Gue membeli tiket Jakarta - Semarang pulang pergi saat Air Asia promo launching destinasi ini. Harga tiketnya keterlaluan...hanya Rp. 5,000 saja . Total biaya kartu kredit dan lainnya jadilah Rp. 65,000 pulang pergi. Mengenai kota tujuannya sendiri, walaupun gue nyaris ngga mengenal Semarang sama sekali, itu ngga jadi masalah. Karena pada dasarnya gue senang untuk mengunjungi dan berpetualang di tempat baru. Paling ngga, gue bisa refreshing dan melepaskan jenuh dari rutinitas, di tempat yang jauh dari Jakarta.
Awal Juni 2013 Air Asia mengumumkan bahwa rute yang baru dibukanya ini akan ditutup mulai 1 Juli 2013. Dari beberapa opsi yang ditawarkan kepada para pembeli tiket, gue memilih untuk mengganti jadwal penerbangan. Jadilah yang rencana awalnya gue akan terbang di bulan September 2013, dimajukan menjadi 28 - 30 Juni 2013. Singkat, karena sisa cuti gue emang ngga banyak, dan gue harus menyisakan cukup jatah cuti sepanjang tahun 2013, demi kaki gue yang doyan berpetualang ini.
Jumat, 28 Juni 2013
Pesawat Air Asia mendarat di Bandara Internasional Ahmad Yani sekitar jam 7 pagi. Tujuan pertama dari bandara adalah Museum Lawang Sewu, dengan menggunakan taksi yang ongkosnya Rp. 40,000. Menurut gue cukup mahal untuk jarak sedekat itu, namun apa boleh buat, karena penumpang harus menggunakan taksi yang ditunjuk oleh pihak Bandara. Dan ongkos taksi bukan dihitung berdasarkan argo, melainkan sudah ditentukan di awal saat mengantri taksi.
Gue tiba di Lawang Sewu dan membayar Rp. 10,000 untuk tiket masuknya. Sebagai salah satu dari sedikit pengunjung museum di pagi itu, gue leluasa menjelajah setiap ruangan. Pusat kekaguman gue terletak pada setiap bangunan - bangunan serta ruanganya yang tua, kuno namun tetap kokoh, bukan apa yang dipamerkan di dalam museum.
Kemudian gue melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bus umum jurusan Johar menuju Kota Lama. Tujuan berikutnya adalah ke Gereja GPIB Immanuel yang lebih dikenal sebagai Gereja Blenduk. Tiba di sana, sayangnya gue cuma bisa menikmati keindahan dan kemegahan gereja dari luar, karena pagarnya terkunci. Bangunannya mirip gereja GPIB Immanuel yang ada ada di Gambir, Jakarta.
Tepat di seberang Gereja Blenduk, secara kebetulan gue melihat Rumah Makan Sate dan Gulai Kambing 29, Semarang. Rumah makan ini adalah salah satu target gue selama di Semarang ini. Sebelum berangkat ke Semarang gue sempat browsing untuk mencari informasi mengenai tempat - tempat yang harus didatangi, dan rumah makan ini adalah salah satunya. Kebetulan gue penyuka sate dan saat itu perut sudah mulai protes kelaparan, maka gue pun singgah untuk sarapan menjelang makan siang. Harganya, menurut gue, cukup mahal. Satu porsi sate kambing Rp. 40,000 / 10 tusuk, ditambah sepiring nasi seharga Rp. 5,000. Ditambah lagi dengan es teh manis Rp. 2,500 per gelas, itu adalah salah satu sarapan siang gue yang termahal sepanjang sejarah
!
.
.
Dengan perut kenyang, gue sempat berjalan kaki sekedar untuk memuaskan kedua mata gue mengagumi bangunan - bangunan kuno yang ada di komplek Kota Lama. Setelah itu gue menuju Klenteng Tay Kak Sie yang terletak di Gang Lombok. Menurut gue di area klenteng ini ada empat hal yang bisa dinikmati pengunjung : klenteng itu sendiri, patung Laksamana Cheng Ho, replikasi kapal Cheng Ho yang letaknya berhadapan dengan Klenteng, terakhir, kedai lunpia Gang Lombok No. 11 yang letaknya nyaris menempel dengan bangunan Klenteng. Menurut hasil browsing gue, kedai ini juga salah satu yang wajib dikunjungi. Jadi, meskipun masih kenyang, gue menyisakan sedikit ruang di lambung untuk menikmati lunpia goreng, seharga Rp. 12,000.
