|
Pintu utama |
Beberapa bulan terakhir, kegiatan gue tiap hari Minggu adalah mengikuti kebaktian di gereja - gereja yang berbeda. Lebih tepatnya lagi, saat ini gue sedang senang - senangnya mengeksplorasi gereja - gereja tua yang ada di Jakarta dan Bogor.
Bisa dibilang ini adalah kombinasi antara menjalankan kewajiban beribadah dan berpetualang. Untuk alasan berpetualang, cara ini benar - benar memberikan kepuasan maksimal buat gue karena selain bisa datang dan melihat langsung tempat - tempat bersejarah seperti ini, gue juga bisa mengikuti ritual ibadah (kebaktiannya).
|
GPIB Sion |
Sebenarnya berhubung kebanyakan dari gereja - gereja tua ini adalah GPIB (Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat), jadi secara tata ibadah termasuk doa dan lagu yang digunakan sama. Namun secara pribadi, gue menikmati beribadah di tempat (bangunan) yang berbeda dengan jemaat setempat yang berbeda, yang pastinya memiliki karakteristik yang berbeda pula. Terlebih, pengalamannya menjadi bertambah seru, karena gue harus berusaha mencari dan menjangkau lokasinya yang mungkin terbilang jauh dari tempat tinggal gue.
|
Lonceng gereja |
Kemarin (06 April 2014), gereja yang gue kunjungi adalah GPIB Sion di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta Barat. Gereja ini dulunya bernama Portugeesche Buitenkerk atau Gereja Portugis yang diresmikan sejak 23 Oktober 1695. Dan ini adalah bangunan tertua di Jakarta yang masih digunakan sesuai fungsinya ketika pertama kali dibangun, yaitu sebagai gereja. Membaca sejarahnya di internet, serta melihat langsung bangunannya dengan mata kepala sendiri, membuat gue sadar betapa selama ini gue kurang peduli dan menghargai bahwa di Jakarta sendiri yang adalah tempat tinggal gue, ada bangunan setua dan kaya sejarah seperti ini. Gue sering banget ke daerah Kota, tapi selama ini ngga sadar ada gereja tua peninggalan Portugis berdiri tegak di pinggir jalan, di lokasi yang sangat mudah dijangkau.
Berhubung belum tahu lokasinya, di hari Sabtunya gue sengaja datang ke kawasan Kota untuk mencari lokasi tepatnya. Gue naik komuter line dan turun di stasiun Kota. Dari stasiun ternyata gue tinggal berjalan kaki tidak begitu jauh dan menyeberang jalan. Posisi gereja ada di pojok jalan, jadi mudah ditemukan. Tepatnya lagi, area gereja bersebelahan dengan Halte Transjakarta "Jayakarta".
|
Mimbar kotbah |
Kedatangan gue disambut oleh seorang bapak penjaga gereja yang sangat baik hati karena memperbolehkan gue masuk ke dalam gereja. Bukan itu saja, gue juga diperbolehkan naik ke atas untuk melihat orgel (organ seruling) dan dijelaskan sekilas cara kerjanya. Gue seperti anak kecil dilepas di toko mainan, yang langsung dengan semangatnya kesana kemari mengagumi apapun yang ada di hadapan gue saat itu. Gue ngga berhenti berdecak kagum melihat megah dan kokohnya gereja ini. Menurut catatan sejarah, bangunannya tersusun dari batu bata yang direkatkan dengan menggunakan pasir dan gula tahan panas. Informasi menarik lainnya, hampir sebagian perlengkapan sejak dibangunnya gereja ini, masih digunakan hingga sekarang. Memandangi mimbar kotbah bergaya Barok dari kayu eboni yang memberi kesan berbentuk seperti mahkota dengan detil - detik ornamen yang luar biasa, bikin mata gue terbelalak dan cuma bisa ternganga...seumur - umur gue ngga pernah lihat yang seperti itu.
|
Makam Portugis |
Di area taman gereja, terdapat beberapa pemakaman Portugis dengan batu nisan besar bertuliskan bahasa Portugis, yang memberi kesan sedikit 'seram' tapi di saat yang bersamaan menambah kesan 'kuno' dan 'antik'nya gereja ini semakin mendalam.
Keesokan paginya, dengan langkah pasti dan bersemangat, gue berangkat menuju gereja ini untuk mengikuti kebaktian jam 10 pagi. Gue tiba sekitar 45 menit sebelumnya dan langsung mengambil tempat duduk di depan. Gue duduk diam menikmati keheningan, sambil mata gue menyapu seluruh bagian gereja. Langit - langitnya yang tinggi, pilar - pilarnya yang kokoh, jendela - jendelanya yang besar, keempat lampu tembaga yang antik di tengah bangunan, semuanya. Rasanya unsur 'modern' di dalam gereja ini hanyalah AC (penyejuk udara) yang dipasang di beberapa titik, sehingga sebuah pintu kaca harus dibangun di depan pintu utama.
|
Orgel, di atas pintu keluar |
Di luar dugaan, ternyata jemaat yang mengikuti kebaktian pagi itu ngga terlalu banyak, dan kebanyakan berusia lanjut. Kebaktian dipimpin oleh Bapak Pendeta Richard Tumundo S.Th. Pagi itu gue memang belum bisa menikmati alunan orgel yang mengiringi kebaktian -
menurut bapak penjaga gereja yang kemarin gue temui, orgel hanya akan digunakan di minggu pertama saja. Sebenarnya kedatangan gue kemarin tepat di minggu pertama namun entah kenapa orgelnya tidak digunakan - tapi ngga masalah, alunan piano modern diiringi suara merdu kedua kantoria yang bertugas pagi itu membuat suasana kebaktian kian hikmat. Terlebih di saat salah satu lagu kesayangan gue berkumandang rasanya jadi makin syahdu.
SuaraMu kudengar memanggil diriku,
supaya ‘ku di Golgota dibasuh darahMu
Aku datanglah, Tuhan, padaMu
dalam darahMu kudus sucikan diriku
Ketika kebaktian usai, dan setiap jemaat saling bersalaman dan meninggalkan bangunan gereja, gue ngga langsung pulang. Gereja ini, dengan segala keunikan dan kekayaan sejarah yang dimilikinya memberikan kesan tenang dan teduh, sampai - sampai bikin gue ngga rela meninggalkannya. Dan mulai saat ini, gereja ini adalah salah satu tempat favorit gue dan dalam hati gue janji bahwa ini bukanlah kunjungan terakhir gue kesini.
No comments :
Post a Comment