I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Thursday, May 29, 2014

Gereja Tugu Nan Jauh

Rasa penasaran selalu menjadi motivasi terkuat gue. Termasuk ketika gue berkeinginan untuk mengunjungi beberapa gereja tua dan bersejarah di Jakarta dan sekitarnya, tekad gue sekuat baja, meskipun harus menempuh jarak yang terkadang jauh, dengan mengandalkan transportasi umum.

Dari beberapa gereja yang sudah gue kunjungi, kayaknya Gereja Tugu adalah yang paling jauh. Gereja ini terletak di kawasan Semper, Jakarta Utara. Kalau mendengar "Jakarta Utara" yang terbayang di pikiran gue, rasanya kawasan yang jauh banget. 

Siang itu, di hari Minggu setelah mengikuti kebaktian di GPIB Sion yang ada di Kota, mendadak gue ingin melanjutkan petualangan hari itu dengan mencari lokasi Gereja Tugu. Gue ngga mempunyai persiapan apapun, terlebih informasi bagaimana cara ke sana. Gue sempat bertanya ke petugas halte busway Jayakarta bagaimana cara mencapai Koja, karena nampaknya menggunakan Transjakarta akan sangat membantu. Namun sang petugas justru mengingatkan bahwa gue harus menunggu Transjakarta agak lama, berhubung keterbatasan armada. Gue pun urung menggunakan Transjakarta.

Berikutnya gue bertanya ke beberapa sopir mikrolet yang berjejer di depan Stasiun Kereta Kota. Menurut mereka, gue harus naik Mikrolet No. 15A menuju Tanjung Priok, kemudian di lanjut Metromini No. 41. Kedua kendaraan ini akan mengantar gue sampai ke Semper. Lalu setiba di Semper antah berantah ini bagaimana gue akan menemukan Gereja Tugu ? Question Gue belum mempunyai jawaban untuk ini saat dengan mantapnya naik Mikrolet No. 15A. Perjalanan panjang pun gue tempuh. Maklum, gue akan berhenti di terminal akhir tujuan mikrolet ini, Terminal Tanjung Priok. Ini adalah pertama kalinya gue menginjakkan kaki di kawasan ini. 

Turun dari Mikrolet, gue menyambung Metromini No. 41 dari Terminal yang sama. Di dalam Metromini gue mulai bertanya baik ke sesama penumpang maupun kenek, di mana lokasi Kampung Tugu. Namun, sepertinya mereka tidak mengerti lokasi yang gue tanyakan. Gue jadi heran sendiri. Bayangkan, gue yang tinggal di Jakarta Selatan saja menganggap "Kampung Tugu" sangat terkenal, namun orang - orang di sekitar sini sepertinya asing sekali dengan kawasan itu. Gue pun pasrah. Hal seperti ini sering terjadi ketika gue bekpekeran....dimana gue kehilangan arah dan kehabisan petunjuk. Gue pikir jika akhirnya nanti tidak menemukan lokasi yang gue cari, paling tidak siang ini gue mendapatkan pengalaman 'berpetualang' di kawasan Jakarta Utara yang panas dan gersang ini. Hal yang belum pernah gue lakukan sebelumnya.

Di detik - detik akhir, tanpa putus asa bertanya ke sesama penumpang Metromini, akhirnya petunjuk gue dapatkan dari seorang pelajar SMA yang baru saja naik dan duduk tepat di sebelah gue. Dia pasti malaikat Yesus yang dikirim untuk menyelamatkan gue dari kesasar di negeri Tanjung Priok.

Gue pun turun dari Metromini, mendarat di sebuah simpang lima yang bikin gue makin bingung. Gue berusaha menenangkan diri, dengan menuju supermarket Alfa terdekat. Setelah minum, nampaknya semangat gue muncul kembali. Keluar dari Alfa, gue menanyakan ke tukang ojek yang sedang menunggu penumpang, bagaimana cara ke Kampung Tugu. Tukang Ojek yang baik hati menunjukkan bahwa gue harus naik angkot merah nomor 02 jurusan Rorotan - Cilincing, dan berhenti tepat di depan Kampung Tugu. Rasanya senang bukan kepalang. Ngga lama kemudian, angkot yang dimaksud pun datang, dan mengantar gue ke gerbang Gereja Tugu.

Sepi. Bagian depan area itu adalah lahan pemakaman. Dari jalan raya, gue ngga melihat sesuatu yang istimewa. Setelah meminta ijin pada petugas keamanan yang menjaga pintu gerbang, gue pun memasuki area komplek gereja. Saat itu sekitar jam 2 siang. Pintu gereja tertutup rapat. Area sekitarnya pun sepi, tak ada orang lalu lalang. Jelas aja....dengan cuaca sepanas itu, pasti orang - orang lebih memilih untuk tinggal dan istirahat di dalam rumah. Ngga kayak gue yang malah keluyuran lintas kotamadya di siang hari bolong.