Dari gang Lombok gue berjalan beberapa jauh, ke arah Bank Mandiri, setelah itu melanjutkan perjalanan dengan becak menuju Imam Bonjol Hostel di Jalan Imam Bonjol. Ongkosnya Rp. 15,000. Salah satu hal yang membuat gue merasa nyaman dengan kota Semarang yang tenang dan bersahaja ini adalah ongkos transportasinya yang cenderung murah. Untuk jarak sejauh apapun, ongkos becak yang harus gue keluarkan belum pernah melebihi Rp. 15,000.
Hostelnya bersih, nyaman dan aman. Walaupun harus berbagi kamar mandi, tetapi kamar mandi yang tersedia cukup banyak dan bersih. Fasilitas lainnya, wifi dengan kecepatan tinggi dan security door. Jadi, pintu hanya bisa diakses oleh tamu yang sudah dibekali dengan kunci khusus.
Dari segi lokasi, hostelnya juga sangat strategis. Letaknya di jalan Imam Bonjol yang jaraknya dengan Lawang Sewu dapat ditempuh dengan berjalan kaki.
Walaupun belum puas beristirahat di kasur gue yang empuk, tapi gue ngga mau menyianyiakan waktu. Tujuan berikutnya adalah Klenteng Sam Poo Kong yang merupakan klenteng tertua di Semarang. Keluar dari Jalan Imam Bonjol gue menyeberang persimpangan menuju Jalan Mgr. Sugiopranoto, dan naik becak ke klenteng ini dengan ongkos Rp. 15,000. Tiket masuknya Rp. 3,000 dan pengunjung disuguhi dengan area klenteng yang sangat luas terdiri dari 5 bangunan klenteng. Pesona klenteng ini ditambah lagi dengan patung Laksamana Cheng Ho ukuran raksasa yang berdiri tegak di depan klenteng Sam Poo Kong. Untuk memasuki jajaran Klenteng Sam Poo Kong, Klenteng Juru Mudi dan klenteng lainnya, pengunjung harus membayar lagi Rp. 20,000. Selain itu, pengunjung juga dapat menikmati foto kostum dengan membayar ekstra Rp. 80,000.
Dari Sam Poo Kong, gue naik taksi Blue Bird menuju Jalan Pandanaran. Akhirnya gue memilih taksi berhubung ngga menemukan alternatif kendaraan umum lainnya, termasuk becak. Ongkosnya sekitar Rp. 25,000, dan gue tiba di Jalan Pandanaran yang bagaikan pusat pembelian oleh - oleh khas Semarang. Gue melintasi setiap tokoh oleh - oleh. Saat itu sepanjang jalan Pandanaran dipadati para turis lokal Semarang, jadi suasananya terasa menyenangkan. Gue masuk ke pusat oleh - oleh Bandeng Juwana. Di sini gue membeli bandeng duri lunak 1 kg (seharga Rp. 81,000) dan beberapa oleh - oleh lain untuk Mama, yang langsung gue kirimkan dengan paket bertarif Rp. 10,000 per kilogram. Pihak toko Juwana yang mengurus semuanya, dan mereka akan mengirimkan paket oleh - oleh gue besok dengan produk - produk paling baru. Paket akan tiba di rumah gue sehari setelahnya. Walaupun tarif pengirimannya relatif lebih mahal dibandingkan harga bagasi yang Rp. 40,000 per 15 kg (saat itu total paket oleh - oleh gue 6 kg, total biaya kirim Rp. 60,000). Tapi paling tidak gue ngga akan direpotkan dengan urusan menjinjing kardus, antri check in bagasi, dan lain sebagainya.
Puas dengan oleh - oleh, gue menyeberang jalan dan naik angkutan umum menuju Simpang Lima. Jaraknya dekat, dengan ongkos Rp. 2,500.
