I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Saturday, November 22, 2014

Menengok Keelokan Bromo (3)

Pananjakan 1 Seruni Point
09 November 2014

Pagi itu gue terbangun dari tidur gue yang lelap dengan cara dramatis. Awalnya gue mendengar ketukan di pintu ruang tamu homestay tempat gue tinggal. Berhubung gue tinggal di kamar depan, alias tepat di sebelah ruang tamu, suara ketukan itu nyaring terdengar. Gue terbangun dan langsung lihat jam, sekitar jam 1 dini hari. Gue ogah ninggalin ranjang dan membukakan pintu, karena gue pikir bukan urusan gue. Gue pikir sang pemilik rumahlah yang seharusnya menerima tamu tersebut.

Ngga putus asa, si pengetuk pintu pindah ke jendela kamar gue. Sambil mengetuk jendela, orang itu juga sambil bilang, "Permisi...permisi..!" Karena suaranya sangat mengganggu, gue pun menyahut. Si pengetuk pintu kembali bersuara, "Bukain pintunya..." Lhaaa....gue pikir, ini kan bukan rumah gue, dan gue gak mengenal si pengetuk pintu. Siapa tahu dia perampok atau penjahat ? Gue pun malas bangkit dari tidur gue.

Gunung Batok
Si pengetuk pintu yang mungkin kesal karena gue ngga kunjung membukakan pintu, kembali lagi ke jendela kamar. Gue masih cuek. Lalu gue mendengar suara - suara mencurigakan dan dengan sekejap si pengetuk pintu membuka jendela kamar dan gorden kamar gue lalu mencondongkan kepalanya ke dalam kamar melalui jendela yang ngga berteralis itu. Gue kaget setengah mati dan terbangun dengan posisi duduk dan menjauh dari jendela, jantung gue berdegup kencang sakit takutnya. Dalam bengong dan ketakutan gue lihat si pengetuk pintu ngomong, " Bangun !! Mau ke Bromo ngga ? Udah jam berapa ini ? Nanti telat ! Bukain pintunya...." Ya ampun, segitunya banget ngebangunin orang.

Gue langsung keluar kamar untuk membukakan pintu untuk si pengetuk pintu yang adalah panitia tour ini. Trus dia nanya, "Mana kamar temannya yang lain ?" Dan dengan senang hati gue langsung menunjukkan kamar kedua teman gue yang lain. Si Bapak langsung mengetuk pintu dengan kencangnya. Gue sempat nimpalin, "Kalo gak, ketok jendelanya aja Pak, di belakang tuh..." Berhubung kedua teman gue ngga ada yang membuka pintu, si Bapak pun tanpa ragu - ragu langsung memasuki kamar dan membangunkan kedua teman gue. Gue menyaksikan pemandangan itu sambil ketawa - ketiwi bahagia. 

Gue pun mencuci muka dan bersiap - siap. Dalam waktu 10 menit gue udah siap, karena ngga pake mandi segala. Siapa yang tahan mandi di Malang jam 1 dini hari ? Setelah gue dan teman - teman siap, kami pun melangkah ke 'Balai Desa' begitu tadi si Bapak yang menggemparkan pagi gue berpesan.

Jeep sweet jeep
Di Balai Desa beberapa mobil jeep terbuka menanti. Gue langsung semangat untuk naik ke salah satunya, mengambil posisi berdiri di paling pinggir. Jeep itu ditumpangi sekitar 13 orang. 3 orang (termasuk sopir) di bagian pengemudi (tertutup), 3 orang di atas atap bagian pengemudi, dan 7 orang di belakang. Sempit tapi seru ! Apalagi ketika jeep sudah mulai menyusuri lereng pegunungan yang berkelok - kelok dan walaupun dalam gelap gue bisa melihat ke arah lembah....rasanya, walaupun ngeri tapi bikin penasaran.


Yang bikin gue sedikit takut selama perjalanan di atas jeep ini adalah betapa semakin masuk dan naik ke kawasan Bromo, rasa dinginnya semakin menjadi dan terasa menusuk kulit. Dan gue bukanlah orang yang tahan dingin. Jangankan di Bromo.....gue bahkan ngga tahan dengan udara "malam" Jakarta. Di rumah, tepatnya di ruang nonton, gue akan nyaman menikmati acara menonton gue setiap malamnya, sambil berselimut tebal....kadang berkaos kaki sgala. Kalau udara 'dingin' malam itu diperparah dengan turunnya hujan, 'perlengkapan' gue harus ditambah dengan mengenakan sweater. Jadi gue sadar, standard 'dingin' gue agak berbeda dengan orang lain. Dan kali ini, gue harus menghadapi udara dingin khas pegunungan. Meskipun udah berjaket tebal lengkap dengan sarung tangan dan topi, tapi dengan segera ujung - ujung jari gue udah keriput menahan dingin. Gue bertekad untuk mengacuhkan kerentanan gue terhadap rasa dingin itu dengan satu motivasi kuat : ngga mau mempermalukan diri sendiri.

