I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Thursday, August 29, 2019

Sensasi Nyeberang di Jembatan Gantung Situ Gunung


 27 Agustus 2019.

Gue dan Ony udah lama berniat k esini. Dari banyaknya berbagai berita dan publikasi heboh dan viral tentang suatu wahana wisata baik yang baru ataupun legendaris, mungkin ini salah satu yang paling bikin gue penasaran. Mungkin karena lokasinya, di Sukabumi, yang dekat dari gue jadi mudah dan cepat dijangkau. 

Niat selama ini buat ke sini kerap tertunda karena beberapa hal. Yang utama, karena gue sering dengar lokasinya ramai banget oleh pengunjung, bahkan untuk nyeberang di jembatan ini pun musti antri. Gue tuh males banget ke tempat wisata yang terlalu ramai pengunjung. Jadi gue pikir, gue akan ke sini pas bukan weekend. 

Jadilah gue rencanakan untuk cuti kemarin, Selasa, khusus untuk ke sini. Tiket kereta Pangrango ke Sukabumi udah gue beli jauh - jauh hari. 

Gue berangkat naik kereta ekonomi dari Stasiun Bogor (Paledang) ke Stasiun Cisaat, yang gue beli seharga Rp. 35,000 per tiket, jam 7:50 pagi. Untuk tiket baliknya, gue beli untuk keberangkatan yang paling terakhir : jam 3.45 sore dari Stasiun Sukabumi.

Persiapan untuk mengunjungi Jembatan Gantung Situ Gunung ini nyari ngga ada, selain beli tiket kereta. Jadilah begitu tiba di Stasiun Cisaat gue sempat kebingungan nyari transportasi menuju lokasinya. Untung gue lihat beberapa tukang ojek online lagi mangkal di dekat stasiun dan gue pun nanya ke mereka. Gue disarankan untuk naik ojek online dulu dari stasiun menuju Pasar Cisaat, tepatnya Yomart minimarket. Dari situ gue bisa naik angkot warna merah yang akan mengantar langsung ke pintu masuk Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dimana jembatan fenomenal yang pengen gue kunjungi itu berada.

Ongkosnya tenyata murah meriah. Untuk ojek online (Gojek) gue cuma perlu bayar Rp. 2,000 karena promo diskon pake GoPay. Trus ongkos angkotnya sendiri Rp. 10,000,- 

Tiba di pintu masuk Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, pengunjung harus membeli tiket masuk seharga Rp. 16,000 per orang. Begitu membeli tiket ke masuk ke kawasannya, gue punya pilihan untuk mengambil arah kiri menuju danau (tinggal jalan kaki 1.6 km), atau arah lurus menuju jembatan gantung Situ Gunung dan Curug Sawer. Sempat galau bimbang gulana karena gue pengen melihat semuanya. Tapi akhirnya gue pilih arah ke jembatan dulu, mengingat jembatan inilah yang bikin gue penasaran selama ini.

Untuk menuju kawasan jembatan gantung, gue harus membeli tiket lagi seharga Rp. 50,000 per orang. Petugas penjual tiketnya bilang, nanti sebelum naik jembatan, pengunjung akan disajikan snack dan minuman ringan, seperti singkong, pisang rebus, keripik singkong, kopi dan teh.



Gue dan Ony sempat mampir untuk menikmati makanan dan minuman yang tersedia. Lumayan buat mengganjal perut, yang entah kapan dan dimana bisa makan siang. Setelah puas mengunyah, gue pun melangkah menuju wahana jembatan gantung Situ Gunung. Sebelum menyebrang setiap pengunjung dipasangkan sebuah harness untuk alasan keselamatan. Jadi sewaktu - waktu ada hal - hal buruk dan tidak diinginkan terjadi pada jembatan, pengunjung diharapkan bisa memasangkan harness tersebut di sisi jembatan. 

Trus, pengelola menggunakan sistem komputer dimana setiap pengunjung yang keluar dan masuk akan dihitung untuk memastikan pengunjung yang berada di jembatan tidak melampaui kapasitas, yaitu maksimal 90 orang. Jadi ketika gue membeli tiket seharga Rp. 50,000 tadi, petugas memberikan tiket berupa gelang yang memiliki barcode. Setiap gue akan menyeberang jembatan, petugas akan memindai alias scan barcode tersebut, dan dari situ akan otomatis meng-update jumlah pengunjung yang masuk atau meninggalkan area jembatan. 

Awalnya gue pikir menyeberangi jembatan gantung sepanjang sekitar 250 meter dan konon jembatan gantung terpanjang se-Asia Tenggara ini bakal amat sangat mengerikan. Ternyata ngga juga sih...awalnya gue emang sempat ketakutan, apalagi begitu mencapai bagian tengah jembatan dan 'goyangan'nya begitu terasa. Tapi lama - lama rasa takutnya hilang, kalah sama rasa girang dan takjubnya lihat jembatan dan berada di situ. Apalagi pas kondisi jembatan sepi pengunjung, gue makin semangat buat foto - foto dan sekedar mondar - mandir di sepanjang jembatan. Gue pernah baca di sebuah sumber berita, bahwa kalau lagi ramai pengunjung, waktu pengunjung untuk berada di atas jembatan pun dibatasi. Kalau kemarin, berhubung hari kerja dan ngga terlalu banyak pengunjung datang, jadi ngga ada pembatasan waktu. Cihuy lha !

