I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Sunday, August 10, 2014

Selamat Siang, Gunung Padang

 

Seingat gue, gue mulai mendengar 'kehebohan' mengenai Situs Megalitikum Gunung Padang yang tersohor ini sejak tahun 2010 - 2011 yang lalu. Pertama lihat foto - fotonya, gue langsung berdecak kagum....karena kesannya purbakala sekali. Gue langsung semangat pengen datang dan lihat langsung...makin semangat begitu tahu situs ini berada di 'tetangganya' Jakarta, yaitu Jawa Barat.

Tapi mungkin justru karena jaraknya yang dekat itu, gue malah kerap menunda rencana untuk pergi kesana. Setelah lama tertunda, akhirnya kemarin, Sabtu, 09 Agustus 2014, gue dan Ony, 'mengeksekusi' rencana dan keinginan itu.

Persiapan untuk ke sini, selain cari informasi sana - sini, tentunya menyiapkan tiket kereta, yang gue lakukan 2 minggu sebelum keberangkatan. Saat itu, gue memang mantap membeli hanya tiket Jakarta - Lampegan aja karena ngga menemukan jam kepulangan yang pas, ketika booking online. Jadi, gue pikir yang penting gue nyampe ke sana dulu, soal pulangnya gampang....kemungkinan naik bus umum, yang jelas ngga perlu menginap atau bermalam dimana pun.

Rute keberangkatan gue adalah sbb. :
  1. Naik Commuter Line Jakarta - Bogor (turun di Stasiun Bogor)
  2. Naik Kereta Pangrango jurusan Bogor - Sukabumi (turun di Stasiun Sukabumi), yang tiketnya gue beli seharga Rp. 50,000 (eksekutif....bekpeker gembel sesekali pake yang ada label 'eksekutif'nya...maklum, baru dapat THR)
  3. Naik Kereta Pangrango jurusan Sukabumi - Cianjur (turun di Stasiun Lampegan), tiketnya seharga Rp. 35,000 (eksekutif juga)
Sejak tiba di Stasiun Sukabumi sebenarnya gue berniat untuk mulai mencari informasi dan kalau bisa langsung beli tiket untuk kembali ke Bogor. Namun, selain karena jeda waktu antara kedatangan dan keberangkatan berikutnya yang lumayan sempit, gue juga urung ke loket penjualan tiket karena secara sekilas gue mendapat info dari petugas bahwa tiket sudah habis terjual.

Tapi gue ngga mau memikirkan urusan pulang dulu, saking semangat dan gak sabarnya pengen tiba di Gunung Padang.

Tiba di Stasiun Lampegan yang, menurut gue, sangat kuno namun terawat, sepi dan bersahaja itu, gue dan Ony langsung menuju sebuah terowongan kereta yang tadi sempat dilintasi oleh kereta Pangrango yang gue tumpangi. Terowongan ini dibangun tahun 1897-1882, dan pernah mengalami renovasi tahun 2010. Setelah puas melihat - lihat dan berfoto di sekitar terowongan, gue dan Ony pun kembali ke Stasiun.

Stasiun Lampegan

Menuju Terowongan Stasiun Lampegan
Terowongan Lampegan

Di stasiun, gue langsung bernegosiasi harga dengan kedua tukang ojek yang ada disitu. Kedua tukang ojek setuju mengantar gue dan Ony dengan tarif Rp. 30,000 sekali jalan per ojeknya. Perjalanan panjang melewati area perkebunan teh dan karet pun dimulai. Menurut gue, perjalanan menuju Gunung Padang itu pun adalah kenikmatan tersendiri. Karena mata ini puas memandang hamparan perkebunan yang hijau dan asri, dengan rute perjalanan berkelok - kelok.

Perkebunan teh
Perjalanan motor tersebut kira - kira berjarak 8 - 10 km, dan ditempuh dalam waktu 25 menitan. Mungkin seharusnya bisa lebih cepat dari itu, namun gue beberapa kali minta berhenti untuk sekedar mengabadikan lukisan alam yang teramat indah di hadapan gue (baca : motret).