Gunung Batok & Kawah Bromo
Tujuan pertama perjalanan seru ini adalah ke Pananjakan 1 Seruni Point untuk lihat matahari terbit alias sunrise. Sebenarnya gue bukan pemburu sensasi "sunrise", seperti wisatawan umumnya kalo ke kawasan pengunungan atau pantai. Buat gue yang nyaris ngga pernah ke daerah pengunungan kayak gini, apapun yang mata gue lihat indah adanya dan bikin gue bersemangat. Seperti janji gue pada diri sendiri, gue gak mau menyewa dan menunggang kuda selama di area taman nasional Bromo ini. Alasannya, karena gue yakin kenikmatan dari perjalanan ini adalah dengan berjalan kaki. Kedua, itu gue ngga mau mengeluarkan uang untuk itu (Rp. 50,000 searah), dan ketiga, gue ngga tega lihat kudanya yang kecil. Gue ingat, waktu gue sempat latihan berkuda beberapa tahun lalu, kuda berlatih gue fisiknya tinggi, kuat dan terawat. Namun begitu gue udah duduk di punggungnya, gue jadi ngga tega, karena seakan  - akan sang kuda sedang menanggung beban yang berat. Gimana pula kalau gue naik di atas punggung kuda - kuda Bromo yang berpostur lebih kecil ini ?

Horaaayy!!
Akhirnya gue tiba di Penanjakan. Kemana pun arah memandang, mata gue disajikan pemandangan indah dan elok. Gue dan ketiga teman gue, berbaur dengan peserta lainnya, sibuk berfoto, mengabadikan kenangan berlatar belakang lukisan alam berupa Kawah Bromo dan Gunung Batok, dihiasi dengan langit biru nan cerah, yang amat menawan.



Puncak Kawah Bromo
 Puas di Penanjakan, gue dan rombongan pun kembali ke jeep masing - masing. Tujuan berikutnya adalah Kawah Bromo dan Gunung Batok. Yeayyyy! Tiba di sana, dari kejauhan gue melihat para pengunjung yang sedang menanjak Kawah Bromo, tampak kecil dan seperti semut. Ngga mau menunggu lama, gue dan teman - teman pun memulai langkah gue mencapai kawah Bromo. Berhubung tangga semen yang tersedia dipenuhi pengunjung yang antri, gue dan teman - teman ogah ikut mengantri, dan memilih jalan tepat disamping tangga. "Jalan" yang dimaksud adalah hamparan pasir. Untuk mengatasi licin dan terpleset, gue berpegangan pada batas tangga semen. Dengan terseok - seok, akhirnya gue tiba di mulut kawah Bromo. Ahhhh....rasanya puas, dan semua kelelahan terbayar demi melihat pemandangan di hadapan gue. 

Pasir Berbisik
Setelah beberapa lama di atas, gue pun mengambil langkah menuruni kawah Bromo. Tapi lagi - lagi karena ogah mengantri di tangga yang tersedia, gue dan teman - teman memilih untuk menyusuri jalan pasir. Kali ini lebih seru dan menantang, karena saat berjalan di atas pasir, dengan kecuraman seperti itu, gue gak bisa berpegangan pada apapun. Akhirnya gue meraih tas salah satu teman gue yang berjalan di depan. Lalu mendadak tangan gue ditangkap seorang pengunjung lain di belakang gue yang sedang menahan takut luar biasa. Si pengunjung sampai memohon - mohon supaya gue gak berjalan terlalu cepat, karena dia sangat ketakutan. Sebenarnya kondisi dia sama ama gue, tapi dia histeris sementara gue (sok) kalem. Perjalanan seru itu pun berakhir, dan tiba di dasar kembali, dan segera menuju area parkir jeep. Siap menyongsong tujuan berikutnya.

Jeep pun berhenti di kawasan wisata Pasir Berbisik. Tiba disana, sepanjang mata memandang adalah lautan pasir yang tampak gemerlap di bawah terpaan sinar matahari pagi. Group tour ngga berlama - lama di sini karena tujuan berikutnya menunggu, yaitu Bukit Teletubbies dan Padang Savanah.

Padang Savanah

Ketika sampai di sana, melihat hamparan rumput hijau di hadapan gue, yang terlintas di pikiran gue adalah, "Di atas bukit nan jauh, Teletubbies bermain - main...." Jreng...jreng...jrenggg !! Muncullah Tinky Winky, Dipsi Laa Laa dan Po...menari - menari, melompat - lompat, sambil bernyanyi ceria, "Teletubbies...Teletubbies....! Berpelukaaannn!" Dan keempatnya pun saling berpelukan, di bawah sinar matahari berwajah bayi. 

Savana hijau kecoklatan yang nyaris menyerupai karpet itu memang mirip dengan yang di serial Teletubbies. Lagi - lagi gue dibuat kagum dengan buah karya Sang Pencipta. Baru beberapa jam gue disini, namun mata gue sudah disuguhkan dengan berbagai macam keindahan alam yang berbeda - beda. Ada lautan pasir, ada padang savanah.....lengkap ! Untuk gue pribadi perjalanan mulai dini hari tadi melelahkan sebenarnya, tapi semua kelelahan itu lenyap begitu gue melihat keindahan

Rileks dan mengagumi ciptaanNya
Setelah beberapa lama disana, jeep pun meninggalkan lokasi Taman Nasional Gunung Bromo, menuju ke Desa Gubugklakah. Tiba di homestay, gue bersih - bersih dan istirahat. Bersih - bersih yang dimaksud adalah mengeluarkan segepok pasir dari sepatu gue sisa - sisa perjuangan tadi.

Jam 2 siang, gue dan teman - teman berangkat menuju Stasiun Malang. Sebelumnya kami mampir di pusat oleh - oleh terlebih dahulu. Kereta Ekonomi yang gue tumpangi berangkat jam 5:10 sore.

Ini adalah perjalanan terlama yang pernah gue lalui dalam riwayat traveling gue. Bayangin....17 jam lebih duduk di bangku kereta ekonomi yang jauh dari empuk. Udah gitu musti berbagi bangku dengan 2 orang lainnya. Dari awal gue udah niat mau sewa bantal (Rp. 6,000) dari pihak Kereta Api sekedar untuk alas duduk. Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak....gue kehabisan bantal, karena sebelum sampai di gerbong gue, bantalnya laris manis tersewa. 

