I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Thursday, July 22, 2021

Cerita Karantina : Ketika Covid-19 Menyerang Keluarga (2)

 22 Juli 2021

Kemarin beban (terutama psikis) yang gue rasakan, banyak berkurang. Tuhan Yesus memberikan banyak perkembangan dan jalan terbuka untuk situasi yang keluarga gue sedang hadapi. Di pagi hari Mama dan Bapak diantar oleh Pardo dan Carol (menggunakan mobil berbeda) ke RS Siloam TB. Simatupang untuk menjalani beberapa tes untuk mengetahui kondisi tubuh mereka secara detail, agar bisa diberikan obat - obatan yang spesifik sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing - masing. 

Untuk Rico dan Anggi, kami melakukan approach ke Puskemas. Kebetulan domisili Rico dan Anggi berbeda, jadi kami berbagi tugas. Tito mengurus pelaporan dan permintaan obat isoman Anggi di Puskesmas Srengseng Sawah, sementara gue dan Ony ke Puskesmas Tanjung Barat untuk mewakili Rico.

Di Puskesmas Tanjung Barat, gue ditemui oleh petugas bernama Ibu Tiwi yang sangat baik dan responsif. Gue melaporkan situasi Rico, memberikan detail informasi (nomor kontak, dll), dan juga gue sampaikan bahwa selain Rico, di dalam satu rumah yang sama, ada anggota keluarga lainnya yang sedang menjalani isoman. Ibu Tiwi mengatakan nanti petugas Puskemas akan menghubungi Rico, dan setelah itu obat - obatan yang diperlukan akan diberikan.

Gue sempat ke Apotik Roxy untuk membeli alat suntikan (tanpa jarum) dan transofix (pembuka ampul NaCl), karena gue mau mengajarkan Anggi cara mencuci hidung. Gue sudah melakukan kebiasaan mencuci hidung selama beberapa tahun terakhir, direkomendasikan oleh salah satu dokter di RS THT Proklamasi saat gue berobat karena masalah alergi debu. Di saat ini, segala action yang berpotensi membantu proses isoman dan penyembuhan, seberapa besar/kecil dampaknya, harus dilakukan. Sore harinya gue ke rumah untuk mengajarkan Anggi cara mencuci hidung, dengan posisi berdiri saling berjauhan, di taman rumah Mama.

Kemarin, Nantulang Jogi (Condet) mengirimkan segudang makanan (untuk makan siang dan malam), dan buah - buahan, yang diberikan melalui Pardo. Nantulang mengatakan akan menyiapkan dan mengirimkan makanan selama seminggu ke depan. Luar biasa wujud bantuan Tuhan Yesus yang datang dari berbagai pihak dalam berbagai bentuk. Entah bagaimana membalas kebaikan Nantulang sekeluarga. Rasanya terharu banget.

Di siang hari, hasil tes Mama dan Bapak keluar. Kondisi Mama secara umum baik, dan gejala ringan. Untuk Bapak, CRP atau C-reactive protein-nya agak tinggi, dan ada sedikit kabut di paru - paru. Obat - obatan yang diberikan disesuaikan dengan kondisi masing - masing. Untuk Fajar, Carol juga sudah mewakilkan untuk teleconsultation dengan salah satu dokter di RS Brawijaya, dan obat - obatan juga disiapkan. 

Di siang hari, Pardo (sebagai contact person saat melakukan tes di Bumame untuk seisi rumah Mama), menerima WA dari Kemenkes. Pesan WA tersebut memberitahukan bahwa masing - masing Bapak, Mama, Rico, Anggi dan Fajar telah terdata di Kemenkes sebagai pasien Covid-19, dan bisa mendapatkan konsultasi, pengobatan dan pengawasan gratis dari Kemenkes RI.

Ada beberapa langkah yang harus dilakukan :

  1. Cek status NIK sebagai Pasien COVID-19 dari WA Kemenkes RI atau lakukan mandiri di https://isoman.kemkes.go.id
  2. Pilih layanan konsultasi telemedisin & masukkan kode voucher dalam layanan (gue memilih Halodoc). 
  3. Melakukan konsultasi dengan dokter dengan menginformasikan bahwa pasien mendapatkan WA dari Kemenkes RI atau bukti verifikasi NIK dari website ISOMAN (point nomor 1 di atas)
  4. Dokter akan memberikan resep digital dalam bentuk PDF atau JPG
  5. Lakukan penebusan resep di website https://isoman.kemkes.go.id/tebusresep  (melampirkan point nomor 4 di atas)
  6. Simpan tracking ID untuk cek status pengiriman dari Apotik Kimia Farma terdekat
Gue dan Anggi langsung mengikuti setiap langkahnya. Saat ini kami masih menunggu pengiriman obat dari apotik Kimia Farma Blok M yang sampai sekarang belum tiba juga. 

