suatu saat menelepon dan menanyakan apakah gue mau merawatnya. Gue menolak karena mengetahui bahwa Momo adalah anjing jantan. Bruncuz juga jantan dan menurut gue itu akan menjadi situasi yang tidak mengenakkan buat Bruncuz. Hubungan mereka pasti akan dipenuhi dengan persaingan. Gue gak tega sama Bruncuz, karena kehadiran Momo pasti akan membuatnya cemburu dan lalu stress. Bruncuz cuma mengenal gue seorang dalam hidupnya. Bruncuz adalah penggemar gue nomor satu. 

Namun lalu Abang gue bilang bahwa Momo adalah bocah malang yang harus dilepaskan pemiliknya karena sang istri tidak mengharapkan kehadirannya, dan membiarkannya berkeliaran di sebuah area proyek. Momo, bocah yatim piatu yang tidak mempunyai tempat tinggal dan sumber makanan yang jelas setiap harinya. Ceritanya menjadi demikian dramatis, yang membawa gue ke situasi serba salah. Gue bukanlah pahlawan penyelamat kaum anjing. Namun demi mendengar cerita seperti itu, gue jadi ngga tega. Apalagi Abang gue juga bilang terkadang Momo mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari warga sekitar, misalnya dilempari. Akhirnya gue mengiyakan untuk memelihara Momo.

Memelihara seekor Siberian Husky bukanlah sebuah kebanggaan atau gengsi untuk gue. Justru seakan - akan beban berat baru saja diletakkan di pundak gue yang lemah. Gue ngga mengenal Husky sama sekali. Seperti apa sifatnya, bagaimana merawatnya, bagaimana melatihnya, dan lain sebagainya. Justru selama ini gue pribadi berpendapat seharusnya seekor Husky tidak berada wilayah beriklim tropis seperti Indonesia. Hal itu kejam, bagaimana mungkin seekor Husky yang identik dengan salju 'dipaksa' hidup di sini. Belum lagi, gue diresahkan oleh perasaan bersalah karena kehadiran Momo mengganggu kedamaian dan ketenangan hidup Bruncuz. Semalam, gue di halaman belakang sampai sekitar jam 11 malam, hanya untuk mengawasi keduanya, karena mereka kerap berantam. 

Gue berjanji dalam hati bahwa gue akan melatih Momo sedini mungkin, meskipun belum tahu bagaimana caranya. Gue tahu, apabila gue tidak melatihnya, gue yang akan merasakan segala kerepotannya di kemudian hari. Soal biaya, itu adalah tantangan lainnya. Pagi ini gue meminta tolong pada Mama untuk membelikan gue sekarung beras. Momo adalah anjing besar dan tinggi, yang sedang dalam masa pertumbuhan. Kebutuhan makannya yang menggila menjadi penyebab utama keributannya dengan Bruncuz. Hal - hal lainnya, sampai saat ini masih menjadi tantangan yang belum gue ketahui bagaimana cara melaluinya. 

Beberapa penyesuaian (baca : pengorbanan) pun harus gue lakukan. Gue bolos berenang karena harus meluangkan waktu untuk mengenal dan melatih kedua anjing gue. Gue juga bertekad untuk membawa keduanya secara bergantian, berjalan kaki setiap paginya, yang artinya bangun subuh adalah kewajiban. Selain Momo harus gue biasakan ber-morning walking di sekitar rumah, hal itu juga harus gue lakukan untuk menyalurkan energi dan naluri bermainnya. Dan banyak penyesuaian lainnya.

Gue harus berusaha untuk tetap berpikir positif. Katanya anjing merasakan energi dalam diri pemiliknya. Jadi sebaiknya gue berusaha senang menyambut kehadiran Momo. Sekali lagi....ini curahan hati belaka dari seorang adopter amatiran.

Thursday, October 31, 2013

Vaksinasi HPV Tahap Kedua

29 Oktober 2013. Gue kembali ke RS. Harapan Bunda untuk mendapatkan vaksinasi HPV tahap kedua. Kalau menurut anjuran Rumah Sakit, seharusnya gue kembali kemarin, 28 Oktober 2013. Tapi berhubung gue sempat lupa dan ditambah dengan jadwal dr. Rina Fajarwati yang lebih pas dengan jam pulang kantor, maka gue pilih hari Selasa, 29 Oktober 2013.

Kali ini gue santai melakukannya. Gue berangkat dari kantor menerobos hujan badai dengan naik mikrolet disambung dengan taksi, demi tiba di RS. Harapan Bunda. Sebelum berangkat gue sempat menelepon ke sana dan ternyata bisa mendaftar sekalian. Jadilah gue ada di daftar tunggu nomor 2.

Selain itu, langkah gue lebih mantap lagi karena sekarang perusahaan tempat gue bekerja sudah menyatakan bersedia untuk menanggung biaya vaksinasi HPV ini. Walaupun disertai dengan berbagai persyaratan, namun tetap saja ini berita gembira.

Seperti proses sebelumnya, vaksinasinya berlangsung kilat. Gue lebih tenang saat dr. Rina menyuntikkan cairan vaksinnya, tanpa perlu memeluk lengannya erat - erat. Setelah itu gue menuju meja kasir untuk menyelesaikan administrasi pembayaran. Rincian biayanya : Rp. 160,000 (konsultasi dokter spesialis) ditambah Rp. 700,000 (biaya vaksinasi). Total Rp. 860,000. Gue kumpulkan semua dokumen pembayaran tersebut untuk keperluan klaim ke perusahaan.

Kemungkinan, kalau klaim ini dikabulkan oleh perusahaan, gue adalah karyawan pertama yang menggunakan benefit ini. Namun, jika pada akhirnya nanti mungkin karena kurang memenuhi syarat maka klaim gue tak terbayar, ini pun sudah gue antisipasi. 

Saat gue mantap untuk memulai tahapan vaksinasi ini, gue sudah sadar konsekuensinya, lebih tepatnya, biaya tidak sedikit yang harus gue keluarkan. Ini adalah satu kebutuhan yang termasuk kritikal, namun cukup menguras kantong. Dan kehadirannya di antara kebutuhan - kebutuhan lainnya seperti cicilan rumah, bantuan bulanan untuk Mama, arisan, cicilan logam mulia, kewajiban menabung, dan pos - pos lainnya, semakin menambah semarak dan berat beban keuangan gue. Dengan demikian, ada hal yang perlu gue korbankan. Salah satunya, harus menahan hasrat traveling sementara waktu.

Tapi setidaknya gue puas karena sudah melakukan apa yang menurut prinsip gue perlu dilakukan dan didahulukan. Masalah kesehatan harus di urutan pertama. Kemarin saat di Rumah Sakit, seorang sahabat yang mengetahui bahwa gue melakukan vaksinasi HPV ini kebetulan menelepon dan dengan santai bilang, "Mahal amat ah....Gue nanti - nanti aja deh...kalau udah nikah. Biar suami gue aja nanti yang bayarin." Gue cuma tertawa dan dalam hati bersyukur, "Untung Nyonya Sitanggang mendidik dan membesarkan gue untuk menjadi perempuan mandiri. Untuk apa gue menunggu sampai orang lain turun tangan membiayai sesuatu yang positif bagi kesehatan gue, di saat gue sendiri pun diberikan berkah dan rejeki dari Tuhan untuk bisa melakukannya sendiri.

Sampai jumpa, vaksinasi tahap ketiga tahun depan !

Saturday, October 26, 2013

N.A.S.A.R


Gue pernah berjanji...atau mungkin lebih tepat disebut bernasar, akan berjalan kaki dari kantor dan ke rumah. Janji ini sebagai bentuk kecil dari rasa syukur dan senang gue karena diterima kerja di tempat sekarang.

19 Oktober 2013. Pagi ini gue bertekad untuk mewujudkan janji itu. Gue merasa mulai terdesak karena sudah hampir setahun gue bekerja di sini, tapi belum juga gue merealisasikannya. Persiapannya nyaris ngga ada. Namun yang pasti, untuk berjalan kaki 10.2 km melewati Jalan Raya Bogor yang padat dan semrawut, paling ngga pagi ini gue sudah membawa baju, celana dan sepatu olah raga.