Selain itu, ini adalah waktu terlama dimana gue menghabiskan waktu di satu tempat tanpa bisa melakukan banyak hal. Yang bisa gue lakukan untuk mengusir kebosanan dan rileksasi adalah membaca novel dan turun di setiap stasiun dimana kereta berhenti beberapa saat. Gue sempat tertidur beberapa kali, tapi siapa sih yang butuh tidur selama 17 jam lebih ? Apalagi sambil duduk....di bangku yang joknya ngga empuk - empuk banget....

Tapi gue bersyukur...karena perjalanan gue mulus dan lancar nyaris tanpa masalah apapun, gue mendapatkan pengalaman mengunjungi Bromo yang indah dan tak terlupakan, dan tiba kembali di Jakarta dengan selamat. Gue ngga sabar untuk mengulang perjalanan gue ke sini lagi lain waktu.....minus naik kereta ekonomi 17 jam deh kayaknya :)

Teletubbies wannabe

Sunday, November 16, 2014

Menengok Keelokan Bromo (2)

Menjelang jam 7 pagi, gue memaksakan badan letih gue untuk bangun. Ini suatu keharusan setiap gue bekpekeran, kebiasaan yang gue tanamkan karena gue terbiasa tinggal di hostel. Motif utamanya karena gue harus berbagi (baca : rebutan) kamar mandi dengan penghuni hostel lainnya. Kedua, karena gue gak rela melewatkan jatah sarapan yang biasanya dijadwalkan hanya sampai jam 10 pagi. Dan ketiga, supaya gue punya waktu lebih panjang untuk berpetualang.


Sebenarnya bayangan dinginnya air mandi menghantui gue. Tapi karena gue punya tekad sekuat baja, gue pun bisa menikmati acara mandi tanpa masalah. Ini adalah mandi terdingin yang pernah gue lakukan. Tingkat kedinginannya bahkan sampai melewati level dimana gue merasa kedinginan dan menggigil. Begitu segayung air mengguyur kepala gue, mungkin sensasinya sama kayak ikutan ice bucket challenge yang lagi trend itu. Tapi setelah itu sekujur tubuh gue mendadak kebal terhadap dingin, dan gue pun melanjutkan mandi seakan - akan gue layaknya warga Malang yang terbiasa dengan rasa dingin.

Selesai mandi, gue berharap akan langsung dijemput oleh tim Langkah Kaki menuju Candi Jago. Kasihan deh....padahal gue udah siap berpetualang pagi itu namun ternyata gue dijadwalkan untuk di jemput jam 1 siang nanti. Meskipun kecewa, tapi sebenarnya begitulah pengaturannya, karena gue dan teman - teman yang merapat di Surabaya semalam, tiba lebih dahulu dibandingkan group yang akan tiba di Malang jam 7 pagi ini. Berhubung gue tiba lebih awal, artinya gue harus menunggu group Malang tersebut, dan mendapat kesempatan istirahat lebih panjang. 

Sambil menunggu, gue gak bisa kemana - mana karena gak ada alat transportasi. Dan berhubung di sekitar homestay pun tidak ada yang bisa dijelajahi, maka gue kembali naik ke kasur empuk dan mencari kehangatan di balik selimut tebal. Namun sebelumnya gue sempat minta (baca: ngotot) supaya dijemput lebih awal dari jam 1 siang. Dan tim Langkah Kaki yang baik hati setuju untuk menjemput jam 10.30 siang. Horayy !

Sebelum berangkat, pemilik homestay menyajikan menu sarapan yang benar - benar memanjakan lidah gue. Bayangkan, selain nasi, tersedia juga sekitar 4 menu tradisional lainnya yang porsinya banyak dan rasanya lezat. Bahannya sebenarnya sederhana, seperti tempe dan tahu, namun diracik jadi beberapa macam variasi menu. Gue ngga nyangka tinggal di homestay juga akan mendapat hidangan makanan selezat dan sekomplit ini.

Tepat jam 10.30 pagi mobil menjemput untuk menuju lokasi pertama yaitu Candi Jago yang ada di kawasan Tumpang. Lokasinya unik banget, kayak terkepung di antara perumahan warga. Ukuran candinya sendiri gak terlalu besar dan sudah tidak utuh lagi. Candi Jago adalah candi Buddha yang dibangun sekitar abad ke - 13 atas perintah Raja Kertanegara untuk menghormati ayahnya, yaitu Raja Wisnuwardhana.


Sekilas ketika berdiri di puncak candi ini mengingatkan gue pada Beng Melea, dimana terdapat susunan bebatuan yang nampak tertumpuk begitu saja. Gue langsung girang memanjat ke sana kemari. Ahh...rasanya gue harus kembali ke Beng Melea suatu saat, karena apapun mengingatkan gue pada temple indah yang unik itu.

Menuju Coban Pelangi
Dari Candi Jago, gue diantar untuk menikmati makan siang di Bakso Malang Ronggolawe, yang enak, murah dan meriah. Kelar makan, gue kembali ke homestay. Menurut team leader dari Langkah Kaki, gue akan dijemput lagi jam 1 siang nanti untuk menuju Coban (Air Terjun) Pelangi. Artinya, gue punya waktu istirahat lagi. Ini sebenarnya bertolak belakang banget dengan ritme gue kalo bekpekeran. Waktu gue sangat ketat, nyaris ngga ada waktu untuk istirahat. Kadang acara makan siang atau makan malam pun jadi kilat. Dan sekarang, "istirahat" berarti gue bisa leyeh - leyeh di kasur empuk dan selimut tebal.



