I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Thursday, July 25, 2013

Pilih 'Refund', 'Credit Shell', atau 'Reschedule' ?

Hari Sabtu (27 Juli 2013) nanti seharusnya gue berangkat ke Kuala Lumpur untuk kesekian kalinya, karena gue mempunyai 'tabungan' tiket promo. Ini sebenarnya stok tiket terbang terakhir gue di tahun ini. Namun kali ini gue memutuskan untuk tidak menggunakannya alias tidak jadi berangkat ke Kuala Lumpur. 

Selama karir gue sebagai pemburu tiket promo Air Asia beberapa tahun terakhir, sebenarnya bukan kali ini saja gue membatalkan tiket penerbangan gue. Tahun 2010 gue batal berangkat ke Singapura dan Bali karena baru pindah kerja. Tahun 2012 tiket Yogyakarta melayang sia - sia karena saat itu ngga memungkinkan bagi gue untuk cuti. Yang terparah adalah di bulan Maret tahun ini dimana gue melewatkan kesempatan terbang ke Kuala Lumpur - Chiang Mai. Alasannya karena saat itu gue menjadi panitia event penting di kantor.

Selama ini gue cukup mengacuhkan status tiket - tiket yang sudah gue beli itu. Hal itu gue lakukan selain karena tiket - tiket tersebut adalah tiket promo dengan harga sangat murah. Di sisi lain, gue juga berasumsi bahwa semua tiket tersebut ngga refundable karena merupakan tiket promo.

Namun untuk tiket Kuala Lumpur kali ini, gue tergelitik untuk memperjuangkan proses pengembalian uangnya alias refund. Gue suka penasaran untuk melakukan sesuatu yang baru. Jadi, mulai hari Senin (22 Juli) yang lalu gue menelepon Call Center Air Asia (021 29270999) untuk menanyakan perihal status tiket gue yang senilai Rp. 300,000 itu.

Petugas call center mengatakan prosedur refund maupun credit shell bisa diberlakukan bagi tiket promo, hanya untuk keadaan sangat darurat dan tak terhindarkan. Misalnya, calon penumpang sakit keras sehingga tidak memungkinkan bepergian, atau meninggal dunia. Saat petugas menanyakan alasan gue, dengan tergagap - gagap gue menjawab," Saya ngga punya jatah cuti.." Dalan hati gue merasa bodoh karena kurang cerdas mencari alasan yang 'menjual'.

Kemudian si petugas mengatakan informasi penting lainnya. Proses refund maupun credit shell dapat juga dilakukan terhadap tiket promo yang pernah di-retime oleh Air Asia. Maksudnya, setelah pembelian tiket, pihak Air Asia pernah melakukan perubahan jadwal penerbangan, baik tanggal maupun jam keberangkatan. Sepertinya pasal yang ini cukup menjanjikan buat gue. Gue pun minta tolong ke petugas untuk mengecek status tiket gue ini sejak dibeli. Kabar gembira pun terdengar, Air Asia pernah me-retime tiket gue, yang berarti gue berhak untuk mendapatkan refund atau credit shell. Gue memang sering menerima pemberitahuan baik melalui SMS maupun email, mengenai perubahan jadwal penerbangan. Tapi biasanya gue acuhkan begitu saja. Alasan pertama, gue selalu cuek dengan jadwal penerbangan sampai detik - detik terakhir menjelang hari H. Kedua, gue selalu cuti di hari penerbangan gue, jadi perubahan waktu / jam tidak akan berpengaruh banyak. Ketiga, sejauh pengalaman gue Air Asia belum pernah merubah tanggal penerbangan, jadi dampaknya tidak besar.

Refund berarti pengembalian total pembayaran tiket, ke kartu kredit (dan kartu debit) yang digunakan saat pembayaran tiket. Credit Shell berarti pengembalian pembayaran tiket dijadikan deposit di akun Air Asia si penumpang, yang dapat digunakan untuk pembelian tiket berikutnya. Namun deposit ini harus digunakan untuk 'berbelanja' dalam waktu 3 bulan sejak proses claim, apabila tidak, deposit akan otomatis hangus. 3 bulan yang dimaksud, adalah masa untuk pembelian tiket, bukan jadwal terbang. Jadwal terbangnya sendiri bisa melewati masa 3 bulan tersebut.

