I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Thursday, February 25, 2016

Mencoba Memahami UU Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat)

Kemarin, Selasa 23 Februari 2016, undang-undang yang mengatur mengenai Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) disahkan. Gue sudah mendengar rumor mengenai undang-undang ini sejak beberapa bulan belakangan. Saat itu yang terlintas di benak gue, "Aduh...potongan gaji lagi ?"

Tapi setelah itu gue cuek, dan ngga berniat mencari tahu lebih dalam mengenai  Undang - Undang Tapera ini. Barulah setelah UU ini diresmikan kemarin, gue mulai tergerak dan peduli untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya, demi mendapatkan gambaran jelas mengenai UU yang berpotensi menambah beban potongan gaji gue.

Dari informasi-informasi yang coba gue gali dari berbagai sumber yang (semoga) terpercaya, gue pun mendapat secuil pemahaman dan gambaran mengenai UU ini, antara lain :

Apa objektif dari Undang-Undang ini ?
  1. Menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang bagi pembiayaan perumahan yang terjangkau
  2. Memberikan kemudahan kepada peserta dalam mengakses pembiayaan perumahan
  3. Memberikan kepastian hukum kepada peserta dalam mendapatkan pembiayaan rumah
  4. Memberikan perlindungan kepada peserta dalam mendapatkan pembiayaan perumahan
Bagaimana objektif tersebut bisa tercapai ?
Caranya dengan membentuk tabungan dari seluruh pekerja (baik swasta maupun PNS). Dana tabungan yang dihimpun melalui Tapera akan dikelola dalam instrumen investasi. Selanjutnya, bunga dari investigasi itu akan dipakai untuk mensubsidi kredit perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Siapa yang masuk kategori MBR ?
Pekerja yang gajinya maksimal Rp. 4,000,000,-. Gaji pokok atau setelah tunjangan ? Bruto atau netto ? Masih belum dapat info detilnya.

Berapa potongan yang dibebankan pada pekerja untuk tabungan Tapera ini ?
Sejauh ini yang ditetapkan maksimalnya adalah 2.5% dari pekerja, dan 0.5% dari Perusahaan atau pemberi kerja.

Siapa yang berhak menggunakan fasilitas pembiayaan perumahan Tapera ?
Untuk fasilitas kepemilikan rumah, hanya MBR yang berhak. Untuk non MBR, hanya bisa 'menikmati' fasilitas tabungannya, yang baru bisa dicairkan pada usia 58 tahun. Lho...jadi ini semacam dana pensiun dong ? Trus apa bedanya sama BPJS Ketenagakerjaan ?

Apa perbedaannya antara Tapera dan BPJS Ketenagakerjaan ? Bukankah dana BPJS Ketenagakerjaan juga dialokasikan untuk pembiayaan perumahan rakyat ?
Pertama, kalau BPJS Ketenagakerjaan hanya mengalokasikan 30% dari dana yang dikelolanya untuk pembiayaan perumahan. Sementara Tapera, seluruh dananya dialokasikan untuk pembiayaan perumahan rakyat. Kedua, BPJS Ketenagakerjaan bisa dimanfaatkan hanya untuk bantuan uang muka perumahan bagi peserta. Sementara Tapera dialokasikan untuk membiayai program penyediaan rumah murah (bagi MBR), meliputi pembangunan dan pembiayaan kepemilikannya. Tumpang tindih ngga sih namanya ?

Kapan UU Tapera efektif berlaku ?
2 (dua) tahun setelah disahkan, yaitu Februari 2018.

Secara teknis gimana pelaksanaan Tapera ini ? Siapa yang mengelola ? Bentuk investasinya seperti apa ? Pengawasannya ? 
Kayaknya gue harus bersabar untuk mendapatkan jawaban detail dari pertanyaan-pertanyaan ini, karena Pemerintah saat ini masih berencana menyusun Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan UU Tapera ini. Karena itu UU ini baru akan efektif tahun 2018, karena masih banyak yang harus dibenahi dan dipersiapkan untuk mendukung pelaksanaannya.

Saat ini gue tetap optimis dan berpikir positif akan hadirnya UU ini, terlebih konsepnya terkesan mulia dan luhur banget, gotong-royong, dimana pekerja non MBR dan MBR bersama-sama menabung, agar membantu dan mendukung MBR mewujudkan harapan untuk memiliki rumah sendiri.

Gue masuk dalam kategori non MBR. Saat beberapa tahun lalu gue memulai langkah mewujudkan rumah impian, secara penghasilan, gue pun masuk kategori non MBR. Tapi tetap saja, mewujudkan impian untuk memiliki rumah tuh beratnya luar biasa. Baik urusan uang muka, maupun cicilan bulannya benar-benar mengusik ketenangan kondisi keuangan gue. Padahal karena keterbatasan kemampuan finansial, gue sudah pasrah dan memilih lokasi pinggirannya banget...baik dijangkau dari Jakarta maupun Depok.

Karena mengerti betapa beratnya beban mereka yang ingin mewujudkan harapan memiliki rumah, gue ikhlas dan senang dengan konsep gotong-royong dan saling membantu ini. Tapi gue ngga bisa mengerti, kenapa yang berhak mendapatkan fasilitas kepemilikan rumah Tapera harus dibatasi, yaitu hanya MBR saja.

Kembali ke bayang-bayang potongan penghasilan yang mulai menghantui, sebenarnya saat ini, tanpa potongan Tapera pun, beban potongan penghasilan gue sudah lumayan, yaitu lebih dari 15%, yang terdiri dari :
  1. Potongan BPJS Ketenagakerjaan
  2. Potongan Dana Pensiun (DPLK-Manulife)
  3. Potongan pajak penghasilan
Dan kelak akan ditambah lagi tambahan potongan sebesar 2.5%  untuk Tapera. 

Lalu muncullah pertanyaan - pertanyaan....sebut saja sedikit egois....di kepala gue. Kenapa pemerintah harus membebankan urusan pembiayaan perumahan rakyat ini kepada rakyat ? Kenapa program yang sudah ada saat ini (BPJS Ketenagakerjaan) tidak disempurnakan saja supaya bisa mengakomodir tujuan luhur dan mulia Tapera ini ? Kenapa semua pekerja WAJIB untuk mengikuti program ini ? Gimana kalau program ini membebani Perusahaan, dan berimbas pada penutupan perusahaan-perusahaan dan memicu gelombang PHK ? Kenapa...kenapa....kenapa ?

Tarik nafas....santai...mikirin cicilan rumah...sambil nunggu perkembangan dan informasi lebih lanjut mengenai UU ini.

Sunday, February 21, 2016

Unik....Museum Di Tengah Kebun


Kemarin, 20 Februari 2016, akhirnya gue dan Ony berhasil berkunjung ke Museum di Tengah Kebun. Kenapa 'berhasil' ? Karena dibandingkan dengan museum-museum lainnya yang pernah gue kunjungi, museum ini butuh usaha lebih. 