Sekitar jam 1 gue pun menuju Coban Pelangi. Dari awal niat gue mau main air, syukur - syukur kalo bisa berenang, di sini. Tiba di sana, normalnya medan yang harus dilalui untuk menuju lokasi air terjun, gue harus melewati jalan setapak yang kadang menanjak kadang menurun. Tapi begitu gue melihat air terjunnya dari dekat rasanya semua lelah dan pegal lenyap. Saat itu hujan rintik - rintik mulai turun, dan arus airnya deras dahsyat. Keren dan indah banget !  Setelah puas bermain - main air, dalam keadaan basah sekujur tubuh, gue pun meninggalkan air terjun, menuju kamar mandi, untuk mengganti baju gue.

Meninggalkan Coban Pelangi yang super indah dan eksotis itu, tujuan berikutnya adalah Agrowisata Apel. Tiba di sana, setelah diberikan pengarahan sebentar, gue dan teman - teman diperbolehkan untuk memetik apel di sebuah lahan yang cukup luas dan memakan sebanyak - banyaknya apel yang gue petik.

Begini, gue sebenarnya bukan penggemar buah apel. Meskipun buah itu terkesan mewah dan mahal... meskipun kaya manfaat....dan meskipun sampai ada pepatah "An apple a day keeps you away from the doctor'....tetap aja selama ini gue bukanlah penggemar buah apel dan gak pernah ngiler tiap kali lihat buah apel. Gue lebih ngiler ngeliat buah kecapi (maklum, gue besar di Condet, Jakarta Timur) dibanding buah apel. Sejak kecil gue selalu bingung dan jijik lihat daging buah apel yang langsung menjadi kecoklatan setiap kali sudah dikupas, diiris atau digigit.

Tapi, sejak masih di homestay tadi, gue udah menikmati sekitar 3 - 4 buah apel yang disajikan oleh pemilik homestay. Itu belum termasuk 3 butir lainnya yang gue simpan untuk Mama (biar Mama bisa mencicipi apel asli Malang). Tujuan gue awalnya untuk memperlancar pencernaan. Tapi mencicipi apel Malang yang segar dan orisinal tampaknya udah bikin gue ketagihan. Dengan apel - apel yang gue makan selama agrowisata apel ini, mungkin total gue udah makan sebanyak 10 buah apel hingga sore itu. Ini adalah salah satu dari sedikit hari paling sehat dalam hidup gue!

Di agrowisata apel ini gue cuma berminat untuk memetik dan makan buah apel sebanyak yang lambung gue mampu. Gue gak berminat untuk membeli apel di sana yang harganya Rp. 20,000/kg. Selain karena saat itu agak susah mencari apel yang ukurannya besar dan sudah matang, menurut gue harganya juga lumayan premium kalau segitu. 

Jarak antara lokasi agrowisata dan homestay Ibu Kartika gak terlalu jauh. Kembali ke homestay, gue mandi dan bersantai dengan mengobrol dengan peserta tour lainnya yang ada di homestay sebelah. Malamnya, gue dan teman - teman kembali disajikan hidangan tradisional nan lezat dan variatif oleh pemilik homestay.

Ini benar - benar hari yang menyenangkan. Semua yang gue lakukan hari ini seru dan menyenangkan, bersama teman - teman yang kompak dan 'gila'. Ditambah lagi, gue tinggal di tengah keluarga (pemilik homestay) yang sangat ramah dan bersahaja. Makasih Yesus !

Saturday, November 15, 2014

Menengok Keelokan Bromo (1)


Tanggal 7 - 10 November 2014 kemarin gue cuti sejenak untuk melangkahkan kaki menuju Bromo. Sebenarnya gak pernah ngotot banget pengen kemari, cuma karena sedikit rasa penasaran ditambah dorongan teman - teman kantor yang juga pengen ke sana, maka "terpaksa" gue jadiin tripnya. Hal yang bikin berat untuk ikutan trip Bromo ini, karena stok cuti gue udah nyaris habis, sementara akhir bulan November nanti gue udah ada rencana bekpekeran lagi. Selama di pertengahan tahun gue nyaris gak melakukan trip bekpekeran kemana pun baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dan di bulan ini, sekonyong - konyong gue kembali sibuk dengan jadwal bekpekeran. Asyik !

Trip Bromo ini adalah trip gabungan yang diatur oleh Langkah Kaki, yang gue sebut sebagai organiser untuk trip - trip ala bekpeker. Sebelumnya gue pernah gabung dengan Langkah Kaki sebanyak dua kali ketika trip ke Way Kambas, Lampung. Untuk trip ke Bromo ini per orangnya dikenakan biaya Rp. 600,000 yang sudah termasuk hampir semuanya baik tiket kereta pulang pergi, penginapan, makan 3 kali, tiket masuk ke beberapa tempat wisata bahkan jeep selama di kawasan Taman Nasional Bromo. Namun untuk gue dan ketiga teman kantor yang kebetulan telat daftar dan kehabisan tiket kereta Jakarta - Malang, maka ada tambahan biaya sebesar Rp. 68,000 / orang untuk sewa mobil Surabaya - Malang.