Satu option lagi, masih hubungannya dengan jadwal penerbangan yang di-retime oleh Air Asia, ternyata gue berhak untuk mengganti jadwal penerbangan (dengan tujuan dan nama penumpang sama, tentunya), dengan catatan jadwal yang dipilih maksimal 14 hari sebelum atau setelah tanggal penerbangan awal. Misalnya, tiket Jakarta - Kuala Lumpur gue adalah 27 Juli 2013, berarti gue bisa mengganti jadwal keberangkatan ke tanggal mana pun antara tanggal 14 Juli - 09 Agustus 2013. Begitu juga dengan jadwal kepulangan gue, yaitu Kuala Lumpur - Jakarta yang tanggal awalnya adalah 29 Juli. Dengan option ini, gue boleh memilih tanggal kepulangan antara tanggal 16 Juli - 11 Agustus. Perubahan ini tidak akan membebankan penumpang dengan biaya tambahan apapun.

Pilihan terakhir ini sebenarnya menarik sekali. Karena dengan begitu gue memiliki kesempatan untuk berlibur ke Kuala Lumpur bahkan di saat libur panjang Lebaran. Namun lagi - lagi gue urungkan niat untuk melancong ke Kuala Lumpur saat ini, karena beberapa pertimbangan. Gue pun memutuskan untuk memilih option Refund. Menurut petugas, permohonan gue akan diajukan dan diproses terlebih dahulu.

Kemarin (Rabu, 24 Juli) gue kembali menghubungi Call Center Air Asia, dan mendapat konfirmasi bahwa permohonan refund gue sudah dikabulkan dan prosesnya akan selesai dalam 14 hari (lupa nanya, 14 hari kerja atau bukan). Lega dan puas. Bukan karena nilainya, tapi karena usaha gue mencari tahu dan memprosesnya sesuai dengan prosedur yang berlaku, berhasil.


Bukan karena gue pelanggan setia Air Asia atau karena pernah mendapatkan hadiah perjalanan gratis dari maskapai ini, tapi menurut gue kebijakan yang mereka berlakukan sangatlah adil. Saat mereka melakukan perubahan jadwal penerbangan sepihak, mereka masih menghargai hak konsumen dengan memberikan beberapa pilihan lainnya, dengan prosedur yang mudah dan tidak berbelit - belit. Well done, AA !

Wednesday, July 24, 2013

A.B.A (Anggaran Belanja Anjing)

Belakangan ini keinginan gue untuk memiliki anjing lagi kembali muncul. Alasannya supaya si tua Bruncuz mempunyai partner. Kasihan dia, selalu sendirian di halaman belakang, seakan - akan tujuan hidupnya sehari - hari hanya menanti kepulangan gue dari kantor.

Beberapa waktu yang lalu gue survey ke tempat penjualan anjing di kawasan Menteng. Banyak anak - anak anjing dijual di sana dengan harga mulai dari Rp. 100,000. Terjangkau, namun sampai sekarang gue belum memutuskan untuk membeli, karena kayaknya bertentangan dengan kata hati gue. Di saat banyak anjing tak bertuan atau disingkirkan oleh pemiliknya memenuhi shelter - shelter, rasanya lebih baik gue membantu dengan mengadopsi salah satunya. Tapi tahun lalu saat gue mencoba untuk mengadopsi, ada pengalaman yang bikin gue ngga sreg.

Banyak banget pertimbangan yang harus gue lalui untuk memiliki anjing lagi. Gue harus bisa menyisihkan baik hal material maupun non material untuk menjalankan tanggung jawab itu. Sejak kecil, gue dibiasakan untuk memiliki anjing dengan susah payah, terlebih karena Mama bukanlah penggemar anjing. Selalu ada pertentangan dan perdebatan saat membahas mengenai anjing. Karena itu pertimbangan gue harus benar - benar matang. Anjing bukanlah boneka tak bernyawa yang bisa dibuang kapan pun gue bosan atau tidak sanggup merawatnya.