Gue sempat menghubungi nomor call center Kimia Farma (1500 255), hasilnya nihil, tidak ada yang merespon. Lalu gue mengirimkan pesan pribadi ke akun Instagram Kimia Farma Care. Dalam waktu singkat pesan gue dijawab dan intinya gue bisa melakukan pelaporan ke nomor kontak Halo Kemenkes : 1500 567 atau via WA. Gue mencoba menelepon ke nomor telepon tersebut namun tanpa hasil, dan Puji Tuhan, ketika gue kontak ke nomor WAnya, responnya sangat cepat. Saat ini status permintaan obat masih dalam verifikasi, tapi setidaknya ada perkembangan, yaitu laporan gue sudah terdaftar dan mendapatkan nomor.

Oya, keluarga gue bisa menerima pesan WA dari Kemenkes ini karena lab tempat seisi rumah Mama melakukan tes PCR, yaitu Bumame, termasuk dalam daftar laboratorium jejaring pemeriksa Covid-19 Kemenkes. Jadi, sepertinya begitu ada hasil tes PCR yang positif Covid-19, pihak lab (Bumame) yang langsung melaporkan ke Kemenkes, sehingga Kemenkes bisa mem-follow up dengan pihak pasien. 

Untuk kondisi Mama dan yang lainnya kemarin, gejala masih terbilang ringan. Mama dan Bapak cenderung kurang bernafsu makan, tapi kami desak terus agar mau makan, karena mulai kemarin Mama, Bapak (dan Fajar) sudah mulai mengkonsumsi obat dokter. Untuk Rico dan Anggi, mereka tetap mengkonsumsi vitamin D, vitamin C dan yang lainnya. 

Begitulah cerita dan perkembangan kemarin dan pagi tadi. Apapun yang terjadi, ngga ada pilihan lain, kami harus tetap berjuang, mengusahakan yang terbaik untuk anggota keluarga yang kami cintai ini, dan tetap berpikir positif. Kami yakin dan percaya, pertolongan Tuhan Yesus pasti tak akan pernah terlambat.

Wednesday, July 21, 2021

Cerita Karantina : Ketika Covid-19 Menyerang Keluarga (1)

21 Juli 2021.

2 - 3 hari terakhir bukan the best days in my life. Mungkin hari - hari yang cukup berat untuk gue dan keluarga harus lalui. Dimulai dari Senin lalu, 19 Juli 2021 ketika pagi - pagi gue mampir ke rumah Mama untuk ambil belanjaan online shop gue. Gue emang selalu menggunakan alamat rumah Mama untuk pengiriman, karena lebih mudah dicari dan akan selalu ada orang di rumah. 

Pagi itu pagar masih digembok, yang bikin gue mulai ngerasa aneh, karena saat itu sudah menjelang jam 8 pagi. Mama keluar dari rumah untuk membuka pagar, dan gue agak kaget kenapa Mama tampak pucat, dan gue langsung menanyakan kenapa seisi rumah masih pada tidur. Di dalam rumah, sambil merapihkan barang belanjaan gue, Anggi sempat bilang, seisi rumah sedang batuk, jadi sebaiknya gue jangan ke rumah dulu. Gue pun langsung pamit pulang.

Kembali ke rumah gue, gue langsung menghubungi Carol mengenai kondisi di rumah. Di situlah dimulai 'investigasi' gue berdua mengenai kondisi keluarga di rumah Mama. Begini, Mama adalah tipe orang yang kalau kita hubungi melalui telepon dan menanyakan kabarnya, akan menjawab, "Mama sehat". Itu juga yang terjadi bahkan di hari sebelumnya. Karena gue sudah melihat sendiri (gue memang sudah jarang ke rumah Mama untuk mengamankan Mama dan Bapak dari resiko penularan virus Covid-19), gue ngga percaya lagi kalau Mama bilang begitu. Setelah didesak - desak, barulah ada pengakuan bahwa Mama batuk, pusing, dan gejala - gejala ringan lainnya. Begitu juga Bapak. Siang hari, Mama dan Bapak pun langsung diantar ke Bumame TB. Simatupang untuk menjalani tes PCR. Hasilnya baru bisa keluar dalam 16 jam kemudian. 

