I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Wednesday, February 25, 2015

Hari Ketiga : Jelajah Durbar Square


Untuk trip hari ketiga (23 Januari 2015), gue kembali mendatangi kantor Oxford. Kali ini gue pengen sewa mobil khusus untuk mengunjungi Bhaktapur Durbar Square dan Patan Durban Square. Dengan mengunjungi keduanya, maka misi gue mengunjungi ketiga Durbar Square yang ada di Kathmandu terwujud.

Dengan mobil sewaan seharga Rs 2,400 (termasuk sopir, bensin, dan parkir), pagi itu gue meninggalkan hostel sekitar jam 7 pagi. Tempat pertama yang gue kunjungi adalah Bhaktapur Durbar Square. Gue tiba di sana saat kawasan itu masih sepi dan karena masih cukup pagi, jadi cuacanya dingin banget. Jarak dari area parkir menuju pintu masuk, lumayan jauh. Tapi berhubung sepanjang jarak itu gue disuguhi dengan pemandangan berupa bangunan  - bangunan unik khas Nepal, ditambah sejuknya udara saat itu, jadi rasanya nikmat aja.

Antara debu dan kabut

Bhaktapur Durbar Square di pagi hari
Rameshwor Temple

Gulat anjing di depan Nyatapola Temple

Tiba di pintu masuk, gue diharuskan bayar karcis masuk seharga Rs 1,500. Untuk menggambarkan Durbar Square pada umumnya....ini adalah kawasan semacam alun - alun yang lokasinya di sekitar istana kerajaan - kerajaan Nepal. Dahulunya Nepal terdiri dari beberapa kerajaan kecil, sampai akhirnya terjadi penyatuan ketika masa Raja Prithvi Narayan Shah di pertengahan abad ke - 18. Ketiga Durbar Square yang ada di Kathmandu (Kathmandu Durbar Square, Bhaktapur Durbar Square, dan Patan Durbar Square) adalah peninggalan dari kerajaan - kerajaan kecil ini sebelum adanya penyatuan. Di setiap Durbar Square umumnya terdapat bangunan kuil, tempat pemujaan, dan lainnya. Untuk gue, daya tarik ketiga Durbar Square ini adalah karena sepanjang mata memandang, mata gue disuguhi keindahan arsitektur bangunan yang mengagumkan hasil karya para seniman asli Nepal. 
Mini Pashupati Temple (kanan)

Vatsala Temple
Lorong - lorong di Bhaktapur
Golden Gate
Bangunan - bangunannya unik dan baru pernah gue liat di Nepal ini. Kalau dilihat dari dekat, ukiran kayu yang terdapat hampir di seluruh bagian bangunan, bikin gue makin takjub lagi karena setiap detilnya menghasilkan keindahan.

Bagian yang 'kurang gue sukai' di Bhaktapur Durbar Square adalah bangunan - bangunan indah dan bersejarah yang dijadikan restaurant dan cafe. Lagi...dan lagi....gue sebal setiap kali ngelihat bangunan bersejarah dikomersialkan kayak gitu. 

Gue sebenarnya agak bingung dengan batas antara Durbar Square dengan pemukiman warga lokal....atau memang pemukiman tersebut adalah memang bagian dari Durbar Square. Tapi yang jelas terlihat adalah semakin mengarah ke area pemukiman warga, kebersihannya semakin berkurang. Salah satu 'pihak' yang berperan dalam kondisi ini adalah anjing - anjing liar. Kayaknya Kathmandu ini punya jutaan anjing liar deh....Gue yang pecinta anjing aja sampe muak lihatnya. Masalahnya, anjing - anjing tersebut dalam kondisi yang gue bisa bilang terlantar, ngga terawat, jorok, dan populasinya ngga terkontrol. Populasi anjing yang dahsyat banyaknya ini berperan banget sama berkurangnya kebersihan Kathmandu. Iyalah....anjing - anjing yang terlantar dan ngga terawat bakal jadi sumber kotor, bau, dan penyakit, belum lagi kotorannya yang bertebaran di mana - mana.

Kembali ke Bhaktapur Durbar Square, di sini sebenarnya ada juga museum, tapi gue ogah masuk ke dalamnya karena harus bayar tiket masuk lagi. Trus, di sini gue hampir 'terjebak' oleh tour guide lagi kayak di Pasupatinath Temple kemarin. Mungkin karena tampang gue keliatan banget kayak turis (biar gembel....tapi yang jelas turis), begitu kelar beli tiket masuk Durbar Square, langsung didekati oleh seseorang yang hendak menawarkan jasa tour guide seputar area Durbar Square. Gue langsung nolak. Tapi orang ini gigih banget menawarkan jasanya. Cara teraman adalah langsung melengos cuek meninggalkan si tour guide. Dan walaupun udah beberapa lama di area yang sama, beberapa orang berbeda akan silih berganti mendekat dan menawarkan jasa yang sama. Tips menghindarinya adalah menolak dengan tegas namun sopan.