Kenapa ? Karena ini museum milik pribadi, jadi akses untuk berkunjungnya benar-benar dibatasi. Gue sudah mendengar mengenai museum ini sejak beberapa bulan yang lalu. Semua berawal karena 'kehausan' gue dan Ony akan tempat-tempat yang asyik untuk dikunjungi, tapi bukan mall, karena gue berdua bukan penggemar mall. Karena itu setiap weekend, gue lebih suka mengunjungi museum-museum, atau sekalian ke Bogor, karena di sana lebih banyak pilihan 'piknik non mall'.

Pertama kali tahu mengenai Museum di Tengah Kebun ini dari Trip Advisor, yang selalu menjadi sumber informasi gue ketika mencari rekomendasi mengenai tempat-tempat wisata apapun, di kota manapun, dan negara manapun. Namanya unik banget.....Museum di Tengah Kebun....jadi bikin penasaran. Yang tambah bikin penasaran karena dari berbagai informasi yang gue dapatkan, untuk mengunjunginya ngga mudah. Pengunjung harus membuat janji dan reservasi terlebih dahulu dengan cara menghubungi pihak pengelola. Syarat lainnya, pengunjung tidak bisa datang secara perorangan, melainkan group minimal terdiri dari 7 (tujuh) orang. Padahal partner sejati gue mengeksplorasi museum hanya Ony seorang.



Trus dari sumber informasi lainnya gue menemukan nomor telepon pihak pengelola yang bisa dihubungi untuk reservasi alias bikin janji berkunjung, yaitu (021) 7196907. Dan gue sudah mencoba menghubungi nomor ini ratusan kali banyaknya, tanpa ada respon. Gue makin penasaran, betapa ada museum di Jakarta yang demikian menantangnya untuk dikunjungi. Dan setelah berbulan-bulan menemukan jalan buntu untuk mendapatkan informasi langsung dari pihak pengelola, beberapa minggu lalu gue dan Ony memutuskan untuk nekad datang langsung ke Museum tersebut, yang beralamat di Jl. Kemang Timur Raya No. 66. Singkatnya, dari penjaga museum gue memperoleh nomor kontak (handphone) dari guide yang biasa memandu tamu-tamu berkeliling museum, namanya Rian.

Sejak itu gue memulai komunikasi dengan Rian, dan berharap mendapat jadwal kunjungan ke museum secepat mungkin. Kabar gembiranya, meskipun gue dan Ony hanya berdua saja, Rian berjanji untuk menggabungkan gue dengan group lainnya.

Dua minggu setelah komunikasi awal dengan Rian, gue akhirnya bisa berkunjung ke Museum di Tengah Kebun. Yesss!!

Museum ini juga merupakan kediaman pribadi Bapak Sjahrial Djalil, seorang tokoh dunia periklanan Indonesia yang terkenal. Setelah memasuki area rumah, barulah gue sadar, kalau penamaan museum ini benar-benar sederhana dan harafiah sekali. Disebut sebagai Museum di Tengah Kebun karena bangunan utama museum seluas 700 meter persegi, berdiri di tengah kebun seluas 3500 meter persegi.

Bapak Sjahrial, beliau memiliki hobi berkeliling dunia, dan salah salah satu misi serta idealismenya adalah mengembalikan benda-benda budaya serta bersejarah Indonesia kembali ke negeri ini. Caranya dengan membelinya melalui balai lelang Christie yang berpusat di London, Inggris. Selain benda - benda bernilai budaya dan sejarah milik bangsa Indonesia, beliau juga mengumpulkan benda-benda unik dari negara-negara lainnya. 

Selain mendapatkan benda-benda ini dari lelang di luar negeri, banyak juga benda lainnya yang didapatkan langsung dari berbagai daerah di Indonesia.

  

Koleksi tertua
Patung Dwarapala


Dan semua benda-benda itu, yang entah berapa nilainya secara nominal (pasti luar biasa dahsyat mahalnya!), dipajang di seluruh bagian rumahnya yang sangat luas dan indah ini. Semua barang-barang sarat nilai budaya dan sejarah itu, memenuhi seluruh bagian rumah Pak Sjahrial, baik bagian dalam maupun luarnya. Rumah ini terdiri dari beberapa ruangan yang dinamai sesuai dengan benda kesayangan Pak Sjahrial atau benda yang paling mendominasi di setiap ruangan. Ada ruang Majapahit, ruang Dinasty Ming, Ruang Kaisar Wilhelm, dan lain sebagainya.
 
Ruang makan
Ruang Majapahit
 

 


Patung Biarawan
Patung Dewi Durga
Hiasan rumah Batak
Di luar dugaan gue, pengunjung juga diperbolehkan memasuki kamar tidur pribadi Pak Sjahrial. Woww !! Begitu memasuki kamarnya sore itu, pengunjung 'disambut' oleh Pak Sjahrial yang terbaring di ranjangnya. Ternyata beliau sedang sakit, dan kondisi tersebut bahkan menghalangi beliau untuk berkomunikasi secara verbal. Namun dari gerak-geriknya, nampaknya Pak Sjahrial senang dikunjungi dan sangat ingin mengobrol. Meskipun tidak bisa berkomunikasi secara verbal, beliau menggunakan kedua tangannya untuk merespon. Misalnya ketika Rian 'memancing' respon beliau dengan menanyakan usianya saat ini....atau sudah berapa kali beliau berkeliling dunia....dengan susah payah beliau berusaha menjawabnya dengan gerakan kedua tangannya. 

Uniknya, meskipun terbaring di ranjang dalam kondisi kurang sehat dan fit, secara penampilan beliau tetap tampak stylish, dengan pakaian dan topi yang dikenakannya. Nyentrik banget ! Andaikan kondisi beliau pulih dan sehat, pasti mengasyikan untuk mengobrol dengan sang tuan rumah ini. Seseorang yang membuka pintu rumahnya lebar-lebar dan menjadikannya semacam galeri seni dan museum di mana masyarakat umum bisa berkunjung dan menikmati setiap properti dan keindahan di dalamnya, menurut gue pribadi, pastilah orang yang menyenangkan, hangat, dan ramah. "Get well soon, Pak!" cuma itu yang bisa gue ucapkan ketika meninggalkan beliau di kamarnya yang indah dan seperti layaknya galeri seni itu.

Dari kamar tidur Pak Sjahrial, pengunjung dipersilahkan ke Ruang Singa Garuda, yang merupakan kamar mandi pribadi Pak Sjahrial. Sebut saja ini kamar mandi paling mewah dan menakjubkan yang pernah gue lihat baik dengan mata kepala sendiri, ataupun melalui media apapun, seumur hidup gue. Secara ukuran, kamar mandi ini jauh lebih luas dari kamar tidur Pak Sjahrial. Dan benda-benda yang ada di dalamnya, baik yang fungsional maupun sebagai hiasan...mendengar penjelasan dari Rian, bikin mata ngga berkedip dan bibir mengaga bloon, saking takjubnya.  Tapi dari semua benda-benda tak ternilai harganya itu, yang paling 'unik' adalah batu nisan Pak Sjahrial, yang beliau persiapkan jika beliau meninggalkan suatu saat kelak.