Di hari itu, gue dan Carol sudah mengkondisikan seisi rumah Mama terpapar Covid-19, meskipun belum menerima hasil. Mulai hari itu, rumah Mama diisolasi, tidak ada yang boleh keluar. Untuk kebutuhan mereka, gue, Carol dan Tito bergantian datang untuk mengirimkan vitamin, obat, tabung oksigen, makanan, dan lainnya. 

Di malam itu gue ngga bisa tidur pulas. Hati gue ngga tenang menunggu hasil. Ketika di pagi hari mata gue sudah mulai mengantuk, Pardo menelepon, dengan suara lemah mengabarkan bahwa hasil PCR sudah keluar, Mama dan Bapak positif Covid-19. Dunia gue seakan runtuh seketika. Hal terburuk yang paling gue takuti, terlebih sejak dimulainya masa pandemi ini, terjadi. Tapi dari hari sebelumnya gue sudah mulai belajar 'menerima' the worst situation. Gue berdoa ngga ada putusnya, "Tuhan Yesus, apapun hasil tes Mama dan Bapak, berikan mereka kekuatan untuk menerimanya, dan berikan gue juga kekuatan. Gue ngga boleh down, karena kalau memang benar positif, seisi rumah Mama dipastikan positif semua. Artinya hanya ada gue, Carol, Ony, dan Tito yang bisa merawat dan memenuhi kebutuhan mereka, meskipun ngga secara langsung." 

Mulai pagi itu, gue dan Carol bergantian ke rumah. Bagian gue mengantarkan makanan (sarapan, makan siang, makan malam, buah, susu), dan kebutuhan lainnya yang sewaktu - waktu dibutuhkan. Kemarin gue bolak - balik ke rumah sekitar 5 kali. Dan setiap datang, gue menyempatkan melihat dan berbicara dengan Mama yang berada di kamarnya, melalui jendela yang tertutup dan jarak beberapa meter. Yang gue bisa lakukan cuma memberikan semangat, bersikap ceria dan menahan tangis gue di dalam hati. Mama pun menasihati supaya gue tetap kuat dan tenang, dan sempat bilang kondisi Mama pada dasarnya baik. Mama pengen keluar kamar tapi khawatir karena ada Fajar. Fajar sangat lengket sama Opung dan Omanya. Pagi itu gue sempat melihat Fajar cengeng, karena ngga bisa minta digendong Opungnya. Di saat berbalik menuju gerbang untuk pulang, air mata gue jatuh karena ngga tahan menahan sedih melihat situasi itu.

Menjelang siang, Pardo, Rico, Anggi dan Fajar berangkat ke Bumame untuk tes PCR. Sore harinya hasil tes keluar: Rico, Anggi dan Fajar dinyatakan positif Covid-19, dan Pardo negatif. Gue berasa langsung lemas lunglai, demi mikirin Fajar. Ya Tuhan, gimana anak sekecil itu (2 tahun) harus menghadapi virus Covid-19 ini di tubuhnya ? Rasanya pengen nangis, tapi di saat yang sama gue langsung merasakan kekuatan dari Tuhan Yesus. Pardo, Carol dan gue pun langsung mulai mengatur 'strategi', karena saat ini lebih mudah dengan keluarnya hasil semua penghuni rumah Mama. Untuk Rico dan Anggi, kita akan menghubungi Puskesmas untuk mendapatkan pengobatan gratis. Untuk Fajar, Carol akan menghubungi RS Brawijaya untuk mengatur janji telemedicine. Dan untuk Mama dan Bapak, kami akan membawa ke RS Siloam TB. Simatupang, agar keduanya bisa melakukan CT Scan Torax, Rontgen paru - paru dan tes lainnya. Harapan kami, jika keduanya sudah melalui semua tes ini, pihak rumah sakit akan memberikan obat yang spesifik sesuai dengan kondisi dan kebutuhan keduanya. Keputusan ini kami ambil dengan mempertimbangkan : 1) keduanya sudah lansia, Bapak berusia 76 tahun dan Mama 71 tahun, 2) Mama memiliki komorbid.