Tepat jam 6.30 sore, gue meninggalkan kantor. Rencana awalnya seharusnya tidak semalam ini. Hanya saja gue sempat tertahan di kantor oleh beberapa urusan pekerjaan. Gue memulai langkah dengan santai. Gue belum pernah menempuh perjalanan sekitar 10 km sekaligus, jadi harus bijak menentukan ritme jalan gue yang kadang terlalu cepat dan bersemangat. Gue gak mau kehabisan tenaga atau pegal di tengah jalan nantinya.

Belum apa - apa gue sudah harus mampir di SPBU terdekat, untuk buang air kecil. Sebelum ini, gue sudah melakukan yang bisa gue sebut 'pemetaan'. Gue mencatat dalam pikiran gue, dalam perjalanan gue nanti akan ada sekitar 4 SBPU dimana gue bisa berhenti untuk keperluan buang air kecil. Selain SPBU, gue juga memetakan pusat perbelanjaan, dan bahkan pohon beringin ! Di sepanjang jalan Raya Bogor banyak terdapat pohon - pohon beringin yang kadang ukurannya sangat besar dan raksasa.

Ada satu pohon  beringin raksasa di daerah bernama Lapan yang paling perlu gue antisipasi. Pohon itu terletak di antara kios - kios yang kebanyakan menjual perlengkapan otomotif. Batang pohonnya bahkan menempati satu buah kios di antaranya. Dahan - dahannya terbentang hingga menutupi lebih dari satu ruas Jalan Raya Bogor arah Pasar Rebo. Saat mulai malam dan gelap, sosok raksasanya yang misterius itu cukup bikin gue ngeri. Terlebih, kios - kios yang ada disekitarnya akan tutup pada sore menjelang malam, dan membuat area itu menjadi sepi.

Beberapa ratus meter sebelum melalui pohon itu, gue pun menyeberang jalan. Si penakut yang ingin menaklukkan Jalan Raya Bogor ini pun hanya berani mencuri - curi pandang ke arah sosok beringin dari seberang jalan.

Sepanjang perjalanan gue memang harus beberapa kali menyeberangi jalan. Gue ingin menghindari ruas - ruas jalan yang terlalu sepi, terlalu gelap, atau kurang nyaman dan aman untuk gue lalui.

Gue terus berjalan dan berjalan. Kedua kaki gue mungkin sudah mulai pegal, tapi secara keseluruhan fisik gue masih sangat kuat. Gue sedikit takjub dengan kondisi ini, yang gue asumsinya sebagai hasil positif dari kegiatan renang yang gue lakukan hampir 3 kali dalam seminggu. Yang luput dari persiapan gue adalah, masker. Sebenarnya gue sudah siapkan masker, namun sayangnya gue tinggal begitu saja di laci meja kerja. Gue ngga nyaman pakai masker, sementara untuk perjalanan ini gue ingin mengutamakan kenyamanan semaksimal mungkin. Namun saat gue menempuh perjalanan ini, keputusan itu menjadi sedikit penyesalan. Gue terpaksa harus menghirup udara dan gas kotor yang berasal dari debu jalanan maupun knalpot. Jalan Raya Bogor memang kurang bersahabat terhadap pejalan kaki. Di beberapa bagian jalan, gue bahkan kesulitan mencari ruang untuk berjalan. Kadang gue berjalan dengan berebut ruang dengan para pengendara motor, di tengah kemacetan. Di saat - saat seperti itu rasanya paru - paru gue terisi penuh dengan asap knalpot. Sebenarnya gue bisa berhenti sejenak untuk mampir ke toko terdekat untuk membeli masker. Namun kebiasaan buruk gue saat berjalan kaki adalah sulit berhenti. Berhenti memberi kesempatan untuk fisik gue merasakan lelah dan pegal. Ini harus dihindari.

Menjelang jam 8 malam, posisi gue sudah di sekitar pabrik Khong Guan. Di dekatnya terdapat pusat belanja Naga, yang entah kenapa setiap kali gue lewat situ selalu tergoda untuk mampir dan jajan. Lalu gue mempertimbangkan untuk mencari makan malam. Seperti gue bilang tadi, gue ingin menjalani acara jalan kaki gue malam ini sesantai dan senyaman mungkin, dan gue harus menikmatinya. Kali ini gue ingin menikmati makan malam berupa sate padang yang ada di daerah Keong.

Herannya, gue ngga betah berlama - lama duduk. Jadi gue sekedar menyelesaikan makan malam gue itu, lalu dengan semangat memulai berjalan kaki lagi. Di titik itu, gue udah menemukan kenikmatan berjalan kaki di sepanjang Jalan Raya Bogor yang semrawut. Banyak hal yang bisa gue lihat dan lakukan. Seakan - akan berjalan kaki membuat gue bisa lebih dekat dengan hal - hal menarik yang selama ini tak terjangkau oleh gue. Dengan segala tantangan dan kenikmatannya, perjalanan ini jauh lebih penting dan menarik dari sekedar mencapai tujuan akhirnya.

Sejak awal perjalanan, dua kali gue berhenti karena masalah alas sepatu gue yang hampir copot. Ini adalah perpaduan antara usia pakai sepatu itu yang lumayan lama yaitu 3 tahun, dan jalan berjalan gue yang terlalu cuek dan membuat sepatu apapun yang gue pakai cenderung cepat rusak. Sempat terbersit niat untuk mampir ke toko yang menjual lem power atau semacamnya. Karena kondisi sepatu ini membuat gue terseok - seok, dan ini sangat menghambat perjalanan. Tapi tentunya lagi - lagi gue ogah berhenti. Gue bahkan enggan berhenti untuk menyelamatkan paru - paru gue dari gas beracun tadi, lalu untuk apa gue berhenti untuk sekedar urusan sepatu. Gue pun merobek paksa bagian sol yang terlepas dari sepatu. Masalah pun selesai.

Mendekati daerah Cijantung, gue memutuskan untuk tetap di ruas Jalan Raya Bogor arah Bogor. Karena setiap hari melewati jalan ini, gue sudah sangat hapal bahwa kawasan ini akan berubah menjadi tempat bisnis prostitusi gelap di malam hari. Beberapa wanita atau pria yang ingin menjadi wanita dengan pakaian agak terbuka dan dandanan seadanya akan berdiri di sepanjang trotoar atau (mungkin) menunggu pelanggan di warung - warung kecil yang ada di dekatnya, di sepanjang ruas Jalan Raya Bogor arah Pasar Rebo.

Mal Cijantung pun sudah di depan mata. Gue sudah sering menempuh perjalanan Mal - Cijantung sampai ke rumah. Jadi rasanya misi perjalanan gue sudah hampir berakhir. Mama pasti sedang menunggu gue dengan was - was dan khawatir. Tadi pagi sebelum berangkat ke kantor, seperti biasa apabila gue membawa tas ransel Mama akan menanyakan apakah gue berencana berenang hari ini. Gue jawab, "Ngga Ma. Cei mau jalan kaki dari kantor ke rumah." Senyum semangat terukir di wajah gue. "Apaaaa ?!!!" dan gue lihat wajah Mama sedikit histeris dan berakhir dengan ekspresi dan was - was kesal. Sepertinya Mama sadar, nasihat apapun yang akan disampaikannya, gue akan tetap berjalan kaki.

Gue tiba di rumah tepat jam 9 malam. Mama menyambut kepulangan gue dengan kelegaan mendalam yang terlihat jelas di wajahnya. Bruncuz menyambut gue dengan gonggongan dan loncatan, bersemangat dan berenergi maksimal, seakan - akan sudah 20 tahun ngga berjumpa dengan gue. Ya, meskipun gue sudah kelelahan dan ingin segera mandi, kewajiban malam gue harus tetap dijalankan. Masih dengan pakaian dan sepatu olah raga lengkap, gue memasak dan menyiapkan makan malam untuk Bruncuz. Setelah beberapa saat bermain - main dengan Bruncuz di teras belakang, gue pun mandi dan naik ke ranjang.

Alamak, rasa lelah dan pegalnya menyerbu dengan ganas. Gue pun segera terlelap. Di tengah malam gue dibangunkan oleh rasa sakit di tenggorokan. Ini pastinya efek dari tidak menggunakan masker. Seluruh indra pernafasan di tubuh gue mulai menunjukkan respon atas segala macam udara kotor yang gue hirup di sepanjang perjalanan. Namun semuanya terobati dengan rasa senang dan puas yang gue rasakan. Setelah hampir setahun menunda, akhirnya gue bisa menepati nasar gue. Makasih Yesus!

