Sore itu awan gelap menyelimuti langit Ubud, membawa isyarat bahwa sebentar lagi hujan akan segera turun. Tapi itu tak menghentikan niatku untuk melanjutkan rencana perjalanan yang sudah kurancang. Bukan rencana yang luar biasa, hanya ingin menikmati Ubud di sore hari, dengan berjalan kaki. Dengan sepatu sport dan sebuah payung, aku pasti akan bisa menikmati sore ini walaupun hujan turun, pikirku sambil meninggalkan cottage.
Bali, selama ini hanya sekedar cerita belaka di telingaku, dan saat ini aku bisa dengan bebas melangkah di pulau yang menurutku keindahannya tak bisa kulukiskan dengan kata. Sudah beberapa hari sejak tiba di pulau ini, hanya rasa kagum yang bisa kurasakan. Terlebih rasa kagumku dengan kehidupan spiritual masyarakat di pulau ini. Kedua mataku hampir terbiasa dengan pemandangan hamparan sesajen di mana - mana, mencium tajamnya aroma dupa menyeruak di antara panasnya udara Bali. Sesekali saat kami berkendaraan ke suatu tempat, tak jarang kami berpapasan dengan sekelompok warga yang berjalan berbaris, sepetinya akan melaksanakan upacara adat atau agama. Belum lagi rasa takjub yang kurasakan setiap aku melewati kediaman warga asli, di mana di setiap rumah berdiri sebuah pura kecil yang kuasumsikan digunakan sebagai tempat bersembahyang.
Pura....aku jadi teringat pada perjalanan kami dua hari sebelumnya ke pura terbesar di Bali, Besakih di lereng Gunung Agung...puncak dari segala rasa takjub yang kurasakan selama berada di pulau ini. Kemegahan dan nuansa spiritualnya yang mendalam, sungguh membuatku tercengang, menghapus lelah dan peluhku dalam perjalanan panjang menuju pura ini. Seorang anak lelaki menghampiriku, sepertinya ingin menawarkan jasa untuk mengantarku berkeliling. Ketut, namanya. Dengan santun dia tunjukkan kepadaku, bagian mana dari pura yang boleh dan tidak boleh kumasuki. Sampai di sebuah gerbang besar, Ketut memberitahuku bahwa wilayah di dalam gerbang itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang ingin bersembahyang. Bolehkah aku mengintip bagian dalam ? tanyaku pada bocah berwajah polos itu. Dia pun mengiyakan. Aku dan Ketut memandang jauh ke arah tempat sembahyang utama itu....sesekali kulontarkan beberapa pertanyaan kepada Ketut. Pertanyaan yang memenuhi ruang pikiranku yang tak henti - hentinya mengagumi Besakih. Dan seperti layaknya seorang pemandu wisata berpengalaman, bocah itu menjawab setiap pertanyaanku dengan lancarnya. Ketut menawarkanku untuk berkeliling Besakih, namun terpaksa kutolak karena kami sudah harus kembali ke cottage.
Hujan semakin deras mengguyur Ubud...kuhentikan langkahku di depan sebuah rumah makan Padang. Hmmm....selama beberapa hari berada di Bali, perutku hanya diisi oleh makanan khas Barat, dan mendadak aroma hidangan khas Padang dari dalam rumah makan itu sedikit mengobati kerinduanku pada Jakarta. Aku pun memesan nasi dengan ikan tuna dan udang, dan segera melahapnya. Aku tak ingin berlarut - larut menikmati rasa kenyang yang membuatku sedikit mengantuk, dan memutuskan segera melanjutkan perjalanan. Perjalanan tanpa tujuan yang jelas....kelelahan dan kebosananku nanti akan jadi batas dari acara jalan soreku ini, janjiku.
Langkahku kembali terhenti saat aku tiba di Pasar Ubud. Aku pun teringat pada kunjunganku ke Pasar Sukowati sehari sebelumnya, dimana aku akhirnya bisa memuaskan keinginan belanjaku yang selama ini kutahan. Jangan belanja terlalu banyak di Jogja...nanti menyesal...di Pasar Sukowati jauh lebih antik, murah dan lengkap..., begitu aku selalu diingatkan. Aku pun hanya bisa menurut, dan ternyata benar adanya. Bermodalkan kondisi fisik prima, kemampuan menawar yang baik, dan keuangan yang mencukupi tentunya, siapapun pasti akan sangat menikmati berada di Pasar Sukowati berjam - jam sekalipun. Ramainya para penjaja pakaian, souvenir ataupun makanan khas Bali, menyihir pengunjung untuk tak berhenti menyusuri pasar yang pengap di saat panas menyelimuti Sukowati saat itu.