Lapangan Simpang Lima letaknya sangat strategis, diapit oleh bangunan - bangunan modern yang didominasi oleh pusat - pusat perbelanjaan. Berhubung sudah sore, gue ngga berlama - lama di kawasan ini, karena gue siap mencari tujuan berikutnya, Kedai Tahu Pong di Jalan Gajah Mada. Lagi - lagi hasil browsing, ada kedai Tahu Pong di Jalan Gajah Mada No. 63 yang jadi rekomendasi. Awalnya dari Simpang Lima, dengan gagah berani gue memutuskan untuk berjalan kaki mencari kedai ini. Menyenangkan sebenarnya....sambil menikmati Semarang yang bersiap - siap menyambut malam. Tapi karena mulai lelah, lapar dan pegal gue pun naik angkutan umum. Gue pun tiba di kedai Tahu Pong Semarang Gajah Mada dan menikmati seporsi tahu pong gimbal dan segelas es teh manis, total harganya sekitar Rp. 25,000.
Dengan perut kenyang, gue berjalan terseok - seok mencari arah pulang ke hostel. Dengan naik becak, yang lagi - lagi ongkosnya Rp. 15,000, gue tiba di hostel.
Petualangan hari ini rasanya benar - benar maksimal. Dalam sehari ini aja Semarang sudah memberikan banyak hal buat gue, mulai dari wisata museum, tempat bersejarah, sampai kuliner. Jauh melampaui harapan gue yang ngga mengenal Semarang sama sekali.
Sabtu, 29 Juni 2013
Gue memasang alarm di handphone agar bisa bangun jam 5 pagi. Rencana hari ini akan lebih padat dengan tujuan keluar dari kota Semarang yaitu ke Ambarawa. Di sana gue mau mengunjungi Gue Maria Kerep, Museum Kereta, Palagan Ambarawa, Gedong Songo, dan syukur - syukur kalau bisa mampir ke Museum Muri.
Dari hostel gue berjalan kaki sampai ke penghujung Jalan Imam Bonjol arah Lawang Sewu, kemudian mengambil arah Jalan Pemuda. Gue menyeberang jalan dan mencari halte Trans Semarang tujuan Ungaran. Trans Semarang ngga kalah dengan Trans Jakarta hanya ukuran busnya lebih kecil, harga ongkosnya pun sama, Rp. 3,500. Trans Semarang mengantar gue sampai Ungaran, dan tiba di sana gue kembali menaiki bus Putra Palagan tujuan Ambarawa. Kali ini busnya tidak dilengkapi dengan AC, jadi serasa naik metro mini atau Kopaja versi Jakarta. Ongkosnya Rp. 8,500, perjalanan ditempuh sekitar 1 jam dan gue pun tiba di terminal Ambarawa. Jalan masuk menuju lokasi letaknya di seberang terminal. Dari terminal gue menyambung angkutan umum untuk tiba di Gua Maria Kerep Ambarawa dengan ongkos Rp. 2,000 saja.
Di lokasi ini pengunjung dapat melakukan ritual ziarah serta jalan Salib. Tempatnya memberikan rasa teduh, tenang dan damai tersendiri untuk gue. Masih di komplek yang sama terdapat taman luas yang sangat hijau dan indah dengan nama yang diambil dari Injil. Ada taman Galilea, Sungai Jordan, dan lain sebagainya. Ada juga patung - patung indah yang menggambarkan beberapa kisah Injil, seperti Mujizat di Kana, Mujizat 5 roti dan 2 ikan, serta pembabtisan Yesus.
Dari Gua Maria Kerep, karena lama menunggu angkutan umum yang akan membawa gue kembali ke arah terminal, gue pun berjalan kaki. Kali ini tujuannya sampai ke museum Palagan Ambarawa. Tiket masuknya Rp, 5,000 dan sebenarnya ngga banyak hal yang disajikan disini selain Monumen Palagan Ambarawa yang sepertinya sudah gue kenal sejak jaman duduk di bangku Sekolah Dasar, dan barang - barang peninggalan pemerintahan Jepang dan Belanda seperti pesawat, tank, dan lain sebagainya, yang kondisinya sudah sangat tua.
Puas di Museum Palagan Ambarawa, gue pun meninggalkan lokasi. Kali ini menuju target berikutnya, Museum Kereta Api Ambarawa. Dari jalan utama, saking bersemangatnya gue berjalan kaki menuju Museum. Tiba di sana gue cuma bisa menelan kekecewaan karena ternyata museum ditutup sementara karena sedang direnovasi. Rasa kecewa bikin rasa lelah gue yang baru berjalan cukup jauh menuju lokasi semakin menjadi. Namun, ngga mau berlama - lama hanyut meratapi nasib naas gue yang ngga bisa menikmati museum, gue pun melanjutkan perjalanan. Tujuan terakhir adalah Gedong Songo yang ada di Bandungan.