Tujuan selanjutnya adalah Patan Durbar Square. Suasana di sini lebih ramai dari di Bhaktapur. Posisinya di sebelah jalan besar yang dilalui kendaraan, dan berseberangan dengan sebuah pasar tradisional. Gue sekedar berkeliling kawasan ini, tanpa masuk ke salah satu museum pun - karena harus bayar tiket lagi - berfoto - foto, lalu duduk - duduk di tangga bangunan - bangunannya yang unik itu, mungkin beralaskan kotoran merpati yang merupakan penghuni tetap di Durbar Square tersebut, dan setelah itu gue pun meninggalkan lokasi.


Loket masuk Patan Durbar Square
Di belakang King Yoganarendra Malla statue
Manga Hiti, sumber air untuk kebutuhan sehari - hari penduduk sekitar Patan

Ornamen di atas pintu masuk Patan Museum
Bekpeker gembel kelaparan
Pahatan dan ukiran di pintu masuk temple
Gue justru penasaran untuk menyeberang jalan dan melihat - lihat pasar tradisional. Gue seneng banget liat pasar - pasar di Kathmandu yang selalu terlihat 'hidup' dan sibuk, seperti pusat kegiatan penduduk lokal. Yang mengherankan, pasar - pasar tersebut padat oleh penjual dan pengunjung, sepanjang waktu. Gue jadi bingung, apakah kebanyakan orang - orang lokal sini berkeliaran di pasar melulu sepanjang hari.

Pasar tradisional di seberang Patan Durbar Square

Di Kathmandu banyak banget yang berjualan syal. Mungkin karena cuacanya saat ini yang dingin, jadi syal adalah aksesoris wajib. Gue sempat membeli salah satu syal dengan harga Rs 200 saja. Murah banget.....Di Jakarta gue belum pernah melihat model seperti itu...dan kalaupun ada, harganya pasti jauh lebih mahal.

Setelah itu gue meninggalkan kawasan Patan Durbar Square dan kembali ke Happily Ever After Hostel. Tiba di hostel gue beristirahat dengan merebahkan badan di kasur. Mau jam berapa pun, meskipun matahari kayaknya bersinar maksimal, tapi gue selalu kedinginan di Kathmandu ini. Gue kedinginan, namun di saat yang sama gue kangen berat untuk mandi. Ini adalah rekor terlama gue ngga mandi. Gue belum mandi sejak mendarat di Kuala Lumpur dan Kathmandu, itu berarti sudah 3 hari. Tapi sampai sekarang gue ngga punya secuil pun nyali untuk mengguyurkan air ke tubuh gue. 

Jangankan air untuk mandi, bahkan gue bersusah payah untuk menyesuaikan diri dengan air mineral di sini. Semua air mineral yang gue beli otomatis menjadi dingin seperti air es, walaupun tidak disimpan di kulkas. Itu juga yang bikin gue udah mulai merasakan radang tenggorokan. Karena gue ngga terbiasa mengkonsumsi 'air dingin' secara terus menerus. Selain itu gue udah mulai merasakan gejala - gejala sinus gue kambuh. Jelas aja....karena apapun pantangan penyakit sinus gue ada di sini : debu dan dingin. Debu di sini memang dahsyat banget.....untung gue selalu bawa dan menggunakan masker kemana pun gue pergi.....kecuali pas difoto, biar keren....

Seperti biasa, sore itu gue melanglang buana ke Kathmandu Durbar Square. Sore itu lebih gelap dari sore - sore sebelumnya, karena kebetulan pas waktu pemadaman listrik. Gue pun ngga berlama - lama di sini, tapi gue juga ngga mau kembali ke hostel terlalu dini. Maka mampirlah gue di sebuah kawasan pertokoan. Bagian depan pertokoan ini berupa toko - toko jam. Gue mampir ke salah satunya, dan dengan iseng tanpa harapan sedikitpun bertanya ke bapak pemilik toko. "Bapak punya jam sekecil ini?" kata gue sambil nunjukkin jam tangan Alba gue yang diameternya cuma 1 cm. Gue ngga pernah berharap bakal menemukan jam seperti ini lagi gue sudah berusaha mencarinya ke mana pun di Jakarta, dan tidak ada yang menjual. Lalu si bapak ini mengangguk dan bilang, "Ada...tunggu..." Gue bengong. Si bapak pun mengambil beberapa jam tangan dan etalase di belakangnya dan tampaklah sebuah jam tangan mini yang nyaris sama persis dengan jam Alba gue. Gue ngga bisa berkata apa - apa saking takjubnya. Terus gue ambil jam itu, mau gue pasangkan di tangan gue. Si bapak yang mungkin merasa ukuran antara jam mini tersebut ngga sebanding dengan postur tubuh dan tangan gue yang tambun ini, bilang "Kamu jangan pakai yang itu....terlalu kecil...ini ada yang lebih besar..." *sialan!* Dengan halus gue menolak dan bilang kalau gue memang penggemar jam - jam berukuran super kecil. Negosiasi harga pun terjadi. Si bapak penjual jam awalnya menawarkan di harga Rs 1,950, dan di akhir dari proses tawar menawar itu, gue keluar sebagai pemenang yang berhak membawa pulang kembaran jam mungil gue seharga USD 10. 

