I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Friday, June 30, 2017

Piknik Seru Ke Kawah Ratu


Kamis, 29 Juni 2017

Akhirnya hari ini gue bisa mewujudkan keinginan gue ke Kawah Ratu. Setelah perencanaan seadanya dan bantuan Usep, ranger Ciampea yang gue kenal sejak piknik ke Bukit Galau beberapa waktu yang lalu, gue menemukan jalan dan cara buat ke sana.

Gue pengen ke sana sejak beberapa lama, tapi bingung caranya. Setelah baca-baca review mengenai Kawah Ratu, kayaknya ngga mungkin untuk jalan ke sana secara mandiri, tanpa ditemani seseorang yang kenal daerahnya. Selain itu, kayaknya 'medan' ke Kawah Ratu cukup berat. Untuk tiba ke sana aja perlu trekking sekitar 2 - 3 jam. Tapi entah kenapa, gue malah jadi makin penasaran.

Gue dan Ony ketemuan Usep sekitar jam 8:30 pagi di Sekolah Pandu, Ciampea, meleset dari rencana awal yaitu 7:00 pagi. Ternyata Usep juga mengajak kenalannya yang lain, Wildan, Fitri dan Vita. Wildan adalah seorang ranger juga, sedangkan Fitri dan Vita adalah pelajar yang pengen ikutan ke Kawah Ratu. 

Perjalanan pun dimulai dengan bermotor sekitar 1 jam menuju pintu masuk Taman Nasional Gunung Salak Halimun. Dari pintu masuk, ngga terlalu jauh, tibalah gue di pintu masuk Kawah Ratu. Di dekat pintu masuk terdapat hutan pinus yang dipenuhi tenda-tenda pengunjung yang berkemah di sana.

Setelah Usep menyelesaikan urusan administrasi di pos masuk, trekking pun dimulai. Awalnya jalur yang ditempuh menurut gue ngga berat-berat amat. Dengan jalur berbatu dan ngga terlalu landai, gue yang amatiran dengan kondisi fisik biasa - biasa aja ini, masih bisa menikmati perjalanan meskipun dengan keringat bercucuran. Yang bikin perjalanannya menyenangkan tuh karena udaranya sejuk dan segar, juga karena keindahan hutan yang harus gue lalui. Ditambah lagi, di sisi jalur selalu ada aliran sungai kecil yang airnya jernih dan bersih. 




Gue udah mulai kehabisan tenaga setelah perjalanan sekitar 1.5 jam. Di saat itu, jalur yang harus dilalui udah ngga sekedar bebatuan di tanah yang datar. Kadang harus melewati jalur yang menanjak, tanah yang licin, lumpur, bahkan genangan air setinggi betis. 

Setelah perjalanan yang melelahkan, dengan keringat yang membasahi seluruh badan dan baju, trus kering, trus basah lagi, gue, Ony dan teman - teman lainnya tiba di Kawah Mati 1. Begitu tiba di Kawah Mati 1, rasanya pemandangannya kontras banget dengan pemandangan hutan nan lebat yang gue lewati sebelumnya. Kawah Mati ini kayak hutan yang mati dan kering, dengan pepohonan yang sudah mati, sebagian masih berdiri tegak dan sebagian tumbang. Dengan pemandangannya yang eksotis dan suasananya yang sangat sunyi, Kawah Mati memiliki keindahan tersendiri yang belum pernah gue lihat sebelumnya.






Sejak awal Usep mengingatkan untuk menyiapkan masker penutup hidung untuk digunakan di Kawah Mati, karena bau belerang yang menyengat. Tapi sore itu ketika di sana, gue ngga merasakan bau menyengat itu, bahkan sampai lupa memakai masker. Kayaknya gue terlalu fokus dan terpana oleh keindahan di sekeliling gue.

Perjalanan pun dilanjutkan ke Kawah Mati 2. Pemandangannya tetap sama, indah dan sedikit seram disaat yang bersamaan. 


