I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Sunday, June 17, 2018

Curug Cipamingkis Yang Eksotis


15 Juni 2018

Lebaran hari pertama, gue dan Ony memilih kabur dari Jakarta dan 'bersilahturahmi' dengan alam....Caellaahh ! Targetnya masih sama, the one and only, Jonggol. Pokoknya sebelum gue bosan ke sini dan puas mengeksplorasi keindahan alamnya, meskipun jauhnya kebangetan, gue akan kembali ke sini lagi....ke sini lagi...

Perjalanan kali ini agak spontan dan ngga direncanakan, jadilah gue dan Ony berangkat agak siang dari rumah, sekitar jam 9 pagi. Tujuan pastinya pun belum jelas - jelas amat. Begitu tiba di Jonggol city, gue dan Ony mampir dulu di warung bakso untuk mengisi perut. Lapar ? Sebenarnya belum. Tapi mengingat pengalaman biasanya, dimana mencari tempat makan di sini susah, terlebih pas hari Lebaran kayak gini, dan sepanjang perjalanan mulai dari Mekarsari, Cileungsi, sampai memasuki Jonggol, warung makan yang buka cuma warung bakso dan mie ayam doang, gue dan Ony memutuskan untuk makan bakso sebagai sarapan sekaligus makan siang.

Kelar ngebakso, berikutnya gue menuju Heaven Memorial Park (HMP) atau disebut juga Taman Makam Quiling. Gue khan senang mengunjungi makam, dan HMP ini menurut gue keren banget...luasnya 125 hektar dengan pemandangan berupa gunung, lereng, sungai, dan hutan. 

Tujuan berikutnya sebenarnya pengen langsung ke Curug Cipamingkis, tapi gue dan Ony malah mengambil arah menjauh, yaitu ke arah Cianjur. Ketika tiba di Puncak Hutan Pinus yang nampak seperti lokasi peristirahatan sejenak karena di kiri kanan jalan terdapat banyak warung - warung kopi dan pusat oleh - oleh, gue berhenti sejenak di situ. Ony mau istirahat sambil menikmati secangkir kopi. Meskipun namanya 'Puncak Hutan Pinus' tapi akses menuju hutan pinusnya sendiri sudah ditutup untuk umum. Kalau kata salah satu pemilik warung dan tukang parkir, dulunya area itu emang dibuka untuk pengunjung, tapi sekarang tidak. 

Dari Puncak Hutan Pinus, gue dan Ony mengambil arah balik ke Cariu, karena kita pengen ke Curug Cipamingkis. Alhasil tiba di curug udah menjelang sore, sekitar jam 15:00. Oya, sebelumnya gue cerita mengenai perjalanan gue ke Curug Ciherang. Mengenai rute perjalanan, Curug Cipamingkis ini berdekatan dengan Curug Ciherang, begitu tiba di sebuah pertigaan, ambil arah ke kiri untuk ke Curug Cipamingkis. Sebelum tiba di Curug Cipamingkis pengunjung akan melalui sebuah wahana wisata bernama Villa Khayangan Sukamakmur (di sebelah kiri) terlebih dahulu.

 

Setelah membeli karcis masuk berikut parkir, gue pun memasuki kawasan curug. Selain Curug Cipamingkisnya sendiri, area ini menyediakan wahana wisata lainnya, misalnya penginapan, camping ground, kolam renang, spot foto ala - ala, dan rumah pohon. Gue dan Ony langsung menuju curug, yang bisa ditempuh tanpa harus berlelah-lelah trekking. Curugnya keren....ada 1 sumber air terjun setinggi sekitar 20 meter. Di sekitarnya terdapat bebatuan besar. Curugnya ngga terlalu luas, dengan debit air lumayan deras. Di sekelilingnya berupa tebing dan pepohonan hijau, secara keseluruhan curugnya indah dan eksotis. Yang lebih menyenangkan lagi, area tepat di bawah air terjun, kedalamannya cuma setinggi dada orang dewasa. Jadi sangat aman dan menyenangkan banget buat mandi dan main air di sini. Trus gue nyebur ? Ngga sih....meskipun di situ juga disediakan tempat ganti/kamar mandi, tapi sore itu gue ingin menikmati kesejukan udara dan segarnya air Curug Cipamingkis dengan main-main air cantik dan merendam kaki aja. 


Puas di curug, gue dan Ony melangkah menuju rumah pohon. Untuk rumah pohonnya, pengelola curug mungkin terinsipirasi oleh keindahan rumah pohon di Curug Ciherang. Bentuknya sama, warna cat pada jembatan kayunya pun sama persis.Tapi favorit gue tetap rumah pohon Curug Ciherang, karena bentuk, lokasi dan pemandangan sekelilingnya bikin kesan sedikit magis.