Sunday, September 29, 2013

Ragu Berliku Menuju Vaksinasi Kanker Serviks

Setelah bertahun - tahun menunda dan menunda, akhirnya Sabtu (28 Sept) kemarin gue membulatkan tekad untuk melakukan vaksinasi HPV (Human Papilloma Virus) alias pencegah kanker serviks. Gue bilang "bertahun - tahun" karena sejauh yang gue ingat, niat untuk melakukannya udah ada sejak tahun 2008 yang lalu. Saat itu, dengan semangat menggebu - gebu dan rasa ingin tahu yang sangat dahsyat, gue berusaha mencari informasi sebanyak - banyaknya mengenai vaksinasi ini. Sejak saat itu sampai akhirnya gue memutuskan untuk vaksin, ada 2 (dua) kendala internal yang menghalangi gue untuk segera merealisasikan niat ini.

Pertama, cara berpikir yang sangat konservatif bikin gue takut untuk mendapatkan tindakan medis apapun selama ngga sedang menderita sakit. Gue takut tindakan pencegahan ini justru menjadi bumerang dan memberikan efek samping membahayakan. Ini cara berpikir yang aneh sebenarnya. Karena di sisi lain gue menganggap vaksinasi adalah cara pencegahan yang efektif. Sayangnya itu hanya gue terapkan pada anjing gue, Bruncuz. Bruncuz punya daftar vaksinasi lebih panjang dari gue. 

Kedua, harga vaksinnya yang selangit, berkisar antara Rp. 700,000 - Rp. 1,000,000/suntikan, belum termasuk biaya konsultasi dokter. Sementara untuk sepaketnya, sebanyak 3 (tiga) kali suntikan harus dilakukan dalam kurun waktu 6 (enam) bulan. Untuk alasan yang kedua ini, sebenarnya gue bersikap ngga konsisten. Gue ngga pernah bersikap hemat dan perhitungan kalau itu mengenai tiket pesawat atau rencana liburan. Gue menjadwalkan liburan sekitar 3 - 4 kali setahun, yang meskipun ala backpacker, tapi tetap saja merogoh kantong. Selain itu, walaupun seadanya, gue juga menyisihkan penghasilan untuk menabung dan investasi. Tapi entah mengapa, tiap kali memikirkan kembali niat untuk vaksinasi, gue segera berusaha menguburnya dalam - dalam dengan alasan finansial. Bahkan gue sempat bertekad baru akan melakukan vaksinasi jika perusahaan tempat gue bekerja saat ini menanggung biayanya, atau paling tidak mensubsidi sebagian biayanya.

Belakangan, niat yang belum kesampaian ini kembali mengganggu ketenangan pikiran gue. Akhirnya di hari Sabtu itu gue berangkat ke Rumah Sakit Umum Pasar Rebo. Saat itu niat gue sekedar untuk mencari informasi, karena gue kurang puas dengan segudang informasi yang udah gue peroleh melalui Google. Setiap kali gue menelepon Smileybeberapa Rumah Sakit di Jakarta, hasilnya selalu mengecewakan. Telepon gue dioper - oper ke divisi yang berbeda - beda. Dan selalu berakhir dengan tanpa hasil. Gue belum pernah mendapatkan informasi tepat dari orang yang tepat pula di Rumah Sakit tersebut. Informasi yang jelas pernah gue dapatkan ketika menghubungi Yayasan Kanker Indonesia, baik yang ada di Sunter maupun Lebak Bulus. Namun soal harga selangit itu lagi - lagi mementahkan niat gue. 

Usaha lain yang gue lakukan adalah mencari program promo. Program ini pernah ditawarkan sebuah klinik melalui website agregator, dengan potongan harga lumayan. Tapi program diskon yang bombastis justru membuat gue ragu mengenai kualitas vaksinnya. Setelah sibuk browsing, sebuah klinik lainnya menawarkan diskon menggiurkan dengan menggunakan kartu kredit tertentu. Tapi lagi - lagi gue bingung dan ragu, bagaimana mungkin masalah kesehatan serius tingkat tinggi dijual obral seperti itu.Gue semakin ngga ngerti dengan diri sendiri. Dari awal gue begitu 'terganggu' dengan masalah harga yang tinggi, tapi begitu ada tawaran diskon menarik, gue justru meragukan kualitas vaksin dan kredibilitas klinik atau rumah sakitnya. Memangnya gue berharap akan ada rumah sakit sekelas Gleneagles Singapura yang akan menawarkan potongan harga  90%, gitu ? Smiley.

Kembali ke kunjungan ke RSU Pasar Rebo, begitu di meja informasi gue langsung memperoleh kepastian bahwa rumah sakit tersebut belum melayani vaksinasi HPV. Mengejutkan sekaligus mengecewakan. Bukankah penyakit kanker serviks salah satu pembunuh perempuan tertinggi di Indonesia ? Lalu kenapa rumah sakit umum ini belum melayani program (vaksinasi) pencegahannya ?

Belum puas dengan hasil pencarian gue, perjalanan pagi itu pun berlanjut ke RSU. Harapan Bunda. Yang menarik, ini adalah satu - satunya rumah sakit yang memberikan informasi jelas mengenai program vaksinasi HPV termasuk harganya melalui website resminya Smiley.

Di meja pendaftaran gue dilayani oleh petugas - petugas yang ramah dan siap membantu. Dengan keraguan mendalam gue bertanya, "Mbak, saya mau vaksin kanker serviks, bisa ?" Dalam hati gue berharap sang petugas menjawab, "Vaksinasi tidak bisa dilayani di hari Sabtu.." Namun petugas yang ramah itu justru menjawab, "Sebentar saya cek dulu Mbak, ada dokter kebidanan atau tidak." Gue kaget mendengarnya, dokter kebidanan ? Terdengar sangat menakutkan. Gue bahkan sangat jarang berurusan dengan dokter umum, dan saat ini gue akan dipertemukan dengan dokter kebidanan. 

Petugas itu pun berlalu ke dalam kantor dan gue bisa melihatnya menelepon. Dia kembali dan bilang, "Dokternya ada Mbak. Mbak mau dengan dr. Rina atau dr. Arman ?" Otak gue berpacu. Gue ngga siap untuk melangkah sejauh ini. Awalnya khan hanya untuk mencari informasi, namun sekarang gue harus memilih dokter. Dan, siapa pula dr. Rina dan dr. Arman ? Gue cuma menjawab dengan suara tertahan, "Yang perempuan aja Mbak...dokter Rina.." Gue pun dipersilahkan menuju ruang kebidanan. Astaga....ini peristiwa bersejarah yang menegangkan untuk gue. Berstatus masih lajang, belum menikah, dan melangkah menuju ruang praktek kebidanan. Rasa paniknya hampir sama seperti waktu gue pertama kali bekpekeran, sendirian, bertahun - tahun silam. Saat gue tiba di pelabuhan Harbourfront, siap menghadapi barisan petugas imigrasi Singapura. Sensasinya sama. Berjalan di lorong rumah sakit, siap menghadapi dokter spesialis kebidanan.

Di ruang yang dipenuhi banyak pasien itu, beberapa perawat menyambut gue dengan ramah. Mereka mencatat data pribadi dan mengukur tekanan darah gue. Begitu selesai, gue bertanya pada salah satu perawat, "Hasilnya apa Mbak ? Darah rendah ya ?" Hasil tekanan darah gue selama ini emang seringnya rendah, dan kali ini gue berharap hasil itu menjadi penyelamat gue. Gue berkhayal si perawat menjawab, "Darah rendah, Mbak....Mbak dilarang vaksin hari ini." Namun lagi - lagi jawabannya lain, "Normal, Mbak.." Setelah itu, gue pun dipersilahkan menunggu di antara pasien - pasien lainnya. Kehadiran gue disitu sepertinya menjadi pemandangan yang kontras, di antara para perempuan lainnya yang kebanyakan sedang mengandung, dan ditemani suami masing - masing. Gue harus menunggu sekitar sejam lebih karena panjangnya antrian. Akhirnya nama gue pun dipanggil, "Nona Cherry !" Entah apa yang ada di pikiran orang - orang yang ada di ruang itu begitu mendengar sebutan "Nona" itu.