 


Akhirnya, gue, Ony dan yang lainnya tiba di Kawah Ratu. Aaaahhh....senang banget rasanya ! Setelah 3 jam ber-trekking ria dan kelelahan maksimal, mata gue disuguhi pemandangan yang lebih indah lagi dan kontras dengan pemandangan yang gue lalui sebelumnya, Kawah Mati 1 dan Kawah Mati 2. Kawah Ratu lebih banyak berupa bebatuan besar, dengan kawah tebal membumbung tinggi. Keindahannya ditambah dengan sebuah sungai kecil melintas yang dasarnya berwarna putih dan air yang dari kejauhan tanpa berwarna biru toska. Eksotis banget !! Pengunjung bisa berendam dan mandi disini. Airnya cenderung hangat hingga panas. 

Gue, Ony dan yang lainnya beristirahat selama sekitar 1 jam di kawasan Kawah Ratu. Usep yang membawa kompor outdoor memasak air panas untuk membuat kopi. Dengan pemandangan terhampar di depan mata, sambil menyeruput segelas kopi dan cemilan biskuit seadanya, rasanya segala kelelahan setelah trekking tadi luluh lantah. Anyway, itu mungkin yang dirasakan Ony, yang kebagian kopi. Gue sih cuma bisa icip-icip kopinya Ony sedikit, karena ngga kebagian gelas. 
 

Gue pun menggelar matras yang dibawakan Usep, untuk duduk dan merebahkan badan, pengen beristirahat. Tapi apa daya, karena begitu terpesona dengan keindahan Kawah Ratu, rasanya sayang banget kalau gue hanya memandangi dari kejauhan. Gue dan Ony pun mulai turun dan menuju sungai untuk berfoto - foto dan main air.







Tepat jam 3 sore, gue dan yang lainnya pun meninggalkan Kawah Ratu untuk kembali ke Pos Masuk. Saat tiba di Kawah Mati 2, rintik hujan mulai turun, dan akhirnya semakin deras. Rombongan sempat berhenti di batas air minum untuk memakai jas hujan. Oya, Wildan menyebut area ini 'batas air minum' karena disini terdapat sungai dengan airnya yang bersih, jernih dan segar yang mengalir dengan derasnya. Di sinilah batas dimana pengunjung bisa mengambil persediaan air minum. Melewati batas ini, meskipun ada sungai atau aliran air lainnya, namun airnya tidak bisa dikonsumsi / diminum karena mengandung belerang.

Gue menyebutnya air kulkas, karena selain jernih juga dingin. Andaikan gue tahu dari awal, gue ngga perlu berat-berat membawa beberapa botol air minum di ransel gue, sejak dari Depok ! Dasar pemula dan amatiran....

Perjalanan pulang rasanya lebih berat dibanding ketika berangkat tadi. Karena hujan deras yang mengguyur sepanjang jalan, bikin jalur - jalur yang harus dilalui licin dan becek. Ditambah lagi karena harus bertrekking ria dengan pakaian dan ransel basah. Maklumlah, selain karena tadi telat pakai jas hujannya, jas hujan yang gue bawa juga alakadar banget, cuma terbuat dari plastik dan minimalis sehingga cuma menutupi badan gue seadanya aja. 'Perjuangan' pulang ini semakin menantang karena Wildan, yang sejak awal memimpin perjalanan rombongan kecil ini, memutuskan untuk 'tidak beristirahat' selama perjalanan. Tadi ketika berangkat, gue dan lainnya sempat berhenti 3 kali untuk beristirahat sejenak. 


Dengan tanpa istirahat dan langkah kaki yang semakin dipercepat, perjalanan pulang ditempuh dalam 2 jam saja. Gue tiba di pos masuk dengan hati puas, rasa lelah, dan pegal luar biasa di sekujur tubuh yang ngga bisa digambarkan dengan kata - kata. Dan sekonyong-konyong gue dilanda rasa lapar yang membahana. Iyalah...gue belum makan siang. Selama perjalanan sejak pagi tadi gue cuma makan roti, kacang kulit dan biskuit seadanya. 