Altar pribadi di kamar tidur Pak Sjahrial
Ruang Singa Garuda
Setelah berkeliling di seluruh bagian dalam rumah, akhirnya Rian mengantarkan ke kebun belakang rumah. Pengunjung diberikan waktu selama sekitar 30 menit untuk mengeksplorasi area ini. Daya tariknya, selain beberapa gazebo yang teduh juga dipenuhi oleh benda-benda seni, juga ada patung Ganesha di tengah kebun. Satu lagi yang unik, di sudut kebun, dekat dengan kandang ayam (yang bentuknya keterlaluan bagusnya....seperti layaknya rumah), terdapat 'area' di mana di situlah Pak Sjahrial ingin dimakamkan jika beliau meninggal. Gue semakin penasaran dengan tuan rumah yang super unik ini, dan ingin mengenalnya lebih dalam. Gue belum pernah bertemu dengan seseorang yang menyimpan batu nisannya sendiri di kamar mandinya, dan menyiapkan sebidang lahan sebagai tempat pemakamannya di kebun belakangnya (yang rindang dan asri itu). Jika begini, berhubung ngga bisa mendapatkan penjelasannya langsung dari sang tuan rumah...satu-satunya jawaban yang memuaskan untuk rasa penasaran gue adalah....mungkin begitulah seniman....pemikirannya terlalu nyentrik, idealis, dan memiliki gaya berbeda dalam segala hal....yang ngga mungkin diselami oleh orang lain. titik.

Patung Ganesha

Sebagai bonus dari tour keliling Museum di Tengah Kebun, Rian menyiapkan air mineral bagi setiap pengunjung. Murah hati banget sih pengelola museum ini. Pertama, masuk ke museum ini gratis, kedua, pengunjung 'dipinjami' sendal jepit gratis nan bersih untuk berkeliling seluruh bagian rumah, ketiga, disediakan guide yang sangat ramah seperti Rian, keempat, pengunjung diijinkan untuk memotret seluruh benda di museum ini, kelima, diijinkan juga untuk bertemu dan menyapa tuan rumah yang baik dan nyentrik itu, keenam, dapat minum gratis pula !

Setelah sekitar 2 jam, tour pun berakhir, dan Rian mengantarkan gue dan pengunjung lainnya ke pintu utama. Saat berpamitan Rian sempat bilang, "Kalau mau ke sini lagi, kabari saja ya, Mbak...." Pastiii....gue pasti akan berkunjung lagi dan ngga akan bosan berada di museum paling asri dan nyaman yang pernah gue kunjungi ini.

Sunday, February 14, 2016

Ulang Tahun dan Impian ke Tana Toraja (Hari Ketiga)


 15 Januari 2016.

Gue bangun tidur dengan badan masih pegal. Tidur gue semalam, yang cukup singkat, belum bisa membayar rasa lelah perjalanan selama 8 jam dari Makassar ke Tana Toraja kemarin. Tapi berhubung kemarin malam gue sempat sok percaya diri bisa bangun pagi dan minta Bang Ino untuk jemput sepagi mungkin, dengan berat, gue melangkah meninggalkan kasur gue yang minimalis itu.

Begitu mematikan exhaust fan kamar yang super berisik, gue baru bisa mendengar kalau di luar sana sedang turun hujan. Hmm....sebenarnya gue ngotot minta dijemput pagi karena Bang Ino kemarin bilang akan mengantar gue ke tempat, mungkin yang dimaksud daerah pegunungan gitu, dan gue langsung membayangkan pemandangan yang dimaksud seperti....negeri di atas awan, gitu. Tapi kalau hujan begini, akankah gue beruntung melihat pemandangan indah itu ? Lalu gue pun tiba pada pergumulan antara kembali ke kasur minimalis yang mempesona itu....atau mandi. Akhirnya gue melangkah ke kamar mandi dengan terseok-seok menahan kantuk.

Selesai mandi, gue berpakaian siap 'jalan', dan langsung terjun ke kasur lagi. Mumpung belum dijemput, gue akan menggunakan waktu sebijak mungkin....merebahkan badan. 

Ketika Bang Ino tiba di Wisma Sarla, sebenarnya gerimis masih turun. Tapi gue ngga punya pilihan, karena ngga mungkin nungguin hujan benar-benar reda. Begitu di luar wisma gue kaget dan bingung, karena kali ini Bang Ino menggunakan jenis motor trail. Gawat ! Ini bukan jenis motor favorit gue, dan gue hindari sebisa mungkin untuk menaikinya. Ngelihatnya aja sudah bikin cape duluan....gimana naiknya....gimana nanti pas duduk...??! Tapi saat itu gue ngga sempat protes, karena masih hanyut dalam kebingungan. Dengan postur gue yang overweight ini, untuk naik ke boncengannya aja adalah tantangan tersendiri.

Rasanya cuma setingkat lebih ringan dibanding ketika gue berusaha naik ke punggung kuda. Gue ingat waktu berlatih berkuda beberapa tahun silam....untuk naik ke punggung kuda adalah tantangan luar biasa yang gue hadapi. Gue harus dibantu oleh pelatih di sisi kiri, dan kadang Ony di sisi kanan kuda. Entah siapa bertugas apa....yang jelas, ketika kaki kiri gue sudah berpijak di sanggurdi, gue memerlukan bantuan baik fisik maupun mental, agar bisa mengangkat body tambun gue (yang pemalas ini) hingga mendarat di pelana, dan memposisikan kaki kanan di sanggurdi kanan. Kadang gue menggunakan cara curang, yaitu dengan menaiki pagar terlebih dahulu, yang gue gunakan sebagai tangga untuk 'naik' ke punggung kuda. Dan jika hal itu gue lakukan, gue akan mendapatkan teguran sinis dari sang pelatih. Ahh...dia ngga ngerti aja betapa beratnya beban bobot gue dan gerakan yang menurut dia sepele semacam itu ngga mudah untuk gue lakukan.

Dan hari ini gue harus berpetualang seharian dengan motor trail. Untuk naik ke atas boncengan gue harus pegangan pada punggung Bang Ino, yang gue yakin pasti terbebani dengan bobot gue yang ngga ringan....biarin....Tantangan berikutnya dimulai tepat ketika motor mulai melaju menuju Batu Tumonga. Ya Tuhan....gue serasa sedang menunggang kuda, tapi kali ini tanpa tali yang bisa gue gunakan untuk pegangan sekaligus kendali. Ngga berdaya....Jadilah gue pasrah berpegangan pada bagian belakang motor, entah apa namanya itu....dan setiap kali tangan gue memegangnya, gue bisa merasakan basah dan kotornya bagian itu, dan gue harus berulang-ulang membersihkan tangan dengan tissue. Kejamnya motor trail!