Hari itu gue lewati dengan bolak - balik ke Naga Supermarket untuk membeli keperluan logistik makanan, buah, sayur dan susu, ke Indomaret/Alfa berkali - kali, ke ACE untuk membeli UV Sterilizer, ke toko kelontong untuk membeli termos air panas Mama, dan di sela - selanya menyiapkan makan siang dan makan malam buat di rumah Mama.

Di malam hari, Pardo mengabarkan beberapa kali bahwa Mama muntah, rasanya sedih banget, membayangkan kondisi Mama pasti sangat lemah, tapi gue ngga berdaya, ngga bisa melihat apalagi hadir di sisi Mama dan membantunya. Hari itu gue sempat saling bertelepon sama Mama. Hampir di setiap hubungan telepon, gue menahan nangis. Mama sedang berjuang menghadapi sakitnya, dan gue ngga bisa berada di dekatnya. Sesaat setelah Mama muntah, gue menelepon Mama. Gue bilang, "Mama, setiap anak - anak Mama sakit, Mama selalu wanti - wanti, 'paksain makan...paksain makan' iya kan, Ma ? Jadi sekarang Mama harus paksain makan walaupun mual ya, supaya perut Mama ngga kosong." 

Sampai tengah malam Mama muntah lagi. Gue langsung berbagi tugas dengan Pardo, untuk mencari apotik manapun yang masih buka. Puji Tuhan, dalam kondisi PPKM seperti saat ini, apotik masih bisa tetap buka 24 jam. Dan di apotik andalan gue, Apotik Roxy, gue mendapatkan semua keperluan Mama untuk mengatasi mual dan antisipasi kekurangan cairan.

Gue melalui malam itu dengan sangat gelisah. Gelisah akan banyak hal. Gimana kondisi Mama sepanjang malam. Gimana tes besok, akan baikkah hasilnya ? Bagaimana Fajar, Anggi, Rico ? Semua berkecamuk di pikiran gue. Dan tentu saja, kalau gue sedang banyak pikiran, insomnia pun kumat, gue ngga tidur semaleman. Gue cuma bisa berdoa memohon pertolongan Tuhan Yesus agar gue diberikan ketenangan.

Monday, July 12, 2021

Cerita Karantina : Cat Street Feeding


12 Juli 2021

Memasuki 1.5 tahun masa pandemi Covid-19, 'kesibukan' gue dalam hal perkucingan bertambah,  Belakangan gue suka melakukan 'street feeding' yaitu memberikan makanan kepada kucing - kucing jalanan dan telantar. Ada hal sedih yang melatarbelakangi aktivitas gue ini. 

Jadi, sekitar awal Mei 2021 gue kehilangan salah satu kucing yang bernama Tikus alias Ty-Ty. Hilangnya misterius, di suatu pagi, gue ngga menemukan Ty-Ty dimana pun. Dia ngga meninggalkan jejaknya sama sekali. 


Gue sedih, karena Ty-Ty adalah salah satu kucing telantar pertama yang gue rawat, sejak masih sangat kecil. Sudah banyak suka duka selama gue merawat Ty-Ty. Dan meskipun gue bukan penggemar kucing, namun karena gue ngga pernah tegaan terhadap hewan, gue tetap merawat Ty-Ty sebaik mungkin. Lalu Ty-Ty menghilang. Di pikiran gue berkecamuk segudang asumsi dan prasangka tentang kemana dan gimana hilangnya Ty-Ty. Tapi satu hal yang paling bikin gue khawatir, betapa Ty-Ty ngga punya 'skill' dan pengalaman untuk hidup di dunia luar sana, yang sebenarnya sangat mengancam dan berbahaya untuk seekor kucing seperti Ty-Ty, yang terbiasa dirawat sejak kecil. 