Gue puas banget dengan perjalanan ke Kawah Ratu ini. Pertama, karena ini perjalanan yang sudah gue idam-idamkan sejak beberapa waktu belakangan. Kedua... Oh My God...Kawah Ratu indah seindah - indahnya! Ketiga, karena dalam perjalanan ini gue dan Ony bisa dibilang memaksa diri untuk melewati batas kemampuan fisik masing - masing. Awalnya gue ragu akan kemampuan fisik dan niat gue untuk bisa menempuh perjalanan yang sejak awal gue tahu akan 'berat'. Tapi ternyata gue dan Ony sanggup dan berhasil. Yes!! Makasih Yesus, untuk penyertaanMu sepanjang perjalanan, dan kesempatan menikmati keindahan ciptaanMu yang yang luar biasa. 

Wednesday, June 28, 2017

Jadi Turis Di Kota Sendiri (2)




Vihara Dharma Bhakti
26 Juni 2017

Kelar urusan check in dan bersih-bersih gue langsung meninggalkan The Packer Lodge (TPL). Target gue adalah jalan - jalan sekitar Petak Sembilan, dan ke Kota Tua.

Lokasi pertama yang gue kunjungi adalah Vihara (Klenteng) Dharma Bhakti. Sebenarnya gue udah pernah ke sini beberapa kali. Tapi, kapan sih gue pernah bosan mengunjungi klenteng ? Apalagi dengan klenteng - klenteng seperti yang ada di kawasan Petak Sembilan ini yang sudah ikonik banget. Lagian, gue belum ke sini lagi setelah klenteng Dharma Bhakti terbakar tahun 2015. 

Meskipun awalnya ngga ngotot - ngotot amat pengen berfoto di sini, namun dengan bantuan pengunjung - pengunjung lainnya, gue berkesempatan mengabadikan beberapa momen di sini. Sensasi turis lainnya....minta tolong orang lain untuk motret. Bahkan gue juga minta tolong ke warga sekitar yang lagi nongkrong di luar klenteng. Sebenarnya gue membawa tongsis. Tapi entah deh...gue tuh paling ogah pake tongsis, macam alay gitu rasanya. Dengan berepot - repot mencari bala bantuan orang lain untuk berfoto, kayaknya lebih menantang.

Vihara Dharma Bhakti

Vihara Dharma Bhakti
Vihara Dharma Bhakti
Puas berada di Vihara Dharma Bakti, tujuan gue berikutnya adalah Kota Tua. Perjalanan gue tempuh dengan berjalan kaki melalui pasar Asemka. Jauh ? Iya...tapi rasanya menyenangkan. Karena jalanan sepi, langit cerah, dan mungkin karena gue sangat menikmati momen nostalgia jadi solo bekpeker kayak gini, yang berpetualang sendirian, hanya gue dan ransel di pundak. Cihuyyy !

Tiba di kawasan Kota Tua, gue 'disambut' lautan manusia yang memenuhi area di depan Museum Fatahillah. Sebenarnya gue sadar, lokasi - lokasi Kota Tua pasti jadi salah satu tujuan utama warga Jakarta dan sekitarnya untuk menghabiskan liburan. Tapi baru kali ini gue kegirangan jadi bagian dari lautan manusia ini. 

Kota Tua
Saat perut berteriak - teriak kelaparan, gue pun mampir di Bangi Kopitiam yang juga berada di kawasan Kota Tua. Awalnya, untuk menyempurnakan idealisme jadi turis dadakan, gue pengen nyari makanan ala Chinese food di kawasan Pecenongan. Tapi, setelah dipikir-pikir kayaknya kejauhan untuk sekedar cari makan. Gue tertarik nongkrong (walaupun sendirian) di Bangi Kopitiam karena restoran ini menempati bangunan tua yang menjadi bagian dari komplek Kota Tua. Ini merupakan daya tarik tersendiri buat gue....soal rasa makanannya ? Standard alias biasa banget sih!

Kota Tua
Kota Tua
Menjelang jam 8 malam, gue kembali ke The Packer Lodge. Kali ini gue ogah berjalan kaki, tapi naik angkot dari dekat Stasiun Jakarta Kota. Sebelum naik angkot, gue mampir dulu di Stasiun Jakarta Kota. Gue senang berada di sini. Selain menikmati memandangi bangunannya yang tua dan kokoh, juga hiruk-pikuk calon penumpang yang menyesaki stasiun.