Malam itu gue pulang dengan membawa sebuah jam mungil ala Nepal, dan hati dipenuhi sukacita yang meluap - luap. Meskipun Thamel saat itu nyaris gelap gulita karena pemadaman listrik, tapi di mata gue langit saat itu terang benderang cerahnya, saking girangnya gue. 

Ngga beberapa lama gue pun tiba di hostel. Malam itu gue kembali tidur di tengah perjuangan menahan rasa dingin. Dan ini adalah tidur malam terakhir gue di Kathmandu. Udah terbayang betapa beratnya besok ketika gue harus mengucapkan selamat tinggal...pada kamar yang sempit ini, dengan kasurnya yang tipis dan selimut risolnya.

Monday, February 16, 2015

Hari Kedua : Bertemu Sadhu Kathmandu

'Peace'
Petualangan gue di hari kedua ini dimulai dengan pencarian paket city tour Kathmandu, di sepanjang jalan Thamel. Di sini memang terdapat banyak tour agent / operator yang menyediakan paket tour mulai dari city tour Kathmandu, sampai paket tour ke Tibet dan Bhutan segala. Alasan mencari paket tour adalah karena gue nyaris ngga melihat adanya transportasi umum di sini selain taksi. Dan setelah tiba di Kathmandu gue sadar bahwa lokasi - lokasi wisata di Kathmandu, selain Kathmandu Durbar Square, jaraknya jauh dari Thamel. Demi menghemat waktu dan uang, gue memilih cari paket tour.

Singkatnya, pagi itu gue menemukan tour agent bernama Oxford yang lokasinya ngga jauh dari Happily Ever After hostel. Agent ini menawarkan paket 1 day city tour ke Boudanath, Pashupatinath, Budhanilkantha, Swoyambhunath dan Kathmandu Durbar Square dengan harga super ekonomis : Rs 800 saja (1 Rs atau Nepali Rupee = 130 Rupiah).

Berhubung gue diminta untuk kembali ke kantor Oxford jam 10 paginya, maka gue melewatkan pagi itu mengunjungi Garden of Dreams yang bisa ditempuh dengan jalan kaki dari hostel. Garden of Dreams ini...bagaikan secuil oase di tengah kepadatan kota Kathmandu. Menurut gue Kathmandu, terlebih yang gue lihat dari kawasan Thamelnya, sangat padat (baik oleh penduduk dan bangunan), agak tandus, dan di beberapa area gue perhatiin kebersihannya kurang terjaga. Dan Garden of Dreams menawarkan keindahan taman dan bangunan bergaya neo klasik yang menyajikan pemandangan nan hijau, asri dan udara segar.

Garden of Dreams
Namun yang bikin bingung dan menurut gue sangat disayangkan, beberapa bangunan cantik dari tempat yang dibangun sejak tahun 1920 ini justru digunakan sebagai kafe dan restaurant. Gue kurang setuju kalo ada tempat - tempat bersejarah dan indah dikomersialkan kayak gitu. Just my thought...

Ayunan unik ala Garden of Dreams
A piece of tranquility


Puas di area Garden of Dreams yang ngga terlalu luas itu, gue menuju kantor Oxford. Di sana gue menunggu sampai sekitar 30 menitan hingga akhirnya salah seorang staff Oxford mengantar gue ke suatu sudut Thamel, dan berhenti tepat di pinggir jalan. Kata si staff gue harus menunggu mobil tour di situ. Gue terbengong. Tadi gue udah nunggu di kantor Oxford, lalu sekarang gue nunggu lagi. Mending gue nunggu di kantor Oxford sekalian dari pada di pinggir jalan begini.

Ngga beberapa lama kemudian datanglah sebuah minibus yang mirip mobil Elf (kalau di Indonesia) yang kondisinya udah ngga bagus - bagus amat, dan penuh dengan penumpang lainnya. Di dalam mobil ada seorang ibu muda dengan bayinya, seorang perempuan muda lainnya yang ternyata adalah tour guide dan sisanya para lelaki. Karena semua penumpang tersebut tampak seperti warga lokal, gue jadi bingung apakah gue masuk ke bus yang benar, karena gue pikir kalo mereka warga lokal ngapain juga mereka ikutan city tour ? Lagian, gue masih antara percaya ngga percaya, karena kondisi mobilnya yang butut gitu.

Ternyata benar adanya, itulah bus yang akan mengantar gue mengeksplorasi kota Kathmandu seharian ini. Dalam hati gue menertawakan diri sendiri, karena bisa - bisanya gue sempat berharap diantar dengan bus eksklusif, bagus dan nyaman, padahal cuma membayar paket seharga Rs 800. Namun ngga berapa lama, gue mulai menikmati perjalanan tersebut. Mengenai kondisi mobil, berhubung cuaca Kathmandu dingin dan sejuk, gue tetap merasa nyaman di dalam bus butut ini.

Bus Tour
Tujuan pertama adalah ke sebuah kuil Hindu yang paling disucikan di Nepal, Pasupatinath. Kuil ini terletak di pinggir sungai Bagmati. Untuk memasuki lokasinya gue harus membayar sebesar Rs 1,000. Yang bikin sedih adalah karena gue ngga diijinkan masuk ke area utama dari kuil yang sangat luas ini, berhubung gue bukan penganut Hindu. Rasa sedihnya tuh....setinggi langit sedalam samudra.