Dari jalan utama Ambarawa gue naik minibus tujuan Gedong Songo. Jarak tempuhnya mungkin ngga jauh, namun karena medan yang dilalui sangat menantang, kadang menanjak, turun, menikung tajam, jadilah perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit, dengan ongkos Rp. 5,000. Gue berhenti di sebuah SPBU yang berseberangan dengan jalan masuk candi Gedong Songo. Dari SPBU gue naik ojek dengan ongkos Rp. 12,500 untuk menuju pintu masuk Gedong Songo.
Sejak awal gue ngga mempunyai gambaran apapun mengenai candi ini. Begitu tiba di pintu masuk gue takjub sekaligus langsung merasa lelah. Gue ngga melihat jajaran candi yang dimaksud, namun justru area pegunungan. Di mana candinya ? Di saat itu gue baru tahu bahwa kelima candi terletak menyebar di lereng gunung Ungaran. Jadi gue harus berjalan menyisiri area seluas ini ? Dengan sendal Crocs yang pastinya akan sukses membuat kaki gue lecet dengan segera ?
Gue pun menuju candi pertama. Di saat itu gue belum melihat keberadaan candi - candi lainnya. Setelah dari candi pertama, yang ingin gue lakukan adalah beristirahat sejenak di tanah datar. Gue menyewa tikar seharga Rp. 5,000 dan merebahkan tubuh lelah ini. Di saat itu pikiran gue bergejolak...apakah gue akan melanjutkan perjalanan ? Gue ragu karena rasa letih sudah menyerbu, ditambah perut yang meronta - ronta karena belum sempat makan siang. Sejak dari Gua Maria Kerep, yang mengisi perut gue hanyalah kue lekker yang gue beli beberapa kali. Cukup untuk membuat mulut gue sibuk mengunyah, namun jelas ngga mengenyangkan. Dan sekarang gue mempunyai misi luar biasa untuk mengeksplorasi sebuah gunung dan mencari candi.
Dengan langkah tertatih - tatih gue menuju candi kedua. Kali ini rintangannya lebih berat. Selain karena gue harus melalui jalan menanjak tajam, hal utama yang membuat langkah ini terasa berat karena gue udah mulai ragu dan kehilangan minat untuk melanjutkan perjalanan. Sebenarnya gue agak heran dengan kondisi gue saat itu. Mungkin karena sejak awal gue ngga menyangka dan menyiapkan diri baik secara fisik maupun mental untuk hal - hal yang terlalu melelahkan seperti ini.
Namun, menyerah bukan pilihan. Jadi gue memutuskan untuk menempuh jalan setapak di antara rindangnya pohon pinus dan dinginnya udara pegunungan untuk mencapai semua candi. Awalnya sangat berat, namun ngga beberapa lama kemudian gue justru bersemangat. Gue sempat menyesal ngga menggunakan jasa kuda yang banyak disewakan, namun gue yakin dengan hasrat dan kemampuan gue berjalan yang luar biasa, ini akan menjadi perjalanan yang seru dan menyenangkan.
Akhirnya gue berhasil mencapai semua area candi termasuk melewati tempat pemandian air panas. Kepuasannya selain datang dari keindahan alam yang menakjubkan yang bisa gue nikmati, juga karena gue mampu melawan rasa malas dan ragu yang sempat gue rasakan.
Gue mencari arah pulang. Seharusnya gue bisa menggunakan bus langsung tujuan Bandungan - Semarang. Namun karena setelah menunggu beberapa lama bus tersebut ngga kunjung datang, gue mengambil arah yang sama ketika gue datang ke sini, melalui Ambarawa. Sore itu jalan utama Ambarawa macet total. Meskipun supir bus Putra Palagan yang gue tumpangi sangat berinisiatif mencari jalan alternatif menghindari macet, namun akhirnya perjalanan tersebut memakan waktu hingga 2.5 jam. Gue tiba di Ungaran saat langit mulai gelap.