Gue pernah membaca sebuah artikel mengenai anjing. Artikel itu membahas persyaratan apa saja yang harus dipenuhi seseorang agar bisa memiliki anjing. Beberapa dari antaranya, terlebih dari sudut materi, si pemilik anjing harus mempunyai rumah sendiri dengan lahan yang cukup luas, harus bekerja/berpenghasilan, harus sanggup membiayai kebutuhan anjing termasuk vaksin dan vitamin secara rutin.

Beberapa waktu yang lalu, saat sedang ngobrol dengan Ony mengenai kegundahgulanaan gue yang sangat pengen mengadopsi anjing namun masih ragu, masalah materi ini pun dibahas. Selama ini gue sadar bahwa merawat anjing tidaklah murah. Namun gue belum pernah melihat angka pasti biayanya. Iseng - iseng gue membuat daftar kebutuhan Bruncuz dan menghitung biayanya, sbb :



Daftar di atas belum termasuk biaya lain - lain seperti :
  1. Transportasi untuk membawa Bruncuz ke klinik hewan
  2. Biaya tambahan untuk makanan seperti gas dan nasi
  3. Biaya pembuatan rumah. Proyek rumah Bruncuz di halaman rumah memakan biaya antara Rp. 500,000 - 800,000, yang mencakup biaya bahan bangunan dan tukang yang mengerjakan. Maklum, Bruncuz bukanlah hewan peliharaan yang tinggal di dalam rumah. Jadi Mama dan Bapak membuatkan rumah permanen untuknya.
  4. Harness, tali / kalung dan aksesoris lainnya (sisir, dll). Terakhir gue membeli harness & tali seharga kurang lebih Rp. 300,000, karena gue pengen Bruncuz tetap nyaman setiap jalan pagi. Bruncuz harus memiliki paling tidak 1 (satu) harness & tali untuk berjalan - jalan, dan 1 (satu) rantai dan talinya untuk mandi.
  5. dll
Sekonyong - konyong gue bersyukur karena Bruncuz 'hanyalah' anjing lokal, jadi perawatan mandi dan kesehatannya sangat mudah. Gue sendiri yang memandikan Bruncuz, bukan pet shop atau pihak lainnya. Soal kesehatan, thanks God, sejauh ini kondisi Bruncuz fit dan prima. Untuk anjing ras, pasti biaya perawatannya bisa berlipat - lipat dari itu.

Hmm...kira - kira apa yang bisa gue dapatkan dengan Rp. 2,8 juta per tahun ? Jalan - jalan ke 2 (dua) negara tetangga sekaligus dalam waktu 7-10 hari....atau paling tidak sebuah logam mulia 24 karat seberat 5 gram. Tapi, sesosok sahabat terbaik yang paling tulus dan menggemaskan seperti Bruncuz adalah hal yang paling tepat dan gue perlukan.

Komitmen. Memiliki seekor anjing berarti gue harus berkomitmen untuk bertanggung jawab merawat anggota baru dalam hidup gue, selama 10 - 15 tahun ke depan. Jika saat ini gue mempunyai seekor anjing dengan biaya hidup sekitar Rp. 2,8 juta per tahun, berarti jika ingin menambah anjing lainnya gue harus menyiapkan dana sekitar Rp. 5,6 juta per tahun....untuk 10 - 15 tahun ke depan. Apa yang perlu gue korbankan untuk bisa mengalokasi dana untuk memelihara anjing tambahan ? Mengurangi jadwal liburan ? Atau mengurangi pengeluaran belanja dan tabungan pribadi gue ? Sejujurnya, masih sebuah pertimbangan yang berat. Belum lagi, daftar biaya di atas mungkin hanya sebagian dari apa yang menjadi kebutuhan anjing...belum termasuk hal - hal tak terhitung lainnya...soal tenaga, perhatian, waktu, konsistensi, dan lain sebagainya.

Jadi sepertinya, gue harus memikirkan lagi dan lagi sebelum mengadopsi seekor anjing lainnya, yang berarti Bruncuz harus menunggu dahulu untuk mendapatkan sahabat baru.