Di dalam ruang praktek dr. Rina Fajarwati spOG., lagi - lagi gue disambut dengan keramahan ala rumah sakit ini baik oleh sang dokter maupun perawat pendampingnya. Dr. Rina tidak menggunakan jaket atau pakaian putih ala dokter, dan sejujurnya secara psikis itu menolong gue untuk mengurangi rasa takut. Dr. Rina mengatakan bahwa keputusan gue untuk vaksin sangatlah positif mengingat begitu banyaknya pasien kanker serviks yang dia layani sehari - hari. Mencegah lebih baik daripada mengobati, katanya. Yang dimaksud dengan "mencegah" karena vaksinasi ini dianjurkan dilakukan ketika belum menikah alias belum aktif secara seksual, pada usia sedini mungkin (dapat diberikan sejak usia 10 tahun).

Dari awal gue udah bilang ke dr. Rina kalau gue sangat penakut berhadapan dengan jarum suntik, vaksin, dan sejenisnya. Gue teringat waktu melakukan vaksin flu di kinik kantor beberapa bulan sebelumnya. Gue harus memeluk tangan sang dokter erat - erat demi mengurangi rasa sakitnya. Sebenarnya rasa sakitnya tidak seberapa, namun karena rasa takutnya segunung, jarum suntik secuil itu pun menimbulkan rasa sakit luar biasa.

Dokter yang bersikap sangat keibuan itu pun seakan - akan bisa membaca pikiran gue dan dia bilang, "Gak sakit kok...cuma sebentar. Pegang tangan saya saja.." Dan jarum suntik itu pun mendarat di lengan kiri gue. Dr. Rina bilang efeknya lengan gue akan terasa pegal. Gue ngga masalah dengan itu, karena toh kedua lengan gue saat itu sudah sangat pegal akibat berenang sampai malam di hari sebelumnya.

Proses vaksinasi selesai, dan senyum bahagia mengembang di wajah gue. Akhirnya dengan keberanian seadanya gue bisa mewujudkan niat yang udah tertahan selama bertahun - tahun. Gue pun melangkah dengan girang ke meja kasir. Biaya yang harus gue bayar hari itu :
  1. Vaksin Cervarix (total) : Rp. 699,925
  2. Biaya dokter & administrasi : Rp. 170,000
Selain itu gue pun diberikan jadwal vaksinasi berikutnya, yaitu bulan Oktober 2013 dan Maret 2014. Dalam hati gue berjanji untuk jadwal berikutnya tidak akan membiarkan alasan apapun membuat gue ragu dan menunda proses vaksinasinya. Kesehatan gue, yang penting baik untuk saat ini maupun masa depan, harus menjadi yang utama dan prioritas.

Wednesday, September 18, 2013

Kecerobohan Dibalas Dengan Kebaikan

Minggu lalu ada pengalaman berharga untuk gue. Ceritanya, di hari Rabu (11 Sept) sepulang kantor gue berenang di Cibubur, dan pulangnya diantar oleh teman kerja sampai ke depan terminal Kampung Rambutan. Saat itu kondisi gue memang ngga fit, terlebih setelah selesai berenang dan sauna. Badan terasa semakin lemas dan kehabisan tenaga. Sampai  - sampai gue terlalu malas untuk memasukkan dompet ke dalam ransel. 

Tiba di terminal Kampung Rambutan sekitar jam 7 malam, gue pun bergegas meninggalkan mobil dan perhatian gue langsung tertuju ke Mikrolet T19 yang udah siap berangkat. Begitu gue duduk di dalam Mikrolet, gue baru menyadari telah kehilangan dompet. Gue berusaha tenang....bahkan sempat mampir untuk makan malam di Ketupat Tahu Magelang di Tanjung Barat. Pelan - pelan gue cari dompet tersebut dengan mengeluarkan seluruh isi ransel. Gak ketemu. Gue menelepon teman yang mengantar tadi, dan ternyata di mobilnya pun tak ada tanda - tanda dompet tertinggal. Sedih dan panik. Seketika gue sadar, dompet gue pasti terjatuh saat gue meninggalkan mobil karena sepanjang perjalanan dompet tersebut ada di pangkuan gue.

Selain kehilangan uang tunai, sudah terbayang pula di benak gue segala hingar bingar dan kerepotan mengurus segala macam kartu identitas yang ada di dalam dompet. Ada KTP, kartu kredit, kartu ATM, kartu Jamsostek, kartu Asuransi, kartu dana pensiun, kartu diskon, kartu member, voucher isi ulang pulsa, dll.

Tapi kepanikan gue ngga berlangsung lama....gue melanjukan makan ketupat tahu yang lezat dengan penuh semangat, sambil menelepon pihak bank untuk memblokir kartu. Selesai makan, gue berjalan kaki menuju rumah, yang jaraknya sekitar 1 km. Itu gue lakukan untuk sekedar menenangkan dan mencerahkan pikiran gue. Agar ngga terlalu fokus memikirkan nasib gue yang malang di malam itu.

Keesokan harinya gue sengaja berangkat siang. Alasannya karena badan gue sangat amat lemas, kedua, karena gue pengen mampir ke kantor Polisi terdekat untuk mengurus surat kehilangan. Gue harus mendatangi 2 kantor Polisi untuk akhirnya mendapatkan surat yang gue perlukan. Kantor Polisi yang pertama bilang komputernya sedang rusak. Akhirnya gue mendapatkan surat kehilangan tersebut di pos Polisi Gandaria. 

Gue tiba di kantor disambut dengan tatapan prihatin atasan gue yang sangat baik. Gue menceritakan perihal kehilangan dompet tersebut. Gue sempat menanyakan ke pihak HRD mengenai prosedur pengurusan kartu - kartu yang hilang. Sisa hari itu gue lalui dengan santai dan keikhlasan setinggi langit sedalam samudra. Ikhlas, kata - kata ini sebenarnya agak asing untuk gue. Di saat gue mendapat masalah, kerap kali gue menyalahkan keadaan. Namun kali ini, dengan besar hati gue mengatakan pada diri sendiri, bahwa apa yang telah terjadi karena kecerobohan gue sendiri. Dan gue harus menerima konsekuensinya. Semoga Tuhan senantiasa membuka jalan untuk gue dalam mengurus segala hal sehubungan dengan hilangnya dompet dan dokumen penting di dalamnya. Amin.

Sekitar jam 3 sore, gue menerima sms. Isinya : "Selamat sore. Ini dengan Ibu Cherry  Apa Ibu merasa kehilangan barang ? Tolong hub. ke sini sekarang." Gue langsung menyambar telepon kantor secepat kilat demi menghubungi si pengirim sms. Di seberang sana, seorang Ibu menjelaskan bagaimana Ia menemukan dompet gue. Gue mengucapkan terima kasih yang sebesar - besarnya karena telah menemukan dompet dan menghubungi gue. Terdorong oleh rasa penasaran, gue menanyakan bagaimana Ibu yang baik tersebut bisa mengetahui nomor handphone gue. Beliau menjelaskan, nomor itu ditemukan dari tanda terima pembayaran yang ada di dompet gue. Beberapa hari sebelumnya gue memang sempat memesan wallpaper di kawasan Fatmawati. Si pemilik toko meminta gue mencantumkan nomor handphone agar bisa mengkonfirmasi apabila wallpaper pesanan gue tersedia atau tidak. Rasanya percaya ngga percaya, betapa hal kecil dan sepele pun bisa menjadi titik terang untuk hal yang lebih besar.

Sore itu, akhirnya gue bertemu dengan Ibu yang sangat jujur tersebut di Pasar Rebo. Gue diliputi rasa syukur, haru dan takjub. Betapa di kota metroplitan yang kusut dan rawan ini, masih ada sosok sederhana yang penuh keikhlasan dan kejujuran seperti Ibu itu. Siapa yang pernah menyangka, kehilangan dompet di sebuah terminal di suatu malam, dan keesokan harinya dompet itu kembali, tanpa kurang satu apapun. Sang Ibu sempat menasihati gue untuk lebih berhati - hati. Nasihat yang sama yang sebenarnya selalu dikatakan Mama, Ony dan orang - orang lain yang kadang gemas dan was - was melihat betapa cueknya gue terhadap barang - barang pribadi. Namun Ibu di hadapan gue ini baru gue kenal, dan tatapan matanya memancarkan perhatian yang sungguh - sungguh. Gue terharu.