Gue selalu senang mengunjungi kuil Hindu dan Buddha, baik yang di ada di negeri sendiri maupun di negeri - negeri yang pernah gue singgahi. Biasanya gue diperbolehkan masuk ke dalam kuil. Sebenarnya gue sangat mengerti jika kuil atau tempat ibadah manapun menerapkan aturan ketat mengenai tamu yang boleh dan ngga boleh masuk ke dalamnya, sehubungan dengan hal kesuciannya. Di mata gue, agama (Hindu) seakan - akan identitas utama Nepal. Gue terlalu bersemangat untuk menikmati keindahan pesona "kepercayaan" Hindu di negeri ini. Dan larangan untuk gue ngga boleh melihat dari dekat beberapa keindahan itu, bikin gue sedih bukan kepalang.

Begitu memasuki pintu utama kuil, tepatnya di sebelah loket penjualan tiket masuk, gue dihentikan oleh seorang lelaki, yang mengingatkan gue untuk membeli tiket masuk. Si lelaki yang entah siapa namanya ini berbicara demikian meyakinkan seakan - akan dia adalah staff kuil atau petugas loket, atau semacamnya. Setelah membeli tiket masuk, tanpa diminta, si lelaki ini pun mengantar ke pintu masuk bagi orang - orang bukan Hindu yang ngga boleh masuk ke pintu utama.

Dan si lelaki tak diundang ini terus mengikuti. Insting gue bilang, kalo lelaki ini pastilah seorang tour guide, dan gue sudah terjebak. Gue berusaha cuek, tapi sulit juga....karena kuil ini murni tempat ritual keagamaan, bukan wisata. Jadi tanpa ditemani oleh seorang (lokal) yang mengenal area ini serta aturan - aturan yang berlaku di dalamnya, gue bingung juga. Di awal kunjungan, si lelaki ini mengantarkan gue ke lokasi yang...entah gimana menggambarkannya....sepanjang sejarah gue tertarik untuk mengenal budaya dan kepercayaan Hindu, mungkin ini adalah momen paling anti mainsteam, yaitu menyaksikan ritual pembakaran mayat, dan diawali dengan persiapannya, salah satunya memandikan mayat, yang siang itu dilakukan di sungai Bagmati. Awesome....! Dear Nyonya Sitanggang alias Mama....putrimu yang panjang kaki ini dan super dupper aneh ini...yang doyan mengunjungi makam - makam ini...kali ini mendapat kesempatan spektakuler sensational luar biasa untuk melihat pemandian dan pembakaran mayat. Dahsyat !

Pasupatinath Temple
  
Elderly Home
Proses Pemandian Mayat
Tempat pembakaran mayat

"Tempat" menarik lainnya yang ditunjukkan oleh si lelaki tour guide tak diundang ini adalah sebuah kuil dimana 3 orang sadhu sedang duduk. Ketika melihat ketiganya, perasaaan gue langsung campuk aduk : deg-degan, sedikit takut, dan senang bukan main. Penampilan wajah para sadhu seperti dicat warna - warni gitu, didominasi warna kuning ala kunyit...dan rambutnya....Oh my God...panjang dan gimbal. Entah siapa yang duluan punya gaya rambut kayak gitu, tapi kayaknya orang - orang bergaya rasta sekalipun kalah keren dari para sadhu ini. 

Yang bikin senang ? Pas di pesawat tujuan Kuala Lumpur - Kathmandu, gue sempat baca majalah Travel 3Sixty dengan sampul depannya adalah foto tiga orang sadhu Nepal! Dan majalah Travel 3Sixty edisi kali ini membahas soal Nepal...kebetulan yang keren banget khan ? Mendapat kesempatan untuk berfoto bersama para sadhu ini bikin gue senang bukan main sampe pengen loncat - loncat dan guling - guling di tanah, walaupun banyak kotoran merpati dan anjing di situ.

Ketika hendak difoto kedua sadhu yang duduk di sebelah kanan gue menunjukkan semacam mudra dengan jari mereka dan gue sempat mendengar mereka mengatakan "peace". Sementara sadhu satunya lagi yang duduk di sebelah kiri meletakkan telapak tangannya di kepala belakang gue sambil membisikkan sesuatu yang gue asumsiin mungkin doa. Lalu, ceklekkk!! Itu adalah salah satu foto kesayangan gue sepanjang masa yang entah kenapa kegirangan mendapatkannya masih gue rasakan sampai sekarang.

Para sadhu, yang sering disebut juga Baba, dalam kepercayaan umat Hindu dianggap sebagai orang suci. Mereka ada para pertapa yang mengasingkan diri dan meninggalkan kehidupan duniawi mereka dan mengisi hidup dengan melakukan meditasi baik di gua - gua, hutan, maupun kuil. Melihat belahan dunia lain, dan bertemu dengan sosok - sosok 'ngga biasa' seperti mereka, dengan rutinitas dan filosofi hidup, bahkan jalan kehidupan yang mereka pilih, yang berbeda total dengan apa yang gue miliki, adalah 'kenikmatan' dari traveling yang sesungguhnya. Inilah salah satu esensi dari traveling (dalam kamus gue), yaitu melihat betapa 'warna - warninya' dunia, terlebih manusia yang menumpang hidup di dalamnya.