Sejujurnya, gue punya idealisme untuk mengatur sendiri perjalanan gue seperti layaknya bekpeker sejati (caelaahh!!). Alasannya, hal itu akan menambah wawasan gue mengenai daerah yang akan gue jelajahi. Selain itu setiap perjalanan yang gue lakukan dengan ekstra tantangan, perjuangan dan kerja keras, akan lebih indah dan abadi untuk gue kenang sampai kapan pun. Namun ternyata idealisme bekpeker gadungan ini berlawanan dengan masalah budget. Setelah gue hitung - hitung sendiri budget perjalanannya jika gue dan ketiga teman gue berangkat sendiri, ternyata jadi lebih mahal. Ditambah lagi sebenarnya waktu gue terlalu sempit untuk menyiapkan perjalanan sendiri. Gue harus berangkat awal November, atau akan mengacaukan jadwal jalan - jalan berikutnya. Jadilah gue akhirnya memilih nimbrung di trip gabungannya Langkah Kaki.

Kembali ke masalah cuti yang minimalis, tanggal 7 November itu, hari Jumat, gue cuma bisa cuti setengah hari. Gue sempat ke kantor sekalian membawa ransel, dan meninggalkan pekerjaan dan kantor hampir jam 12:00 siang. Agak nekad sebenarnya, mengingat jadwal keberangkatan kereta yang akan gue tumpangi dari Stasiun Senen jam 14:10. Waktu yang sempit ini udah gue antisipasi dengan mencetak tiket kereta di stasiun Gambir beberapa waktu sebelumnya. Singkatnya, gue pun duduk di kereta ekonomi Kertajaya yang akan mengantar gue ke Stasiun Pasar Turi Surabaya. Kondisi keretanya sebenarnya di atas harapan gue, alias sangat nyaman, bersih dan dilengkapi AC yang lumayan sejuk. Awalnya gue sedikit terganggu dengan alunan musik dangdut dengan volume keras yang tersaji, namun akhirnya begitu perjalanan dimulai, musiknya dihentikan. Haleluyah! 

Kekurangannya hanya pada bangkunya yang kurang empuk, terlebih untuk perjalanan selama sekitar 11 jam! Jadi, meskipun gue sempat tertidur di sepanjang perjalanan, namun jika pantat gue udah melolong kesakitan karena terlalu lama duduk, gue pun akan berdiri dan mencoba mencari ruang sekedar untuk berjalan. 

Kereta tiba di Stasiun Pasar Turi Surabaya lewat dari jam 1 dini hari, yang awalnya di jadwalkan jam 00:45. Asyiknya, Pak Hasan, sang sopir mobil sewaan, sudah menunggu dan kami pun segera masuk ke mobil untuk menempuh sekitar 2 jam perjalanan menuju Malang. Mencoba tidur namun sulit memejamkan mata karena penasaran seperti apa rupa Surabaya, dalam kelelahan gue sempat lihat sepanjang jalan yang kami telusuri tampak sepi, bersih dan tertata rapi. Gue ngga ngerasa ada hingar - bingar kehidupan ala 'malam minggu' sepanjang perjalanan, walaupun sempat melewati kawasan yang menurut Pak Hasan, biasa dijadikan tempat balap motor liar. Selebihnya, seakan - akan segenap warga Surabaya kompak menikmati tidur mereka saat ini. Sepi.

Homestay Ibu Kartika
Mobil pun mengantar kami menuju homestay Ibu Kartika yang ada di daerah Gubugklakah. Saking lelah dan ngantuknya, gue cuma sempat mencuci kaki, memakai kaos kaki tebal, lalu terjun ke kasur nan empuk. Selama ini gue tahu bahwa cuaca Malang amatlah dingin, namun baru kali ini ngerasain langsung. Mencuci kaki barusan, rasanya merendam kaki gue di dalam ember berisi es batu. Bukan es batu kotak - kotak kecil dari dalam freezer kulkas buat bikin es teh manis rumahan, tapi es balok gede punyanya tukang es cendol keliling, es teler, es campur, dan tukang - tukang es lainnya.

Niatnya tadi malah mau cuci muka, sikat gigi, basuh sana siram sini....tapi niat tinggal niat. Gue berjanji akan berjuang membiasakan diri dan menahan rasa dingin, tapi ...lain waktu aja! Gue baru bisa memejamkan mata setelah gue memakai jaket tebal lalu selimut tebal yang disediakan homestay. Setelah perjalanan panjang 11 jam di atas kereta ekonomi Jakarta - Surabaya tadi, merebahkan badan di atas kasur empuk seperti ini adalah rejeki tak ternilai.

Wednesday, November 12, 2014

Ketika Harus Menyewakan Rumah (Impian).....


Udah beberapa bulan berlalu sejak curhatan terakhir gue mengenai duka dan....duka...serta...dukanya berjuang demi memiliki rumah sendiri. Keadaan sekarang jauh berbeda. Gue bukan lagi orang sok tangguh yang ingin menyimpan dan menanggung bebannya sendirian. Mama dan Bapak berinisiatif untuk mengambil alih beban itu dari pikiran gue, agar gue gak kesusahan berlarut - larut. Beban yang gue maksud di sini bukanlah masalah keuangannya, karena itu tentunya tetap bagian gue, melainkan keresahan akibat keterlambatan proses rampungnya pembangunan rumah beserta fasilitas di dalamnya.

Hubungan komunikasi gue dengan pihak developer diambil alih oleh Mama dan Bapak sepenuhnya, dan mereka segera berbagi tugas. Bapak akan di lapangan untuk lihat dan monitor langsung setiap perkembangan dan berkomunikasi dengan pihak tukang atau mandor di lapangan, dan Mama yang akan "mengejar" bahkan "memburu" pihak developer jika ada secuil pun pekerjaan yang lalai atau telat mereka lakukan.