Stasiun Jakarta Kota
Tiba di hostel, gue langsung mandi dan menghabiskan waktu membaca novel yang gue bawa di ruang makan. Malam itu ruang makan dan ruang merokok dipenuhi tamu hostel lainnya. Sayangnya, gue ngga bisa mengobrol dengan mereka karena sedang asyik dengan makanan atau gadget masing - masing. Tapi ngga apa - apa...sampai detik ini, gue happy bukan kepalang karena semua hal tipikal kehidupan hostel ada di mata gue. Sekitar jam 9 malam gue ke kapsul tersayang, dan tidur. 

Tidur gue di malam itu memang ngga seindah yang gue harapkan. Kenapa ? Tamu di sebelah gue mendengkur dengan dahsyatnya! Gilaaaa....padahal ini kamar khusus perempuan, dan gue takjub luar biasa ada perempuan mendengkur sekeras itu. Tapi di tengah kenikmatan tidur gue yang tercabik - cabik sempurna di malam itu, dalam hati gue ketawa-ketiwi dan bilang pada diri sendiri, "Welcome to hostel life, Cherry. Be carefull what you wish for..."

27 Juni 2017

Gue bangun sekitar jam 8 pagi. Setelah mandi, gue pun menikmati sarapan gratis ala hostel. Menu standard...roti tawar dengan berbagai rasa selai, dan berbagai minuman (kopi dan teh). Kesukaan gue ketika sarapan di hostel adalah membakar roti gue sampai gosong. Tapi kali ini ngga bisa gue lakukan, karena harus ngantri pake mesin toaster. Gue memang menargetkan meninggalkan hostel secepat mungkin. Banyak tempat yang pengen gue kunjungi sampai sebelum waktu check out tiba.

Lokasi pertama yang gue kunjungi adalah Gang Gloria. Keren ya namanya....Ada apa di sini ? Ini adalah sentra kuliner Glodok. Tapi, khusus untuk makanan mengandung babi. Gilaaaa.....Glodok tuh surga buat siapapun penggemar hidangan daging babi. Sepanjang jalan mulai dari pasar Petak Sembilan dipenuhi penjual - penjual somay dan sekba babi. Trus, di Gang Gloria ini kayaknya ngga ada makanan yang luput dari daging babi, mulai dari somay, bakso, bakmi, sate, dan kawan - kawannya. Gue rasa kalo disini ada jualan rujak, bakalan mengandung babi juga kalii... Benar-benar membabi buta Gang Gloria ini! 

Gang Gloria
Bakmi Amoy
Gue bukan penggemar hidangan daging babi sejati sih, tapi ngiler juga pengen sarapan bakmi Amoy. Gue mendapat rekomendasi Bakmi Amoy ini dari hasil browsing, sebagai salah satu bakmi yang paling mantap rasanya. Dengan semangkuk Bakmi Amoy dan segelas liang teh, rasanya sensasi bekpekeran gue kali ini terbayar lunas ! Gue ngga sabar bawa Ony, Mama dan anggota keluarga gue ke Gang Gloria ini suatu saat. 

Oya, gang Gloria ini gampang dicari. Lokasinya di kawasan Pancoran. Bisa dibilang pas berseberangan dengan Pasar Petak Sembilan. Kalau nanya ke siapapun warga sini pasti tahu. Waktu gue nanya ke seorang petugas parkir langsung dijawab, "Ohh...tinggal nyeberang di situ....Banyak makanan di situ, ci !" Siappp, boss !!