Anjing bukanlah sahabat yang materialistis, namun benar adanya, memelihara anjing memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Friday, July 05, 2013

Semarak Semarang

Gue membeli tiket Jakarta - Semarang pulang pergi saat Air Asia promo launching destinasi ini. Harga tiketnya keterlaluan...hanya Rp. 5,000 saja Smiley. Total biaya kartu kredit dan lainnya jadilah Rp. 65,000 pulang pergi. Mengenai kota tujuannya sendiri, walaupun gue nyaris ngga mengenal Semarang sama sekali, itu ngga jadi masalah. Karena pada dasarnya gue senang untuk mengunjungi dan berpetualang di tempat baru. Paling ngga, gue bisa refreshing dan melepaskan jenuh dari rutinitas, di tempat yang jauh dari Jakarta.

Awal Juni 2013 Air Asia mengumumkan bahwa rute yang baru dibukanya ini akan ditutup mulai 1 Juli 2013. Dari beberapa opsi yang ditawarkan kepada para pembeli tiket, gue memilih untuk mengganti jadwal penerbangan. Jadilah yang rencana awalnya gue akan terbang di bulan September 2013, dimajukan menjadi 28 - 30 Juni 2013. Singkat, karena sisa cuti gue emang ngga banyak, dan gue harus menyisakan cukup jatah cuti sepanjang tahun 2013, demi kaki gue yang doyan berpetualang ini.


Jumat, 28 Juni 2013

Pesawat Air Asia mendarat di Bandara Internasional Ahmad Yani sekitar jam 7 pagi. Tujuan pertama dari bandara adalah Museum Lawang Sewu, dengan menggunakan taksi yang ongkosnya Rp. 40,000. Menurut gue cukup mahal untuk jarak sedekat itu, namun apa boleh buat, karena penumpang harus menggunakan taksi yang ditunjuk oleh pihak Bandara. Dan ongkos taksi bukan dihitung berdasarkan argo, melainkan sudah ditentukan di awal saat mengantri taksi.

Gue tiba di Lawang Sewu dan membayar Rp. 10,000 untuk tiket masuknya. Sebagai salah satu dari sedikit pengunjung museum di pagi itu, gue leluasa menjelajah setiap ruangan. Pusat kekaguman gue terletak pada setiap bangunan - bangunan serta ruanganya yang tua, kuno namun tetap kokoh, bukan apa yang dipamerkan di dalam museum.

 
 
 
 
 
 
 
 
 

Kemudian gue melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bus umum jurusan Johar menuju Kota Lama. Tujuan berikutnya adalah ke Gereja GPIB Immanuel yang lebih dikenal sebagai Gereja Blenduk. Tiba di sana, sayangnya gue cuma bisa menikmati keindahan dan kemegahan gereja dari luar, karena pagarnya terkunci. Bangunannya mirip gereja GPIB Immanuel yang ada ada di Gambir, Jakarta.

 
Tepat di seberang Gereja Blenduk, secara kebetulan gue melihat Rumah Makan Sate dan Gulai Kambing 29, Semarang. Rumah makan ini adalah salah satu target gue selama di Semarang ini. Sebelum berangkat ke Semarang gue sempat browsing untuk mencari informasi mengenai tempat - tempat yang harus didatangi, dan rumah makan ini adalah salah satunya. Kebetulan gue penyuka sate dan saat itu perut sudah mulai protes kelaparan, maka gue pun singgah untuk sarapan menjelang makan siang. Harganya, menurut gue, cukup mahal. Satu porsi sate kambing Rp. 40,000 / 10 tusuk, ditambah sepiring nasi seharga Rp. 5,000. Ditambah lagi dengan es teh manis Rp. 2,500 per gelas, itu adalah salah satu sarapan siang gue yang termahal sepanjang sejarah Smiley !
.