Akhirnya tiba di area Gunung Padang. Harga tiketnya adalah Rp. 2,000 untuk wisatawan Indonesia dan Rp. 5,000 untuk wisatawan asing. Sangat terjangkau menurut gue, apalagi setelah gue melihat langsung situs megalitikum yang fenomenal ini.

Memasuki gerbang area situs, pengunjung bisa memilih di antara dua jalur tangga naik, yaitu yang kiri terdiri dari anak - anak tangga yang tersusun dari bebatuan kasar, dengan kemiringan sekitar 20 derajat. Lalu kedua, tangga kanan, yang dibangun rapi dari beton, cenderung datar tanpa tanjakan curam seperti yang kiri. Gue dan Ony pun memilih tangga kiri yang terlihat lebih menantang. Namun kedua penantang jadi - jadian ini akhirnya tiba di anak tangga terakhir dengan nafas tersengal - sengal, keringat bercucuran, mata berkunang - kunang, sedikit rasa mual dan puyeng, seakan - akan siap pingsan, sambil memeluk botol air mineral erat - erat.

Gapura menuju Situs Gunung Padang
Tangga masuk jalur kiri
Seluruh kelelahan itu nyaris lenyap, begitu melihat pemandangan yang ada di hadapan gue. Hamparan bebatuan yang didominasi warna hitam yang nampaknya tersusun dengan cara sangat primitif. Jika tidak jeli, hamparan bebatuan ini hanya tampak seperti bebatuan biasa yang tersusun berantakan saja. Namun sebenarnya, banyak juga peninggalan jejak di sana sini yang mendorong masyarakat saat ini menggali sejarah dan cerita di balik semua penemuan itu.


View dari teras pertama

Ruang Kesenian (Teras Pertama)
Gunung Masigit, tempat ibadah
Batu....hhmmm...apa ya namanya....Batu yang ada jempol raksasanya!
Area situs megalitikum ini dibagi menjadi lima teras. Oleh seorang pemandu yang ada disekitar situ, gue diarahkan untuk melihat beberapa batu 'unik' yang menyimpan cerita. Misalnya, di teras pertama ada batu gamelan karena jika dipukul akan menimbulkan suara menyerupai gamelan. Selain itu ada juga sebuah batu dengan cetakan jemari kaki yang sempat membuat gue terpana, karena ukuran jempol kakinya saja hampir menyamai sekepalan tangan gue.

Batu Gamelan

Di teras kedua, sang pemandu menunjukkan batu kursi, karena beberapa batu di antaranya seperti kursi tanpa sandaran punggung, sehingga diasumsikan lokasi tersebut bagaikan ruang rapat sang raja. Ada juga batu lumbung yang posisinya tertelungkup. Selain itu, ada batu dengan cetakan kujang yang sangat jelas sehingga disebut sebagai batu kujang.

Sri Ratu Cherry di Batu Kursi
Batu Kujang

Di teras ketiga, terdapat batu tapak kaki maung (macan), karena terdapat cetakan tapak macan di atasnya. Lalu di teras keempat, sang pemandu menceritakan serta menunjukkan lokasi yang disebut batu Kanuragaan yang berarti kesaktian. Ada sebuah batu yang saat ini sudah dipindahkan, karena sering menjadi incaran orang - orang yang mempercayai kesaktiannya. Yang mengejutkan, saat ini batu tersebut disimpan di dapur sebuah warung jajan kecil yang ada di dalam area situs.

Batu Tapak Kaki Maung

Kemudian, di teras keempat gue ditunjukkan susunan batu yang oleh pemandu disebut sebagai singgasana petilasan Prabu Siliwangi. Dan di dekatnya terdapat sebuah batu sandaran, karena tampak seperti tempat duduk lengkap dengan sandaran punggung.