Karena hari udah semakin sore, gue dan Ony meninggalkan lokasi. Overall, curug Cipamingkis mungkin salah satu favorit gue, dan bisa jadi suatu saat pengen balik lagi ke sini buat nyebur dan mandi sampai puas.

Saturday, June 16, 2018

Mandi Hujan di Curug Ciherang


19 Mei 2018.

Dengan tekad menggelora untuk mengeksplorasi pesona Jonggol yang menurut gue belum banyak terekspos ~ dan gue suka tempat-tempat seperti itu ~ gue dan Ony kembali ke sana, tepatnya kawasan Gunung Batu. Tujuannya untuk mengunjungi Curug Ciherang dengan rumah pohonnya yang instagrammable itu.

Perjalanan menuju Jonggol tuh selalu menguras tenaga dan waktu banget sebenarnya. Meskipun gue menikmati pemandangan sepanjang perjalanan, tapi entah kenapa khusus untuk rute menuju Jonggol, terlebih Gunung Batu, bisa sampai menyentuh batas kebosanan gue. Mungkin karena rutenya masih sepi penduduk, misalnya jika dibandingkan dengan Gunung Salak. Jadi di sela-sela keasyikan gue menikmati perjalanan, tersisip juga rasa khawatir mengenai rasa amannya. 

Untuk misi kali ini ke Curug Ciherang, perjalanannya jauh lebih panjang lagi dari pada ke Puncak Gunung Batu, namun masih searah. Dari Puncak Gunung Batu, kira-kira masih 1 jam lagi, dengan kondisi jalan yang ngga selalu mulus. Dari jalan utama dan satu - satunya, pengunjung harus berbelok ke kiri. Gue melihat papan petunjuk arahnya secara ngga sengaja. Jadi besar kemungkinan pengunjung yang baru pertama kali ke sini kesasar dengan mengambil arah lurus. Di kawasan ini emang lebih baik banyak - banyak bertanya ke penduduk. Itu pun kalo kebetulan dekat dengan rumah penduduk. Banyak titik dimana sepanjang mata memandang yang terlihat hanya hamparan sawah padi, kebun, pepohonan bambu, jati, dsb. Oya, di sini gue juga ngga bisa mengandalkan GPS karena sinyal lenyap sama sekali. Ketika berbelok ke kanan menuju arah Gunung Batu dari jalan raya Jonggol, sebenarnya sinyalnya udah mulai susah. Pas posisi puncak Gunung Batu, udah ngga ada sama sekali. Apalagi arah ke Curug Ciherang. Nampaknya di sini tuh kawasan tidak ramah Telkomsel. 

Menjelang tiba di kawasan Curug Ciherang, petunjuknya makin jelas, karena berupa pertigaan. Kalo ke kanan, ke Curug Ciherang. Kalo ke kiri ke Curug Cipamingkis. Curug Ciherang menjadi bagian dari Wahana Wisata Curug Ciherang (WWCC) yang sepertinya dikelola oleh pribadi/perorangan gitu. Tiket masuknya mahal banget menurut gue ! Untuk 2 orang dan 1 motor harganya Rp. 43,000,- Alamakjannn...untuk menikmati keindahan alam ciptaan yang Maha Kuasa berupa curug di salah satu gunung di Jonggol, gue musti bayar segitu. Dahsyat ya...Tapi berhubung udah sampai sana, mau ngga mau gue beli tiketnya. 


WWCC ini luas banget....Setelah loket penjualan tiket, pengunjung akan melihat beberapa bangunan penginapan atau villa yang tersedia di sana. Gue rasa saat itu semua kosong tanpa penghuni, karena sepi banget. Bentuknya macam - macam, ada yang rumah modern, rumah panggung, atau rumah Teletubbies juga. Dari sini Rumah Pohon Curug Ciherang belum terlihat. Pengunjung harus mengambil arah ke kanan untuk menuju kawasan curugnya. Oya, hujan rintik sudah mulai turun sejak kedatangan gue di WWCC ini. Selain hujan, kabut tebal juga udah mulai muncul, jadilah kawasan tersebut nampak gelap.