Dengan perut kenyang, gue sempat berjalan kaki sekedar untuk memuaskan kedua mata gue mengagumi bangunan - bangunan kuno yang ada di komplek Kota Lama. Setelah itu gue menuju Klenteng Tay Kak Sie yang terletak di Gang Lombok. Menurut gue di area klenteng ini ada empat hal yang bisa dinikmati pengunjung : klenteng itu sendiri, patung Laksamana Cheng Ho, replikasi kapal Cheng Ho yang letaknya berhadapan dengan Klenteng, terakhir, kedai lunpia Gang Lombok No. 11 yang letaknya nyaris menempel dengan bangunan Klenteng. Menurut hasil browsing gue, kedai ini juga salah satu yang wajib dikunjungi. Jadi, meskipun masih kenyang, gue menyisakan sedikit ruang di lambung untuk menikmati lunpia goreng, seharga Rp. 12,000.

 
 
 
 
 
 

Dari gang Lombok gue berjalan beberapa jauh, ke arah Bank Mandiri, setelah itu melanjutkan perjalanan dengan becak menuju Imam Bonjol Hostel di Jalan Imam Bonjol. Ongkosnya Rp. 15,000. Salah satu hal yang membuat gue merasa nyaman dengan kota Semarang yang tenang dan bersahaja ini adalah ongkos transportasinya yang cenderung murah. Untuk jarak sejauh apapun, ongkos becak yang harus gue keluarkan belum pernah melebihi Rp. 15,000.


 
 
Gue tiba di Imam Bonjol Hostel hampir tengah hari. Hostel ini gue booking melalui Agoda. Harga kamarnya adalah Rp. 110,000 per malam. Menurut konfirmasi Agoda, dengan harga tersebut gue akan mendapatkan single room dengan fan. Begitu melihat kamarnya, gue berdecak kagum dengan girangnya. Kamarnya luas, bersih, dan.....ada AC !! Ditambah lagi dengan kasur empuk, 3 bantal dan 2 selimut. Ini adalah kemewahan tingkat tinggi untuk gue. 

Hostelnya bersih, nyaman dan aman. Walaupun harus berbagi kamar mandi, tetapi kamar mandi yang tersedia cukup banyak dan bersih. Fasilitas lainnya, wifi dengan kecepatan tinggi dan security door. Jadi, pintu hanya bisa diakses oleh tamu yang sudah dibekali dengan kunci khusus.

Dari segi lokasi, hostelnya juga sangat strategis. Letaknya di jalan Imam Bonjol yang jaraknya dengan Lawang Sewu dapat ditempuh dengan berjalan kaki.

Walaupun belum puas beristirahat di kasur gue yang empuk, tapi gue ngga mau menyianyiakan waktu. Tujuan berikutnya adalah Klenteng Sam Poo Kong yang merupakan klenteng tertua di Semarang. Keluar dari Jalan Imam Bonjol gue menyeberang persimpangan menuju Jalan Mgr. Sugiopranoto, dan naik becak ke klenteng ini dengan ongkos Rp. 15,000. Tiket masuknya Rp. 3,000 dan pengunjung disuguhi dengan area klenteng yang sangat luas terdiri dari 5 bangunan klenteng. Pesona klenteng ini ditambah lagi dengan patung Laksamana Cheng Ho ukuran raksasa yang berdiri tegak di depan klenteng Sam Poo Kong. Untuk memasuki jajaran Klenteng Sam Poo Kong, Klenteng Juru Mudi dan klenteng lainnya, pengunjung harus membayar lagi Rp. 20,000. Selain itu, pengunjung juga dapat menikmati foto kostum dengan membayar ekstra Rp. 80,000.

 
 
 
 
 
 
 
 
 