Teras kelima
Batu 'singgasana Prabu Siliwangi'

Demikianlah beberapa cerita dari beberapa jejak peninggalan yang ditemukan di situs ini. Mungkin bagaikan legenda yang beredar dari mulut ke mulut dimulai dari warga setempat, yang meyakini hal - hal tersebut. Namun yang pasti, situs ini masih menyimpan segudang misteri dan pastinya mengundang rasa penasaran setiap orang...berapa usianya, seperti apa bentuk awalnya, dll. Pertanyaan - pertanyaan seperti itulah yang melayang - layang di pikiran gue ketika memandang hamparan bebatuan di mata gue dengan takjubnya.
'Dilarang Makan Nasi di Area Situs'
Penelitian akan situs megalitikum ini masih berjalan, baik oleh pihak Indonesia maupun internasional. Sekilas gue teringat akan Beng Melea di Cambodia ketika melihat bebatuannya, namun tampaknya dugaan gue meleset jauh. Karena dari sebuah artikel yang pernah gue browsing mengenai sebuah penelitian di USA menunjukkan bahwa usia Gunung Padang bahkan lebih tua daripada situs Piramida Giza di Mesir sekalipun yang berusia sekitar 2,500 SM. Beng Melea sendiri 'baru' dibangun pada abad ke - 12.

Ngga ada kata - kata yang tepat yang bisa melukiskan kesan gue akan situs ini.....ini bukan sekedar indah, keren atau menakjubkan. Kata yang paling mendekati adalah : k.e.a.j.a.i.b.a.n.

Setelah kurang lebih 2.5 jam mengeksplorasi situs Gunung Padang, gue pun meninggalkan lokasi. Perjalanan pulang akan menjadi tantangan tersendiri karena gue belum tahu mau naik apa. Dengan diantar Pak Ojek yang sama, gue tiba di Stasiun Lampegan. Begitu gue cek di loket, ternyata tiket jurusan Lampegan - Sukabumi keberangkatan jam 2.30 sore masih tersedia. Gue pun membelinya dengan harga Rp. 20,000 (kelas ekonomi). Sayangnya tiket jurusan Lampegan - Bogor sudah habis terjual.

Kereta Cianjur - Sukabumi, di Stasiun Lampegan
 Tiba di Sukabumi, gue meninggalkan stasiun dan mencari angkutan umum warna hijau nomor 08 yang akan mengantar gue ke terminal. Tiba di terminal, gue melanjutkan perjalanan naik mobil colt menuju Bogor. Dengan segala kemacetannya, akhirnya gue tiba di Baranang Siang (Bogor) sekitar jam 7 malam. Angkutan terakhir gue malam itu adalah No. 03 (jurusan Baranang Siang - Bubulak) yang akan mengantar sampai ke Stasiun Bogor.

Tiba di sekitar stasiun, gue dan Ony mencari makan malam seadanya, lalu menutup perjalanan panjang hari itu dengan naik commuter line tujuan Jakarta.

Cape & seru !

Monday, August 04, 2014

Wisata Prasasti di Bogor (2)

Prasasti Muara Cianten
Tepat seminggu sejak kunjungan gue ke Prasasti Ciaruteun di awal Juni 2014 yang lalu, rasa penasaran kembali membawa gue Desa Ciaruteun, Bogor. Tentu aja gue penasaran, karena menurut warga setempat kawasan tersebut memiliki banyak situs prasasti. 

Tiba di Polsek Ciampea, perjuangan nego harga dengan para tukang ojek pun dimulai. Kali ini lebih sulit dari minggu sebelumnya dan bahkan awalnya menjengkelkan, karena para tukang ojek mematok harga tinggi, sementara mereka tampaknya tidak terlalu yakin akan lokasi - lokasi yang hendak gue cari. Gue dan Ony menunggu di dekat pangkalan ojek sampai beberapa saat. Selain negosiasinya alot, kendala lainnya adalah para tukang ojek tidak mengerti arah ke prasasti yang dimaksud. Akhirnya setelah mereka saling berdiskusi, mereka kembali mendekat dan menawarkan harga. Sepakat.