Tantangannya bertambah berlipat-lipat karena selain jarak yang ditempuh sangat panjang, juga medan yang ngga mudah dan mulus. Kadang menanjak tajam....lalu menurun....kadang jalannya mulus....kadang becek, licin dan berbatu. Yang bisa gue lakukan cuma berusaha (tampak) tenang, dan sesekali menyelipkan doa kepada Yesus sang Maha Pelindung, supaya gue ngga terjatuh atau terpeleset, atau terjungkal ke belakang. Jika itu terjadi, gue mungkin ngga akan tewas....tapi selain itu menyakitkan dan memalukan, gue juga memikirkan kalau celana dan baju yang gue kenakan ngga boleh sampai basah dan kotor, karena stok baju dan celana yang gue bawa dari Jakarta sangat minim.

Meskipun bukan gue yang mengendarai motor, dan bukan gue yang harus membonceng turis Jakarta bertubuh tambun, tapi rasanya gue yang paling lelah dibandingkan Bang Ino. Lelah karena sepanjang jalan menahan rasa takut....

Target pertama untuk melihat 'negeri di atas awan' ngga sesukses yang diharapkan....tapi gue maklum, karena cuaca ngga mendukung. Dan untuk gue pribadi yang tinggal di Jakarta, bisa menyaksikan hamparan dan gerakan kabut, di atas bukit dan sawah, adalah keindahan yang mata gue ngga pernah lihat sebelumnya.

Lokasi selanjutnya adalah Lokomata, kuburan pada batu berukuran besar, yang posisinya dekat dengan jalan utama. Momen di mana gue bisa 'beristirahat' dari motor trail itu adalah momen yang paling gue syukuri. Karena gue bisa mengistirahatkan diri secara fisik dan mental dari perjalanan super menantang itu. Di sini selain bisa memanjakan mata demi melihat kuburan-kuburan khas masyarakat Toraja, keasyikan lainnya adalah gue bisa merendam kaki dengan aliran air yang dingin dan menyegarkan, karena ada semacam sungai kecil di depannya.

Hal menyenangkan dengan di-guide oleh Bang Ino adalah kesabarannya meladeni kemauan, mood, dan sikap gue yang banyak maunya dan kadang aneh, dan juga karena dia cukup fleksibel dalam menuruti permintaan gue. Fleksibel juga dalam hal waktu, karena kayaknya sejauh ini gue diberi kebebasan untuk menikmati suatu tempat, selama atau sesingkat waktu, sesuai keinginan gue. Contohnya kali ini....gue betah dan di'bolehkan' berlama - lama di sini, selain karena gue menikmati pemandangan dan ketenangannya....juga karena gue ngga ingin buru-buru kembali ke motor trail itu.

Lokomata
Lokomata
Berikutnya, gue diantar ke beberapa tempat menakjubkan lainnya yaitu Buntu Lobo' dan Situs Purbakala Bori. Yang paling membuat gue terpesona adalah Buntu Lobo'. Rasanya gue ngga pernah melihat keindahan (alam) semacam itu seumur hidup gue...dan ngga ada kata-kata yang bisa gue gunakan untuk mendeskripsikan tempat itu, pemandangan itu, yang membuat gue seakan-akan tersihir oleh keindahannya. Itu momen dimana hati gue cuma bisa berbisik, "Terberkatilah Tana Toraja, karena mereka memiliki alam seindah ini...." Gue agak berlama - lama di situ....sekali lagi....selain karena gue ingin membebaskan diri dari motor trail itu....karena gue juga ingin memuaskan mata melihat hamparan keindahan di hadapan gue, sambil dalam hati sedikit mengeluh, "Ya Yesus, jika gue merindukan tempat ini dan ingin kembali sini....betapa jauhnya jarak dan waktu yang harus gue tempuh...."

Buntu Lobo'
Buntu Lobo'
Bori
Bori
Pallawa
Pallawa
Pallawa
Nenek pemintal benang....sayang lupa nanya namanya :(
'Agenda' yang gue tunggu - tunggu pun tiba....jam makan siang !! Berhubung gue sudah berpesan sejak kemarin kalau gue ingin menikmati hidangan khas lokal, maka gue diantarkan ke sebuah warung makan, dimana, kata Bang Ino, gue bisa memesan menu pantolo' bale, yang katanya terbuat dari ikan lele. Tapi begitu melihatnya langsung, gue super terkejut, karena lelenya berukuran ekstra jumbo, dan gue ngga pernah lihat yang seperti ini di Jakarta atau di mana pun sebelumnya. 

Kelar makan, gue minta diantar kembali ke Wisma Sarla terlebih dahulu. Lumayan....di wisma gue sempat mandi, beristirahat sejenak, me-recharge handphone dan kamera, dan menelepon Mama. Menelepon Mama adalah agenda yang tidak boleh dilewatkan dan dilupakan, karena Mama bisa khawatir sejadi-jadinya jika dalam waktu tertentu tidak menerima kabar dari gue. Jika Mama sudah dalam level khawatir dan panik, biasanya Mama akan meminta seluruh anggota keluarga mulai dari Bapak, kedua abang, kakak, dan juga adik gue untuk turut serta mencoba menghubungi gue. Dan hal itu sedikit banyak membebani gue yang mungkin saja sedang berada di lokasi antah-berantah...begitu terlena menikmati petualangan gue, dan mendadak mendapatkan telepon masuk bertubi-tubi dari keluarga gue yang panik (tanpa sebab).

Gue pikir kali ini Mama lebih tenang melepas kepergian gue ke Makassar dan Tana Toraja, karena sesuai keinginannya, gue ngga keluar negeri, melainkan masih di wilayah Indonesia. Lalu kemarin, 13 Januari 2016, justru kejadian tak terduka terjadi di Jakarta, yaitu teror bom Thamrin. Karena daerah Thamrin dekat dengan lokasi kerja gue dan Anggira (di Sudirman), jadi asumsi gue Mama akan 'sibuk' dan fokus memikirkan keselamatan adik gue satu-satunya ini, putri bungsu Mama, kesayangan Mama, buah hati Mama, belahan jiwa Mama.....Anggira. Gue pikir Mama ngga akan terlalu memikirkan putri keempatnya yang panjang kaki dan doyan keluyuran, karena gue sedang berada nun jauh di luar pulau Jawa.

Tapi tanpa diduga-duga, ketika gue menelepon, Mama justru membuka percakapan dengan, "Cherrrr....Mama nonton di TV katanya di Makassar sedang siaga satu teror bom lhooo....!!" Haduuhh....! Gue jadi bingung....selain selama sejak di Makassar ngga sempat mengakses portal berita manapun, juga karena bingung merespon kekhawatiran Mama.