Dengan perut kenyang, gue melanjutkan kisah-kasih ala turis dan menuju sebuah lokasi yang belum pernah gue kunjungi sebelumnya, Candra Naya. Sebelum menyeberang jalan, gue tertarik untuk mampir ke Pantjoran Tea House, karena melihat sebuah meja di luar restoran, dengan delapan teko serta beberapa cangkir bergaya vintage. Di atas meja juga terdapat papan tulisan 'Tradisi Patekoan (8 Teko) Silahkan minum ! Teh untuk kebersamaan. Teh untuk masyarakat.' Seorang pelayan segera keluar dan menyambut serta mempersilahkan gue untuk menikmati teh yang disajikan gratis untuk pejalan kaki. Hahhh ? Kok bisa ? Begini ceritanya. Adalah Kapiten Gan Djie yang tinggal di kawasan ini sekitar tahun 1663 dan memulai tradisi minum teh. Kapiten Gan Djie dan istrinya selalu meletakkan delapan teko teh untuk pedagang keliling dan orang-orang yang kelelahan serta hendak menumpang berteduh. So sweet ! Gue bukan pedagang keliling sih...ngga lagi lelah-lelah amat juga (khan baru makan bakmi Amoy)...cuma bekpeker gembel yang pengen neduh bentar dan nyobain tehnya. Boleh kan, Kapiten ? Boleh laaahh...! Boleh doongg !!
Patekoan, Pantjoran Tea House
Dengan diantar Gojek, gue pun tiba di Candra Naya. Candra Naya adalah bangunan kuno yang dahulunya merupakan tempat tinggal Mayor Khouw Kim An, yang diperkirakan dibangun pada sekitar tahun 1807. Bangunannya berarsitektur khas Tionghoa dengan atap yang mirip banget seperti atap klenteng. Lokasinya aneh bin ajaib, dan gampang dicari. Karena Candra Naya ini seakan - akan terbelenggu di tengah-tengah Hotel Novotel Gajah Mada. Yes, Candra Naya berada tepat di tengah Hotel Novotel. Heran dan prihatin jadinya, bangunan bersejarah kayak gini, meskipun terlihat sangat terawat dan bersih, namun terkesan kurang dilindungi. 

Candra Naya
Candra Naya
Candra Naya
Candra Naya
Candra Naya
Candra Naya
Di sini gue ngga kesulitan sama sekali dalam hal potret memotret. Karena ada petugas keamanan yang setia menemani gue kemana pun melangkah. Awalnya gue kecewa begitu tahu bangunan utama Candra Naya ngga dibuka karena masih libur Lebaran. Namun sang petugas yang ramah ini berusaha menghibur dengan memperlihatkan lokasi - lokasi dan sudut - sudut menarik Candra Naya lainnya. 

Dari Candra Naya, berikutnya kaki panjang gue melangkah ke gedung paling indah di Jakarta, versi gue. Gedung Arsip Nasional yang juga berada di Jalan Gajah Mada. Ini gedung favorit gue sepanjang masa. Bagus banget abisnya...tapi begitu Gojek yang gue tumpangi merapat di pintu gerbangnya, gue membaca pemberitahuan bahwa Gedung Arsip Nasional sedang tutup. 

Gue ngga mau menyerah begitu saja, dan bertanya ke tukang kebun yang sedang sibuk menyapu taman. Jawabannya justru membakar semangat gue untuk masuk ke area gedung, "Masuk aja Mbak, bilang sama petugas sekuritinya tuh di pos. Baik kok orangnya..." Gue pun memasuki gerbang dan menuju pos keamanan sambil bilang, "Pak, saya boleh masuk ya...cuma mau lihat-lihat di depan aja kok, ngga masuk. Saya sudah jauh-jauh dari Depok, Pak. Saya dari Sawangan. Sawangan jauh lho Pak, dekat Parung..." Dan sang petugas pun pasrah dengan kebawelan gue yang maha dahsyat dan membolehkan gue berkeliling sejenak. Belum selesai kebaikan bapak sang petugas sekuriti ini, beliau juga membantu gue berfoto dengan latar belakang gedung Arsip yang fenomenal itu. Ceklek!!

Gedung Arsip Nasional
Gedung Arsip Nasional
Setelah memuaskan rasa kangen akan Gedung Arsip Nasional, gue memutuskan kembali ke The Packer Lodge. Panasnya pagi itu bukan main. Gue pengen menikmati kenyamanan capsule bed yang harus gue tinggalkan beberapa jam lagi. Tiba di hostel, gue langsung mandi, sebelum berbaring di capsule bed. Mandi lagi ? Iyaaaa....itu kebiasaan gue kalo lagi bekpekeran. Tepatnya kalau gue lagi kepanasan plus kegerahan luar biasa, gue akan mandi sesering mungkin untuk menyegarkan diri.