Situs prasasti pertama yang gue datangi adalah Situs Prasasti Batu Dakon yang lokasinya berdekatan dengan Prasasti Ciaruteun. Batu dakon berarti congklak. Dinamakan demikian karena situs ini terdiri dari 3 buah batu berbentuk menhir dan 2 batu berbentuk congklak yang masing - masing memiliki 8 lubang. Prasasti ini diperkirakan merupakan peninggalan jaman megalitikum yang saat itu dijadikan alat pemujaan. Seperti biasa, ngga ada pengunjung lain di situ, selain satu warga Jakarta dan satu warga Depok yang penasaran, disertai dengan tukang ojek masing - masing yang dari tatapannya seperti menyimpan tanya dan heran, kenapa gue berminat mengunjungi prasasti ini.

Prasasti Batu Dakon

Sayangnya, di lokasi ini ngga disediakan informasi yang memadai yang bisa dibaca pengunjung, agar mengetahui baik secara singkat maupun detail sejarah mengenai prasasti yang dimaksud. Memang terdapat sebuah papan nama di dekat lokasi prasasti Batu Dakon, namun hanya memuat tulisan :

"Situs Batu Dakon berada pada lahan 7x6 m terdapat dua batu yang berjajar dari timur ke barat berjarak 1 m. Pada permukaan batu dakon tersebut masing - masing terdapat 8-10 lubang. Disebelah selatan Batu Dakon terdapat dua menhir yang berjajar dari timur - barat berjarak 1 m."

Menurut gue ini ngga cukup informatif untuk pengunjung yang datang langsung melihat prasasti. Karena ketika melihat dengan mata kepala sendiri, informasi di atas nyaris useless. Sepertinya informasi tersebut mungkin hanya bermanfaat buat mereka yang berada di balik meja, mencoba membayangkan seperti apa bentuk dan rupa prasasti Batu Dakon. Atau mungkin buat mereka yang sangat menyukai hal - hal mengenai jarak, arah mata angin, dan sebagainya. Entahlah...

Ngga berlama - lama di Prasasti Batu Dakon, gue pun meninggalkan lokasi menuju prasasti berikutnya, Prasasti Muara Cianten. Perjalanan dari Prasasti Batu Dakon tadi ke tempat ini sangat jauh, melewati area sawah yang luas membentang dan sepi, dengan jalan yang kadang menanjak kadang menurun. 

Tiba di sana, gue dan Ony dengan percaya dirinya mengikuti sebuah rombongan yang kalau ngga salah terdiri dari 6 - 7 pria dewasa. Oleh seorang warga setempat, rombongan diajak menuju ke tepi sungai Cisadane. Gue dan Ony dengan semangat '45 mengikuti dari belakang. 

Tiba di tepi sungai yang saat itu arusnya cukup tenang, gue melihat sebuah batu prasasti berukuran besar setinggi kira - kira 1.5 meter (mungkin hampir sama dengan Prasasti Ciaruteun), dengan beberapa ukiran/tulisan dalam aksara ikal. Tulisannya sudah tidak terlalu jelas terlihat, mungkin karena sudah aus, tergerus air sungai dari waktu ke waktu. Mungkin karena itu pula ngga banyak cerita yang bisa digali mengenai prasasti ini. Entah mengapa, prasasti yang ditemukan pada tahun 1864 oleh N.W. Hoepermans dan diduga peninggalan Kerajaan Tarumanegara ini belum dipindahkan ke darat. Selain gerusan air sungai, 'ancaman' lainnya yang akan merusak prasasti ini adalah ulah manusia yang akan mencorat - coret permukaannya.