Di saat yang sama gue juga meratapi....kemana pun gue berpetualang, selalu ada saja alasan untuk Mama mengkhawatirkan keadaan gue. Sebelum keberangkatan ke Makassar rasanya gue ngga pernah mendengar berita negatif mengenai kondisi keamanan di Makassar. Tapi begitu gue tiba di sini hari pertama...jreengggg!!.....mendadak Makassar siaga satu teror bom!

"Cei kan lagi di Tana Toraja, Ma...."
"Tapi kau bakalan balik ke Makassar kan ? Waktu kau di Makassar hari Rabu (13 Januari 2016) kemarin itu gimana kondisi di Makassar ? Aman ngga ?" Duhh Mama....ini pertanyaan sulit banget....karena gue cuma beberapa jam saja di Makassar, dan kayaknya Mama lupa bahwa itu adalah pertama kalinya gue menginjakkan kaki di sana. Jadi, bagaimana gue bisa membedakan kondisinya di saat aman atau ngga aman. Ancaman terberat gue selama di Makassar dan Tana Toraja tuh cuma panasnya matahari yang bikin saat ini kulit gue gosong hitam legam.
"Hmmmm.....kayaknya aman-aman aja, Ma..." Gue bingung memberikan jawaban tanpa terkesan takabur atau semacamnya. 
"Pokoknya hati-hatilah kau...ngga usah kau ke tempat ramai ya.....jangan ke Mall....memangnya ngga sempat kau lihat berita di sana? Ini beneran, Mama ngga mengada-ada. Makanya kemarin waktu lihat di berita, Mama langsung telepon kau....selalu berdoa kau, Cher !!"  Dan supaya Mama tenang, gue cuma menjawab, "Iya Ma...." sambil manggut-manggut.

Gue pun meninggalkan wisma lagi, menuju tujuan terakhir, Londa. Londa....dibandingkan dengan area kuburan yang sudah gue kunjungi di Toraja ini seinget gue ini yang paling besar (batunya...eh, tebingnya...? Hmmm....sampai sekarang gue masih bingung menyebutnya...) Dan daya tariknya karena saking besarnya jadi menyerupai gua-gua yang bisa disusuri oleh pengunjung, meskipun ngga terlalu dalam. Dan tentunya di dalam sana banyak terdapat peti-peti mati, tengkorak, tulang belulang, dan sebagainya. Agar bisa masuk dan melihat-lihat di dalamnya, gue harus menyewa jasa seorang penunjuk jalan yang siaga dengan sebuah lampu petromaks.

Londa unik dan keren....tapi dari semua kuburan yang sudah gue kunjungi selama di Toraja, favorit gue adalah Tampangallo, yang gue kunjungi kemarin. Alasannya, karena tempatnya sepi dan tersembunyi...sunyi...dan baik peti-peti mati, tengkorak dan tulang belulang serta patung-patung yang ada di sana tampak berusia jauh lebih tua. Alasan lainnya, karena tempat itu sudah bikin gue ketakutan setengah mati ketika memasukinya.

Sepulang dari Londa, hal yang gue lakukan adalah mengajak Bang Ino menikmati kopi Toraja yang fenomenal. Tentu saja gue memesan kopi yang paling 'ringan' karena gue ngga mau kopi ini mengganggu acara tidur gue di bus dalam perjalanan Toraja - Makassar nanti malam.

Londa
Londa
Londa
Londa
Londa
Londa
Dan akhirnya gue kembali ke wisma, dan dengan berat hati mengucapkan selamat tinggal pada guide paling kooperatif, dan tentunya berjiwa petualang, yang pernah gue temui sepanjang sejarah kaki panjang gue melangkah alias traveling. Bang Ino adalah bagian penting dari perjalanan gue yang istimewa dan tak terlupakan di Tana Toraja selama dua hari ini. Dan gue sangat berterima kasih karena dia salah satu yang berperan mewujudkan impian ulang tahun gue untuk berkunjung ke Tana Toraja, yang meskipun singkat, namun sangat berkesan. 

Dan mengucapkan selamat tinggal pada Toraja ternyata lebih berat lagi. Rasanya ada sebagian dari hati gue tertinggal di sini, dan bikin gue sudah merindukannya meskipun belum melangkah meninggalkannya. Mungkin karena gue sudah lama memimpikan untuk ke sini....atau mungkin karena waktu gue di sini terlalu singkat....atau karena Toraja memiliki pesona keindahan, baik budaya maupun alamnya yang jauh melebihi harapan gue....atau karena dalam beberapa hal gue melihat budayanya yang sangat mirip dengan budaya Batak....entah deh. Bagi gue, perjalanan Toraja ini adalah salah satu hadiah ulang tahun paling istimewa yang pernah gue dapatkan. Makasih Yesus !

Saturday, February 13, 2016

Napak Tilas di Kediaman Jenderal Ahmad Yani


Hari ini akhirnya gue berkesempatan mengunjungi Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi. Lokasinya berada di Jalan Lembang 58D, Jakarta Pusat. Gue sudah 'mengincar' museum ini sejak mulai pindah kerja ke Jakarta. Berarti sudah 2 bulan lebih...

Setiap pagi, dalam perjalanan commuter line tujuan Sudirman, gue akan melewatinya. Dan setiap pagi pula, setelah meninggalkan stasiun Manggarai menuju Stasiun Sudirman, gue akan memusatkan perhatian, dengan tatapan fokus, memandangi bangunan museum ini. Ngga peduli di saat kondisi gerbong commuter line lagi padat tak terkira sampai badan gue rasanya remuk redam dan bernafas pun sulit, atau di saat kondisinya lagi longgar, gue ngga akan mau berdiri jauh dari pintu kereta. Tujuan gue selalu mengambil posisi dekat pintu adalah supaya bisa melihat bangunan museum, meskipun cuma beberapa detik lamanya. 

Pernah juga ketika gue sedang malas makan siang di kantor, gue kepikiran untuk naik Gojek dan melarikan diri ke sini. Tapi batal, karena dengan begitu artinya gue cuma bisa menikmati berada di museum sekitar 1 jam....terlalu singkat. Dan akhirnya hari ini gue dan Ony bisa ke sana....cihuyyy!!

Museum Sasmitaloka Pahlawan tadinya adalah kediaman Jenderal Ahmad Yani, yang terakhir menjabat sebagai  Menteri/Panglima Angkatan Darat RI, beserta keluarganya. Rumah yang luas dan terkesan antik ini adalah saksi sejarah, tepatnya ketika Jend. Ahmad Yani diculik dan dibunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September, yang berlangsung mulai dari tanggal 30 September 1965 malam hingga 01 Oktober 1965. Ketika itu 7 (tujuh) orang perwira tertinggi Indonesia, salah satunya Jend. Ahmad Yani, serta beberapa orang lainnya, diculik dan dibunuh, sebagai bagian dari usaha pencobaan kudeta.