Sebenarnya Pasar Ubud ini tak banyak berbeda dengan Pasar Sukowati. Hal menonjol yang membuatnya berbeda hanyalah kebanyakan pengunjungnya adalah turis asing. Pasti harga disini lebih sulit ditawar, kataku dalam hati, pesimis. Aku pun mencoba menanyakan harga beberapa barang suvenir dan menawarnya. Benar saja, dengan barang dan kualitas yang sama, harga di pasar ini jauh lebih mahal ternyata. Aku pun memutuskan melanjutkan acara jalan soreku.
Lagi - lagi sesuatu membujukku untuk berhenti, kali ini tepat di depan Ubud Palace. Siang tadi salah satu pegawai cottage tempatku menginap sudah mengingatkanku untuk tidak melewatkan pertunjukan Tari Kecak dan Barong. Kulirik jam tanganku, sudah pukul 5 sore. Alunan gamelan Bali yang membahana memaksaku untuk mengintip aktivitas di dalamnya. Sekelompok pemuda, sedang asyik memainkan gamelan Bali dan alat musik lainnya...Kupendam keinginanku untuk menyaksikan pertunjukan Tari Kecak nanti malam, dalam - dalam. Tak mungkin, tak ada waktu untuk itu, desahku kecewa.
Sore itu Ubud masih diguyur hujan...aku pun kembali berhenti di depan sebuah toko buku, dimana banyak wisatawan lainnya berteduh. Dalam diam aku teringat dengan perjalananku pagi tadi ke Monkey Forest yang letaknya tak jauh dari cottage.
Entah dari mana munculnya keberanianku tadi, sehingga aku memutuskan untuk berkeliling di hutan rindang dan luas itu, seorang diri. Tidak benar - benar seorang diri sebenarnya, karena ada beberapa wisatawan lainnya yang pagi itu telah datang untuk mengunjungi penghuni hutan, para kera. Pesona hutan itu lebih membuatku kagum, bukan merinding ketakutan. Sudut yang paling kusukai adalah sebuah sungai kecil memanjang, yang di dekatnya terdapat sebuah kolam cukup luas dengan patung Ganesha di tengahnya, dan sebuah pura berdiri tepat di depan kolam itu. Saat kedua mataku memandangi jernihnya air kolam, kulihat banyak uang logam di dalamnya. Aku pun bertanya kepada pemandu hutan. Uang - uang itu dilemparkan oleh para wisatawan yang ingin memanjatkan permohonan atas keinginannya agar terkabul, paparnya. Segera terbersit di benakku.....apakah yang aku inginkan saat ini ?....'Hmmm....andaikan aku bisa tinggal di pulau ini lebih lama lagi...'
Tanpa kusadari langit Ubud telah berganti gelap. Dalam penjalanan pulangku menuju cottage senyum senantiasa terlukis di wajahku. Hatiku tak henti -hentinya berbisik, 'Terima kasih, Tuhan..karena aku bisa berada disini.....'
Bali, selama ini hanya sekedar cerita belaka di telingaku, dan saat ini aku bisa dengan bebas melangkah di pulau yang menurutku keindahannya tak bisa kulukiskan dengan kata. Sudah beberapa hari sejak tiba di pulau ini, hanya rasa kagum yang bisa kurasakan. Terlebih rasa kagumku dengan kehidupan spiritual masyarakat di pulau ini. Kedua mataku hampir terbiasa dengan pemandangan hamparan sesajen di mana - mana, mencium tajamnya aroma dupa menyeruak di antara panasnya udara Bali. Sesekali saat kami berkendaraan ke suatu tempat, tak jarang kami berpapasan dengan sekelompok warga yang berjalan berbaris, sepetinya akan melaksanakan upacara adat atau agama. Belum lagi rasa takjub yang kurasakan setiap aku melewati kediaman warga asli, di mana di setiap rumah berdiri sebuah pura kecil yang kuasumsikan digunakan sebagai tempat bersembahyang.
Pura....aku jadi teringat pada perjalanan kami dua hari sebelumnya ke pura terbesar di Bali, Besakih di lereng Gunung Agung...puncak dari segala rasa takjub yang kurasakan selama berada di pulau ini. Kemegahan dan nuansa spiritualnya yang mendalam, sungguh membuatku tercengang, menghapus lelah dan peluhku dalam perjalanan panjang menuju pura ini. Seorang anak lelaki menghampiriku, sepertinya ingin menawarkan jasa untuk mengantarku berkeliling. Ketut, namanya. Dengan santun dia tunjukkan kepadaku, bagian mana dari pura yang boleh dan tidak boleh kumasuki. Sampai di sebuah gerbang besar, Ketut memberitahuku bahwa wilayah di dalam gerbang itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang ingin bersembahyang. Bolehkah aku mengintip bagian dalam ? tanyaku pada bocah berwajah polos itu. Dia pun mengiyakan. Aku dan Ketut memandang jauh ke arah tempat sembahyang utama itu....sesekali kulontarkan beberapa pertanyaan kepada Ketut. Pertanyaan yang memenuhi ruang pikiranku yang tak henti - hentinya mengagumi Besakih. Dan seperti layaknya seorang pemandu wisata berpengalaman, bocah itu menjawab setiap pertanyaanku dengan lancarnya. Ketut menawarkanku untuk berkeliling Besakih, namun terpaksa kutolak karena kami sudah harus kembali ke cottage.