Untuk mencari Ty-Ty, gue biasa berjalan kaki sampai radius beberapa kilometer dari rumah gue, baik pagi maupun sore selesai kerja. Ini gue lakukan non stop, bahkan sampai sekarang. Hasilnya nihil. Lalu, suatu hari gue pernah membaca di sebuah group kucing di Facebook. Ada seseorang curhat mengenai kucingnya yang hilang. Kemudian seorang pecinta kucing lainnya menyarankan ide yang aneh dan unik. Katanya, kasih makan kucing - kucing jalanan yang ada di sekitar rumah, lalu katakan ke kucing itu, supaya mencari kucing kita yang hilang. Masih di thread yang sama, beberapa orang memberikan testimoni bahwa meskipun metode ini aneh bin ajaib, kucing - kucing mereka yang hilang, berhasil kembali ke rumah masing - masing.

Gue pun mengikuti saran tersebut. Saat ini, ada sekitar 15 kucing jalanan yang rutin gue hampiri dan kasih makan setiap harinya. Sejak gue melakukan kegiatan streetfeeding ini, penilaian gue terhadap kucing sedikit berubah. Dulunya gue pikir kucing ngga sepintar anjing, yang bisa mengenal dan mengingat orang. Ternyata kucing juga bisa. Sebagai kucing jalanan, mereka bisa acuh tak acuh dan tak bergeming ketika ada orang lalu - lalang di depannya. Tapi setiap gue lewat, mereka langsung mengejar, menuntut diberi makanan.

Lalu, apakah Ty-Ty sudah kembali ke rumah gue ? Belum. Ty-Ty belum kembali. Tapi kegiatan 'streetfeeding' ini sudah menjadi kebiasaan untuk gue, dan gue ngga keberatan untuk terus melakukannya selama mampu. Bahkan, ada hal positif dari kebiasaan ini, karena 'memaksa' gue untuk rajin, konsisten dan tepat waktu untuk jalan kaki setiap pagi ini. Jadi, setiap pagi kegiatan gue adalah meninggalkan rumah sekitar jam 7 pagi, jalan pagi mengejar target 10000 langkah, 'berburu' sinar matahari pagi yang pasti baik buat fisik gue, sambil memberikan makanan kepada kucing - kucing jalanan dan telantar yang gue temui. 

Puji Tuhan, gue selalu dicukupkan untuk bisa menyediakan dan memberikan makanan kepada para kucing jalanan. Salah satunya dari kuis - kuis yang gue ikuti, gue pernah beberapa kali memenangkan kuis berhadiah makanan kucing dalam jumlah yang lumayan banget. Kalaupun mesti membeli, selalu ada flash sale di sebuah e-commerce yang memungkinkan gue membeli stok makanan kucing berkualitas dengan harga miring. Pokoknya selalu ada aja jalannya kok.

Mengingat sudah hampir 3 bulan sejak Ty-Ty menghilang, saat ini gue cuma bisa berharap Ty-Ty masih hidup dan dirawat dengan baik oleh seseorang. Dan untuk gue sendiri, gue sudah harus move on dan ngga berlarut dalam kesedihan karena kehilangan ty-Ty. Gue yakin, dengan menyebarkan kebaikan kepada para kucing jalanan dan telantar, di sisi dunia yang lain, ada seseorang yang akan berbuat kebaikan juga kepada Ty-Ty. 

Monday, May 17, 2021

GKI Gereformeerd Semarang

25 April 2021

Perjalanan gue ke Semarang kali ini cukup 'bersejarah'. Karena setelah lebih dari setahun gue ngga menginjakkan kaki dan mengikuti kebaktian rutin setiap hari Minggu di gereja, akibat situasi pandemi Covid-19, akhirnya gue berkesempatan untuk ibadah Minggu di gereja lagi.

Entah kenapa pagi itu saat lagi menikmati sarapan di hotel, terbersit keinginan untuk ke gereja. Gue pikir mumpung lagi di Semarang dan gue kangen untuk mengunjungi dan mengikuti ibadah di Gereja Blenduk. Tapi so typical gue banget, rencana langsung berubah. Tiba - tiba gue kepikiran pengen mencari keberadaan Gereja GKI Gereformeerd, yang memang belum pernah gue datangi. Kenapa ke sini ? Karena ini salah satu gereja bersejarah, dan gue pernah lihat foto bangunannya, unik banget. 


Tapi mendadak gue ragu....emangnya gereja dibuka untuk umum ? Kalau pun iya, apakah ada pembatasan kapasitas gereja ? Gue langsung browsing mencari informasi dan nemu akun IG GKI Gereformeerd. Di akun itu gue membaca informasi kalau waktu kebaktian di sana ada 2 (dua), yaitu jam 9 pagi dan jam 17.15 sore. Tapi untuk jemaat yang hendak mengikuti ibadah langsung di gereja, harus mendaftar online terlebih dahulu di link yang tersedia. Gue pun membuka linknya, baik untuk pendaftaran kebaktian pagi maupun sore, sayangnya sudah full.