Teletubbies wannabe
Setelah parkir motor, lokasi yang pertama gue lihat adalah Rumah Pohon Curug Ciherang. Gue girang banget lihatnya, karena sudah lama lihat, terpesona, dan penasaran pengen berkunjung, setelah baca travel story-nya yang udah pernah ke sana. Tempatnya emang keren banget. Berada di ketinggian, dengan latar belakang gunung. Di bawahnya, nampak Curug Ciherang berada. 


Saat itu ngga banyak pengunjung yang datang, cuma sekitar 6 - 10 orang, mungkin karena masih awal puasa. Jadi sepi, plus hujan, plus kabut tebal, bikin suasana sedikiiittt seram. Berhubung saat itu ngga terlalu leluasa berfoto - foto di rumah pohon, gue dan Ony pun melanjutkan perjalanan ke Curug Ciherang, yang lokasinya ngga jauh. Tiba di sana, hujan semakin deras, dan gue berteduh di kamar mandi dekat situ. Ketika hujan mulai reda, kabut bergeser dan langit sedikit cerah, gue dan Ony pun mulai turun mendekat ke curug. Arus airnya saat itu sangat deras, mungkin karena belakangan Jonggol dan sekitarnya diguyur hujan. Tapi entah karena hujan atau emang dasarnya begitu, air curugnya cenderung berwarna kecoklatan, bukan jernih. Ony pun nyebur menikmati dinginnya air curug, sementara gue enggan. Ngga beberapa lama kemudian, langit mendung lagi, rintik hujan mulai menetes, dan kabut mulai muncul lagi dan bikin langit gelap dalam sekejap, padahal saat itu hampir tengah hari. 


Gue dan Ony pun meninggalkan lokasi curug, dan kembali ke Rumah Pohon. Di situ gue sempat berteduh beberapa saat. Lalu sang hujan dan sahabat karibnya, kabut, mulai bersembunyi lagi....dan langit pun cerah kembali. Horeee....! Gue dan Ony tetap di Rumah Pohon. Di situ gue lihat beberapa pengunjung baru mulai berdatangan. Bagus deh...the more the merrier....Kalau terlalu sepi, makin terasa horor kawasan ini. Biasanya yang datang akan langsung menuju curug, dan sekedar lewat di Rumah Pohon. Jadi gue dan Ony betah berlama - lama di situ. Lagian, pemandangan dari sini terlihat jauh lebih memukau sih.

Beberapa saat kemudian, lagi-lagi duo hujan dan kabut muncul. Langit pun segera gelap, berasa kayak udah jam 6 sore lebih. Gue dan Ony pun memutuskan untuk meninggalkan lokasi, ditemani oleh rintik hujan. Ketika tiba di loket masuk tadi, karena hujan terlalu deras dan kabut sangat amat tebal, gue berhenti sejenak di situ. Ngga ada gunanya melanjutkan perjalanan, gue khawatir kabut tebal akan mengganggu perjalanan nanti. Mengingat jalan yang harus gue dan Ony lalui berupa tanjakan atau turunan yang agak curam, jalan yang tidak rata, dan jurang di sebelah kiri jalan (arah pulang), kayaknya memaksakan diri melanjutkan perjalanan ngga ada gunanya.

Setelah menunggu, menunggu dan menunggu.....hujan dan kabut kembali pergi. Senangnya! Gue dan Ony langsung meninggalkan WWCC, menyongsong perjalanan panjang lagi untuk keluar dari kawasan Gunung Batu, dilanjutkan perjalanan kembali ke Jakarta.

Tiga Malam Di Semarang (Hari Keempat)



29 Mei 2018

Hari terakhir di Semarang. Gue akan kembali ke Jakarta dengan kereta ekonomi dari Stasiun Poncol keberangkatan sekitar jam 1 siang. Jadi dari semalam gue udah menyiapkan ransel, lalu pagi ini rencananya gue akan keluyuran sampai sekitar jam 11 siang. Trus, balik ke hostel untuk mandi, terakhir, ke stasiun Poncol. 

Mengenai rencana pagi ini, gue akan mengunjungi Pagoda Watugong di Ungaran. Sebenarnya agak sedikit nekad, karena jaraknya ngga dekat - dekat amat. Trus, tantangan lainnya, transportasi ke sana. Kali ini gue ngga akan naik Trans Semarang, tapi Gojek, untuk menghemat waktu. Tarifnya sensasional, untuk ukuran Semarang : Rp. 23,000....gue langsung kebayang panjangnya perjalanan ber-Gojek ke sana nanti. 

Oya, sebenarnya gue masih menyimpan niat untuk ke Ereveld Candi. Tapi gue ngga mau ambil resiko, karena hari ini hari libur nasional (Perayaan Waisak). Jam buka ereveld untuk pengunjung umum kayak gue mengikuti hari kerja. 