Gerakan 30 September ini kayaknya salah satu peristiwa sejarah yang paling melekat dalam ingatan gue, karena gue tumbuh di era dimana film propaganda berjudul Pengkhianatan G 30 S PKI diputar setiap tahun, tepatnya setiap tanggal 30 September. Film yang menurut gue lebih menyerupai film horor daripada sejarah. Salah satu tagline yang paling fenomenal dan ngga akan gue lupakan dalam hidup gue adalah "Darah itu merah, Jenderal!" dan itu adalah sisa-sisa kenangan gue akan film yang suram dan mencekam itu.

Kembali ke Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi, nama ini memiliki maksud : tempat semangat juang, jasa, pengabdian dan pengorbanan Pahlawan Revolusi diabadikan. Memasuki rumahnya, gue bisa menyaksikan koleksi foto-foto Jend. Ahmad Yani. Baik dalam kiprah karirnya sebagai perwira Angkatan Darat, sampai dengan peristiwa Gerakan 30 September, dan yang bikin merinding, saat para jenazah korban dievakuasi dari Lubang Buaya.

Ketika masuk ke bagian utama rumahnya, pengunjung diperbolehnya untuk melihat - lihat seluruh kamar dan ruangan, mulai dari kamar tidur, ruang kerja, ruang makan, ruang tamu....semuanya. Urusan memotret pun disini diperbolehkan....kecuali ruang tidur Jend. Ahmad Yani. Kamar ini boleh dilihat, tapi memotret area ini dilarang. 

Seluruh ruang dan kamarnya masih berisi koleksi barang-barang dan properti seperti adanya ketika ditempati oleh Jend. Ahmad Yani dan keluarganya. Berada di sini beberapa saat, memandangi setiap barang, lukisan, dan foto-foto yang menghiasi rumah ini, dalam kesunyian yang ada, serasa masuk lorong waktu dan gue ditarik kembali ke tahun - tahun silam itu. Dan entah mengapa, hal itu menimbulkan perasaan kelam dan sedih, mengingat ada peristiwa mengerikan pernah terjadi di sini kala itu. 

Pintu masuk yang disediakan untuk pengunjung bukanlah pintu sembarangan. Pintu ini adalah salah satu saksi bisu peristiwa mengerikan yang terjadi pada 01 Oktober 1965 sekitar subuh. Saat itu, tiga orang prajurit berseragam datang menjemput sang Jenderal, dengan alasan untuk menghadap Presiden. Jend. Ahmad Yani pun bermaksud untuk berganti pakaian karena saat itu beliau masih menggunakan pakaian tidurnya. Namun prajurit berseragam tersebut menolak dan melarangnya, dan hal ini membuat sang Jenderal marah dan lalu menamparnya. Kemudian beliau menutup pintu, membalikkan badannya, dan melangkah menuju kamar tidurnya.

Dari balik pintu kaca inilah prajurit tersebut melepaskan tembakannya, diarahkan tepat pada sang Jenderal. Ketujuh peluru mengenai sang Jenderal. Sebagian peluru bersarang di tubuhnya, dan sebagian lagi tembus menerjang sebuah lukisan dan lemari. Jend. Ahmad Yani ambruk di lantai, dengan darah menggenang.

Dan tubuh sang Jenderal pun diseret melewati lorong dapur dan kamar mandi, menuju pintu keluar yang ada di samping rumah. Kondisi rumah saat itu, dengan jejak darah dimana-mana, didokumentasikan dalam bentuk rangkaian foto yang juga dipajang pada galeri yang terdapat di ruang awal ketika pengunjung masuk tadi.

Mendengar kisahnya dan berada tepat di lokasi kejadiannya, meskipun peristiwa itu terjadi sekitar 50 tahun silam, tapi perasaan ngeri demi membayangkan peristiwa sadis dan menyeramkan itu, ngga bisa terelakkan. 

Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi
Ruangan Ajudan
 
Ruang tamu
Pintu yang ditembus 7 peluru oleh
pasukan Cakrabirawa


Ruang Makan
Ruang Makan
Pesan Soekarno
Catatan harian Jend. Ahmad Yani
Benda - benda menarik lainnya yang gue lihat di sini, juga menimbulkan perasaan sentimentil tersendiri. Salah satunya adalah tulisan putri Jend. Ahmad Yani, Ibu Amelia, yang berjudul "Suara dari Keabadian".

7 peluru menembus dadaku, merobek-robek jasadku, sekujur tubuhku nyeri dan panas, kudengar tangismu, kudengar jeritanmu anakku, bapak....bapak, tetapi aku tidak berdaya, di tangan mereka.

Gue harus membacanya super perlahan...karena setiap kata yang gue baca, bikin gue merasakan pedih dan sedihnya, dan tanpa sadar mata gue sudah berkaca-kaca. 

Mereka melempar dan menginjak-injak tubuhku yang terluka parah, kemudian membawaku jauh, kudengar mereka berteriak :Yani wis dipateni, Yani wis dipateni.....

Kali ini, tak terhindarkan, gue membaca setiap untaian kata yang merupakan curahan hati Ibu Amelia, dengan air mata mengalir perlahan....Gue pun memutuskan untuk memotret tulisan dalam pigura itu agar bisa membacanya nanti di rumah. 

Ini salah satu museum paling mengesankan buat gue. Berada di sini seperti membaca lembaran sejarah dan membuat gue dan Ony bisa napak tilas peristiwa yang terjadi pada 01 Oktober 1965, yang berakhir dengan gugurnya sang pemilik rumah, sekaligus salah satu pahlawan revolusi, Jend. Ahmad Yani. Museum ini juga menyentuh sisi emosional gue, karena baik ketika berada di dalamnya atau pun ketika meninggalkannya, ada setitik perasaan sedih, suram, dan getir tersisa di hati gue.

Museum ini menjadi salah satu museum favorit gue. Dan gue yakin meskipun sudah berhasil mengunjunginya hari ini, tapi hari - hari esok saat commuter line yang gue tumpangi melintasinya, gue akan selalu memandanginya dengan rasa kagum.

Monday, February 08, 2016

Ulang Tahun dan Impian ke Tana Toraja (Hari Kedua)

Kete Kesu

14 Januari 2016.

Menjelang subuh gue terbangun dari tidur di dalam bus yang mengantar gue dari kota Makassar ke Tana Toraja. Sebenarnya ini sudah kali kesekian gue terbangun....sebelumnya gue sempat terbangun karena 'terganggu' oleh jalan yang berkelok-kelok yang bikin agak sedikit mual. Dan kali ini berhubung waktu sudah menunjukkan sekitar jam 05:00 pagi dan meskipun masih gelap namun gue sudah mulai melihat bayangan rumah - rumah Tongkonan, perasaan bahwa gue sudah tiba di Tana Toraja bikin bersemangat saking senangnya.