Di sore harinya, gue nekad mau ke GKI Gereformeerd langsung. Gue pikir, kalaupun nanti ngga kebagian kuota untuk ibadah di sana, hitung - hitung paling ngga gue sudah bisa berkunjung dan melihat langsung gereja ini, menjawab rasa penasaran gue selama ini.

Gue memesan Gocar menuju ke sana. Selama di Semarang Gocar emang jadi andalan gue banget. Praktis, cepat dan murah. Seingat gue, kemana pun tujuannya, ongkosnya paling antara Rp. 15,000 - 24,000. 

Gue sengaja berangkat ke gereja jauh lebih awal dari jam kebaktian, alasannya, biar gereja masih sepi. Ini memang kebiasaan gue, saat di Jakarta sekalipun. Gue tuh paling menikmati momen di saat gereja masih kosong, hening, sepi bahkan gelap. Entah kenapa ya, duduk di bangku jemaat menghadap altar dalam keheningan seperti itu rasanya peaceful dan safe banget. 

Di pintu masuk gereja kebetulan sudah ada seorang jemaat yang bertugas menyambut para jemaat. Dengan polosnya gue langsung bertanya, apakah gue masih diperbolehkan mengikuti ibadah, meskipun kuota sudah penuh ? Bapak petugas tersebut dengan sangat ramah langsung mengiyakan, dan mempersilahkan gue untuk mengisi buku tamu, dan memilih bangku di dalam gereja. Wow....senangnya !




Setelah itu gue masuk ke dalam gereja, menikmati momen hening yang gue bilang tadi. Terharu dan senang banget, setelah setahun lebih ngga pernah ke gereja. 

Mengenai gereja ini, GKI Gereformeerd terletak di Jalan Sutomo No. 24, dekat Rumah Sakit Kariadi, dan merupakan salah satu gereja bersejarah di Semarang. Gereja ini berdiri sejak 27 Oktober 1918, yaitu di masa Pemerintahan Hindia Belanda. Gue penasaran dengan sejarah dan asal usul namanya 'Gereformeerd' yang terdengar 'Belanda' banget, namun sayangnya belum menemukan sumber informasi yang detail mengenai ini. 

Untuk bangunannya yang masih kokoh dan cantik, di bagian dalamnya mirip gereja GPIB Pniel (Gereja Ayam) di Pasar Baru, Jakarta, dengan bangku dari kayu jati dan rotan yang gue yakin masih otentik sejak gereja ini berdiri. Protokol kesehatan diterapkan di sini, dengan pengurangan kapasitas jemaat dan pengaturan antar tempat duduk yang berjarak. Selama kebaktian, baik Bapak Pendeta (hari itu ibadah dilayani oleh Bapak Pendeta Rahmat Rajagukguk) maupun penatua selalu mengingatkan agar para jemaat tidak sekalipun membuka masker. 

Setelah ibadah selesai, gue pun langsung memesan Gocar untuk kembali ke hotel. Saat itu sudah gelap, jadi gue ngga bisa menikmati memandangi bangunan gereja yang menurut gue unik banget, juga lingkungan sekitarnya. Meskipun ngga bisa berlama - lama di sini, paling ngga sudah cukup mengobati kerinduan gue untuk beribadah langsung di gereja.

Tuesday, May 11, 2021

Kesengsem Pesona Benteng Pendem


11 Mei 2021

Tanggal 23 - 27 April 2021 yang lalu akhirnya gue bisa jalan lagi ke Semarang. Seinget gue sebelum masa pandemi, setiap tahun gue selalu ke sana. Semarang khan salah satu kota kesukaan gue. Kali ini tujuan gue ke sana, mau santai, staycation, work from hotel, mungkin singgah ke Ambarawa, pokoknya bukan untuk eksplor tempat - tempat wisata di sana. Tapi meskipun gue udah sering ke Semarang, ada satu lokasi yang gue belum pernah kunjungi dan masih penasaran mau ke sana, yaitu Benteng Willem I atau Benteng Pendem di Ambarawa. Jadi, trip Semarang kali ini gue bertekad akan mencari jalan ke sana, meskipun gue solo traveler.