Setelah mengunjungi beberapa kuil dan tempat lainnya dalam area kuil Pasupatinath, gue pun bermaksud untuk meninggalkan lokasi dan kembali ke bus. Tentunya ini saatnya untuk 'berpisah' dengan si lelaki tour guide tak diundang ini...Gue memberikan USD 5 ke si lelaki ini. Meskipun gue ngga suka dengan caranya di awal yang terkesan memaksakan turis (yaitu gue) untuk menggunakan jasanya karena gue ngga tahu apa - apa, namun gue harus berterima kasih juga ke dia karena sudah menunjukkan sebagian sisi dari kuil ini dengan cerita panjang lebarnya dan terlebih telah membawa gue pada ketiga sadhu yang gue kagumi itu.

Setelah itu gue kembali ke bus dan bertemu dengan peserta lainnya. Oya...dalam perjalanan hari itu gue akhirnya tahu bahwa para peserta tour itu adalah turis - turis dari India dan Bangladesh.

Boudanath
Prayer Wheel
 
Tujuan berikutnya adalah Boudanath, yang merupakan kuil Buddha yang memiliki stupa terbesar di Nepal, dan merupakan pusat kebudayaan Tibet di Nepal. Untuk masuk ke kawasan Boudanath gue harus membayar Rs 250. Keasyikan disini, selain bisa mengelilingi stupanya, juga bisa masuk dan menaiki stupa dan melihat dari dekat puncak stupa. Di keempat sisi puncak stupa itu gue bisa melihat lukisan mata dengan tatapan misterius dan penuh makna, seakan - akan memandang lurus dan tajam kepada siapapun yang sedang memandangnya. 

Berikutnya, group tour dibawa menuju kuil Budhanilkantha di bukit Shivapuri, yang disebut juga kuil Narayanthan. Di sini terdapat patung Dewa Wisnu (Narayan) berukuran 5 meter berbaring di atas sebuah kolam. Di sini kesedihan kembali menimpa, karena lagi - lagi gue ngga diijinkan masuk ke area kolam dimaksud, karena hanya penganut Hindu yang diperbolehkan mendekat ke patung tersebut. Jadi gue cuma bisa melihat dan memotret patung Dewa Wisnu dari kejauhan.
 
Patung Dewa Wisnu
 


Dari kuil Budhanilkanth, group tour dibawa menuju ke sebuah rumah makan alakadar yang menyajikan makanan - makanan khas lokal. Gue, yang kehilangan napsu makan, ngga memesan apapun...Ini adalah kondisi dimana gue terlalu kaget untuk 'bertemu' jenis - jenis makanan baru, baik dari bahan - bahannya, bumbu - bumbunya dan cara pengolahannya, yang menghasilkan makanan yang baik secara tampilan, aroma bahkan bentuknya terlalu jauh berbeda dari makanan yang biasa gue konsumsi alias benar - benar asing buat gue....sampai - sampai gue ngga ada ketertarikan untuk mencoba atau mencicipinya. Dalam kondisi begini, rasanya gue malu punya blog bernama "akucintamakan" karena sebenarnya gue ngga semudah itu untuk tertarik makan, terlebih jika itu makanan - makanan asing yang baru gue kenal. 

Tapi paling ngga, disini gue mendapat hiburan yaitu melihat langsung cara membuat roti prata yang tersohor itu, dengan cara yang paling tradisional yang gue pernah lihat. Selain itu gue juga ketularan 'kenyang' demi melihat orang - orang dalam group tour ini yang makan dengan lahapnya, dengan gaya spontan dan khas, pake tangan, jilat sana jilat sini, sesekali diselingi mengelap keringat akibat keseruan acara makan itu bak pertempuran aja, trus sesekali memanggil - manggil pemilik rumah makan untuk menambah porsi. Di saat mereka makan, ngga ada sedetikpun kesunyian. Karena sesibuk apapun mereka dengan makanan masing - masing, mereka juga asyik mengobrol satu dengan lainnya. Entah apalah yang mereka bahas dengan semangat berapi - api begitu. Mungkin mengenai kesan - kesan mereka mengunjungi kuil - kuil tadi ? Entahlah....Yang jelas, ngiri banget gue ngelihatnya!
Lepas dari makan siang, berikutnya group tour dibawa ke Swoyambhunath atau sering disebut Monkey Temple dan tujuan akhir adalah ke Kathmandu Durbar Square. Begitu tiba di Kathmandu Durbar Square, gue berpisah dari group tour, karena lokasinya udah dekat dengan hostel. Gue sempat berkeliling di Kathmandu Durbar Square beberapa saat, dan menjelang gelap gue melesat menuju hostel. Dan seperti malam sebelumnya, gue kembali kesasar dan lupa arah pulang. Tips untuk menyelamatkan diri ketika tersesat di Thamel adalah membawa kartu nama hostel. Jadi ketika tersesat, gue bertanya ke orang yang gue temui dan menyodorkan kartu nama hostel, dan mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk menunjukkan arah ke gue.