Pintu gereja dalam keadaan tertutup dan terkunci. Jadi siang itu gue hanya bisa mengagumi salah satu gereja tertua di Indonesia, yang dibangun pada masa pemerintahan Portugis di sekitar tahun 1670an ini, dari luar saja. Kecewa, sebenarnya. Kecewa dan bingung. Selama ini gue membayangkan kawasan ini adalah komplek dimana keluarga keturunan Portugis tinggal. Tapi gue ngga melihat siapa pun yang berperawakan "Portugis". Seorang bapak tua yang sedang duduk menikmati siang di depan gereja menyapa gue, Pak Robby namanya. Dengan Pak Robby inilah gue mengisi waktu sejenak di area pekarangan gereja. Pak Robby yang merupakan warga Kampung Tugu bercerita panjang lebar mengenai komplek ini dan sedikit mengenai sejarahnya.

Selama mengobrol dengan Pak Robby sesekali gue permisi untuk melangkah melihat - lihat area komplek. Di dekat gereja terdapat sebuah gedung pertemuan, sekolah, dan rumah pendeta yang bergaya ala Betawi, lonceng tua yang berasal dari tahun 1880 yang masih digunakan untuk kegiatan gereja. Lonceng yang lebih tua lagi (sejak tahun 1747) yang sudah 'pensiun' dan tersimpan di rumah pendeta. Lalu ada juga sekawanan anjing yang sibuk bermain - main, dan melewati kali (sungai kecil) yang ada dekat situ, itulah yang dinamakan Kampung Tugu.

Gue sempat bertanya mengenai komunitas Keroncong Tugu yang juga sangat terkenal, dan ternyata lokasinya di luar komplek ini. Jika gue mendatangi lokasi komunitas ini, kemungkinan besar gue ngga akan menemukan apapun, karena belum tentu saat itu adalah jadwal latihan mereka. Kembali harus menelan kekecewaan. Alamak...Rasanya langsung pengen mabok - mabokan.....pake jus jeruk dingin Downing Shots

Setelah puas mengobrol, gue pun meninggalkan komplek Gereja Tugu, masih dengan hati kecewa. Langkah kaki terasa berat, karena rasa penasaran yang belum terobati. Sebenarnya gue pengen banget mengikuti kebaktian sore di gereja itu, namun berhubung baru akan berlangsung jam 6 sore, gue khawatir mengenai perjalanan pulang nantinya. Sejak saat itu, tekad gue untuk kembali ke gereja ini semakin membara.

Beberapa minggu setelah itu, gue kembali ke Gereja Tugu. Kali ini gue akan mengikuti kebaktian jam 9 pagi. Gue tiba sekitar 30 menit sebelumnya, karena selalu ingin merasakan keheningan gereja sebelum kebaktian dimulai. Berbeda dari gereja - gereja tua yang pernah gue kunjungi sebelumnya, gereja yang dulunya merupakan pemberian dari seorang tuan tanah bernama Justinus van der Vinck ini kecil dan nyaris tanpa detil dan interior yang menunjukkan keantikan atau nilai - nilai histori dan semacamnya, setidaknya di mata orang awam seperti gue. Gue pernah membaca informasi bahwa di bagian dalam gereja terdapat beberapa piring - piring logam antik, namun saat ini gue tidak melihat apapun tergantung di tembok - tembok gereja. Benda favorit gue di gereja ini adalah pintu merahnya yang besar yang menurut gue terlihat bergaya oriental, serta jendela - jendelanya yang megah. Terlepas dari itu semua, berkesempatan beribadah di gereja bersejarah ini adalah pengalaman istimewa untuk gue pribadi.

Rasa penasaran gue pun terobati. Rasa lelah menempuh jarak jauh, menggunakan empat kendaraan umum ditambah commuter line untuk mengantar gue kemari, terbayar sudah. Bravo, Cherry & makasih Yesus !

Clap

Wednesday, May 28, 2014

Suatu Siang di Vihara Dharmakaya


Hari Minggu (25 Mei 2014) kemarin gue kembali ke Bogor. Selain untuk mengikuti kebaktian pagi di Gereja Zebaoth, juga untuk refreshing, setelah minggu melelahkan yang gue lalui sebelumnya.