Dan saat ini, setelah semua kerja keras mereka beberapa bulan terakhir, rumah gue pun akhirnya jadi. Antara percaya ngga percaya rasanya. Setelah perjalanan yang cukup panjang ini, akhirnya terselesaikan juga rumah impian. 

Dari awal gue udah bilang sama Mama bahwa gue menyerahkan sepenuhnya urusan rumah tersebut ke Mama. Apapun keputusan dan langkah Mama atas rumah itu, gue percayakan ke Mama. Dan berhubung Mama gak mau gue menempati rumah itu sendirian saat ini, Mama ingin agar rumah itu disewakan saja. Gue emang belum berminat untuk tinggal di situ saat ini, mengingat gak memungkinkan membawa paling gak salah satu anjing gue tinggal di sana. Sepanjang hidup hingga saat ini, gue selalu tinggal di rumah dengan anjing peliharaan, yang sangat berperan sebagai penjaga rumah. Terlebih rumah mungil gue tidak diperbolehkan menggunakan pagar di halaman, jadi gue pasti ngga akan merasa tenang tinggal disana....tanpa anjing gue....tanpa pagar rumah....

Maka Bapak pun berinisiatif dengan memasang pengumuman "Dikontrakkan" pada selembar kertas dan ditempel di tembok rumah. Di luar dugaan, dalam hitungan hari Mama dihubungi oleh seseorang yang berminat untuk menyewa rumah tersebut. Begitu Mama memberitahukan gue mengenai ini, sekonyong - konyong gue jadi sedikit sedih. Sedih karena rumah simbol perjuangan gue akan digunakan oleh orang lain, sebelum gue pernah menempatinya. 

Gue sadar, jika rumah gue biarkan kosong, maka perlahan - lahan akan rusak karena tidak digunakan dan dirawat. Tapi gue juga ngga menutup mata, bahwa mengundang orang lain yang tidak gue kenal untuk menggunakan rumah itu juga berarti memberi 2 kemungkinan yaitu, rumah tersebut terawat (jika pemiliknya bertanggung jawab dan memang bukan orang berantakan), atau rumah akan rusak (apabila pemiliknya acuh dan tidak peduli). Ini suatu pergumulan yang gak mudah buat gue. Secara mental dan ego rasanya berat 'menyerahkan' rumah itu pihak lain.

Dengan pasrah gue serahkan urusan rumah tersebut ke Mama. Gue cuma berpesan, agar Mama sebisa mungkin mencari kepastian bahwa si penyewa bukanlah orang yang potensial membawa 'bencana' untuk rumah gue misalnya kriminal, teroris, atau sejenisnya. Mama berusaha meyakinkan gue bahwa dia sudah berkomunikasi intens dan bahkan bertemu dengan pihak penyewa, dan yakin keluarga kecil tersebut sangat bisa dipercaya. Selain itu menurut Mama, uang hasil pembayaran kontrakan akan sangat berguna sebagai modal pembangunan tambahan pada rumah itu, yaitu area taman belakang yang akan dijadikan dapur dan pemasangan teralis pada setiap pintu dan jendela.

Mama benar, meskipun gue sudah mengantongi uang hasil arisan yang sejak awal tahun gue dedikasikan untuk pembangunan dapur dan teralis tersebut, sepertinya niat gue belum 100%. Alasannya karena gue belum punya rencana dan keputusan jelas mau diapakan rumahnya.

Gue pun menyiapkan Surat Perjanjian Kontrak yang gue cari - cari draft dan templatenya dari browsing di Google. Selama ini gue gak tahu bahwa untuk urusan sewa - menyewa rumah (mungil, padahal) pun sebaiknya disahkan hitam di atas putih. Namun sekarang gue sedikit lega setelah membaca point - point yang terdapat dalam surat perjanjian, karena dengan cara inilah gue bisa sedikit membentengi dan melindungi rumah tersebut dari ulah nakal maupun tak bertanggung jawab penyewa rumah. 

Singkatnya, akhir pekan yang lalu Mama sudah kembali bertemu dengan pihak penyewa, menerima pembayaran full untuk setahun ke depan dan menandatangani perjanjian kontrak. Sekarang Mama dan Bapak memulai kesibukan baru, yaitu pembangunan dapur dan teralis. Sesuai perjanjian, keduanya harus sudah rampung sebelum rumah mulai ditempati oleh pihak penyewa, yaitu per 1 Desember 2014.

Meskipun masih antara rela ngga rela....ikhlas ngga ikhlas, bahwa gue nyaris kehilangan hak atas rumah itu sampai 30 November 2015 mendatang, tapi gue percaya keputusan dan langkah Mama dan Bapak untuk menyewakan rumah tersebut ke orang lain adalah hal terbaik saat ini. Setelah perjuangan alot untuk melihat rumah mungil impian berdiri tegak, akhirnya gue sampai pada proses sewa - menyewa ini. Ini pastinya suatu "perjalanan" seru lainnya, karena bahkan saat ini ada pihak ketiga (penyewa rumah) yang terlibat.

Pengalaman ini mengingatkan gue sekali lagi, bahwa gue punya support system, yaitu keluarga gue, khususnya Mama dan Bapak, yang tangguh dan selalu bisa diandalkan. Meskipun sejak awal gue gak mau melibatkan mereka karena ngga mau mereka susah dan stress, namun kondisi justru berbalik. Meskipun gue bersikap sok kuat dan merasa bisa mengandalkan diri sendiri, namun pada akhirnya gue seperti layaknya anak kecil yang mencari perlindungan kedua orangtuanya.