Berhubung masih masa pandemi, kali ini gue milih naik kereta Eksekutif (Argo Muria) dari Stasiun Gambir. Dulunya, biasanya gue naik kereta kelas Ekonomi dari Stasiun Senen. Tapi ngebayangin kalo bangku kereta ekonomi tuh sederet bertiga dan tanpa pembatas antar penumpang, langsung bikin gue parno. Selama setahun pandemi, gue menahan diri banget untuk ngga piknik kemana - mana. Ini akhirnya gue memutuskan untuk ke Semarang pun karena bisa dibilang mulai jenuh kelamaan ngga piknik. Itupun dengan komitmen untuk menjaga diri gue sebaik-baiknya dan menjalankan protokol kesehatan baik selama perjalanan maupun selama di Semarang. Jadilah cara teraman, menurut gue, dengan naik kereta Eksekutif, dengan harapan kapasitas penumpang bakal dikurangi drastis. Dan benar sih, perjalanan dari Jakarta ke Stasiun Tawang, Semarang, keretanya super lengang. Oya, untuk harga tiket kereta pulang pergi gue beli seharga Rp. 489.500, sudah termasuk potongan harga, ada promo dari Tiket.com.

Tiba di Stasiun Tawang, gue naik grab car ke hotel Holiday Inn, Simpang Lima. Sebelum ke Semarang gue udah survey hotel yang lokasinya strategis, nyaman dan asyik buat work from hotel. Setelah baca beberapa review, pilihan gue jatuh ke Holiday Inn ini. Untuk harga, ekonomis banget menurut gue, apalagi belinya pas lagi program promo Tiket.com, jadilah total gue dapat harga Rp.1.254.260 untuk empat malam, sudah termasuk sarapan.

Setiba di hotel gue langsung buka laptop, kerja, telponan ama Pak Boss, kelar. Begitu sorean dan langit masih cerah - cerahnya, gue keluar meninggalkan hotel buat menikmati kota Semarang. Gue pun berjalan kaki menuju pusat oleh - oleh Bandeng Juwana di Pandanaran. Beli oleh - oleh bandeng vacuum buat Mamak, Carol dan Ony, paketin pake JNE langsung di lokasi yang sama, trus gue balik ke hotel. Gue ngga mau ribet sama urusan bawa oleh - oleh, karena kali ini bawaan gue sendiri udah banyak. Maklum, kali ini kan gue niat sekalian kerja, jadi tetap bawa laptop dan perlengkapan kerja lainnya. Udah gitu, gue bakal lumayan panjang stay di Semarang, 5 hari, jadi stok baju yang gue bawa pun mau gak mau agak lebih banyak. 

Hari kedua, Sabtu, 24 April 2021, rencana gue adalah mengunjungi benteng Willem I atau Benteng Pendem di Ambarawa. Gimana caranya ? Sebelum trip ke Semarang, gue udah cari - cari info mengenai owis alias ojek wisata di Semarang, yang bisa mengantar sampai ke Ambarawa juga. Ngga susah nyarinya, cukup modal Instagram. Lagian kayaknya 'owis' udah populer di Semarang. Gue menemukan satu kontak, dan sepakat mengenai harga yang ditawarkan, yaitu Rp. 230,000 untuk mengunjungi beberapa lokasi wisata di Ambarawa. Sebenarnya gue ngga ngotot mau mengunjungi tempat wisata selain benteng Pendem sih, tapi berhubung paketnya begitu, gue oke - oke aja.

Gue minta dijemput oleh Yudha, owis yang akan menemani gue ke Ambarawa, sekitar jam 7:30 pagi. Perjalanan menuju Benteng Pendem seingat gue sekitar 45 menit deh. Dan gue ngga pernah bosan dengan perjalanan dari kota Semarang menuju Ambarawa, melewati Ungaran seperti ini. Gue selalu menikmati, entah apanya ya....udaranya yang sejuk, ngelewatin banyak bangunan - bangunan tua, pokoknya selalu suka. 