Terima kasih Yesus, karena telah mempertemukan gue dengan Ibu yang jujur dan baik ini. Terima kasih Ibu, karena telah menunjukkan kemuliaan hatimu, semoga Tuhan membalas kebaikanmu.

Thursday, July 25, 2013

Pilih 'Refund', 'Credit Shell', atau 'Reschedule' ?

Hari Sabtu (27 Juli 2013) nanti seharusnya gue berangkat ke Kuala Lumpur untuk kesekian kalinya, karena gue mempunyai 'tabungan' tiket promo. Ini sebenarnya stok tiket terbang terakhir gue di tahun ini. Namun kali ini gue memutuskan untuk tidak menggunakannya alias tidak jadi berangkat ke Kuala Lumpur. 

Selama karir gue sebagai pemburu tiket promo Air Asia beberapa tahun terakhir, sebenarnya bukan kali ini saja gue membatalkan tiket penerbangan gue. Tahun 2010 gue batal berangkat ke Singapura dan Bali karena baru pindah kerja. Tahun 2012 tiket Yogyakarta melayang sia - sia karena saat itu ngga memungkinkan bagi gue untuk cuti. Yang terparah adalah di bulan Maret tahun ini dimana gue melewatkan kesempatan terbang ke Kuala Lumpur - Chiang Mai. Alasannya karena saat itu gue menjadi panitia event penting di kantor.

Selama ini gue cukup mengacuhkan status tiket - tiket yang sudah gue beli itu. Hal itu gue lakukan selain karena tiket - tiket tersebut adalah tiket promo dengan harga sangat murah. Di sisi lain, gue juga berasumsi bahwa semua tiket tersebut ngga refundable karena merupakan tiket promo.

Namun untuk tiket Kuala Lumpur kali ini, gue tergelitik untuk memperjuangkan proses pengembalian uangnya alias refund. Gue suka penasaran untuk melakukan sesuatu yang baru. Jadi, mulai hari Senin (22 Juli) yang lalu gue menelepon Call Center Air Asia (021 29270999) untuk menanyakan perihal status tiket gue yang senilai Rp. 300,000 itu.

Petugas call center mengatakan prosedur refund maupun credit shell bisa diberlakukan bagi tiket promo, hanya untuk keadaan sangat darurat dan tak terhindarkan. Misalnya, calon penumpang sakit keras sehingga tidak memungkinkan bepergian, atau meninggal dunia. Saat petugas menanyakan alasan gue, dengan tergagap - gagap gue menjawab," Saya ngga punya jatah cuti.." Dalan hati gue merasa bodoh karena kurang cerdas mencari alasan yang 'menjual'.

Kemudian si petugas mengatakan informasi penting lainnya. Proses refund maupun credit shell dapat juga dilakukan terhadap tiket promo yang pernah di-retime oleh Air Asia. Maksudnya, setelah pembelian tiket, pihak Air Asia pernah melakukan perubahan jadwal penerbangan, baik tanggal maupun jam keberangkatan. Sepertinya pasal yang ini cukup menjanjikan buat gue. Gue pun minta tolong ke petugas untuk mengecek status tiket gue ini sejak dibeli. Kabar gembira pun terdengar, Air Asia pernah me-retime tiket gue, yang berarti gue berhak untuk mendapatkan refund atau credit shell. Gue memang sering menerima pemberitahuan baik melalui SMS maupun email, mengenai perubahan jadwal penerbangan. Tapi biasanya gue acuhkan begitu saja. Alasan pertama, gue selalu cuek dengan jadwal penerbangan sampai detik - detik terakhir menjelang hari H. Kedua, gue selalu cuti di hari penerbangan gue, jadi perubahan waktu / jam tidak akan berpengaruh banyak. Ketiga, sejauh pengalaman gue Air Asia belum pernah merubah tanggal penerbangan, jadi dampaknya tidak besar.

Refund berarti pengembalian total pembayaran tiket, ke kartu kredit (dan kartu debit) yang digunakan saat pembayaran tiket. Credit Shell berarti pengembalian pembayaran tiket dijadikan deposit di akun Air Asia si penumpang, yang dapat digunakan untuk pembelian tiket berikutnya. Namun deposit ini harus digunakan untuk 'berbelanja' dalam waktu 3 bulan sejak proses claim, apabila tidak, deposit akan otomatis hangus. 3 bulan yang dimaksud, adalah masa untuk pembelian tiket, bukan jadwal terbang. Jadwal terbangnya sendiri bisa melewati masa 3 bulan tersebut.

Satu option lagi, masih hubungannya dengan jadwal penerbangan yang di-retime oleh Air Asia, ternyata gue berhak untuk mengganti jadwal penerbangan (dengan tujuan dan nama penumpang sama, tentunya), dengan catatan jadwal yang dipilih maksimal 14 hari sebelum atau setelah tanggal penerbangan awal. Misalnya, tiket Jakarta - Kuala Lumpur gue adalah 27 Juli 2013, berarti gue bisa mengganti jadwal keberangkatan ke tanggal mana pun antara tanggal 14 Juli - 09 Agustus 2013. Begitu juga dengan jadwal kepulangan gue, yaitu Kuala Lumpur - Jakarta yang tanggal awalnya adalah 29 Juli. Dengan option ini, gue boleh memilih tanggal kepulangan antara tanggal 16 Juli - 11 Agustus. Perubahan ini tidak akan membebankan penumpang dengan biaya tambahan apapun.

Pilihan terakhir ini sebenarnya menarik sekali. Karena dengan begitu gue memiliki kesempatan untuk berlibur ke Kuala Lumpur bahkan di saat libur panjang Lebaran. Namun lagi - lagi gue urungkan niat untuk melancong ke Kuala Lumpur saat ini, karena beberapa pertimbangan. Gue pun memutuskan untuk memilih option Refund. Menurut petugas, permohonan gue akan diajukan dan diproses terlebih dahulu.

Kemarin (Rabu, 24 Juli) gue kembali menghubungi Call Center Air Asia, dan mendapat konfirmasi bahwa permohonan refund gue sudah dikabulkan dan prosesnya akan selesai dalam 14 hari (lupa nanya, 14 hari kerja atau bukan). Lega dan puas. Bukan karena nilainya, tapi karena usaha gue mencari tahu dan memprosesnya sesuai dengan prosedur yang berlaku, berhasil.


Bukan karena gue pelanggan setia Air Asia atau karena pernah mendapatkan hadiah perjalanan gratis dari maskapai ini, tapi menurut gue kebijakan yang mereka berlakukan sangatlah adil. Saat mereka melakukan perubahan jadwal penerbangan sepihak, mereka masih menghargai hak konsumen dengan memberikan beberapa pilihan lainnya, dengan prosedur yang mudah dan tidak berbelit - belit. Well done, AA !

Wednesday, July 24, 2013

A.B.A (Anggaran Belanja Anjing)

Belakangan ini keinginan gue untuk memiliki anjing lagi kembali muncul. Alasannya supaya si tua Bruncuz mempunyai partner. Kasihan dia, selalu sendirian di halaman belakang, seakan - akan tujuan hidupnya sehari - hari hanya menanti kepulangan gue dari kantor.

Beberapa waktu yang lalu gue survey ke tempat penjualan anjing di kawasan Menteng. Banyak anak - anak anjing dijual di sana dengan harga mulai dari Rp. 100,000. Terjangkau, namun sampai sekarang gue belum memutuskan untuk membeli, karena kayaknya bertentangan dengan kata hati gue. Di saat banyak anjing tak bertuan atau disingkirkan oleh pemiliknya memenuhi shelter - shelter, rasanya lebih baik gue membantu dengan mengadopsi salah satunya. Tapi tahun lalu saat gue mencoba untuk mengadopsi, ada pengalaman yang bikin gue ngga sreg.