Berhubung perjalanan masih jauh, gue memutuskan untuk singgah di rumah makan soto Bangkong untuk makan. Entah apa namanya ini...mungkin kombinasi antara makan siang dan makan malam. Dari situ gue berjalan kaki menuju halte Trans Semarang. Bus ini pun mengantarkan gue kembali ke Semarang.
Tiba di Semarang, gue bukannya langsung kembali ke hostel, melainkan menuju Jalan Pandanaran. Setelah berjalan kaki sejenak di sana, gue pun melanjutkan perjalanan ke Simpang Lima. Kali ini untuk menikmati warung lesehan di seberang Citraland. Di situ gue hanya menikmati wedang ronde dengan ekstra kolang kaling, dan es teh manis.
Malam ini gue pengen makan malam di Jalan Gajah Mada lagi, namun kali ini gue pengen makan sate. Semalam saat perjalanan pulang menuju hostel gue melihat jajaran penjual sate Madura di sepanjang jalan Gajah Mada yang berakhir di toko Ace Hardware. Gue pun memilih singgah di Sate Ayam Madura Pak Tayu. Harganya sangat terjangkau, Rp. 13,000 per 10 tusuk sate.
Semarang memberikan liburan yang sangat menyenangkan dan tak terlupakan. Sejujurnya, di awal gue ngga mengharapkan banyak hal dari kota ini, karena gue ngga mengenalnya. Ternyata kota ini menawarkan wisata yang beragam mulai dari kuliner, religi, alam, dan tempat bersejarah. Terlebih, dengan kondisinya, kota ini memberikan rasa relaks, tenang dan damai buat gue. Saat tiba hari Jumat yang lalu, kota ini adalah tempat yang asing buat gue. Namun sekarang, ini adalah salah satu kota favorit gue, dan gue akan sangat senang dan bersyukur jika kelak berkesempatan untuk singgah lagi di sini.
Dengan perut kenyang, gue berjalan terseok - seok mencari arah pulang ke hostel. Dengan naik becak, yang lagi - lagi ongkosnya Rp. 15,000, gue tiba di hostel.
Petualangan hari ini rasanya benar - benar maksimal. Dalam sehari ini aja Semarang sudah memberikan banyak hal buat gue, mulai dari wisata museum, tempat bersejarah, sampai kuliner. Jauh melampaui harapan gue yang ngga mengenal Semarang sama sekali.
Sabtu, 29 Juni 2013
Gue memasang alarm di handphone agar bisa bangun jam 5 pagi. Rencana hari ini akan lebih padat dengan tujuan keluar dari kota Semarang yaitu ke Ambarawa. Di sana gue mau mengunjungi Gue Maria Kerep, Museum Kereta, Palagan Ambarawa, Gedong Songo, dan syukur - syukur kalau bisa mampir ke Museum Muri.
Dari hostel gue berjalan kaki sampai ke penghujung Jalan Imam Bonjol arah Lawang Sewu, kemudian mengambil arah Jalan Pemuda. Gue menyeberang jalan dan mencari halte Trans Semarang tujuan Ungaran. Trans Semarang ngga kalah dengan Trans Jakarta hanya ukuran busnya lebih kecil, harga ongkosnya pun sama, Rp. 3,500. Trans Semarang mengantar gue sampai Ungaran, dan tiba di sana gue kembali menaiki bus Putra Palagan tujuan Ambarawa. Kali ini busnya tidak dilengkapi dengan AC, jadi serasa naik metro mini atau Kopaja versi Jakarta. Ongkosnya Rp. 8,500, perjalanan ditempuh sekitar 1 jam dan gue pun tiba di terminal Ambarawa. Jalan masuk menuju lokasi letaknya di seberang terminal. Dari terminal gue menyambung angkutan umum untuk tiba di Gua Maria Kerep Ambarawa dengan ongkos Rp. 2,000 saja.
Di lokasi ini pengunjung dapat melakukan ritual ziarah serta jalan Salib. Tempatnya memberikan rasa teduh, tenang dan damai tersendiri untuk gue. Masih di komplek yang sama terdapat taman luas yang sangat hijau dan indah dengan nama yang diambil dari Injil. Ada taman Galilea, Sungai Jordan, dan lain sebagainya. Ada juga patung - patung indah yang menggambarkan beberapa kisah Injil, seperti Mujizat di Kana, Mujizat 5 roti dan 2 ikan, serta pembabtisan Yesus.