Ketika gue tiba di Pagoda Watugong, sekitar jam 8:30 pagi, tentunya di sana sepi. Sebenarnya di area parkir ada sebuah bus yang mengantar group pengunjung, yang belakangan gue tahu bahwa mereka menginap di sana semalam, tapi sudah bersiap meninggalkan area pagoda. 

Nama lengkap vihara ini Vihara Buddha Gaya Watu Gong, dibangun tahun 1955. Di dalam komplek vihara terdapat dua bangunan besar yaitu Gedung Dhammasala dan Pagoda Avalokitesvara. Di pintu utama pengunjung akan langsung melihat bongkahan besar batu alam berbahan andesit yang diberi nama Watu Gong, yang menjadi asal muasal nama vihara ini. 

Batu Watu Gong dan Gerbang Sanchi (replika gerbang di depan
stupa Sanchi di India, simbol penghormatan sebelum memasuki bangunan
vihara/stupa sebagai kediaman Sang Buddha)
Tiba di komplek vihara, gue langsung melangkah ke Pagoda Avalokitesvara. Posisi pagoda ini pas di pinggir jalan raya Ungaran, jadi eye catching banget. Ketika empat tahun lalu gue melalui jalan ini dalam tujuan ke Ambarawa, gue langsung takjub ada bangunan seindah itu. Saat itu sekonyong - konyong gue teringat pagoda Kek Lok Si di Penang, Malaysia. Walaupun ngga mirip - mirip amat sebenarnya, baik dari bentuk maupun warnanya. 

Untuk mendekat ke pagodanya, gue harus menaiki beberapa anak tangga. Tiba di halaman pagoda, terdapat pohon bodhi yang keren banget. Batangnya ngga terlalu tinggi, tapi cabang - cabangnya banyak dan tumbuh melebar sampai tampak menaungi seluruh area halaman. Trus di ranting - rantingnya tergantung banyak pita berwarna merah, yang berisi permohonan dan harapan pengunjung yang berdoa di sana. Warna merahnya jadi kontras dengan dedaunan yang hijau. Masih di bawah cabang pohon bodhi, terdapat sebuah patung Dewi Kwan Im. 

Kebetulan ada seseorang di situ, yang gue asumsikan adalah pegawai vihara, gue minta tolong untuk difotoin beberapa kali. Tuh kan...Yesus 'menemani' gue melalui orang-orang baik hati yang dengan ikhlas memberikan bantuan di saat gue perlukan. Bahkan untuk hal sekecil berfoto ria. Begitu tiba di bangunan pagoda gue lihat dua orang pegawai masih sibuk membersihkan ruangan dalam pagoda. Hari itu adalah perayaan Waisak, jadi mungkin akan ada banyak pengunjung datang untuk berdoa. 

Pohon bodhi, Patung Buddha dan Patung Dewi Kwan Im
Pohon bodhi dan bekpeker gembel
Pagoda Avalokitesvara
Di luar dugaan gue, ternyata pagoda hanya terdiri dari satu lantai, yaitu ruangan dimana terdapat patung Buddha berukuran sangat besar, tampak dengan jubah berwarna merah muda. Oya, gue selalu tertarik saat melihat sikap tangan dan jari atau mudra, dari patung - patung Buddha, karena setiap mudra ada arti dan bahkan manfaatnya. Alhasil, setiap kali melihat patung Buddha, gue akan pulang membawa rasa penasaran baru yang harus gue cari jawabannya, yaitu mudra Buddha dan artinya. Mudra patung seperti di Pagoda Avalokitesvara ini rasanya jarang gue lihat, dan begitu gue cari - cari informasi dengan browsing sana - sini, kayaknya yang paling mendekati namanya Apana Mudra. Mudra ini dari segi manfaat, erat hubungan dengan pencernaan dan sekresi, yaitu mengeluarkan racun - racun dari dalam tubuh, sehingga bisa menjauhkan dari sakit - penyakit. Hal ini berlaku baik untuk fisik maupun mental. Sebenarnya gue ngga yakin benar atau ngga nya. Semoga suatu saat gue berkesempatan untuk mendapatkan informasinya yang akurat dari sumber yang tepat. 


Kembali ke bangunan pagoda, rasa penasaran gue terjawab sudah. Gue pikir selama ini gue bisa menaiki setiap lantai pagoda yang menjulang itu, seperti di Kek Lok Si, dimana gue naiki lantainya satu per satu sampai yang tertinggi (yang dibuka untuk pengunjung umum), dan tiba di sana dengan bermandikan keringat. Puas memandangi keindahan pagoda, gue pun melanjutkan langkah menuju patung Buddha Paranibbana, yang posisinya di sebelah pagoda. 