 
 

Abis dari jembatan, gue langsung menuju Curug Sawer. Curugnya keren, air terjunnya gak tinggi - tinggi amat, tapi airnya deras banget. Tapi pengunjung ngga boleh berenang di situ. Ngga masalah buat gue yang hari itu juga lagi ngga kepengen main air, dan udah sangat terhibur dan terpesona dengan keindahan curug.

Pengennya sih bisa nongkrong berlama - lama di atas bebatuan besar di sekeliling air terjun, tapi apa daya gue dan Ony musti beranjak segera, karena udah lewat tengah hari dan udah musti memikirkan perjalanan pulang. Dari curug Sawer untuk kembali ke pintu utama Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, buat yang males jalan kaki ada pilihan naik ojek. Tapi gue lebih milih jalan kaki lewat jembatan lagi. Gue bilang sama Ony kunjungan kali itu harus dimaksimalkan karena mungkin gue baru akan balik lagi ke sana 3 tahun lagi !


 
 

Jadilah gue dan Ony, sekali lagi menikmati menyeberangi jembatan panjang, dan kali ini dapat bonus jembatan yang sepi pengunjung.
Berhubung gue masih menyimpan keinginan untuk mengunjungi kawasan danau, jadi begitu tiba di pintu utama lagi, gue ngga langsung meninggalkan kawasan taman nasional. Gue dan Ony sempat berjalan kaki menuju danau. Tapi baru beberapa langkah gue dan Ony pun menimbang - nimbang untuk menuju danau menggunakan ojek yang memang banyak mangkal dekat pintu masuk, mengingat waktu tersisa yang sangat sempit. Harga ojeknya Rp. 20,000 satu arah, alias Rp. 40,000 pulang pergi per orang, alias Rp. 80,000 buat gue dan Ony. Mahal amat...! Akhirnya gue memutuskan untuk membatalkan niat ke danau kali ini, dan langsung menuju deretan angkot merah yang berjejer di luar taman nasional.

Kali ini gue ngga seberuntung tadi pagi karena sopir angkot memasang harga ala charter aja buat penumpangnya. Setiap penumpang dikenai ongkos Rp. 25,000,-, tapi angkot akan mengantarkan sampai ke Stasiun Cisaat. Pasrah aja...abis ngga ada pilihan lain.

Gue tiba di Stasiun Cisaat sekitar jam 2 siang lewat, alias 1.5 jam sebelum kereta Pangrango yang akan mengantarkan gue kembali ke Stasiun Paledang Bogor tiba dan berangkat kembali. Jadi di stasiun Cisaat yang mungil dan bersahaja itu, gue sempat makan somay sebagai pengganti makan siang dan makan sore, bengong sambil dengerin spotify, dan menikmati kembali perjalanan gue tadi di jembatan yang udah lama bikin gue penasaran, melalui foto - fotonya di HP gue.

Akhirnya perjalanan singkat satu hari ini berakhir, dan gue senang luar biasa karena bisa nyobain nyeberang dan berlama - lama di jembatan gantung super panjang dengan pemandangan alam yang super indah.

Friday, August 02, 2019

Trip Banyuwangi : Teluk Ijo Dan Pantai Pulau Merah


1 Oktober 2018.

Berangkat dari Mango Tree menuju Pantai Pulau Merah agak - agak siangan. Masalahnya gue dan Ony musti nungguin pemilik Mango Tree datang untuk minjam kunci motor. Dalam perjalanan menuju Pantai Pulau Merah, mampir dulu ke hutan De Djawatan Benculuk. Jadilah perjalanan ke Pantai Pulau Merah semakin siang lagi. 

Total perjalanan dari kota Banyuwangi menuju pantai ini, rasanya sekitar 3 jam deh. Jauh banget ! Udah gitu, gue dan Ony ke sana modal nekad doang...mengandalkan GPS aja. Sebenarnya sih petunjuk jalannya lumayan banyak. Tapi tetap aja....beberapa kali gue dan Ony harus berhenti untuk menanyakan arah ke orang.

Pemandangan yang paling gue ingat dan mungkin gue nikmati selama perjalanan mungkin 'ciri khas' yaitu rumah - rumah warga dengan pohon - pohon buah naga mengisi pekarangan. Unik aja, lagian baru pertama kali itu gue ngeliat penampakan pohon buah naga. Ternyata Banyuwangi adalah daerah penghasil buah naga.

