I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Tuesday, September 23, 2014

Ketika Bruncuz Sakit

Sabtu (13 Sept 2014) yang lalu gue kembali membawa Bruncuz ke Rumah Sakit Hewan, Ragunan. Sebelum akhirnya gue membawa Bruncuz ke sini, ada pertimbangan panjang yang harus gue lalui. Kondisi kesehatan Bruncuz memang memburuk. Gue rasa itu perpaduan antara sakit kulit, serangan kutu dan usia tua. Entah berapa berat badannya, yang jelas Bruncuz terlihat jauh lebih kurus. Beberapa luka kecil memenuhi tubuhnya. Ini pasti karena ulah kutu yang menggerogoti tubuhnya. Belakangan gue memang sedang berperang melawan kutu yang menyerang kedua anjing gue. Gue sudah menggunakan berbagai produk anti kutu berbeda, memandikan Bruncuz dan Momo setiap minggu, dan membersihkan area belakang rumah gue agar bebas kutu. Hampir setiap minggu gue ke pet shop, untuk berbelanja produk anti kutu, mulai dari shampoo, cairan antiseptik, dan lain sebagainya. Hasilnya memang belum optimal.

Tapi yang merisaukan gue sebenarnya bukan serangan kutu itu, melainkan kondisi luka yang ada di sekujur leher Bruncuz, yang tampak basah dan memprihatinkan. Bagian lehernya kini botak tanpa bulu dan tampak luka terbuka di mana - mana. Gue sampai ngeri dan ngga tega melihatnya. Pasti ini akibat penyakit kulit, ditambah kebiasaan Bruncuz menggaruk - garuk bagian tubuhnya yang gatal. 

Salah satu pertimbangan gue adalah saat memilih rumah sakit yang tepat. Awalnya gue pengen membawa Bruncuz ke Klinik Hewan Piara di kawasan Depok. Gue sudah membaca beberapa review, serta websitenya langsung, dan tampaknya banyak orang merekomendasikan klinik ini. Ini adalah pengalaman pertama gue membawa anjing peliharaan ke rumah sakit karena mengidap penyakit. Jadi, gue pengen memastikan anjing gue, Bruncuz, merasa nyaman selama diperiksa dan dirawat. Tapi gue urung memilih RSH ini mengingat jaraknya yang cukup jauh. Bruncuz sangat tidak nyaman menempuh jarak jauh di dalam kendaraan.

Pertimbangan kedua adalah masalah transportasi, yang akhirnya terselesaikan dengan menyewa sebuah Mikrolet, dengan bantuan salah satu rekan kerja di kantor. Kalau pas dalam kondisi kayak begini, rasanya pengen banget punya mobil sendiri, supaya ngga repot dan bingung tiap kali butuh kendaraan membawa Bruncuz ke Rumah Sakit. Sebenarnya gue bisa aja ke RSH Ragunan dengan berjalan kaki, mengingat jaraknya paling cuma 3 km dari rumah gue. Masalahnya, kasihan Bruncuz, karena perjalanan itu akan sangat melelahkan untuknya mengingat cuaca super panas belakangan ini, ditambah dengan kondisi tubuhnya yang penuh luka.

Mengenai biaya, bukan hal yang gue anggap memberatkan, karena gue memang punya simpanan dana tersendiri untuk kedua anjing gue. Sebelumnya, gue menyisihkan dananya dengan cara mengikuti arisan di kantor. Bosan dengan cara itu, gue punya cara spektakuler lainnya : mencicil sebuah logam mulia yang dialokasikan untuk biaya emergency kedua anjing gue, jika dibutuhkan. Keuntungannya, di saat gue harus bertindak terhadap anjing gue yang sakit seperti saat ini, gue ngga akan membiarkan masalah finansial membuat gue menunda - nunda bahkan mengurungkan niat untuk membawanya ke RSH, hanya karena mengkhawatirkan masalah pengeluarannya. 

Usia Bruncuz memang sudah cukup tua untuk ukuran anjing, 9 - 10 tahun. Namun gue ngga akan menyerah dan pasrah menunggu penyakit serta usia tua membawa Bruncuz menuju kematian begitu saja. Gue bertekad akan mengobatinya sesulit apapun jalannya. Karena jika gue tidak melakukan hal itu ke salah satu sahabat terbaik gue sedunia, gue pasti akan menyesalinya suatu saat.

Setiap kali membawa anjing ke RSH, rasa panik pasti menyerang. Bagaimana reaksi Bruncuz saat di mobil, bagaimana reaksinya saat dokter dan asistennya memeriksanya, dan kali ini semakin berat, yaitu saat gue harus mendengar hasil diagnosa dokter terhadap Bruncuz. 