Buddha Parinibbana, menggambarkan saat wafatnya Sang Buddha
di antara dua pohon Sala
Gue sempat berada di halaman di tengah komplek beberapa saat. Saat itu pengunjung lainnya mulai berdatangan. Sementara gue, sudah bersiap - siap mengambil langkah pulang. Gue ngga ke Gedung Dhammasala karena berasumsi gedungnya dikunci. 

Ketika berada di dekat Gerbang Sanchi, seorang bapak yang sedang memegang parang menyapa gue dengan ramah, dan gue pun sempat mengobrol sejenak dengan bapak tersebut. Bapak tersebut ternyata sedang mempersiapkan umbul - umbul untuk perayaan Waisak yang akan berlangsung nanti malam. Beliau mempersilahkan gue untuk bergabung pada perayaan itu, tapi gue bilang kalau gue akan meninggalkan Semarang siang nanti. Pak Warto, namanya. Mempersilahkan gue untuk melihat Gedung Dhammasala dan berniat untuk menemani gue berkeliling. Wowww.....gue senang bukan main, dan sejenak lupa bahwa waktu gue di sini sangat sempit. 

Tiba di Gedung Dhammasala, Pak Warto (lengkapnya Pandita Aggadhammo Warto) yang merupakan pengurus Magabudhi (Majelis Agama Buddha Indonesia) Jawa Tengah, menunjukkan dan menjelaskan ke gue relief Patticasamuppada yang ada di sekeliling tembok halaman luar gedung. Patticasamuppada adalah hukum sebab musabab yang saling berkaitan. Dalam ajaran Buddha, Patticasamuppada adalah mengenai hukum alam yang dialami oleh semua mahluk sebelum meraih kebahagiaan tertinggi, Nibbana. 

Moha, loba dan dosa

Pandita Aggadhammo Warto
Gedung Dhammasala
Bekpeker gembel
Gedung Dhammasala
Gue mendengarkan penjelasan Pak Warto dengan seksama, tanpa rasa bosan. Pak Warto pun ngga lelah dan bosan menjawab pertanyaan - pertanyaan yang terkadang spontan dan apa adanya yang gue sampaikan. Di sela - sela penjelasannya mengenai Patticasamuppada, Pak Warto juga menyisipkan obrolan ringan dan nasihat - nasihat yang mencerahkan dan menyejukkan hati dan pikiran, disampaikan dengan lembut dan kerendahan hati, tanpa ada unsur kesombongan, maupun menghakimi. Jika bukan karena kendala waktu dan gue juga ngga ingin menginterupsi kesibukan Pak Warto terlalu lama, gue pasti akan tinggal di sana beberapa saat. Gue pun berpamitan pada Pak Warto, dan dengan langkah berat meninggalkan vihara.

Di gerbang gue memesan Gojek untuk kembali ke hostel. Gue menunggu beberapa lama, sampai ada Gojek yang akhirnya menerima pesanan gue. Tiba di hostel, gue mandi dan bersiap - siap dan berangkat ke stasiun Poncol. Gue sempat makan siang di sebuah restoran yang ada di seberang stasiun. 

Kereta gue berangkat tepat waktu. Gue melalui perjalanan selama 7 jam dengan memikirkan kembali trip 4 hari 3 malam gue di Semarang yang seru dan sangat berkesan. Teristimewa, dimana selama trip ini gue dipertemukan dengan orang - orang baik dan bersahabat yang bikin traveling sendirian itu ngga garing dan sulit. Sampai jumpa, Semarang !

Wednesday, June 13, 2018

Tiga Malam Di Semarang (Hari Ketiga)


28 Mei 2018

Rencana gue pagi ini ke Lawang Sewu. Awalnya ngga pengen - pengen amat ke sini, karena sudah pernah sebelumnya. Gue suka dengan bangunan - bangunan tua yang keren peninggalan Belanda kayak Lawang Sewu, tapi rasanya sekali juga cukup. Niatnya cuma mau jalan kaki santai dari IB ke arah Balai Kota, sampai Paragon Mall. Menurut gue, kota Semarang cukup memanjakan pejalan kakinya kok....trotoarnya lebaaaarrr dan nyaman.