Dari Gua Maria Kerep, karena lama menunggu angkutan umum yang akan membawa gue kembali ke arah terminal, gue pun berjalan kaki. Kali ini tujuannya sampai ke museum Palagan Ambarawa. Tiket masuknya Rp, 5,000 dan sebenarnya ngga banyak hal yang disajikan disini selain Monumen Palagan Ambarawa yang sepertinya sudah gue kenal sejak jaman duduk di bangku Sekolah Dasar, dan barang - barang peninggalan pemerintahan Jepang dan Belanda seperti pesawat, tank, dan lain sebagainya, yang kondisinya sudah sangat tua.
Puas di Museum Palagan Ambarawa, gue pun meninggalkan lokasi. Kali ini menuju target berikutnya, Museum Kereta Api Ambarawa. Dari jalan utama, saking bersemangatnya gue berjalan kaki menuju Museum. Tiba di sana gue cuma bisa menelan kekecewaan karena ternyata museum ditutup sementara karena sedang direnovasi. Rasa kecewa bikin rasa lelah gue yang baru berjalan cukup jauh menuju lokasi semakin menjadi. Namun, ngga mau berlama - lama hanyut meratapi nasib naas gue yang ngga bisa menikmati museum, gue pun melanjutkan perjalanan. Tujuan terakhir adalah Gedong Songo yang ada di Bandungan.
Dari jalan utama Ambarawa gue naik minibus tujuan Gedong Songo. Jarak tempuhnya mungkin ngga jauh, namun karena medan yang dilalui sangat menantang, kadang menanjak, turun, menikung tajam, jadilah perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit, dengan ongkos Rp. 5,000. Gue berhenti di sebuah SPBU yang berseberangan dengan jalan masuk candi Gedong Songo. Dari SPBU gue naik ojek dengan ongkos Rp. 12,500 untuk menuju pintu masuk Gedong Songo.
Sejak awal gue ngga mempunyai gambaran apapun mengenai candi ini. Begitu tiba di pintu masuk gue takjub sekaligus langsung merasa lelah. Gue ngga melihat jajaran candi yang dimaksud, namun justru area pegunungan. Di mana candinya ? Di saat itu gue baru tahu bahwa kelima candi terletak menyebar di lereng gunung Ungaran. Jadi gue harus berjalan menyisiri area seluas ini ? Dengan sendal Crocs yang pastinya akan sukses membuat kaki gue lecet dengan segera ?
Gue pun menuju candi pertama. Di saat itu gue belum melihat keberadaan candi - candi lainnya. Setelah dari candi pertama, yang ingin gue lakukan adalah beristirahat sejenak di tanah datar. Gue menyewa tikar seharga Rp. 5,000 dan merebahkan tubuh lelah ini. Di saat itu pikiran gue bergejolak...apakah gue akan melanjutkan perjalanan ? Gue ragu karena rasa letih sudah menyerbu, ditambah perut yang meronta - ronta karena belum sempat makan siang. Sejak dari Gua Maria Kerep, yang mengisi perut gue hanyalah kue lekker yang gue beli beberapa kali. Cukup untuk membuat mulut gue sibuk mengunyah, namun jelas ngga mengenyangkan. Dan sekarang gue mempunyai misi luar biasa untuk mengeksplorasi sebuah gunung dan mencari candi.
Dengan langkah tertatih - tatih gue menuju candi kedua. Kali ini rintangannya lebih berat. Selain karena gue harus melalui jalan menanjak tajam, hal utama yang membuat langkah ini terasa berat karena gue udah mulai ragu dan kehilangan minat untuk melanjutkan perjalanan. Sebenarnya gue agak heran dengan kondisi gue saat itu. Mungkin karena sejak awal gue ngga menyangka dan menyiapkan diri baik secara fisik maupun mental untuk hal - hal yang terlalu melelahkan seperti ini.
Namun, menyerah bukan pilihan. Jadi gue memutuskan untuk menempuh jalan setapak di antara rindangnya pohon pinus dan dinginnya udara pegunungan untuk mencapai semua candi. Awalnya sangat berat, namun ngga beberapa lama kemudian gue justru bersemangat. Gue sempat menyesal ngga menggunakan jasa kuda yang banyak disewakan, namun gue yakin dengan hasrat dan kemampuan gue berjalan yang luar biasa, ini akan menjadi perjalanan yang seru dan menyenangkan.