Keluarga kecil bahagia sejahtera
Kathmandu dilihat dari puncak Swoyambhunath Temple

Stupa Swoyambhunath
Malam itu gue sempat membeli buah - buahan, apel dan jeruk, yang harganya sangat terjangkau, bahkan lebih murah dari di Jakarta. Gue pun menikmati makanan pengganjal perut ini di dapur hostel. Ketika waktunya tidur, gue turun ke kamar, dan memulai ritual sama seperti malam sebelumnya: tidak mandi dan hanya membersihkan muka dan gosok gigi, menambah kaos yang gue pakai, memakai kaos kaki, jaket, bahkan syal. 

Begitu gue cek handphone, seperti yang udah gue duga, ada sms dari Mama dan Carol yang sedang menanti kabar dari gue. Seharian ini gue emang belum mengirim satupun sms ke Mama. 

Gue segera mengirimkan sms ke Mama. Berita paling menenangkan buat Mama ketika gue sedang bekpekeran kemana pun adalah, "Ma, Cei udah di kasur dan mau tidur..." Dengan begitu Mama jadi tenang dan bisa tidur, karena yakin anak perempuannya yang panjang nian kakinya ini ngga akan berkeliaran kemanapun lagi hari itu. Mama belum tenang kalau gue sekedar bilang, "Cei udah di hostel...." karena artinya sewaktu - waktu ada kemungkinan gue akan kembali meninggalkan hostel untuk keluyuran entah kemana.

Dan untuk Carol, gue mengirimkan pesan melalui WhatsApp, "Carol, kalo ketemu Mama kasih lihat foto gue yang paling keren dan mutakhir ini. Gue lagi ama pendeta - pendeta Hindu..." dan gue melampirkan foto kebanggaan bersama ketiga orang sadhu itu. Dan secepat kilat Carol membalas, "Serem banget !!!"

Friday, February 06, 2015

Hari Pertama : Seru Menuju Kathmandu


Thamel

Seperti Januari - Januari sebelumnya dalam hidup gue beberapa tahun belakangan, gue akan mengisinya dengan trip bekpekeran, yang gue persiapan untuk merayakan hari ulang tahun. Dan di tahun ini, rasa penasaran yang menjelma menjadi keinginan sekuat baja, membawa gue ke negeri antah - berantah : Nepal.

Rasa penasaran akan Kathmandu, ibukota Nepal, mulai "mengganggu" gue sejak awal tahun lalu. Kenapa Kathmandu ? Ada apa di Kathmandu ? Sebenarnya gue ngga mengenal kota ini sama sekali. Mendengarnya aja jarang banget. Tapi ada saat - saat di mana hati gue tertarik untuk pergi ke suatu tempat antah - berantah dan begitu terobsesi untuk mencapainya, meskipun tempat itu bukanlah tempat yang "populer" secara umum, dan bahkan gue ngga tahu apapun mengenai tempat itu. Tujuan yang ngga perlu alasan atau penjelasan untuk bikin gue tertarik. Salah satunya Kathmandu. Dalam pikiran gue, Nepal adalah negara eksotis yang kaya dengan sejarah dan kehidupan religius. Jadi, sejak setahun yang lalu, gue sekonyong - konyong membuat janji pada diri sendiri : gue harus ke Nepal....entah kapan pun itu...

KLIA2
Dan hari spesial itu pun tiba. Judul tulisan gue "Seru Menuju Kathmandu" karena ini adalah perjalanan paling panjang yang pernah gue tempuh untuk mencapai tujuan (di luar negeri). Tanggal 21 Januari 2015 gue terbang ke Kuala Lumpur dengan AirAsia (Flight QZ 202) jam 06:25 pagi. Gue dijadwalkan tiba di Kuala Lumpur jam 09:25 pagi waktu setempat. Kemudian, jam 11:50 siang waktu Kuala Lumpur, gue akan lanjut berangkat menuju Kathmandu. Dari awal gue sadar, waktunya sempit banget, dan sempat bikin gue deg - degan. Tapi berhubung gue sudah sangat mengenal airport Kuala Lumpur, gue jadi optimis bisa mengejar waktu. Saat itu, gue belum sadar bahwa AirAsia akan mendarat di KLIA2, bukan lagi di LCCT.

Koridor - koridor panjangnya KLIA2
Gue mulai merasa ada yang "janggal" ketika mendengar pengumuman pramugari, sesaat sebelum pesawat mendarat di KLIA2. Gawat, gue pikir. Ini adalah pertama kalinya gue mendarat di sini, dan benar - benar buta akan terminal ini. Dan keseruannya pun dimulai. KLIA2 adalah terminal yang maha luas! Dan untuk gue yang baru pertama kali ke sini, benar - benar kesulitan mencari petunjuk arah, baik ke imigrasi, lalu ke pintu keluar, dan menuju terminal keberangkatan internasional lagi. Sepanjang pencarian gue menuju boarding hall, gue berlari ke sana kemari. Modal gue cuma tenaga seadanya, perut lapar, petunjuk arah di dalam gedung airport, dan insting !