Tapi begitu melewati Lawang Sewu, gue jadi terpesona, dan memutuskan mampir. Gue pun ke loket pembelian tiketnya. Harga tiketnya Rp. 10,000, dan tiba - tiba seorang tour guide mendekat dan menawarkan jasanya. Gue spontan bertanya tarif guidenya, Rp. 50,000. Woww.....mahal juga! Dan dengan percaya diri gue memutuskan untuk berkeliling Lawang Sewu tanpa bantuan guide.

Gue pun memasuki area tengah Lawang Sewu, menuju bangunan B. Sepi, ngga ada pengunjung lainnya. Rasanya Lawang Sewu sekarang lebih bersih dan tertata. Ketika gue ke sini 4 tahun yang lalu, ada beberapa bagian yang atapnya sudah mulai rusak. Gue memasuki ruangan demi ruangan, dan perlahan tapi pasti mulai merasa takut berada di sana. Untuk mengusir rasa takut, gue memutuskan untuk mulai memasuki ruangan dari yang paling ujung. Kebetulan gue bertemu seorang staff yang sedang membersihkan ruangan. Agak lega. Tapi gue ngga mungkin ngikutin kemana pun dia pergi khan....Trus gue ke lantai dua dari bangunan yang sama. Kok makin terasa lebih seram ya....

Akhirnya gue turun dan melangkah ke Pos security yang stand by dekat toilet. Gue minta tolong untuk dipanggilin seorang tour guide. Gue udah terlanjur kepengen berkeliling Lawang Sewu, dan rasanya mustahil di pagi yang sepi itu bisa berkeliling sendirian, karena kemana pun kaki melangkah, gue ketakutan. Tour guide yang menemani gue adalah Pak Nur Abidin.

Pak Nur mengantarkan gue berkeliling dimulai dari bangunan A. Di sana gue diajak untuk melihat kaca patri Lawang Sewu yang iconic. Di bangunan A ngga banyak area yang dibuka untuk umum, misalnya lantai dua yang menurut Pak Nur disewakan untuk event pameran dan semacamnya.

Gue pun beralih ke gedung B. Dan Pak Nur dengan semangatnya mengenalkan ke gue sejarah dan benda - benda serta foto yang dipamerkan di bangunan ini. Yang menyenangkan, Pak Nur akan gegap gempita menawarkan jasa memotret, tanpa diminta.

Toilet

Tak terasa, 'tour' Lawang Sewu pun berakhir. Gue mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya ke Pak Nur yang sudah menjadi guide dan menemani gue berkeliling Lawang Sewu tanpa rasa ngeri. Sebelum berpisah Pak Nur sempat berpesan kalau gue bisa saja berkeliling sendiri, asalnya jangan bengong....supaya tidak terjadi sesuatu. Maksudnya, semacam kesurupan gitu ? Seram kali bahh !

Gue sempat kembali ke area tengah, tepatnya duduk sejenak di dekat pohon besar. Gue lagi mempertimbangkan untuk melanjutkan langkah gue ke Ereveld Kalibanteng. Ketika merencanakan trip ke Semarang kali ini, gue langsung bertekad untuk mengunjungi ereveld - ereveld yang ada di Semarang. 

Untuk  penggemar ereveld atau pemakaman Belanda kayak gue, Semarang tuh istimewa banget karena di sini ada dua ereveld : Kalibanteng dan Candi. Di Indonesia hanya ada 7 ereveld yang tersebar di beberapa kota. Gue sudah pernah berkunjung ke ereveld Menteng Pulo, Ancol, dan Leuwigajah. Sayangnya waktu di Jakarta gue belum sempat menghubungi Yayasan Makam Kehormatan Belanda (Oorloch Gravenstichting) untuk minta ijin berkunjung. Jadi siang itu gue spontan telepon ke kantor Yayasan. Seperti biasa, telepon gue diangkat oleh staf yayasan yang ramah, dan mempersilahkan gue untuk berkunjung ke ereveld Kalibanteng dan bertemu dengan Pak Eko, kepala ereveld-nya.

Gue ke ereveld naik Gojek. Tiba di sana gue disambut dengan ramah oleh Pak Eko. Pak Eko pun mengajak berkeliling dan berbagi cerita mengenai ereveld ini. Ereveld Kalibanteng dibangun tahun 1949. Di sini terdapat sekitar 3000 makam dan kebanyakan adalah makam perempuan dan anak - anak. Sebagian besar yang dimakamkan di sini berasal dari tempat pengasingan tawanan milik Jepang yang ada di Jawa Tengah seperti Ambarawa, Banyu Biru, Lampersari dan Karangpanas.