Begitu tiba di kawasan Pantai Pulau Merah, di pintu masuk pas mau beli tiket, kebetulan gue bilang kalau gue mau ke Teluk Ijo juga hari itu. Si Mbak langsung saranin supaya gue ke Teluk Ijo duluan, baru nanti balik ke Pulau Merah. Dia bilang, Pantai Pulau Merah, lebih cakep pas sunset. Dan untuk Teluk Ijo ini, berhubung kemungkinan gue harus naik perahu menuju lokasinya, maka sebaiknya itu dulu aja yang dikejar.

Jadilah gue dan Ony langsung melesat menuju Teluk Ijo alias Green Bay. Jauhnyaaaa...ya ampun! Sampai badan gue pegal dari atas ke bawah kali, saking lamanya duduk di motor. Udah gitu medannya seru amat...seinget gue, sempat melewati kawasan PT. Perkebunan Nusantara XII yang dipenuhi tanaman coklat. Lalu ada lagi semacam hutan pohon jati. Kemudian kawasan perkebunan lainnya yang dipenuhi pohon - pohon karet. Mulai dari jalanan beraspal, sampai yang bebatuan bikin perjalanan jadi melambat dan pinggang semakin pegal. Kesasarnya pun berkali - kali. Kadang di saat kesasar, ngga ada orang yang bisa ditanya. Jadilah modal nekad melanjutkan perjalanan.

Rencana awalnya gue dan Ony akan menuju Teluk Ijo menggunakan perahu / kapal. Menurut informasi yang pernah gue baca, gue bisa menumpang kapal dari Pantai Rajegwesi. Tapi, begitu tiba di kawasan yang merupakan pintu masuk (portal) menuju tempat itu, gue diberitahu petugas bahwa hari itu sedang tidak ada kapal berangkat menuju Teluk Ijo. Bahhh...cakep deh! Akhirnya gue dan Ony menempuh perjalanan alternatif lainnya, yaitu tanpa menggunakan perahu. Artinya, ekstra perjalanan dengan motor plus trekking.

Akhirnya, setelah perjalanan seru dan berliku, nyampe juga di Teluk Ijo. Untuk menuju ke area pantainya, musti trekking dulu, tapi untungnya rutenya udah nyaman buat jalan, bahkan di beberapa spot ada anak tangga yang disemen segala. Begitu tiba di pantainya, emang indah dan eksotis banget sih. Ditambah ngga ada orang lain di situ, sunyi, sepi, tenang....sempurna banget. Di situ ada petunjuk dilarang berenang, tapi di beberapa website yang pernah gue baca, gue sempat liat pengunjung sampai loncat indah segala dari batu/tebing yang ada di kawasan pantainya.

Mungkin itu pantai terindah yang pernah gue lihat ya. Sebenarnya gue bukan tipe 'pemburu pantai', jadi sejauh ini paling baru liat pantai - pantai di Bali, dan pernah di Phuket juga. Nah, Teluk Ijo ini keliatan masih perawan banget, belum tersentuh dan terakses banyak pengunjung. Otomatis, fasilitas turis di situ pun nyaris ngga ada. Ini pantai yang, cukup dipandangi aja udah bikin hati bahagia deh....plus puas ! Mengingat perjuangan perjalanan kemari yang bukan main dahsyatnya.

 
 

Mengingat keterbatasan waktu, gue ngga bisa berlama - lama di sana. Puas main air dan foto-foto, perjalanan harus dilanjutkan menuju Pantai Pulau Merah. Perjalanan bermotor yang bikin bokong pegal bukan main pun berlanjut. Tiba di Pantai Pulau Merah, bayar tiket, parkir motor, langsung buru - buru ke pantai untuk liat sunsetnya.

Sayangnya saat itu pesona sunset ala Pantai Pulau Merah, yang katanya sampai pasir pantainya jadi nampak kemerahan, ngga nampak. Mungkin karena cuaca seharian emang mendung, entahlah. Sayangnya juga, gue ngga bisa mendaki bukit kecil yang ada di tengah pantai, karena sore itu pantai sudah pasang. Bukit kecil itu katanya bisa didaki (saat pantai surut), dan menjadi icon pantai ini karena tanahnya yang merah, walaupun dari kejauhan ngga keliatan karna ketutupan pepohonan lebat. Tapi ngga apa - apa, ini juga pantai yang indah dan eksotis di mata gue.

 
 
 

Karena hari sudah gelap, gue dan Ony pun memulai perjalanan (super panjaaaaaannnngggg.....) kembali ke Mango Tree. Hari ini full perjalanan yang melelahkan tapi seru. Perjalanan hari ini bikin gue mikir, Banyuwangi sungguh beruntung ! Banyuwangi punya segala macam tempat wisata alam. Kemarin gue bisa ngos-ngosan trekking Kawah Ijen, lalu berpanas gosong di kawasan sabana Baluran, dan hari ini gue bisa menikmati pantai - pantai yang super indah. Banyuwangi keren !