Sepanjang pencarian itu, dalam hati gue mengutuki betapa luasnya terminal KLIA2 ini. Gue berasa kayak butiran debu di lapangan bola ! Beda banget dengan LCCT. Gue udah berkali - kali ke sana, secara keseluruhan ngga mega luas kayak KLIA2, sampai - sampai gue bisa mencari lokasi apapun dengan mata tertutup! *lebay najong* Di KLIA2 ini, gue ngga bisa ngebayangin bagaimana orang yang kurang sehat, atau berusia lanjut untuk menempuh perjalanan sejauh ini, sekedar untuk menuju pemeriksaan imigrasi saja.

Akhirnya gue tiba di pintu keluar gedung kedatangan. Perjuangan seru selanjutnya pun dimulai, kali ini gue kembali berlari - lari mengejar waktu untuk menuju terminal keberangkatan internasional. Kelar pemeriksaan imigrasi, berikutnya gue harus mencari gate Q untuk boarding. Tapi sebelumnya gue mampir di area foodcourt yang ngga kalah luas dan menariknya, untuk mampir makan siang. Di situ gue menyantap menu chicken rice. Setelah itu, gue melanjutkan pencarian gate Q yang jauhnya kebangetan. 

AirAsia X
Gue pun tiba di boarding room untuk keberangkatan AirAsia penerbangan No. D7192 tujuan Kathmandu. Rasanya....terharu ! Yang selama ini gue khayalkan....sambil monitor terus harga tiket Kathmandu di websitenya AirAsia...dan sekaranglah saatnya, detik - detik keberangkatan ke sana. 

Ngga beberapa lama kemudian, gue memasuki pesawat AirAsia X yang....(duh...ndeso !)...gedeeee banget ! Ini pertama kali gue naik AirAsia X Airbus A330-300, dan gue ngga bisa menyembunyikan rasa takjub demi melihat pesawat yang luas ini. Bayangin, nomor bangkunya aja sampai 51, trus terdiri dari 3 baris dengan susunan bangku 2 - 3 - 3 dan beberapa bangku di bagian belakang menjadi 2 - 3 - 2. Kalo diitung kasar, pesawat ini menampung lebih dari 400an orang kalo gitu. Emang norak banget, tapi maklumlah....ini pertama kalinya gue naik AirAsia X. 

Kabin AirAsia X
Perjalanan panjang pun gue lalui, total 4.5 jam. Selama perjalanan gue melalui fase berliku mulai dari bersemangat, bosan, lapar dan haus, cape duduk, dan pantat pegal. Gue sampai harus beberapa kali meninggalkan bangku untuk sekedar berdiri, mengistirahatkan pantat dan sekedar meluruskan badan. Gayanya beda tipis ama ketika berdiri di bus kota atau kereta. Sambil berdiri, berpegangan seadanya pada ruang penyimpanan barang di atas bangku, lalu kedua mata memandang ke arah jendela dan melihat hamparan awan di luar sana. 

Akhirnya pengumuman yang ditunggu - tunggu pun datang, pesawat akan segera mendarat di Tribhuvan International Airport sesaat lagi. Mama, Cei udah di Nepal sekarang, walaupun masih di ketinggian sekian puluh ribu kaki di atas permukaan laut, tapi, Cei di Nepal ! Hooorreeee !!

Dan AirAsia X penerbangan No. D7192 yang berukuran tambun itu pun mendarat di Tribhuvan International Airport, yang bangunannya tampak disusun dari batu bata merah. Gue pun menuju area imigrasi dan mengurus Visa on Arrival (Mudahnya Mengurus Visa On Arrival Ke Nepal).

Taxi di Kathmandu
Setelah itu gue meninggalkan bangunan airport. Tepat di pintu keluar gue melihat kios prepaid taxi, dan memesan taxi menuju Happily Ever After Hostel di Thamel dengan tarif USD 8. Begitu diantar ke taksi yang gak bagus - bagus banget itu, tiba - tiba seorang laki - laki tanpa diundang ikut masuk dan duduk di depan, sebelah supir. Gue udah pernah baca pengalaman orang lain mengenai ini. Si lelaki ini pastinya orang yang hendak menawarkan paket wisata Nepal. Tapi begitu ngerasain sendiri, gue langsung jengkel karena menurut gue lancang banget perusahaan  taksi dan si lelaki ini yang seenaknya masuk tanpa permisi ke taksi yang gue sewa. 

Di sepanjang perjalanan si lelaki ini dengan pantang menyerah berusaha menawarkan paket - paket tour. Gue berusaha tetap ramah dan menolak dengan bilang, "Gue ngga punya uang..." Trus dia ngotot kalo paketnya udah yang paling murah dibandingkan tour agent lainnya. Like I care ??! Trus sekenanya gue jawab, "Gue ngga punya uang dan gue akan mengunjungi tempat - tempat wisata dengan jalan kaki..." Trus si lelaki menyebalkan ini makin ngotot, katanya gue ngga mungkin menjangkau tempat - tempat wisata di Kathmandu dengan berjalan kaki karena semua jaraknya berjauhan. Trus dengan singkat dan santai gue bilang, "Ya udah, kalo gitu gue akan tidur di hostel aja....karena gue gak punya uang..." 