Dari Sam Poo Kong, gue naik taksi Blue Bird menuju Jalan Pandanaran. Akhirnya gue memilih taksi berhubung ngga menemukan alternatif kendaraan umum lainnya, termasuk becak. Ongkosnya sekitar Rp. 25,000, dan gue tiba di Jalan Pandanaran yang bagaikan pusat pembelian oleh - oleh khas Semarang. Gue melintasi setiap tokoh oleh - oleh. Saat itu sepanjang jalan Pandanaran dipadati para turis lokal Semarang, jadi suasananya terasa menyenangkan. Gue masuk ke pusat oleh - oleh Bandeng Juwana. Di sini gue membeli bandeng duri lunak 1 kg (seharga Rp. 81,000) dan beberapa oleh - oleh lain untuk Mama, yang langsung gue kirimkan dengan paket bertarif Rp. 10,000 per kilogram. Pihak toko Juwana yang mengurus semuanya, dan mereka akan mengirimkan paket oleh - oleh gue besok dengan produk - produk paling baru. Paket akan tiba di rumah gue sehari setelahnya. Walaupun tarif pengirimannya relatif lebih mahal dibandingkan harga bagasi yang Rp. 40,000 per 15 kg (saat itu total paket oleh - oleh gue 6 kg, total biaya kirim Rp. 60,000). Tapi paling tidak gue ngga akan direpotkan dengan urusan menjinjing kardus, antri check in bagasi, dan lain sebagainya.

Puas dengan oleh - oleh, gue menyeberang jalan dan naik angkutan umum menuju Simpang Lima. Jaraknya dekat, dengan ongkos Rp. 2,500.

Lapangan Simpang Lima letaknya sangat strategis, diapit oleh bangunan - bangunan modern yang didominasi oleh pusat - pusat perbelanjaan. Berhubung sudah sore, gue ngga berlama - lama di kawasan ini, karena gue siap mencari tujuan berikutnya, Kedai Tahu Pong di Jalan Gajah Mada. Lagi - lagi hasil browsing, ada kedai Tahu Pong di Jalan Gajah Mada No. 63 yang jadi rekomendasi. Awalnya dari Simpang Lima, dengan gagah berani gue memutuskan untuk berjalan kaki Smiley mencari kedai ini. Menyenangkan sebenarnya....sambil menikmati Semarang yang bersiap - siap menyambut malam. Tapi karena mulai lelah, lapar dan pegal gue pun naik angkutan umum. Gue pun tiba di kedai Tahu Pong Semarang Gajah Mada dan menikmati seporsi tahu pong gimbal dan segelas es teh manis, total harganya sekitar Rp. 25,000.

Dengan perut kenyang, gue berjalan terseok - seok mencari arah pulang ke hostel. Dengan naik becak, yang lagi - lagi ongkosnya Rp. 15,000, gue tiba di hostel.

Petualangan hari ini rasanya benar - benar maksimal. Dalam sehari ini aja Semarang sudah memberikan banyak hal buat gue, mulai dari wisata museum, tempat bersejarah, sampai kuliner. Jauh melampaui harapan gue yang ngga mengenal Semarang sama sekali.

Sabtu, 29 Juni 2013

Gue memasang alarm di handphone agar bisa bangun jam 5 pagi. Rencana hari ini akan lebih padat dengan tujuan keluar dari kota Semarang yaitu ke Ambarawa. Di sana gue mau mengunjungi Gue Maria Kerep, Museum Kereta, Palagan Ambarawa, Gedong Songo, dan syukur - syukur kalau bisa mampir ke Museum Muri.

Dari hostel gue berjalan kaki sampai ke penghujung Jalan Imam Bonjol arah Lawang Sewu, kemudian mengambil arah Jalan Pemuda. Gue menyeberang jalan dan mencari halte Trans Semarang tujuan Ungaran. Trans Semarang ngga kalah dengan Trans Jakarta hanya ukuran busnya lebih kecil, harga ongkosnya pun sama, Rp. 3,500. Trans Semarang mengantar gue sampai Ungaran, dan tiba di sana gue kembali menaiki bus Putra Palagan tujuan Ambarawa. Kali ini busnya tidak dilengkapi dengan AC, jadi serasa naik metro mini atau Kopaja versi Jakarta. Ongkosnya Rp. 8,500, perjalanan ditempuh sekitar 1 jam dan gue pun tiba di terminal Ambarawa. Jalan masuk menuju lokasi letaknya di seberang terminal. Dari terminal gue menyambung angkutan umum untuk tiba di Gua Maria Kerep Ambarawa dengan ongkos Rp. 2,000 saja.