Tiba di meja pemeriksaan, berbeda dengan ketika terakhir kali gue membawa Bruncuz ke ruangan yang sama, kali ini gue mengingatkan dokter dan asistennya bahwa Bruncuz adalah anjing yang ofensif. Sifat ini muncul sejak Momo si Husky bergabung di rumah. Untuk itu gue minta agar Bruncuz dipasangkan brongsong, agar tidak bisa menggigit siapapun. Setelah mulutnya dibrongsong dan kedua asisten memegang Bruncuz dengan erat, dokter pun memulai pemeriksaannya. 

Beberapa kali dokter menempelkan sesuatu di lehernya, lalu pergi meninggalkan ruangan, menuju ke ruang Lab. Gue hanya bisa memperhatikan dan menunggu dengan hati deg - degan. Akhirnya dokter kembali dengan hasil diagnosanya, "Positif Jamur". Apa ?? Hanya itu ? Antara percaya ngga percaya dan girang bukan main saat gue mendengarnya. "Bukan demodex, Dok ?" tanya gue. Dokter menggeleng. Rasanya lega bukan main. Gue sampai harus meyakinkan diri dengan bertanya ke dokter apakah Bruncuz perlu dirawat inap, apakah penyakit jamur yang dideritanya parah ? Dan, benjolan apa yang ada di leher Bruncuz, apakah itu kelenjar tiroid, tumor dan sejenisnya ? Semua negatif. Bruncuz hanya terserang jamur ringan, dan benjolan di lehernya seakan - akan muncul karena intensnya Bruncuz menggaruk bagian lehernya. 

Saat itu Bruncuz tidak bisa mendapatkan vaksinasi rabies rutin, karena dikhawatirkan kondisinya kurang fit akibat masalah jamur tersebut. Gue pun meminta dokter untuk memeriksa apakah Bruncuz menderita cacingan, karena badannya yang kurus. Setelah pemeriksaan feces di lab, lagi - lagi dinyatakan negatif. Yang bikin gue agak 'heran' ternyata berat badannya hanya turun 0.5 kg sejak terakhir gue menimbangnya. Hmmm....bukan sesuatu yang critical, artinya. 

Dokter pun menganjurkan gue untuk membeli shampoo anti jamur dan memberikan obat antibiotik. Keduanya harus gue cari di apotik dan pet shop di luar RSH Ragunan. Jadi di siang yang melegakan itu gue cukup membayar total Rp. 190,000, yaitu untuk biaya pemeriksaan dokter, lab, dan tes cacingan.

Weekend itu pun gue lalui dengan mencari shampoo anti jamur dan antibiotik sesuai anjuran dokter. Shampoo anti jamur gue temukan di sebuah pet shop di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, seharga Rp. 150,000 (merek Malaseb) per botol. Sementara Amoxicillin 500 (generik) cukup Rp. 5,000 per 5 butir. Hasilnya, setelah sekali dimandikan, kondisi leher Bruncuz mengalami kemajuan pesat. Luka dan area jamurnya mengering. Bahkan sekarang, setelah 2 kali dimandikan, bagian lehernya tampak kembali normal.

Untuk antibiotiknya, seminggu ini pola makannya sedikit diubah. Biasanya Bruncuz hanya gue beri makan sekali sehari, yaitu di malam hari. Namun karena Bruncuz harus makan obat dua kali sehari sehabis makan, dia pun mendapat privilege berupa sarapan di pagi hari, hanya supaya bisa diberikan obat. Untuk makan malamnya, gue menambah porsi nasinya, dan dua kali dalam seminggu gue akan membelikan sepotong paha atas ayam nan segar dari Giant dekat kantor. Gue selalu yakin kalau daging mentah sangat baik untuk kesehatan anjing termasuk kulitnya.

Saat ini, dengan optimis, gue masih menyelesaikan pengobatan jamur terhadap Bruncuz. Di samping itu, perang terhadap kutu yang menyerang kedua anjing gue pun, masih berlangsung. Setiap hari Minggu siang gue akan menyisihkan waktu sedikitnya 2.5 jam dimulai dengan memandikan kedua anjing gue, dengan perlakuan yang berbeda. Bruncuz akan dimandikan dua kali, pertama dengan shampoo biasa, lalu berikutnya dengan shampoo jamur. Sementara untuk Momo, dimulai dengan shampoo biasa, diikuti dengan menyiramkan cairan anti kutu ke seluruh badannya. Setelah itu, gue akan menyisir tembok - tembok bagian belakang rumah gue dan menyemprotnya dengan cairan anti kutu. 

Melelahkankah ? Sangat, sebenarnya. Tapi ini konsekuensi, dan semacam reminder untuk gue. Bahwa memelihara anjing atau hewan lainnya tidaklah mudah dan murah. Memiliki sahabat anjing berarti berkomitmen dan bertanggung jawab merawatnya dalam segala kondisinya, selama 10 - 15 tahun usia hidupnya. Tapi memiliki sahabat - sahabat anjing seperti saat ini, rasanya tak ternilai. They're (wo)men's best friend EVER !

No comments :