Bus tiba di pool sekitar jam 06:00 pagi kurang. Gue langsung menelepon Bang Ino untuk menjemput gue. Abang Ino ini gue kenal dari seseorang yang gue kenal di Facebook, tepatnya di group "Makassar Backpacker". Jadi, sejak sekitar Juli 2015 lalu, tepatnya di saat gue nyaris mewujudkan impian gue untuk ke Tana Toraja, gue langsung berusaha mencari informasi sebanyak mungkin mengenai Makassar dan Tana Toraja, salah satunya dengan bergabung dalam group ini. Singkatnya gue berkenalan (secara online) dengan seseorang bernama Sahidin. Komunikasi gue dengannya seingat gue dimulai di awal Januari 2016....karena kebiasaan gue menyiapkan perjalanan memang selalu di detik-detik terakhir.

Sahidin dengan ramah dan baiknya menawarkan diri untuk menjadi teman perjalanan gue selama di Makassar. Gue girang bukan main! Namun saat itu gue masih bingung mengenai Tana Toraja. Bagaimana caranya gue menjelajah Tana Toraja ? Gue pun meminta saran pada Sahidin, yang akhirnya merekomendasikan gue untuk menghubungi seseorang di Tana Toraja bernama Ino, yang selanjutnya selalu gue panggil 'Bang Ino'.

Sebelum berangkat ke Makassar, gue berkomunikasi dengan keduanya melalui telepon serta WhatsApp, dan berusaha mengumpulkan informasi dan gambaran sebanyak mungkin mengenai rencana perjalanan gue. Benar-benar mukjizat....beberapa saat sebelum keberangkatan, gue enggan dan ngga bersemangat sama sekali dengan rencana perjalanan ini. Setelah gue bulatkan niat, Yesus berturut - turut memberikan begitu banyak kemudahan melalui uluran tangan banyak orang. Dalam sekejap kebingungan dan kebuntuan dalam menyiapkan perjalanan ini terselesaikan dengan mulus. Dalam sekejap keengganan gue berubah menjadi semangat berapi-api, justru jadi ngga sabar untuk berangkat ke Makassar.

Dari pool bus, Bang Ino mengantar gue ke sebuah penginapan bernama Wisma Sarla yang hanya berjarak beberapa puluh meter saja dari pool bus. Dekat banget! Dan lagi-lagi rasanya pengen loncat saking girangnya, karena penginapannya super nyaman dan harganya sangat terjangkau. Begitu tiba di kamar, gue langsung bersiap-siap untuk mandi. Kelar mandi, gue merebahkan badan dan tertidur.

Sekitar jam 09:00 meskipun badan masih pegal dan mengantuk, gue terbangun. Bang Ino sudah menunggu di ruang tamu wisma. Dengan kepala masih berputar-putar karena keinginan untuk tidur yang belum terpuaskan, perjalanan pagi itu pun dimulai.

Seluruh perjalanan yang gue lakukan di Toraja ini menggunakan sepeda motor. Tentunya Bang Ino yang jadi pengemudinya. Tujuan pertama, karena gue kelaparan, adalah mencari sarapan. Gue diantar ke sebuah warung makan sederhana, dan menikmati nasi ketan dengan lauk ayam.

Setelah itu gue diantar ke.....desa adat Kete Kesu!! Gambaran deretan Tongkonan yang saling berhadap-hadapan dengan deretan lumbung, yang terekam dalam pikiran gue selama ini, akhirnya terwujud di hadapan gue. Tongkonan - Tongkonan itu....sudah bikin gue terpesona sejak masih gue masih kecil. Ternyata aslinya jauh lebih mempesona. Yang menurut gue unik dan bikin gue takjub, Tongkonan bentuknya nyaris mirip sama rumah adat batak, yaitu Rumah Bolon. Kayaknya perbedaan yang paling besar hanya di bentuk atapnya saja....tapi selebihnya, termasuk detil warna ukiran-ukiran yang menghiasi kedua rumah ada tersebut, nyaris sama.

Selain tongkonan dan lumbung, ngga beberapa jauh jaraknya dari sini, gue diajak ke...apa ya sebutannya ? Tebingkah ? atau batu besarkah? yang merupakan semacam pekuburan tradisional. Begitu melihat dari kejauhan, perasaan gue campur aduk...antara senang dan takjub luar biasa, karena akhirnya bisa melihat pekuburan tradisional khas Toraja yang fenomenal dan bikin gue penasaran selama ini, tapi juga takut dan ngeri.

Kete Kesu




Pemakaman Kete Kesu


Pemandangan peti-peti kayu yang nampak sangat tua entah sudah berapa puluh atau ratus tahun usianya, dengan tulang-belulang dan tengkorak terhampar di mana - mana...semuanya itu ada yang diletakkan di tanah atau bahkan digantung di dinding - dinding tebing, bagi gue yang pertama kali melihatnya, gila.....benar-benar surreal ! Sementara Bang Ino berbagi cerita dan mulai memperkenalkan mengenai adat dan kebiasaan warga Toraja khususnya dalam hal upacara kematian, pikiran gue asyik tenggelam dalam rasa takjub dan secuil ngeri demi melihat pemandangan kental akan kesan mistis, di hadapan gue.

Dari Kete Kesu gue diajak ke Desa Karuaya. Sejak awal berkomunikasi dengan Bang Ino gue bilang kalo gue pengen banget menyaksikan upacara Rambu Solo, yaitu upacara pemakaman tradisional khas Toraja. Kabar gembiranya, kebetulan di desa ini akan diadakan upacara tersebut. Meskipun hanya bisa menyaksikan dari luar, ditemani oleh sinar matahari yang menyengat, tapi gue cukup menikmati ritual yang sedang berlangsung di hadapan gue. Lagian, kayaknya gue turis di Tana Toraja yang paling beruntung saat itu karena gue ditemani oleh seseorang kayak Bang Ino yang warga lokal dan sangat fasih dan mengenal budaya Toraja, dan yang terpenting, aktif banget berbagi cerita dengan gue.

Namun begitu upacara memasuki proses menyembelih kerbau sebagai kurban, tepatnya ketika mata gue melihat seseorang menebas leher sang kerbau dan darahnya mengucur dengan derasnya....dengan serta merta gue langsung memalingkan wajah, lemas dan kehilangan semangat dan hasrat untuk melanjutkan menonton upacara. Bahkan dalam sekejap gue kehilangan minat untuk berada di tempat itu. Gue menghormati adat dan kebudayaan suku Toraja, atau suku manapun yang memiliki ritual yang sama.....Tapi sejujurnya, ini bukan bagian yang ingin gue saksikan. Gue ngga pernah tega melihat pemandangan begini...Rasanya langsung shock dan pengen nangis karena ngga tega. Apalagi sebelum meninggalkan lokasi gue masih melihat kedua kerbau tersebut masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan dan berusaha melakukan perlawanan. Dalam hati gue menggumamkan doa, "Ya Yesus, tolong hentikan penderitaannya....cabut nyawanya sekarang juga! Gue mohon, Yesus..." Meninggalkan lokasi tersebut memberikan rasa lega yang mendalam.