Selintas Waktu di Kinabalu (2)

26 Oktober 2014

Kucing Kuching

Walaupun judulnya liburan...walaupun kasur empuk dan selimut tebal ini bikin gue betah bermalas - malasan...walaupun gue pengen istirahat lebih lama karena baru beberapa jam merebahkan badan.... tapi gue tetap bangun pagi hari itu. Motivasinya : biar ngga ketinggalan jatah sarapan yang disediakan oleh Hotel Grand Continental. Begitu selesai mandi, gue pun langsung ke ruang makan hotel. Di sana gue menikmati kesempatan emas untuk makan sepuasnya menu sarapan yang variatif dan enak. Mungkin setelah puas mengisi perut selama 1 jam, gue pun meninggalkan ruang makan. 

Kalau lagi tinggal di HOSTEL, waktu sarapan gue terbilang singkat. Pertama gue mengolesi 4 lembar roti tawar dengan butter atau mentega, lalu dibakar di toaster sambil gue menyiapkan kopi atau teh panas, dan setelah rotinya gosong, gue pun segera melahap menu sarapan tersebut, dan diakhiri dengan mencuci piring dan gelas yang gue gunakan. Total paling cuma 15 menit, kalau gak pake antri toaster sama penghuni hostel lainnya. Bahkan gue bisa melakukan seluruh ritual itu tanpa sempat duduk di meja makan.

Selesai sarapan gue naik lagi ke kamar, dan sempat melanjutkan acara bermalas - malasan gue di ranjang empuk. Abis itu gue meninggalkan kamar, turun ke resepsionis untuk mencari informasi mengenai rencana penerbangan ke Kinabalu. Ternyata Airasia sudah memasang selembar surat pengumuman, bahwa rombongan pesawat gue sejak semalam, akan diberangkatkan ke Airport Kuching jam 2 siang nanti. Berhubung gue adalah si panjang kaki yang ngga bisa diam, jadi gue putuskan untuk jalan - jalan melihat kota Kuching. Ngga mungkin gue betah menghabiskan waktu di kamar hotel.

Gue pun meminta peta Kuching dari pihak Hotel, dan memulai perjalanan tanpa rencana itu. Tujuan pertama adalah mencari kios telepon selular. Di sana gue isi ulang pulsa kartu perdana lokal, dan segera menelepon Mama. Mama lega banget bisa mendengar suara gue, serasa udah bertahun - tahun. Gue agak sedih mendengar "perjuangan" Mama mencari informasi soal penerbangan gue semalam. Mula - mula Mama menelepon ke Air Asia, namun ngga berhasil bicara dengan petugas. Lalu berusaha menelepon ke Airport Soekarno Hatta, hasilnya nihil juga. Kemudian menelepon ke Air Asia lagi, dan katanya pihak Air Asia Indonesia saat itu juga belum mendapatkan konfirmasi pendaratan pesawat gue. Gue bisa membayangkan gimana paniknya Mama saat itu. Mama baru bisa sedikit tenang ketika akhirnya menerima sms gue. 

Setelah menelepon Mama, gue pun menjadi lebih santai, dan siap menikmati apapun yang Kuching miliki sejauh masih dalam jangkauan waktu gue yang sempit, dengan berjalan kaki tentunya. Di siang yang panas terik itu, gue sempat menemukan dan mampir ke beberapa lokasi menarik di sekitar hotel :

Siew San Teng (Tua Pek Kong) Temple
Tua Pek Kong Temple

Keberadaannya agak unik karena diapit oleh gedung - gedung pencakar langit. Kuilnya dibangun sejak 1770 dan posisinya yang menghadap ke air (sungai Sarawak) dan gunung (gak keliatan gunung mana yang dimaksud), dipercaya membawa feng shui baik.


Sungai Sarawak


Gue sempat melintasi sepanjang pinggir Sungai Sarawak, mulai dari Jalan Main Bazaar sampai Jalan Gambir, dan melihat bangunan - bangunan menarik di seberang sungai, yaitu Dewan Undangan Negeri Sarawak dan Fort Margeritha. Sebenarnya gue pengen banget bisa lihat dari dekat, namun sayangnya saat itu gue ngga tahu bagimana cara menyeberangi sungai menuju kedua bangunan megah itu. Jadi apa boleh buat, gue cuma bisa memandangi dari kejauhan.

Dewan Undangan Sarawak
Fort Margeritha
Sarawak Tourism Complex

Berhubung gue adalah penggemar bangunan - bangunan tua dan bersejarah, mata gue langsung tertarik melihat bangunan - bangunan yang ada di area Sarawak Tourism Complex ini. 

Court House Complex

Saat itu sebenarnya hari yang super cerah, dan ditambah dengan bangunan - bangunan tua yang keren dan terawat, namun sayangnya gue gak berdaya untuk mendapatkan foto diri gue sendiri. Alasannya karena saat itu gue males membawa tripod, dan malas meminta orang untuk memotret gue.


Hiang Thian Siang Ti Temple



Hiang Thian Siang Ti Temple

Bagian dalam temple

Templenya berada di Jalan Carpenter, dan dibangun sejak 1,5 abad yang lalu. Namun awalnya letaknya bukan  di Jalan Carpenter ini, melainkan di area Main Bazaar. Yang terletak di Jalan Carpenter ini dibangun tahun 1863. Dimana pun dan kapan pun, gue selalu senang melihat dan berkunjung ke temple - temple. Apalagi klenteng yang satu ini, warna merah dan emasnya yang mencolok, seakan - akan ngga mau kalah dengan terang benderangnya langit Kuching siang itu.