Di lokasi ini pengunjung dapat melakukan ritual ziarah serta jalan Salib. Tempatnya memberikan rasa teduh, tenang dan damai tersendiri untuk gue. Masih di komplek yang sama terdapat taman luas yang sangat hijau dan indah dengan nama yang diambil dari Injil. Ada taman Galilea, Sungai Jordan, dan lain sebagainya. Ada juga patung - patung indah yang menggambarkan beberapa kisah Injil, seperti Mujizat di Kana, Mujizat 5 roti dan 2 ikan, serta pembabtisan Yesus.

 
 
 
 
 

Dari Gua Maria Kerep, karena lama menunggu angkutan umum yang akan membawa gue kembali ke arah terminal, gue pun berjalan kaki. Kali ini tujuannya sampai ke museum Palagan Ambarawa. Tiket masuknya Rp, 5,000 dan sebenarnya ngga banyak hal yang disajikan disini selain Monumen Palagan Ambarawa yang sepertinya sudah gue kenal sejak jaman duduk di bangku Sekolah Dasar, dan barang - barang peninggalan pemerintahan Jepang dan Belanda seperti pesawat, tank, dan lain sebagainya, yang kondisinya sudah sangat tua.

Puas di Museum Palagan Ambarawa, gue pun meninggalkan lokasi. Kali ini menuju target berikutnya, Museum Kereta Api Ambarawa. Dari jalan utama, saking bersemangatnya gue berjalan kaki menuju Museum. Tiba di sana gue cuma bisa menelan kekecewaan karena ternyata museum ditutup sementara karena sedang direnovasi. Rasa kecewa bikin rasa lelah gue yang baru berjalan cukup jauh menuju lokasi semakin menjadi. Namun, ngga mau berlama - lama hanyut meratapi nasib naas gue yang ngga bisa menikmati museum, gue pun melanjutkan perjalanan. Tujuan terakhir adalah Gedong Songo yang ada di Bandungan.

 
 

Dari jalan utama Ambarawa gue naik minibus tujuan Gedong Songo. Jarak tempuhnya mungkin ngga jauh, namun karena medan yang dilalui sangat menantang, kadang menanjak, turun, menikung tajam, jadilah perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit, dengan ongkos Rp. 5,000. Gue berhenti di sebuah SPBU yang berseberangan dengan jalan masuk candi Gedong Songo. Dari SPBU gue naik ojek dengan ongkos Rp. 12,500 untuk menuju pintu masuk Gedong Songo.

Sejak awal gue ngga mempunyai gambaran apapun mengenai candi ini. Begitu tiba di pintu masuk gue takjub sekaligus langsung merasa lelah. Gue ngga melihat jajaran candi yang dimaksud, namun justru area pegunungan. Di mana candinya ? Di saat itu gue baru tahu bahwa kelima candi terletak menyebar di lereng gunung Ungaran. Jadi gue harus berjalan menyisiri area seluas ini ? Dengan sendal Crocs yang pastinya akan sukses membuat kaki gue lecet dengan segera ?

Gue pun menuju candi pertama. Di saat itu gue belum melihat keberadaan candi - candi lainnya. Setelah dari candi pertama, yang ingin gue lakukan adalah beristirahat sejenak di tanah datar. Gue menyewa tikar seharga Rp. 5,000 dan merebahkan tubuh lelah ini. Di saat itu pikiran gue bergejolak...apakah gue akan melanjutkan perjalanan ? Gue ragu karena rasa letih sudah menyerbu, ditambah perut yang meronta - ronta karena belum sempat makan siang. Sejak dari Gua Maria Kerep, yang mengisi perut gue hanyalah kue lekker yang gue beli beberapa kali. Cukup untuk membuat mulut gue sibuk mengunyah, namun jelas ngga mengenyangkan. Dan sekarang gue mempunyai misi luar biasa untuk mengeksplorasi sebuah gunung dan mencari candi.

Dengan langkah tertatih - tatih gue menuju candi kedua. Kali ini rintangannya lebih berat. Selain karena gue harus melalui jalan menanjak tajam, hal utama yang membuat langkah ini terasa berat karena gue udah mulai ragu dan kehilangan minat untuk melanjutkan perjalanan. Sebenarnya gue agak heran dengan kondisi gue saat itu. Mungkin karena sejak awal gue ngga menyangka dan menyiapkan diri baik secara fisik maupun mental untuk hal - hal yang terlalu melelahkan seperti ini.