Uniknya, bentuk lahannya tuh segitiga, yang dipinggiran dari kedua sisinya terdapat jajaran pohon cemara yang tinggi menjulang. Sementara sisi yang menghadap ke jalan raya, terdapat sekitar 5 atau 6 pohon beringin besar. Di sekeliling area pemakaman terdapat semacam sungai kecil yang gak terlalu lebar, sangat bersih, dengan arus tenang. Menambah kesan teduh ereveld ini.

Siang itu rasanya matahari tepat di ubun-ubun gue. Panasnya bukan main! Sebelum berkeliling Pak Eko menawarkan untuk menggunakan payung segala, tentu saja gue tolak dengan halus. Masa preman panjang kaki kayak gue takut kepanasan dan kulit gosong ?!

Gue selalu menikmati berada di area ereveld. Entah kenapa ya....mungkin rasanya semua yang ada di dalamnya bikin gue takjub tak berkesudahan. Gue takjub bagaimana jasad para korban perang ini diperlakukan dengan sangat baik dengan menyediakan tempat peristirahatan yang indah seperti ini. Gue takjub dengan konsep dimana semua makam dibuat sederhana dan sama tanpa ornamen berlebihan, dan dibeda-bedakan menurut kelas sosial, pangkat dan lain sebagainya. Gue takjub gimana orang - orang yang diberikan tanggung jawab untuk merawat area ereveld begitu berdedikasi untuk merawat setiap sudut ereveld dan semua yang terdapat di dalamnya sehingga kebersihan dan keindahannya terjaga.


Selain berkeliling area makam, Pak Eko juga mengajak bertemu dengan staf - staf ereveld lainnya, terutama yang bertanggung jawab untuk pembuatan dan penulisan nisan.

Thanks to Pak Eko !
Setelah selesai berkeliling ereveld, gue pun kembali ke pendopo. Gue diserbu rasa haus yang dahsyat nih...dan payahnya, gue ngga membawa stok air minum secuil pun. Untungnya Pak Eko menyediakan air mineral kemasan, dan langsung gue tenggak 2 gelas sekaligus! Gue lapar juga sebenarnya, karena belum sempat sarapan dan ini sudah jam makan siang. Tapi gue belum mau meninggalkan lokasi. Gue masih mau mengulang berkeliling ereveld. Di saat yang sama gue juga ngga mau mengganggu pekerjaan Pak Eko. Jadi, gue permisi ke beliau untuk berkeliling ereveld sekali lagi, sendirian. Kembali beliau menawarkan payung, tapi kembali gue tolak lagi. Buat apa juga...karena saat itu gue udah berkeringat deras dengan rambut kusut dan kulit gosong sejadi-jadinya.

Gue pun berkeliling menikmati kesendirian di tengah - tengah 3000 makam. Rasanya menenangkan banget....Trus gue sempat duduk - duduk di bangku taman yang terdapat di bawah sebuah pohon beringin. Alamakkk....nyaman sekali ! Tapi sialll...kesenangan gue diganggu oleh perut yang udah kelaparan kronis. Akhirnya gue pun menyerah. Gue menemui Pak Eko untuk berpamitan dan berterima kasih atas keramahannya yang luar biasa, dan meninggalkan ereveld.

Dibuat oleh pematung Marian Gobius tahun 1988, untuk menggambarkan
perasaan senasib antara sesama wanita dan anak - anaknya dalam masa
yang penuh kesulitan
Monumen Jongenskampen dibuat oleh pematung Anton Beysens tahun 1988.
Didirikan untuk mengenang anak - anak muda
yang wafat pada masa penindasan Jepang di Hindia Belanda.
Tulisan 'Zu waren nog zo jong' : 'saat itu mereka masih sangat muda'


Tombe yang diperuntukkan bagi
'perempuan yang tak dikenal'
Monumen simbol penghormatan bagi para korban yang
jasadnya tidak dikuburkan di ereveld


Gue menggunakan Gojek lagi dan sebenarnya tujuan awalnya ke IB Hostel. Tapi begitu gue bilang ke supirnya bahwa gue sebenarnya pengen nyari makan siang dan kelaparan tingkat tinggi, Pak Sopir berinisiatif untuk mengantarkan ke resto McDonald. Tiba di sana gue pun membeli paket Big Mac melalui driver thru. Perjalanan pun dilanjutkan, Pak Sopir Gojek mengantarkan gue ke IB.