Setelah berbaring santai di capsule bed selama beberapa waktu, dengan berat hati gue pun check out dari The Packer Lodge. Overall, gue puas banget tinggal di sini, meskipun cuma semalem. Entah udah berapa hostel yang pernah gue singgahi di beberapa negara, ngga berlebihan kalau gue bilang TPL adalah salah satu yang terbaik. 

Check out dari hostel, bukan berarti kaki panjang gue ini lelah. Dari TPL gue melanjutkan perjalanan dengan misi mencari Gang Kecap. Apa itu ? Gue pengen mencari lokasi rumah seniman kaligrafi Cina yang menurut informasi yang gue dapatkan, berada di kawasan Gang Kecap. Setelah keluar masuk gang - gang dan pasar - pasar yang ada di sekitar Petak Sembilan dan Jalan Pancoran, langkah gue pun terhenti setelah mendapat informasi dari warga sekitar bahwa toko Sanjaya (tempat seniman kaligrafi Cina tersebut), tutup. Agak kecewa sih...begitu gue hendak mencari Alfamart untuk beli minum karena haus luar biasa, eng...ing...enggg....tepat di seberang Alfamart berdiri Klenteng Toasebio. Gue langsung semangat lagi dan mampir ke dalamnya.

Klenteng Toasebio
Klenteng Toasebio
Abis dari Kleteng Toasebio, gue kembali menuju jalan raya Glodok dan naik angkot menuju Stasiun Jakarta Kota. Niat gue, nanti mau turun di Museum Bank Mandiri untuk berturut-turut mengunjungi Museum Bank Mandiri, Museum Bank Indonesia, Museum Wayang dan Museum Seni Rupa. Tapppiii...gue kecewa ! Karena Museum Bank Mandiri dan Museum Bank Indonesia tutup. Heran...kenapa tempat - tempat menarik yang potensial dikunjungi warga di hari - hari libur begini malah tutup. Gue pun berasumsi museum - museum lainnya di kawasan kota tua tutup semua. 

Perjalanan pun berakhir di Stasiun Jakarta Kota. Gue mengakhiri petualangan dan hasrat pengen jadi turis di kota sendiri dengan hati senang dan puas. Keinginan untuk menjadi horraanggg Kota pun tercapai sudah, walaupun cuma sehari semalam.

Jadi Turis Di Kota Sendiri (1)

 

26 Juni 2017

Di libur panjang Lebaran tahun ini, seperti biasa gue ngga punya rencana traveling kemana pun. Gue bahkan enggan ngebayangin pergi ke tempat wisata mana pun, karena males ngebayangin penuh sesaknya oleh pengunjung...tipikal kalo liburan panjang gitu deh. Trus, Ony pun lagi di luar kota. 

Tapi pagi itu gue mendadak kepikiran untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Gue pengen jadi turis di kota sendiri. Gue pengen merasakan tinggal di hostel di Jakarta. Gue kangen tinggal di hostel, yang merupakan salah satu pengalaman paling tak terlupakan dalam setiap cerita bekpekeran gue.

Gue pun langsung browsing sana - sini, mencari informasi hostel dengan konsep 'dormitory room' yang ada di Jakarta. Awalnya ngga terlalu berharap banyak, mengingat saat ini lagi libur panjang, pasti susah mencari hostel yang masih available. Tapi ternyata dugaan gue salah, karena sebuah hostel di kawasan Kota, Jakarta Barat masih menyediakan satu capsule bed. The Packer Lodge (TPL) namanya. Woww ! Capsule....? Keren dong...kebetulan gue belum pernah tinggal di hostel berkonsep kapsul. Gue langsung booking via booking.com. Asyiknya booking di sini tuh gue ngga harus bayar down payment atau full payment. Kelar booking, gue langsung terima konfirmasinya melalui email. 