Namun, menyerah bukan pilihan. Jadi gue memutuskan untuk menempuh jalan setapak di antara rindangnya pohon pinus dan dinginnya udara pegunungan untuk mencapai semua candi. Awalnya sangat berat, namun ngga beberapa lama kemudian gue justru bersemangat. Gue sempat menyesal ngga menggunakan jasa kuda yang banyak disewakan, namun gue yakin dengan hasrat dan kemampuan gue berjalan yang luar biasa, ini akan menjadi perjalanan yang seru dan menyenangkan.

Akhirnya gue berhasil mencapai semua area candi termasuk melewati tempat pemandian air panas. Kepuasannya selain datang dari keindahan alam yang menakjubkan yang bisa gue nikmati, juga karena gue mampu melawan rasa malas dan ragu yang sempat gue rasakan.Smiley

 
 
 
 
 
 
 
 
 

Gue mencari arah pulang. Seharusnya gue bisa menggunakan bus langsung tujuan Bandungan - Semarang. Namun karena setelah menunggu beberapa lama bus tersebut ngga kunjung datang, gue mengambil arah yang sama ketika gue datang ke sini, melalui Ambarawa. Sore itu jalan utama Ambarawa macet total. Meskipun supir bus Putra Palagan yang gue tumpangi sangat berinisiatif mencari jalan alternatif menghindari macet, namun akhirnya perjalanan tersebut memakan waktu hingga 2.5 jam. Gue tiba di Ungaran saat langit mulai gelap.

Berhubung perjalanan masih jauh, gue memutuskan untuk singgah di rumah makan soto Bangkong untuk makan. Entah apa namanya ini...mungkin kombinasi antara makan siang dan makan malam. Dari situ gue berjalan kaki menuju halte Trans Semarang. Bus ini pun mengantarkan gue kembali ke Semarang.

Tiba di Semarang, gue bukannya langsung kembali ke hostel, melainkan menuju Jalan Pandanaran. Setelah berjalan kaki sejenak di sana, gue pun melanjutkan perjalanan ke Simpang Lima. Kali ini untuk menikmati warung lesehan di seberang Citraland. Di situ gue hanya menikmati wedang ronde dengan ekstra kolang kaling, dan es teh manis.

Malam ini gue pengen makan malam di Jalan Gajah Mada lagi, namun kali ini gue pengen makan sate. Semalam saat perjalanan pulang menuju hostel gue melihat jajaran penjual sate Madura di sepanjang jalan Gajah Mada yang berakhir di toko Ace Hardware. Gue pun memilih singgah di Sate Ayam Madura Pak Tayu. Harganya sangat terjangkau, Rp. 13,000 per 10 tusuk sate.

Kali ini perut gue udah terisi penuh, dan gue langsung mengambil langkah pulang ke hostel. Gue senang dan puas dengan perjalanan kali ini. Dari pagi hingga larut malam gue disuguhi wisata yang sangat bervariasi. Semuanya memberikan kesan mendalam, termasuk Museum Kereta Api Ambarawa. Kesan mendalam karena perjalanan jauh ke sana disambut dengan pintu pagar yang ditutup dan digembok Smiley.

Tiba di Imam Bonjol Hostel, gue membersihkan diri dan beristirahat, bersiap - siap untuk perjalanan pulang besok pagi.

Semarang memberikan liburan yang sangat menyenangkan dan tak terlupakan. Sejujurnya, di awal gue ngga mengharapkan banyak hal dari kota ini, karena gue ngga mengenalnya. Ternyata kota ini menawarkan wisata yang beragam mulai dari kuliner, religi, alam, dan tempat bersejarah. Terlebih, dengan kondisinya, kota ini memberikan rasa relaks, tenang dan damai buat gue. Saat tiba hari Jumat yang lalu, kota ini adalah tempat yang asing buat gue. Namun sekarang, ini adalah salah satu kota favorit gue, dan gue akan sangat senang dan bersyukur jika kelak berkesempatan untuk singgah lagi di sini.