Sungai Cisadane
Prasasti Muara Cianten

Tulisan/gambar pada Prasasti Muara Cianten
Di saat gue dan Ony sibuk mengamati prasasti dan berfoto di dekatnya, rombongan yang kami ikuti tadi ternyata sudah bergerak agak menjauh dari prasasti, menuju ke tengah sungai. Tadinya gue sempat hendak mengikuti rombongan, karena berpikir masih ada situs prasasti lainnya. Namun sebelum gue melangkah untuk mendekat ke rombongan, dari kejauhan gue melihat satu persatu para pria tadi mulai membuka pakaian mereka, hingga hanya mengenakan celana dalam. Gue dan Ony hanya terbengong.

Pemandangan 'unik' itu masih berlanjut. Secara bergantian anggota rombongan menuju ke tengah sungai yang kalau gue perhatikan cukup dalam, lalu kepala mereka seperti ditekan oleh sang penunjuk jalan tadi hingga mereka dalam posisi terduduk dan gue ngga bisa melihat mereka lagi. Setelah beberapa saat, kepala mereka kembali 'ditarik' dan mereka hanya menurut begitu saja, lalu perlahan - lahan mereka berdiri. Pemandangan super aneh yang belum pernah gue lihat sepanjang hidup gue. 

Ony berusaha menjawab kebingungan gue yang maha dahsyat dan bilang bahwa kemungkinan yang mereka sedang lakukan adalah semacam ritual mistis yaitu semacam pesugihan. Penjelasan yang masih belum bisa menjawab rasa heran gue yang luar biasa karena hal yang sedang gue saksikan terlalu jauh dari akal sehat gue. Pesugihan ? Apa pula itu ? Kenapa di sungai ? Karena ada prasasti ? Apakah prasasti di hadapan gue dianggap memiliki kesaktian atau semacamnya ? Kenapa harus buka baju ? Kenapa...kenapa...??! Semangat gue yang berapi - api melihat prasasti ini perlahan terselubung rasa ngeri yang ngga bisa dijelaskan dengan kata - kata, akibat melihat pemandangan barusan.

Diam - diam gue dan Ony pun memanjat tanah licin untuk menuju ke darat, meninggalkan Prasasti Muara Cianten dan rombongan tadi.

Tiba di darat kembali, gue teringat dengan informasi si penunjuk jalan mengenai keberadaan prasasti lainnya di dekat situ, tepatnya di belakang rumah salah satu warga. Gue pun meminta bantuan kepada seorang warga yang gue temui untuk menunjukkan arahnya. 

Sayangnya prasasti yang dimaksud tidak dilengkapi dengan papan nama, sehingga gue ngga tahu namanya, dan ada cerita apa dibalik keberadaannya di sini. Namun, bentuk dan susunannya berupa susunan beberapa batu berukuran kecil, membuat gue teringat akan Prasasti Batu Dakon.

Prasasti....yang entah apa namanya
Prasasti...prasasti....prasasti...pengalaman ini paling ngga telah membuka mata dan menambah pengetahuan gue, soal 'batu istimewa' yang biasanya hanya gue dengar sekilas terutama saat masa sekolah dulu. Sebenarnya sampai sekarang gue masih super heran bagaimana orang bisa menjadikannya bagian dari ritual mistis atau semacamnya. Namun gue anggap saja itu urusan pribadi masing - masing. Gue masih tetap bersemangat untuk hunting prasasti - prasasti lainnya....dan berharap tidak akan menemukan pemandangan yang sama seperti hari ini.

Sunday, August 03, 2014

Tur Museum : Bersandar di Menara Syahbandar

 

Kemarin, tepatnya hari Sabtu (02 Agustus 2014) pagi, gue dan Ony merapat ke Menara Syahbandar. Ini adalah kali pertama gue kemari, bahkan sejujurnya gue baru melihat keberadaan menara yang masih kokoh berdiri meskipun tampak miring ini, belakangan. Letaknya di Jalan Pasar Ikan, Jakarta Utara. Bersebelahan dengan Museum Bahari dan berseberangan dengan bangunan Galangan VOC. 
Sedikit keluar dari topik, selalu terbersit rasa sedih, kesal, dan kecewa setiap kali gue memandang bangunan Galangan VOC. Entah di saat gue beberapa kali melintas di jalan sekitarnya, atau ketika gue berada di atas menara seperti ini. Beberapa waktu yang lalu, gue pernah mampir ke sana dengan segunung semangat untuk mengeksplorasi bangunan peninggalan Belanda yang tampak cantik itu. Namun di luar harapan, begitu gue memasuki bagian dalamnya, gue mendapat informasi dari penjaga yang sedang bertugas bahwa bangunan tersebut saat ini berfungsi sebagai restoran. Kekecewaan gue yang sangat mendalam kepada siapapun (yang berwenang), di masa apapun, yang tidak bisa 'melindungi' dan mengelola bangunan bersejarah yang tak ternilai harganya, dan melihat segala sesuatu hanya dari sisi komersial.