Banyak banget pertimbangan yang harus gue lalui untuk memiliki anjing lagi. Gue harus bisa menyisihkan baik hal material maupun non material untuk menjalankan tanggung jawab itu. Sejak kecil, gue dibiasakan untuk memiliki anjing dengan susah payah, terlebih karena Mama bukanlah penggemar anjing. Selalu ada pertentangan dan perdebatan saat membahas mengenai anjing. Karena itu pertimbangan gue harus benar - benar matang. Anjing bukanlah boneka tak bernyawa yang bisa dibuang kapan pun gue bosan atau tidak sanggup merawatnya.

Gue pernah membaca sebuah artikel mengenai anjing. Artikel itu membahas persyaratan apa saja yang harus dipenuhi seseorang agar bisa memiliki anjing. Beberapa dari antaranya, terlebih dari sudut materi, si pemilik anjing harus mempunyai rumah sendiri dengan lahan yang cukup luas, harus bekerja/berpenghasilan, harus sanggup membiayai kebutuhan anjing termasuk vaksin dan vitamin secara rutin.

Beberapa waktu yang lalu, saat sedang ngobrol dengan Ony mengenai kegundahgulanaan gue yang sangat pengen mengadopsi anjing namun masih ragu, masalah materi ini pun dibahas. Selama ini gue sadar bahwa merawat anjing tidaklah murah. Namun gue belum pernah melihat angka pasti biayanya. Iseng - iseng gue membuat daftar kebutuhan Bruncuz dan menghitung biayanya, sbb :



Daftar di atas belum termasuk biaya lain - lain seperti :
  1. Transportasi untuk membawa Bruncuz ke klinik hewan
  2. Biaya tambahan untuk makanan seperti gas dan nasi
  3. Biaya pembuatan rumah. Proyek rumah Bruncuz di halaman rumah memakan biaya antara Rp. 500,000 - 800,000, yang mencakup biaya bahan bangunan dan tukang yang mengerjakan. Maklum, Bruncuz bukanlah hewan peliharaan yang tinggal di dalam rumah. Jadi Mama dan Bapak membuatkan rumah permanen untuknya.
  4. Harness, tali / kalung dan aksesoris lainnya (sisir, dll). Terakhir gue membeli harness & tali seharga kurang lebih Rp. 300,000, karena gue pengen Bruncuz tetap nyaman setiap jalan pagi. Bruncuz harus memiliki paling tidak 1 (satu) harness & tali untuk berjalan - jalan, dan 1 (satu) rantai dan talinya untuk mandi.
  5. dll
Sekonyong - konyong gue bersyukur karena Bruncuz 'hanyalah' anjing lokal, jadi perawatan mandi dan kesehatannya sangat mudah. Gue sendiri yang memandikan Bruncuz, bukan pet shop atau pihak lainnya. Soal kesehatan, thanks God, sejauh ini kondisi Bruncuz fit dan prima. Untuk anjing ras, pasti biaya perawatannya bisa berlipat - lipat dari itu.

Hmm...kira - kira apa yang bisa gue dapatkan dengan Rp. 2,8 juta per tahun ? Jalan - jalan ke 2 (dua) negara tetangga sekaligus dalam waktu 7-10 hari....atau paling tidak sebuah logam mulia 24 karat seberat 5 gram. Tapi, sesosok sahabat terbaik yang paling tulus dan menggemaskan seperti Bruncuz adalah hal yang paling tepat dan gue perlukan.

Komitmen. Memiliki seekor anjing berarti gue harus berkomitmen untuk bertanggung jawab merawat anggota baru dalam hidup gue, selama 10 - 15 tahun ke depan. Jika saat ini gue mempunyai seekor anjing dengan biaya hidup sekitar Rp. 2,8 juta per tahun, berarti jika ingin menambah anjing lainnya gue harus menyiapkan dana sekitar Rp. 5,6 juta per tahun....untuk 10 - 15 tahun ke depan. Apa yang perlu gue korbankan untuk bisa mengalokasi dana untuk memelihara anjing tambahan ? Mengurangi jadwal liburan ? Atau mengurangi pengeluaran belanja dan tabungan pribadi gue ? Sejujurnya, masih sebuah pertimbangan yang berat. Belum lagi, daftar biaya di atas mungkin hanya sebagian dari apa yang menjadi kebutuhan anjing...belum termasuk hal - hal tak terhitung lainnya...soal tenaga, perhatian, waktu, konsistensi, dan lain sebagainya.

Jadi sepertinya, gue harus memikirkan lagi dan lagi sebelum mengadopsi seekor anjing lainnya, yang berarti Bruncuz harus menunggu dahulu untuk mendapatkan sahabat baru.

Anjing bukanlah sahabat yang materialistis, namun benar adanya, memelihara anjing memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Friday, July 05, 2013

Semarak Semarang

Gue membeli tiket Jakarta - Semarang pulang pergi saat Air Asia promo launching destinasi ini. Harga tiketnya keterlaluan...hanya Rp. 5,000 saja Smiley. Total biaya kartu kredit dan lainnya jadilah Rp. 65,000 pulang pergi. Mengenai kota tujuannya sendiri, walaupun gue nyaris ngga mengenal Semarang sama sekali, itu ngga jadi masalah. Karena pada dasarnya gue senang untuk mengunjungi dan berpetualang di tempat baru. Paling ngga, gue bisa refreshing dan melepaskan jenuh dari rutinitas, di tempat yang jauh dari Jakarta.

Awal Juni 2013 Air Asia mengumumkan bahwa rute yang baru dibukanya ini akan ditutup mulai 1 Juli 2013. Dari beberapa opsi yang ditawarkan kepada para pembeli tiket, gue memilih untuk mengganti jadwal penerbangan. Jadilah yang rencana awalnya gue akan terbang di bulan September 2013, dimajukan menjadi 28 - 30 Juni 2013. Singkat, karena sisa cuti gue emang ngga banyak, dan gue harus menyisakan cukup jatah cuti sepanjang tahun 2013, demi kaki gue yang doyan berpetualang ini.


Jumat, 28 Juni 2013

Pesawat Air Asia mendarat di Bandara Internasional Ahmad Yani sekitar jam 7 pagi. Tujuan pertama dari bandara adalah Museum Lawang Sewu, dengan menggunakan taksi yang ongkosnya Rp. 40,000. Menurut gue cukup mahal untuk jarak sedekat itu, namun apa boleh buat, karena penumpang harus menggunakan taksi yang ditunjuk oleh pihak Bandara. Dan ongkos taksi bukan dihitung berdasarkan argo, melainkan sudah ditentukan di awal saat mengantri taksi.

Gue tiba di Lawang Sewu dan membayar Rp. 10,000 untuk tiket masuknya. Sebagai salah satu dari sedikit pengunjung museum di pagi itu, gue leluasa menjelajah setiap ruangan. Pusat kekaguman gue terletak pada setiap bangunan - bangunan serta ruanganya yang tua, kuno namun tetap kokoh, bukan apa yang dipamerkan di dalam museum.

 
 
 
 
 
 
 
 
 

Kemudian gue melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bus umum jurusan Johar menuju Kota Lama. Tujuan berikutnya adalah ke Gereja GPIB Immanuel yang lebih dikenal sebagai Gereja Blenduk. Tiba di sana, sayangnya gue cuma bisa menikmati keindahan dan kemegahan gereja dari luar, karena pagarnya terkunci. Bangunannya mirip gereja GPIB Immanuel yang ada ada di Gambir, Jakarta.

 
Tepat di seberang Gereja Blenduk, secara kebetulan gue melihat Rumah Makan Sate dan Gulai Kambing 29, Semarang. Rumah makan ini adalah salah satu target gue selama di Semarang ini. Sebelum berangkat ke Semarang gue sempat browsing untuk mencari informasi mengenai tempat - tempat yang harus didatangi, dan rumah makan ini adalah salah satunya. Kebetulan gue penyuka sate dan saat itu perut sudah mulai protes kelaparan, maka gue pun singgah untuk sarapan menjelang makan siang. Harganya, menurut gue, cukup mahal. Satu porsi sate kambing Rp. 40,000 / 10 tusuk, ditambah sepiring nasi seharga Rp. 5,000. Ditambah lagi dengan es teh manis Rp. 2,500 per gelas, itu adalah salah satu sarapan siang gue yang termahal sepanjang sejarah Smiley !
.