Tiba di IB gue langsung melahap habis paket Big Macnya, kemudian mandi, dan tiduran di kasur. Hampir jam 4 sore, gue berniat meninggalkan IB, tapi tujuannya belum ditentukan, antara ke Pagoda Watugong atau Ereveld Candi. Karena masih galau, gue memilih berjalan kaki menuju Paragon Mall. Gue pikir, nanti tiba di sana gue sudah harus memutuskan mau kemana. Kalau mau ke Pagoda Watugong gue bisa naik Trans Semarang di halte yang letaknya gak jauh dari pintu Paragon Mall, kalau mau ke Ereveld Candi, karena gue belum tahu alamatnya dimana, gue bisa menggunakan Gojek. Gue sempat bertanya ke petugas Trans Semarang untuk mengkonfirmasi bahwa gue bisa menggunakan Trans Semarang menuju Pagoda Watugong. Namun begitu busnya nongol, gue ogah naik. Sebenarnya siang itu meskipun udah mandi dan tiduran sejenak, gue sedikit risih dengan rasa panas yang gue rasakan. Iyalahhh....salah sendiri, ngapain juga jalan kaki dari hostel ke sini berpanas - panasan!

Dahsyatnya, rasa panas memberikan gue insipirasi. Mendadak gue memikirkan ide lain, yaitu pengen ke....'Nakamura The Healing Touch' !! Kemarin pas on the way ke Masjid Agung, gue lupa entah dimana gue sempat lihat informasi mengenai tempat ini. Nakamura tuh menyediakan pelayanan pemijatan dengan teknik Jepang. Gue paling suka tempat semacam ini. Gue pun segera memesan Gojek untuk mengantarkan gue ke Nakamura yang ada di Jalan Sultan Agung. Lupakan sejenak mengenai Pagoda Watugong maupun Ereveld Candi....pokoknya saat ini gue harus wajib kudu banget dipijat.

Setelah perjalanan cukup jauh dan sempat kesasar, gue tiba di Nakamura yang terletak di sebuah komplek ruko gitu. Gue memesan 'Terapi seluruh tubuh 120 menit'. Gue memang dalam antrian, namun ngga perlu menunggu terlalu lama kok. Uniknya, selain ditentukan oleh jenis treatment, perbedaan harga juga ditentukan oleh type ruangan yang digunakan. Semakin banyak jumlah tamu di ruangan, apalagi jika dicampur antara tamu perempuan dan pria, harganya lebih murah. Gue pilih yang reguler seperti itu pastinya, jadi hanya perlu membayar Rp. 135,000. Murah banget ! Dan begitu merasakan treatmentnya, gue ngga kecewa sama sekali, alias p-u-a-s banget ! Tapi gue menyimpan sedikit rasa sedih. Sebenarnya pergi ke tempat 'sehat dan bugar' begini adalah agenda utama acara hangout rutin gue dan Mama beberapa bulan belakangan. Entah itu jatuh pas weekend atau di hari kerja dan gue cuti, gue dan Mama akan ke Aoki yang ada di apartemen Margonda Residence di Depok.

Mama menikmati banget pelayanan di sini, apalagi suasana ruangannya dibuat gelap, tenang, dan relax. Bisa dibilang, gue hampir rutin ke tempat ini setiap bulan. Tapi begitu melihat ekspresi Mama yang jauh lebih senang lagi dibawa ke sana, rasanya tak ternilai. Mama bukan cuma senang karena treatment pijat refleksi di sini, tapi juga karena bisa hangout sejenak keluar dari rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga dan menghabiskan waktu seharian bersama anak perempuannya yang panjang kaki ini. Bulan ini, seharusnya libur kejepit kayak besok waktu yang pas untuk acara hangout rutin gue dan Mama. Tapi berhubung gue kabur ke Semarang, maka harus dicari lagi waktunya.

Gue meninggalkan Nakamura sekitar jam 7 malam. Gue memesan Gojek, entah Gojek keberapa di hari ini, untuk mengantarkan ke Paragon Mall. Ya ampunnnn....mall lagi ? Setiap malam ??? Yes...yes...yesss....Gue mau makan malam bubur di Ta Wan. Kelar makan malam, gue jalan kaki ke Jalan Pandanaran. Selain karena pengen menikmati jalur ramah pedestriannya kota Semarang, juga karena Anggira tadi kirim WA dan bilang kalo oleh - oleh yang gue kirimkan Sabtu lalu sudah sampai rumah Mama, dan dia suka dengan biskuit wijen dan menghabiskannya, dan minta gue untuk membawakan lagi. Lebih banyak ! Alamakjaaann!!

Dari jalan Pandanaran, gue pun naik Gojek untuk kembali ke IB Hostel.