Saat itu gue tidak bisa masuk untuk melihat bagian dalamnya, berhubung gue bukan customer restoran . Bagi gue yang orang awam ini, bangunan yang menjadi bagian dari sejarah kota serta negara ini seharusnya menjadi aset yang bisa 'dinikmati' oleh seluruh masyarakat luas, dengan disahkan sebagai situs bersejarah atau cagar budaya dan dijadikan museum.

Cukup sesi curhatnya...tarik nafas dalam - dalam....dan berharap agar siapapun (terlebih pihak berwenang) bisa lebih bijak dalam membuat keputusan, khususnya ketika menentukan nasib bangunan - bangunan kuno dan bersejarah di negeri ini .

"Tugu ini tegak disini pada peringatan Jakarta 450 tahun.
Dipersembahkan kepada mereka yang pada masa lalu pernah
menyusun batu - batu bagi landasan pembangunan hari ini"
(Ali Sadikin, tahun 1977)
Tampak depan
Kembali ke Menara Syahbandar....menaranya yang didominasi oleh warna merah dan hijau itu ngga terlalu luas, dan di area sekelilingnya 'dihiasi' dengan beberapa meriam dan jangkar ukuran jumbo. Daya tarik menara Syahbandar adalah dimana pengunjung bisa masuk dan meniti setiap anak tangga yang terbuat dari kayu. Di setiap tingkatnya, terdapat ruangan dengan jendela - jendela besar dimana gue bisa melihat area sekitar menara dengan leluasa. Ada bangunan - bangunan di sekitar, bahkan pelabuhan Sunda Kelapa pun tak luput dari jangkauan mata siapapun yang melihat dari menara. Daya tariknya lainnya ?  Aroma (amis) ikan yang sangat kuat tercium bahkan ketika di atas menara sekalipun . Maklum, mungkin karena letak menara yang ada di dekat pasar dan juga perairan Jakarta.

Menara Syahbandar




Bagian paling atas menara
Jendela pantau
View dari menara : Galangan VOC
View dari menara : Museum Bahari
Pagi itu, gue dan Ony cukup beruntung karena belum ada pengunjung lain yang datang. Dengan kondisi itu, gue leluasa untuk menikmati asyiknya berada di dalam menara. Bagian dalamnya sebenarnya ngga terlalu luas, dan kosong. Untuk gue pribadi, yang paling gue kagumi justru bangunannya itu sendiri yang dibangun sejak tahun 1893, serta cerita sejarah di baliknya. Jika melihat papan nama yang ada di bagian muka dari area menara, terdapat tulisan "Uitkijk", yang artinya sesuai dengan fungsinya saat itu : sebagai menara pemantau bagi kapal-kapal yang keluar-masuk Batavia melalui jalur laut.

Sebenarnya menara ini juga memiliki ruangan bawah tanah, bahkan terowongan yang bisa menembus hingga ke Museum Fatahillah, namun pintunya ditutup untuk umum.

Puas berada di menara, gue pun meninggalkan lokasi, menuju target berikutnya, Museum Bahari.

Info :
Jam buka museum : Selasa - Minggu (termasuk hari libur nasional) jam 09:00 - 15:00. Harga tiket : Rp. 5,000 (tiket bisa digunakan untuk masuk Museum Bahari)