Beberapa saat si lelaki nampak putus asa dan berbicara dengan si sopir. Tapi sesekali dia menghadap ke arah gue lagi dan terkesan 'memaksa' untuk ikut paket tournya dia. Tiap kali dia melakukan itu, gue akan menjawab singkat "Ngga punya uang..." sambil menggeleng kepala dan tersenyum. Mungkin gue harus melakukannya puluhan kali selama perjalanan selama sekitar 30 menit itu, sampai gue tiba di hostel. Si lelaki turun duluan, ketika taksi sudah memasuki kawasan Thamel. Bahkan ketika menutup pintu pun dia sempat - sempatnya mencondongkan kepala ke arah gue dan berpesan kalo gue tertarik dengan paket tournya, gue bisa minta tolong staff hostel untuk menghubungi dia. Dan gue jawab singkat, "Okay!"

Kathmandu Durbar Square
Selanjutnya gue check in di Happily Ever After Hostel (Review Hostel : Happily Ever After). Gue beristirahat sejenak di kamar sambil maskeran. Apaaa ? Maskeran ?? Iya, pake Viva White Clean Mask Freshner (penting banget sebut merek sgala!) Kadang gue emang begini kalo lagi centil...segala sunscreen, body lotion, day cream, night cream, dan kawan - kawannya gue boyong ke dalam ransel yang ngga gede - gede banget. Tapi kalo lagi males.....sabun mandi aja bisa ketinggalan di rumah! 

Soal bermasker ria ini, maklumlah, gue udah hampir 24 jam ngga mandi dan membersihkan muka. Terakhir gue mandi ketika pulang kantor kemarin malam. Malam itu juga gue berangkat ke Soeta Airport untuk menginap, karena malas menghadapi hiruk - pikuk perjalanan ke airport pagi ini. Dan sampai sekarang gue belum mandi lagi. Awalnya gue berencana untuk mandi ke LCCT, namun apa daya...rencana buyar karena ternyata gue mendarat di KLIA2. 

Sekitar jam 4 sore gue meninggalkan hostel untuk melihat - lihat Thamel. Ketika itu, meskipun langit Kathmandu sangat cerah, tapi gue udah merasakan kedinginan. Sepanjang menyusuri jalan - jalan Thamel gue melihat wisatawan asing dan warga lokal dengan pakaian tebal dan topi wol masing - masing. Suhu Thamel di bulan seperti ini bisa mencapai 8 derajat celcius. Dahsyat! Gue, yang lemah terhadap dingin, harus 'berjuang' menghadapi cuaca lumayan ekstrim yang gue hadapi sepanjang hari ini. Dari panasnya Kuala Lumpur, ke dinginnya Kathmandu. Untung gue bawa jaket cukup tebal, tapi nyesel karena ngga bawa sarung tangan dan topi wol. Dalam beberapa menit aja, ujung - ujung jari gue langsung memutih dan berkeriput!

Thamel
Sore itu gue menuju Kathmandu Durbar Square. Gue sempat berkeliaran di sana beberapa saat dan ketika mencari arah kembali ke hostel gue kesasar beberapa kali. Kesasar di lorong - lorong Thamel yang sempit dan tampak sama semua, di saat langit gelap dan tanpa penerangan jalan yang memadai, lumayan bikin ngeri dan cape. Untungnya, warga Thamel tuh ramah -ramah banget dan senang membantu....udah gitu kebanyakan mereka bisa komunikasi dalam bahasa Inggris seadanya. Mungkin karena Thamel area turis banget. 

Akhirnya gue tiba di dekat hostel. Meskipun perut lapar, namun malam itu gue seakan - akan kehilangan nafsu makan. Ini 'penyakit' kambuhan yang merepotkan. Akhirnya malam itu gue makan chicken wrap di sebuah kios kecil, ditambah beli coklat Kitkat. Khusus untuk coklat, nafsu makan gue ngga pernah bermasalah. Justru disaat gue ngga nafsu makan 'besar' kayak malam ini, coklat membantu mengganjal perut gue yang lapar.

Sekitar jam 8 malam pun gue kembali ke hostel. Di kamar, gue membersihkan muka dan sikat gigi, trus menambah kaos yang gue pakai, lalu melapisinya dengan jaket lagi. Malam ini, perjuangan gue melawan dingin pasti akan heroik banget. Ketika rebah di kasur, gue mengejek diri sendiri yang dengan bodohnya membawa celana pendek warna pink kesayangan untuk tidur. Celana pendek yang sama yang gue pake untuk tidur saat traveling ke Bangkok. Namun akan tampak bodoh luar biasa kalo gue pake di Kathmandu saat musim seperti ini. Kalau saat ini gue tidur memakai celana itu, dipastikan beberapa jam lagi gue akan membeku. mulai dari pinggang ke bawah. Dan gue pun menutup malam itu dengan mengirim sms ke Mama, "Ma, Cei udah di kamar hostel, mau tidur. Suhu di sini 14 derajat Celcius, Cei kedinginan...."