Gue sempat menyusuri Jalan Carpenter, yang kebanyakan bangunannya adalah kios - kios pengrajin emas.

Jalan Carpenter
Dari Jalan Carpenter, kaki gue yang sebenarnya udah mulai pegal ini melanjutkan petualangannya ke lokasi berikutnya. Gue sempat berhenti di Gereja St. Thomas, namun sayangnya gak bisa mampir melihat ke dalamnya berhubung pintu pagarnya terkunci.

Perhentian berikutnya adalah Art Museum yang berdekatan dengan Museum Sejarah Semulajadi. Gue sempat memasuki keduanya, yang menurut gue biasa aja. Yang menarik dan menonjol justru pemandangan di taman yang ada di tengah kedua museum ini, yang indah dan rindang, dengan beberapa pohon pinang yang tinggi menjulang.

Museum Sejarah Semulajadi

Mengingat waktu sudah tepat tengah hari, gue pun mengambil langkah kembali ke hotel. Dalam perjalanan balik, sekali lagi gue melewati kawasan Main Bazaar. Main Bazaar adalah pusat penjualan barang - barang seni dan oleh - oleh khas Kuching. Gue sempat mampir ke beberapa toko sekedar untuk melihat - lihat, tapi belum sampai tergoda untuk membeli apapun. Boro - boro mikirin belanja. Nasib gue aja rasanya ngga menentu saat itu...kejutan apalagi yang akan gue dapatkan hari ini.....kapan gue akan tiba di Kinabalu....jangan - jangan gue akan terdampar di kota lain lagi gara - gara masalah listrik...

Main Bazaar

Tiba di hotel, di parkiran gue sudah melihat beberapa bus Air Asia menunggu. Salah satu busnya sudah hampir terisi penuh. Gue segera naik ke kamar untuk mandi, santai sejenak dan membereskan ransel gue. Setelah siap, gue turun dan menuju bus nyaman yang akhirnya mengantarkan gue kembali ke Airport Kuching.

Tiba di Airport, gue mendapat informasi bahwa pesawat gue akan berangkat menuju Kinabalu sekitar jam 5 sore. Gue masih 'takjub' dan terheran - heran dengan apa yang terjadi dua hari belakangan ini. Rencana gue mendarat di Kinabalu tertunda hampir 24 jam dari yang seharusnya. Trus kalau gue tiba di sana baru nanti malam, kapan waktu gue bisa menikmati kota itu, sementara besok sore gue udah akan terbang kembali ke Jakarta. Ini liburan terakhir gue sebelum gue masuk kerja di kantor baru hari Senin. Tapi sejauh ini rasanya....Arrrgghhh ! 

Gue pun menunggu keberangkatan menuju Kinabalu berbekal burger dan coke McDonald yang disediakan oleh Air Asia.

Ketika akhirnya mendarat di Kinabalu, hari udah gelap dan hujan. Sempurna! Seketika gue langsung merubah rencana, gak akan ke Tune Hotel, melainkan mencari hotel lain. Gue mencari taksi, dan begitu sang sopir bertanya tujuan gue, gue masih bingung dan belum pasti mau jawab apa. Tiba - tiba dari bibir gue keluar, "Gaya Street". Entah kenapa gue mendadak minta diantar ke sini. Gue pernah membaca sekilas bahwa ini adalah salah satu kawasan backpacker di Kinabalu. Itu adalah salah satu keputusan paling asal yang gue buat, karena sebenarnya gue belum tahu apapun mengenai kawasan ini dan bahkan belum tahu mau tinggal di penginapan mana. Tapi gue pikir, liburan gue sudah berantakan dari awal, jadi gak mungkin akan lebih buruk lagi.

Sopir taksi menurunkan gue di Gaya Street, dan begitu turun gue benar - benar ngga ada ide mau tinggal dimana malam itu, bahkan gak tau mau melangkah ke arah mana. Gue pun mulai menyusuri jalan - jalan yang sebenarnya asing sama sekali buat gue, dan mulai mencari - cari papan nama "hostel", di bawah guyuran hujan rintik - rintik. Gue sempat beberapa kali keluar masuk penginapan. Ada yang harganya gak sesuai budget, ada yang full, ada juga yang penampakannya ngga bikin gue nyaman.

Kaki dan pundak gue udah pegal bukan main ditambah basah karena diguyur hujan. Langkah gue terhenti di sebuah penginapan kecil bernama Citypark Lodge, yang ada di Jalan Pantai. Gue akhirnya check in di sana, yang harga kamarnya MYR 30/malam. Di sini ngga ada dorm room, hanya private room. Gue menempati sebuah twin bed room, yang sempit namun dilengkapi dengan TV, kamar mandi dan jendela ke arah jalan utama. Untuk badan gue yang kelelahan dan nyaris putus asa, itu adalah sebuah kemewahan.

City Park Lodge
Kamar di City Park Lodge

Setelah mandi, gue kembali ke Gaya Street untuk sekedar mencari makan malam, tetap ditemani oleh hujan rintik - rintik. Sebelum kembali ke hostel gue sempat mampir ke Miliwela Superstore di seberang jalan dari hostel untuk mencari makanan ringan, air mineral dan....payung! Setelah itu, gue kembali ke kamar sempit dan mencoba menikmati apapun yang tersaji di TV, lagi - lagi sambil merenungi perjalanan petualangan gue yang.....apa ya namanya....di luar rencana ? di luar harapan ? Ah, sudahlah. Apapun yang terjadi gue harus tetap bersyukur, karena akhirnya tiba di Kinabalu dengan selamat. Makasih, Yesus!