Dengan perut kenyang, gue sempat berjalan kaki sekedar untuk memuaskan kedua mata gue mengagumi bangunan - bangunan kuno yang ada di komplek Kota Lama. Setelah itu gue menuju Klenteng Tay Kak Sie yang terletak di Gang Lombok. Menurut gue di area klenteng ini ada empat hal yang bisa dinikmati pengunjung : klenteng itu sendiri, patung Laksamana Cheng Ho, replikasi kapal Cheng Ho yang letaknya berhadapan dengan Klenteng, terakhir, kedai lunpia Gang Lombok No. 11 yang letaknya nyaris menempel dengan bangunan Klenteng. Menurut hasil browsing gue, kedai ini juga salah satu yang wajib dikunjungi. Jadi, meskipun masih kenyang, gue menyisakan sedikit ruang di lambung untuk menikmati lunpia goreng, seharga Rp. 12,000.

 
 
 
 
 
 

Dari gang Lombok gue berjalan beberapa jauh, ke arah Bank Mandiri, setelah itu melanjutkan perjalanan dengan becak menuju Imam Bonjol Hostel di Jalan Imam Bonjol. Ongkosnya Rp. 15,000. Salah satu hal yang membuat gue merasa nyaman dengan kota Semarang yang tenang dan bersahaja ini adalah ongkos transportasinya yang cenderung murah. Untuk jarak sejauh apapun, ongkos becak yang harus gue keluarkan belum pernah melebihi Rp. 15,000.


 
 
Gue tiba di Imam Bonjol Hostel hampir tengah hari. Hostel ini gue booking melalui Agoda. Harga kamarnya adalah Rp. 110,000 per malam. Menurut konfirmasi Agoda, dengan harga tersebut gue akan mendapatkan single room dengan fan. Begitu melihat kamarnya, gue berdecak kagum dengan girangnya. Kamarnya luas, bersih, dan.....ada AC !! Ditambah lagi dengan kasur empuk, 3 bantal dan 2 selimut. Ini adalah kemewahan tingkat tinggi untuk gue. 

Hostelnya bersih, nyaman dan aman. Walaupun harus berbagi kamar mandi, tetapi kamar mandi yang tersedia cukup banyak dan bersih. Fasilitas lainnya, wifi dengan kecepatan tinggi dan security door. Jadi, pintu hanya bisa diakses oleh tamu yang sudah dibekali dengan kunci khusus.

Dari segi lokasi, hostelnya juga sangat strategis. Letaknya di jalan Imam Bonjol yang jaraknya dengan Lawang Sewu dapat ditempuh dengan berjalan kaki.

Walaupun belum puas beristirahat di kasur gue yang empuk, tapi gue ngga mau menyianyiakan waktu. Tujuan berikutnya adalah Klenteng Sam Poo Kong yang merupakan klenteng tertua di Semarang. Keluar dari Jalan Imam Bonjol gue menyeberang persimpangan menuju Jalan Mgr. Sugiopranoto, dan naik becak ke klenteng ini dengan ongkos Rp. 15,000. Tiket masuknya Rp. 3,000 dan pengunjung disuguhi dengan area klenteng yang sangat luas terdiri dari 5 bangunan klenteng. Pesona klenteng ini ditambah lagi dengan patung Laksamana Cheng Ho ukuran raksasa yang berdiri tegak di depan klenteng Sam Poo Kong. Untuk memasuki jajaran Klenteng Sam Poo Kong, Klenteng Juru Mudi dan klenteng lainnya, pengunjung harus membayar lagi Rp. 20,000. Selain itu, pengunjung juga dapat menikmati foto kostum dengan membayar ekstra Rp. 80,000.

 
 
 
 
 
 
 
 
 

Dari Sam Poo Kong, gue naik taksi Blue Bird menuju Jalan Pandanaran. Akhirnya gue memilih taksi berhubung ngga menemukan alternatif kendaraan umum lainnya, termasuk becak. Ongkosnya sekitar Rp. 25,000, dan gue tiba di Jalan Pandanaran yang bagaikan pusat pembelian oleh - oleh khas Semarang. Gue melintasi setiap tokoh oleh - oleh. Saat itu sepanjang jalan Pandanaran dipadati para turis lokal Semarang, jadi suasananya terasa menyenangkan. Gue masuk ke pusat oleh - oleh Bandeng Juwana. Di sini gue membeli bandeng duri lunak 1 kg (seharga Rp. 81,000) dan beberapa oleh - oleh lain untuk Mama, yang langsung gue kirimkan dengan paket bertarif Rp. 10,000 per kilogram. Pihak toko Juwana yang mengurus semuanya, dan mereka akan mengirimkan paket oleh - oleh gue besok dengan produk - produk paling baru. Paket akan tiba di rumah gue sehari setelahnya. Walaupun tarif pengirimannya relatif lebih mahal dibandingkan harga bagasi yang Rp. 40,000 per 15 kg (saat itu total paket oleh - oleh gue 6 kg, total biaya kirim Rp. 60,000). Tapi paling tidak gue ngga akan direpotkan dengan urusan menjinjing kardus, antri check in bagasi, dan lain sebagainya.

Puas dengan oleh - oleh, gue menyeberang jalan dan naik angkutan umum menuju Simpang Lima. Jaraknya dekat, dengan ongkos Rp. 2,500.

Lapangan Simpang Lima letaknya sangat strategis, diapit oleh bangunan - bangunan modern yang didominasi oleh pusat - pusat perbelanjaan. Berhubung sudah sore, gue ngga berlama - lama di kawasan ini, karena gue siap mencari tujuan berikutnya, Kedai Tahu Pong di Jalan Gajah Mada. Lagi - lagi hasil browsing, ada kedai Tahu Pong di Jalan Gajah Mada No. 63 yang jadi rekomendasi. Awalnya dari Simpang Lima, dengan gagah berani gue memutuskan untuk berjalan kaki Smiley mencari kedai ini. Menyenangkan sebenarnya....sambil menikmati Semarang yang bersiap - siap menyambut malam. Tapi karena mulai lelah, lapar dan pegal gue pun naik angkutan umum. Gue pun tiba di kedai Tahu Pong Semarang Gajah Mada dan menikmati seporsi tahu pong gimbal dan segelas es teh manis, total harganya sekitar Rp. 25,000.

Dengan perut kenyang, gue berjalan terseok - seok mencari arah pulang ke hostel. Dengan naik becak, yang lagi - lagi ongkosnya Rp. 15,000, gue tiba di hostel.

Petualangan hari ini rasanya benar - benar maksimal. Dalam sehari ini aja Semarang sudah memberikan banyak hal buat gue, mulai dari wisata museum, tempat bersejarah, sampai kuliner. Jauh melampaui harapan gue yang ngga mengenal Semarang sama sekali.

Sabtu, 29 Juni 2013

Gue memasang alarm di handphone agar bisa bangun jam 5 pagi. Rencana hari ini akan lebih padat dengan tujuan keluar dari kota Semarang yaitu ke Ambarawa. Di sana gue mau mengunjungi Gue Maria Kerep, Museum Kereta, Palagan Ambarawa, Gedong Songo, dan syukur - syukur kalau bisa mampir ke Museum Muri.

Dari hostel gue berjalan kaki sampai ke penghujung Jalan Imam Bonjol arah Lawang Sewu, kemudian mengambil arah Jalan Pemuda. Gue menyeberang jalan dan mencari halte Trans Semarang tujuan Ungaran. Trans Semarang ngga kalah dengan Trans Jakarta hanya ukuran busnya lebih kecil, harga ongkosnya pun sama, Rp. 3,500. Trans Semarang mengantar gue sampai Ungaran, dan tiba di sana gue kembali menaiki bus Putra Palagan tujuan Ambarawa. Kali ini busnya tidak dilengkapi dengan AC, jadi serasa naik metro mini atau Kopaja versi Jakarta. Ongkosnya Rp. 8,500, perjalanan ditempuh sekitar 1 jam dan gue pun tiba di terminal Ambarawa. Jalan masuk menuju lokasi letaknya di seberang terminal. Dari terminal gue menyambung angkutan umum untuk tiba di Gua Maria Kerep Ambarawa dengan ongkos Rp. 2,000 saja.