Tiba di Benteng Pendem, gue membayar sekitar Rp. 5,000 per orang kalo gak salah. Dan saat itu cuma gue dan Yudha yang ada di sana. Sepi, cuma sesekali ada motor lewat, karena Benteng Pendem sendiri ternyata dijadikan tempat tinggal dan Lapas. Begitu masuk lebih dalam ke area tengah benteng dan berdiri di antara tembok - temboknya yang tua namun tetap kokoh itu, rasanya tak tergambarkan. Sensasi yang muncul, setiap gue menyimpan rasa penasaran tingkat tinggi untuk mengunjungi suatu tempat, dan akhirnya bisa menginjakkan kaki di situ, apalagi tempatnya keren dan bersejarah banget kayak benteng Pendem ini, rasanya luar biasa banget. 






Benteng Pendem ini dibangun tahun 1834 dan namanya diambil dari nama raja Belanda Willem Frederik Prins Vans Oranje - Nassau (1815 - 1940). Disebut 'pendem' karena benteng ini berada di bawah tanah atau terkubur, sebagai bagian dari siasat perang. Buat gue, ini benteng 'pendem' kedua yang pernah gue kunjungi. Beberapa tahun yang lalu gue pernah ke benteng pendem di Cilacap, yang seinget gue dikelola lebih profesional sebagai tempat wisata. Sebenarnya benteng - benteng peninggalan jaman kolonial kayak gini memiliki kesan horor atau mistis tersendiri. Tapi entah kenapa selalu bikin gue penasaran dan bertekad mengunjungi benteng - benteng peninggalan Belanda di daerah lainnya. 


Gue berkesempatan untuk mengeksplor area benteng sampai mentok ke pintu masuk Lapas yang memang harus steril. Lalu gue mengambil arah sebaliknya, dan menuju area pesawahan, dimana gue bisa melihat sebuah bangunan yang merupakan bagian dari komplek benteng Pendem juga. Bangunan berbentuk kotak yang tampak tersusun dari bata merah, berdiri di tengah sawah. Kata Yudha, banyak bangunan seperti itu di kawasan benteng Pendem ini, dan saat ini fungsinya adalah sebagai tempat penyimpanan hasil sawah. Saat gue melanjutkan langkah menyusuri tepi sawah itu, lagi - lagi gue melihat bangunan benteng lainnya, kali ini tampak lebih padat penghuni. Gue bisa melihat jemuran pakaian, atau kandang burung digantung di dalam lantai dua bangunan itu. Gimana rasanya sih tinggal di sini ? Gue menyimpan rasa takjub yang demikian dahsyatnya. Di satu sisi, gue pecinta dan penggemar bangunan - bangunan kolonial bersejarah. Tapi logika gue ngga nyampe untuk membayangkan ada orang dan keluarganya bisa tinggal di bangunan - bangunan tersebut. Yang dibangun hampir 200 tahun silam...dengan kondisi apa adanya alias tanpa direvitalisasi dulu...salut deh gue ! Pasti itu jadi pengalaman dan cerita super menarik tersendiri yang mereka miliki. 



Gue kembali ke area tengah benteng, tempat gue masuk tadi. Saat di sana, tiba - tiba seseorang yang sedang mengendarai motor berhenti, dan bilang, "Kalau mau naik ke atas, naik aja. Kalau ada yang tanya, bilang aja 'kata Pak RT'."

Memang ada papan bertuliskan larangan untuk naik ke lantai 2 benteng. Karena mendapatkan 'ijin' gue pun naik ke atas. Di situ gue sempat melihat - lihat beberapa bagian benteng yang digunakan sebagai tempat tinggal termasuk rumah Pak RT. Dalam hati gue cuma terkagum - kagum sekaligus bertanya - tanya, "Gimana rasanya coba tinggal di sini ?" 






Setelah beberapa saat di area benteng Pendem, gue dan Yudha pun meninggalkan lokasi. Sebenarnya gue belum puas - puas banget sih, entah kenapa, rasanya berat melepaskan pandangan gue dari komplek benteng Pendem ini. Mempesona banget sih buat gue. Mungkin kalo ngga mikirin waktu, gue bisa menghabiskan waktu beberapa lama lagi, cuma berdiri diam di tengah komplek benteng ini. Tapi, weirdo banget gak sih ? Mau duduk - duduk, ngga ada tempatnya. Akhirnya gue menghibur diri dan berjanji dalam hati, secepatnya gue akan ke Ambarawa lagi, dan ke benteng ini lagi. Gue pun melangkah meninggalkan komplek benteng.