Hujan semakin deras mengguyur Ubud...kuhentikan langkahku di depan sebuah rumah makan Padang. Hmmm....selama beberapa hari berada di Bali, perutku hanya diisi oleh makanan khas Barat, dan mendadak aroma hidangan khas Padang dari dalam rumah makan itu sedikit mengobati kerinduanku pada Jakarta. Aku pun memesan nasi dengan ikan tuna dan udang, dan segera melahapnya. Aku tak ingin berlarut - larut menikmati rasa kenyang yang membuatku sedikit mengantuk, dan memutuskan segera melanjutkan perjalanan. Perjalanan tanpa tujuan yang jelas....kelelahan dan kebosananku nanti akan jadi batas dari acara jalan soreku ini, janjiku.
Langkahku kembali terhenti saat aku tiba di Pasar Ubud. Aku pun teringat pada kunjunganku ke Pasar Sukowati sehari sebelumnya, dimana aku akhirnya bisa memuaskan keinginan belanjaku yang selama ini kutahan. Jangan belanja terlalu banyak di Jogja...nanti menyesal...di Pasar Sukowati jauh lebih antik, murah dan lengkap..., begitu aku selalu diingatkan. Aku pun hanya bisa menurut, dan ternyata benar adanya. Bermodalkan kondisi fisik prima, kemampuan menawar yang baik, dan keuangan yang mencukupi tentunya, siapapun pasti akan sangat menikmati berada di Pasar Sukowati berjam - jam sekalipun. Ramainya para penjaja pakaian, souvenir ataupun makanan khas Bali, menyihir pengunjung untuk tak berhenti menyusuri pasar yang pengap di saat panas menyelimuti Sukowati saat itu.
Sebenarnya Pasar Ubud ini tak banyak berbeda dengan Pasar Sukowati. Hal menonjol yang membuatnya berbeda hanyalah kebanyakan pengunjungnya adalah turis asing. Pasti harga disini lebih sulit ditawar, kataku dalam hati, pesimis. Aku pun mencoba menanyakan harga beberapa barang suvenir dan menawarnya. Benar saja, dengan barang dan kualitas yang sama, harga di pasar ini jauh lebih mahal ternyata. Aku pun memutuskan melanjutkan acara jalan soreku.
Lagi - lagi sesuatu membujukku untuk berhenti, kali ini tepat di depan Ubud Palace. Siang tadi salah satu pegawai cottage tempatku menginap sudah mengingatkanku untuk tidak melewatkan pertunjukan Tari Kecak dan Barong. Kulirik jam tanganku, sudah pukul 5 sore. Alunan gamelan Bali yang membahana memaksaku untuk mengintip aktivitas di dalamnya. Sekelompok pemuda, sedang asyik memainkan gamelan Bali dan alat musik lainnya...Kupendam keinginanku untuk menyaksikan pertunjukan Tari Kecak nanti malam, dalam - dalam. Tak mungkin, tak ada waktu untuk itu, desahku kecewa.
Sore itu Ubud masih diguyur hujan...aku pun kembali berhenti di depan sebuah toko buku, dimana banyak wisatawan lainnya berteduh. Dalam diam aku teringat dengan perjalananku pagi tadi ke Monkey Forest yang letaknya tak jauh dari cottage.
Entah dari mana munculnya keberanianku tadi, sehingga aku memutuskan untuk berkeliling di hutan rindang dan luas itu, seorang diri. Tidak benar - benar seorang diri sebenarnya, karena ada beberapa wisatawan lainnya yang pagi itu telah datang untuk mengunjungi penghuni hutan, para kera. Pesona hutan itu lebih membuatku kagum, bukan merinding ketakutan. Sudut yang paling kusukai adalah sebuah sungai kecil memanjang, yang di dekatnya terdapat sebuah kolam cukup luas dengan patung Ganesha di tengahnya, dan sebuah pura berdiri tepat di depan kolam itu. Saat kedua mataku memandangi jernihnya air kolam, kulihat banyak uang logam di dalamnya. Aku pun bertanya kepada pemandu hutan. Uang - uang itu dilemparkan oleh para wisatawan yang ingin memanjatkan permohonan atas keinginannya agar terkabul, paparnya. Segera terbersit di benakku.....apakah yang aku inginkan saat ini ?....'Hmmm....andaikan aku bisa tinggal di pulau ini lebih lama lagi...'
Tanpa kusadari langit Ubud telah berganti gelap. Dalam penjalanan pulangku menuju cottage senyum senantiasa terlukis di wajahku. Hatiku tak henti -hentinya berbisik, 'Terima kasih, Tuhan..karena aku bisa berada disini.....'
No comments :
Post a Comment