Akhirnya gue berhasil mencapai semua area candi termasuk melewati tempat pemandian air panas. Kepuasannya selain datang dari keindahan alam yang menakjubkan yang bisa gue nikmati, juga karena gue mampu melawan rasa malas dan ragu yang sempat gue rasakan.
Gue mencari arah pulang. Seharusnya gue bisa menggunakan bus langsung tujuan Bandungan - Semarang. Namun karena setelah menunggu beberapa lama bus tersebut ngga kunjung datang, gue mengambil arah yang sama ketika gue datang ke sini, melalui Ambarawa. Sore itu jalan utama Ambarawa macet total. Meskipun supir bus Putra Palagan yang gue tumpangi sangat berinisiatif mencari jalan alternatif menghindari macet, namun akhirnya perjalanan tersebut memakan waktu hingga 2.5 jam. Gue tiba di Ungaran saat langit mulai gelap.
Berhubung perjalanan masih jauh, gue memutuskan untuk singgah di rumah makan soto Bangkong untuk makan. Entah apa namanya ini...mungkin kombinasi antara makan siang dan makan malam. Dari situ gue berjalan kaki menuju halte Trans Semarang. Bus ini pun mengantarkan gue kembali ke Semarang.
Tiba di Semarang, gue bukannya langsung kembali ke hostel, melainkan menuju Jalan Pandanaran. Setelah berjalan kaki sejenak di sana, gue pun melanjutkan perjalanan ke Simpang Lima. Kali ini untuk menikmati warung lesehan di seberang Citraland. Di situ gue hanya menikmati wedang ronde dengan ekstra kolang kaling, dan es teh manis.
Malam ini gue pengen makan malam di Jalan Gajah Mada lagi, namun kali ini gue pengen makan sate. Semalam saat perjalanan pulang menuju hostel gue melihat jajaran penjual sate Madura di sepanjang jalan Gajah Mada yang berakhir di toko Ace Hardware. Gue pun memilih singgah di Sate Ayam Madura Pak Tayu. Harganya sangat terjangkau, Rp. 13,000 per 10 tusuk sate.
Kali ini perut gue udah terisi penuh, dan gue langsung mengambil langkah pulang ke hostel. Gue senang dan puas dengan perjalanan kali ini. Dari pagi hingga larut malam gue disuguhi wisata yang sangat bervariasi. Semuanya memberikan kesan mendalam, termasuk Museum Kereta Api Ambarawa. Kesan mendalam karena perjalanan jauh ke sana disambut dengan pintu pagar yang ditutup dan digembok .
Tiba di Imam Bonjol Hostel, gue membersihkan diri dan beristirahat, bersiap - siap untuk perjalanan pulang besok pagi.
Tiba di Imam Bonjol Hostel, gue membersihkan diri dan beristirahat, bersiap - siap untuk perjalanan pulang besok pagi.
Semarang memberikan liburan yang sangat menyenangkan dan tak terlupakan. Sejujurnya, di awal gue ngga mengharapkan banyak hal dari kota ini, karena gue ngga mengenalnya. Ternyata kota ini menawarkan wisata yang beragam mulai dari kuliner, religi, alam, dan tempat bersejarah. Terlebih, dengan kondisinya, kota ini memberikan rasa relaks, tenang dan damai buat gue. Saat tiba hari Jumat yang lalu, kota ini adalah tempat yang asing buat gue. Namun sekarang, ini adalah salah satu kota favorit gue, dan gue akan sangat senang dan bersyukur jika kelak berkesempatan untuk singgah lagi di sini.
2 comments :
cherry...ini ika 14...
gw tinggal di semarang 10 tahun :D
kota ini tak terlupakan :)
kalo main ke sini lagi, kabar-kabari, cher...
kapan-kapan gw temenin jalan-jalan lagi
Hi Ika...apa kabar ?
Setujuuu...Semarang terlalu berkesan dan indah untuk dilupakan *judul lagu kalliiii :p*
Nanti kalo ada kesempatan ke sana, gue kasih tau dirimu ya
Thanks & take care !
Post a Comment