Karena serba dadakan, dan saat itu gue lagi di rumah Mama, gue pun langsung melesat menuju rumah Sawangan. Di sana gue ngga berlama-lama, cuma ambil baju dan perlengkapan mandi seadanya. Dari Sawangan gue ke Stasiun Depok Baru dan naik commuter line menuju Stasiun Jakarta Kota. Gue tiba di Stasiun Jakarta Kota sekitar jam 15:30 dan langsung naik angkutan umum No. 08 (tujuan Tanah Abang). TPL berlokasi di Jalan Kemurnian IV No. 20 - 22. Sebenarnya gue ngga merasa terlalu asing dengan daerah Kota, karena sering melintas di daerah sini bareng Ony. Gue merasa familiar dengan nama - nama jalan seperti Kemurnian, Keadilan, Kebahagiaan, dll. Tapi gue ngga tahu lokasi tepatnya sih.

Gue turun dari angkot pas di Halte TransJakarta Glodok, dan menyeberang jalan. Tepat di depan halte TransJakarta Glodok gue langsung melihat Jl. Kemurnian I. Gue pun memulai petualangan gue di sore itu dengan mencari jejak keberadaan Jl. Kemurnian IV. I'm so happy and excited !! Rasanya kayak kembali lagi jadi bekpeker gembel yang kesasar kesana kesini mencari arah, sendirian.

Akhirnya gue menemukan bangunannya, yang dari luar ngga tampak menonjol karena terlihat nyaris sama dengan rumah - rumah bertingkat di sekitarnya. Tiba di ruang resepsionis gue disambut dengan hangat oleh para staff. Setiap tamu harus membayar semacam 'security deposit' alias uang jaminan sebesar Rp. 200,000 yang akan dikembalikan saat tamu check out. Untuk harga capsul bed-nya sendiri gue membayar Rp. 144,500 per malam. Dengan membayar seharga itu gue bisa menggunakan fasilitas yang ada di hostel gratis, termasuk internet dan sarapan. 

Reception Room
Salah satu staff TPL, Felis, mengantarkan gue ke kamar yang terletak di lantai 3. Sepanjang 'perjalanan' singkat itu gue ngga berhenti terkagum-kagum akan hostel ini. Interiornya tuh antik dan artistik banget. Di setiap dinding terdapat karikatur dengan tema berbeda-beda. Kebanyakan adalah tempat - tempat ikonik sekitar daerah Glodok dan Kota. Selain karikatur dinding, properti - properti unik, mulai dari lukisan, sepeda ontel, koper - koper tua juga ditambahkan untuk melengkapi keindahan setiap sudut ruangan di bangunan hostel. 

Sebagian karikatur dinding di TPL

Kamar gue, No. 3, berada tepat di sebelah ruang makan, dapur, dan ruang merokok. Ruang makan dan dapurnya nyaman dan bagus banget. 

Dapur dan ruang makan
Ruang Merokok

Ruang santai (internet dan TV)
Setelah itu Felis pun mengantar gue ke dalam kamar. Wowww....! Empat 'bilik' tempat tidur berbentuk kotak disusun secara bertingkat, dua di bawah, dua di bagian atas. Gue kebagian di ranjang atas, artinya gue harus menggunakan tangga. Begitu berada di ranjang kapsul, gue amazed karena ternyata luas dan nyaman banget. Kata Felis setiap kapsul sengaja dibuat tinggi untuk mengakomodir tamu yang hendak melakukan sholat.

Capsule beds
me, my capsule, and my book..
Felis pun menyerahkan handuk dan selimut ke gue. Setelah itu gue mandi dan membersihkan diri. Untuk urusan bersih - bersih, lagi - lagi gue dibikin takjub dengan lengkap, nyaman dan bersihnya fasilitas yang tersedia, mulai dari wastafel, kamar mandi, toilet, dll.

Gue girang luar biasa, meskipun mendadak tapi bisa mewujudkan keinginan gue untuk merasakan sensasi tinggal di hostel, tanpa perlu beranjak dari kota sendiri. Bahkan rasanya gue mendapatkan bonus, karena kali ini bisa tinggal di hostel berkonsep kapsul. Dengan semangat meluap - luap, gue pun meninggalkan hostel untuk menikmati sensasi turis lainnya : mencari dan mengeksplorasi daya tarik kawasan Glodok dan sekitarnya.

shoes wonderland