Upacara Rambu Solo di desa Karuaya
Selanjutnya Bang Ino mengantar gue ke Kambira, dimana terdapat makam bayi (baby grave). Yang unik, makam - makam bayi tersebut hanya berupa lubang kecil pada batang pohon taraa' dan ditutupi oleh semacam ijuk. Bayi - bayi yang dimakamkan di sini adalah bayi - bayi yang belum tumbuh gigi. Melihat pohon dengan sekian banyak makam bayi memenuhi setiap sisinya....gue kehabisan kata-kata....entah apalagi kata yang bisa gue gunakan untuk menunjukkan rasa takjub dan kagum gue atas adat istiadat suku Toraja terlebih dalam hal memperlakukan kematian.

Makam bayi, Kambira
Dari Kambira, Bang Ino membawa gue ke obyek wisata Tampangallo. Ini pemakaman paling sensasional menurut gue....sensasinya timbul karena untuk memasukinya pengunjung harus melewati semacam pintu gua nan gelap gulita. Gue takut akan gelap, ingat ?? Dan gue ataupun Bang Ino saat itu ngga membawa senter atau alat penerangan apapun. Jadi, ketika memasuki pintu gua, yang gue lakukan adalah mencengkeram lengan Bang Ino sekuat tenaga....gue ngeri setengah mati, dan berusaha memastikan Bang Ino ngga akan meninggalkan gue bahkan dalam jarak sesentimeter pun! Di luar dugaan, tempat pemakaman tersebut sebenarnya bukan gua, dan tidak juga gelap. Karena pemakaman tersebut terbuka dan menghadap ke area pesawahan, kalau gue ngga salah inget. Yesus....ini justru pemakaman paling menakjubkan yang gue lihat sejauh ini. Karena ada kesan 'tersembunyi' dan personal. Apalagi untuk memasukinya harus dengan cara dramatis kayak gitu...

Tampangallo
Tampangallo



Tujuan berikutnya adalah Suaya....yang merupakan lokasi pemakaman raja - raja Sangalla dan keturunannya. Sepi, ngga ada pengunjung lainnya selain gue dan Bang Ino. Di titik ini bisa dibilang kedua mata gue sudah mulai membiasakan diri melihat 'komplek' dan lokasi pemakaman khas Toraja. Terbiasa....tapi ngga menghapus rasa takjub yang spontan timbul tiap kali melihat pemakaman seperti ini....tapi dalam arti, di titik ini sudah tidak ada lagi rasa takut atau ngeri....(yakin, Cher ?!)

Suaya

Target berikutnya....makan sianglah! Saking sibuknya berwisata makam-makam keren di sini, gue sampai lupa waktu makan. Bahkan dari tadi gue belum minum ! Jika sesuatu bisa mengalihkan pikiran gue, sampai - sampai gue mengesampingkan kebutuhan serta keinginan makan dan mengunyah, yang biasanya begitu dahsyat dan menggebu-gebu....berarti 'sesuatu' sangat hebat luar biasa. Gue dan Bang Ino makan siang di Warung Solata. Di situ gue memesan menu kuliner khas Toraja, pa'piong babi, yaitu daging babi ditambah sayuran dan rempah-rempah tertentu dimasak dalam wadah bambu. Dihidangkan bersama nasi dan cabe khas Toraja yang enak dan pedas banget ! Dan entah karena gue sudah lapar maksimal....atau karena menu daging babi ini mengingat gue akan akan perpaduan sangsang dan babi panggang khas Batak....bagi gue hidangan ini lezat tak terkira!

Karena perut sudah kenyang, perjalanan pun dilanjutkan. Dari tadi pagi gue sudah berpesan ke Bang Ino agar, jika memungkinkan, mengantarkan gue ke Patung Tuhan Yesus Memberkati...gue melihat 'sosok'nya di atas bukit nanti tinggi...jadi semacam halusinasi atau fatamorgana buat gue pagi tadi....pertama karena saat melihatnya gue dalam keadaan lelah dan mengantuk....kedua, karena gue baru tahu bahwa Toraja juga memiliki Patung Tuhan Yesus Memberkati. Dan karena Bang Ino super baik dan mengerti keinginan tamunya yang kali ini sangat bawel, maka dengan perjuangan ngga mudah dan singkat, gue diantar ke puncak Buntu Burake. Di sana dengan takjub dan ngos-ngosan karena harus meniti banyak anak tangga, gue memandang Patung Tuhan Yesus Memberkati dengan tinggi total mencapai 40 meter tersebut. Dari atas situ, rasanya gue bisa melihat hampir sebagian besar wilayah Toraja yang indah ini.


Patung Tuhan Yesus Memberkati, Buntu Burake

Meskipun belum puas dan masih kelelahan di Buntu Burake, perjalanan harus dilanjutkan menuju lokasi terakhir, Lemo. Lemo adalah kuburan di dinding batu besar atau tebing, ditandai dengan semacam 'jendela-jendela' berbentuk kotak. Setiap kali gue melihat pemakaman khas Toraja seperti ini, rasa takjub gue muncul karena membayangkan kerja super keras yang melewati batas akal pikiran gue sekalipun alias tak terbayangkan....bagaimana mereka membuat 'lubang' makam di batu seperti itu ? Apalagi dengan tantangan ketinggian seperti itu ? Lalu membawa, memindahkan dan memasukkan jenazahnya ? Di pikiran gue melayang-layang segudang pertanyaan yang diawali dengan, 'bagaimana caranya....?'

Lemo
Lemo

Lemo adalah penutup wisata gue yang menganggumkan hari ini. Bang Ino mengantarkan gue kembali ke Wisma Sarla. Hari ini mendapatkan pengalaman yang luar biasa menakjubkan...Toraja sudah membuat gue terpesona sedalam-dalamnya sejak awal kedatangan gue.

Malam itu selepas mandi dan beristirahat, gue meninggalkan Wisma Sarla, untuk melihat - lihat area sekitar wisma di malam hari. Gue pun menyempatkan diri mampir di pool bus Litha untuk membeli tiket bus tujuan Makassar. Ahh....sebenarnya gue ngga mau kembali ke Makassar keesokan harinya...tapi keputusan harus dibuat secepat kilat, mengingat stok tiket bus yang menipis.

Gue kembali ke wisma. Dan malam itu rasanya gue sulit untuk tertidur, karena pikiran gue terus-menerus 'memutar' hal-hal luar biasa yang gue kunjungi dan lihat hari ini. Makasih Yesus, untuk hari pertama di Toraja yang super keren!