Setelah gereja, tentu saja langkah kaki gue ngga jauh dari urusan kuliner. Setelah perut terisi penuh, gue berusaha mencari ide lain untuk mengisi waktu, berhubung saat itu masih terlalu dini untuk kembali ke Jakarta. Gue teringat keinginan gue untuk mengunjungi beberapa klenteng atau vihara yang ada di Bogor. 


Vihara pertama yang gue kunjungi adalah Vihara Dhanagun. Dari sini, setelah sempat berhenti di Gang Aut terlebih dahulu untuk menikmati bakso gepeng, gue menuju Vihara Dharmakaya yang ada di Jalan Siliwangi, Sukasari. Suasana di dalam vihara sepi dan tenang. Saat itu tak ada pengunjung, jadi tidak ada ritual sembahyang. Penjaga yang duduk di teras vihara menyambut dan menyapa dengan ramah. Dan gue pun meminta ijin untuk memasuki vihara untuk sekedar melihat - lihat. 


Memasuki ruangan vihara, gue disambut altar Dewi Kwan Im yang ada di ruang terdepat dari bangunan utama. Selain itu terdapat meja atau altar abu lainnya yang sejujurnya gue ngga mengerti altar - altar tersebut dipersembahkan untuk siapa saja. Namun yang menarik, semua tersusun rapih, teratur dan bersih. Sekonyong - konyong gue merasa sangat beruntung mendapatkan kesempatan berada di tempat itu. Bayangkan, vihara tersebut tadinya adalah sebuah rumah kuno yang pastinya berusia sangat tua, namun tetap berdiri kokoh tanpa banyak renovasi. Selain itu, barang - barang yang ada di dalamnya pun, terlihat jelas tua dan antik.

Saat itu, di vihara yang berdiri di atas lahan 2,000 meter itu gue hanya menemui 2 (dua) orang yang menjaga vihara. Saat gue memasuki ruang berikutnya di mana terdapat meja abu dan terdapat beberapa foto hitam putih seorang wanita, dua ekor anjing yang keduanya bernama Bleki menghampiri gue. Gue duduk di lantai, menikmati kedamaian yang gue rasakan sejak memasuki vihara, ditemani oleh  duo Bleki yang salah satunya mirip seekor rottweiler.

Vihara ini memiliki sejarah panjang. Dari hasil browsing, gue menemukan cerita bahwa rumah yang kini menjadi bangunan vihara tadinya milik seorang Nyonya tanah yang tinggal di Kwitang bernama Teng Oen Giok. Ny. Teng Oen Giok mendedikasikan tanah ini kepada seorang wanita bernama Ma Suhu Tan Eng Nio, beliau inilah yang mengurus dan mengelola vihara. Ma Suhu meninggal tahun 1950an dan saat ini, gue duduk tepat di sebelah meja abunya.


Meskipun vihara ini merupakan bangunan tua dan sepi penghuni saat itu, namun gue ngga ngerasa takut atau kesepian. Gue justru takjub, betapa tempat ini menyuguhkan rasa damai bagi pikiran gue, dan membuat gue betah di sana. Gue tinggal di situ setelah sekitar 2 jam. Dalam hati gue berjanji akan kembali kemari, meskipun bukan untuk bersembahyang, namun jika diijinkan, gue akan kesini.

Ngga butuh waktu lama, di hari Selasa (27 Mei 2014) tepat di hari libur Maulid Nabi, gue kembali menginjakkan kaki di vihara ini. Kedatangan gue kembali disambut ramah oleh kedua penjaga. Kali ini gue masuk lebih dalam, karena saat itu gue hendak mencari Bleki yang kebetulan dirantai di area belakang. Area ini berada terpisah dari bangunan utama, dan merupakan salah satu dari keseluruhan bangunan tambahan berbentuk L yang terdiri dari dapur, ruang menonton, ruang - ruang lainnya dan ada 2 (dua) meja abu, kalau ngga salah.
Untuk gue yang hidup di tengah hiruk pikuk Jakarta dengan segala rutinitasnya yang semrawut, vihara ini adalah oase. Sepi dan tenang sepanjang saat. Jika ada suara yang timbul, pastinya itu suara gue yang sedang asyik bermain - main dengan kedua Bleki.

Semoga vihara ini tetap dijaga dan dilestarikan. Melihat setiap detil dari barang - barang yang ada di dalamnya, vihara ini kaya akan nilai sejarah. Meskipun bukan penganut agama Buddha, namun vihara ini adalah tempat istimewa di mata gue, dan sampai saat ini masih menimbulkan tanda tanya besar di hati dan pikiran gue, mengapa gue begitu menikmati dan merindukan keheningan yang ada di dalamnya.