Di lokasi ini pengunjung dapat melakukan ritual ziarah serta jalan Salib. Tempatnya memberikan rasa teduh, tenang dan damai tersendiri untuk gue. Masih di komplek yang sama terdapat taman luas yang sangat hijau dan indah dengan nama yang diambil dari Injil. Ada taman Galilea, Sungai Jordan, dan lain sebagainya. Ada juga patung - patung indah yang menggambarkan beberapa kisah Injil, seperti Mujizat di Kana, Mujizat 5 roti dan 2 ikan, serta pembabtisan Yesus.

 
 
 
 
 

Dari Gua Maria Kerep, karena lama menunggu angkutan umum yang akan membawa gue kembali ke arah terminal, gue pun berjalan kaki. Kali ini tujuannya sampai ke museum Palagan Ambarawa. Tiket masuknya Rp, 5,000 dan sebenarnya ngga banyak hal yang disajikan disini selain Monumen Palagan Ambarawa yang sepertinya sudah gue kenal sejak jaman duduk di bangku Sekolah Dasar, dan barang - barang peninggalan pemerintahan Jepang dan Belanda seperti pesawat, tank, dan lain sebagainya, yang kondisinya sudah sangat tua.

Puas di Museum Palagan Ambarawa, gue pun meninggalkan lokasi. Kali ini menuju target berikutnya, Museum Kereta Api Ambarawa. Dari jalan utama, saking bersemangatnya gue berjalan kaki menuju Museum. Tiba di sana gue cuma bisa menelan kekecewaan karena ternyata museum ditutup sementara karena sedang direnovasi. Rasa kecewa bikin rasa lelah gue yang baru berjalan cukup jauh menuju lokasi semakin menjadi. Namun, ngga mau berlama - lama hanyut meratapi nasib naas gue yang ngga bisa menikmati museum, gue pun melanjutkan perjalanan. Tujuan terakhir adalah Gedong Songo yang ada di Bandungan.

 
 

Dari jalan utama Ambarawa gue naik minibus tujuan Gedong Songo. Jarak tempuhnya mungkin ngga jauh, namun karena medan yang dilalui sangat menantang, kadang menanjak, turun, menikung tajam, jadilah perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit, dengan ongkos Rp. 5,000. Gue berhenti di sebuah SPBU yang berseberangan dengan jalan masuk candi Gedong Songo. Dari SPBU gue naik ojek dengan ongkos Rp. 12,500 untuk menuju pintu masuk Gedong Songo.

Sejak awal gue ngga mempunyai gambaran apapun mengenai candi ini. Begitu tiba di pintu masuk gue takjub sekaligus langsung merasa lelah. Gue ngga melihat jajaran candi yang dimaksud, namun justru area pegunungan. Di mana candinya ? Di saat itu gue baru tahu bahwa kelima candi terletak menyebar di lereng gunung Ungaran. Jadi gue harus berjalan menyisiri area seluas ini ? Dengan sendal Crocs yang pastinya akan sukses membuat kaki gue lecet dengan segera ?

Gue pun menuju candi pertama. Di saat itu gue belum melihat keberadaan candi - candi lainnya. Setelah dari candi pertama, yang ingin gue lakukan adalah beristirahat sejenak di tanah datar. Gue menyewa tikar seharga Rp. 5,000 dan merebahkan tubuh lelah ini. Di saat itu pikiran gue bergejolak...apakah gue akan melanjutkan perjalanan ? Gue ragu karena rasa letih sudah menyerbu, ditambah perut yang meronta - ronta karena belum sempat makan siang. Sejak dari Gua Maria Kerep, yang mengisi perut gue hanyalah kue lekker yang gue beli beberapa kali. Cukup untuk membuat mulut gue sibuk mengunyah, namun jelas ngga mengenyangkan. Dan sekarang gue mempunyai misi luar biasa untuk mengeksplorasi sebuah gunung dan mencari candi.

Dengan langkah tertatih - tatih gue menuju candi kedua. Kali ini rintangannya lebih berat. Selain karena gue harus melalui jalan menanjak tajam, hal utama yang membuat langkah ini terasa berat karena gue udah mulai ragu dan kehilangan minat untuk melanjutkan perjalanan. Sebenarnya gue agak heran dengan kondisi gue saat itu. Mungkin karena sejak awal gue ngga menyangka dan menyiapkan diri baik secara fisik maupun mental untuk hal - hal yang terlalu melelahkan seperti ini.

Namun, menyerah bukan pilihan. Jadi gue memutuskan untuk menempuh jalan setapak di antara rindangnya pohon pinus dan dinginnya udara pegunungan untuk mencapai semua candi. Awalnya sangat berat, namun ngga beberapa lama kemudian gue justru bersemangat. Gue sempat menyesal ngga menggunakan jasa kuda yang banyak disewakan, namun gue yakin dengan hasrat dan kemampuan gue berjalan yang luar biasa, ini akan menjadi perjalanan yang seru dan menyenangkan.

Akhirnya gue berhasil mencapai semua area candi termasuk melewati tempat pemandian air panas. Kepuasannya selain datang dari keindahan alam yang menakjubkan yang bisa gue nikmati, juga karena gue mampu melawan rasa malas dan ragu yang sempat gue rasakan.Smiley

 
 
 
 
 
 
 
 
 

Gue mencari arah pulang. Seharusnya gue bisa menggunakan bus langsung tujuan Bandungan - Semarang. Namun karena setelah menunggu beberapa lama bus tersebut ngga kunjung datang, gue mengambil arah yang sama ketika gue datang ke sini, melalui Ambarawa. Sore itu jalan utama Ambarawa macet total. Meskipun supir bus Putra Palagan yang gue tumpangi sangat berinisiatif mencari jalan alternatif menghindari macet, namun akhirnya perjalanan tersebut memakan waktu hingga 2.5 jam. Gue tiba di Ungaran saat langit mulai gelap.

Berhubung perjalanan masih jauh, gue memutuskan untuk singgah di rumah makan soto Bangkong untuk makan. Entah apa namanya ini...mungkin kombinasi antara makan siang dan makan malam. Dari situ gue berjalan kaki menuju halte Trans Semarang. Bus ini pun mengantarkan gue kembali ke Semarang.

Tiba di Semarang, gue bukannya langsung kembali ke hostel, melainkan menuju Jalan Pandanaran. Setelah berjalan kaki sejenak di sana, gue pun melanjutkan perjalanan ke Simpang Lima. Kali ini untuk menikmati warung lesehan di seberang Citraland. Di situ gue hanya menikmati wedang ronde dengan ekstra kolang kaling, dan es teh manis.

Malam ini gue pengen makan malam di Jalan Gajah Mada lagi, namun kali ini gue pengen makan sate. Semalam saat perjalanan pulang menuju hostel gue melihat jajaran penjual sate Madura di sepanjang jalan Gajah Mada yang berakhir di toko Ace Hardware. Gue pun memilih singgah di Sate Ayam Madura Pak Tayu. Harganya sangat terjangkau, Rp. 13,000 per 10 tusuk sate.

Kali ini perut gue udah terisi penuh, dan gue langsung mengambil langkah pulang ke hostel. Gue senang dan puas dengan perjalanan kali ini. Dari pagi hingga larut malam gue disuguhi wisata yang sangat bervariasi. Semuanya memberikan kesan mendalam, termasuk Museum Kereta Api Ambarawa. Kesan mendalam karena perjalanan jauh ke sana disambut dengan pintu pagar yang ditutup dan digembok Smiley.

Tiba di Imam Bonjol Hostel, gue membersihkan diri dan beristirahat, bersiap - siap untuk perjalanan pulang besok pagi.

Semarang memberikan liburan yang sangat menyenangkan dan tak terlupakan. Sejujurnya, di awal gue ngga mengharapkan banyak hal dari kota ini, karena gue ngga mengenalnya. Ternyata kota ini menawarkan wisata yang beragam mulai dari kuliner, religi, alam, dan tempat bersejarah. Terlebih, dengan kondisinya, kota ini memberikan rasa relaks, tenang dan damai buat gue. Saat tiba hari Jumat yang lalu, kota ini adalah tempat yang asing buat gue. Namun sekarang, ini adalah salah satu kota favorit gue, dan gue akan sangat senang dan bersyukur jika kelak berkesempatan untuk singgah lagi di sini.