Setelah bertahun - tahun menunda dan menunda, akhirnya Sabtu (28 Sept) kemarin gue membulatkan tekad untuk melakukan vaksinasi HPV (Human Papilloma Virus) alias pencegah kanker serviks. Gue bilang "bertahun - tahun" karena sejauh yang gue ingat, niat untuk melakukannya udah ada sejak tahun 2008 yang lalu. Saat itu, dengan semangat menggebu - gebu dan rasa ingin tahu yang sangat dahsyat, gue berusaha mencari informasi sebanyak - banyaknya mengenai vaksinasi ini. Sejak saat itu sampai akhirnya gue memutuskan untuk vaksin, ada 2 (dua) kendala internal yang menghalangi gue untuk segera merealisasikan niat ini.
Pertama, cara berpikir yang sangat konservatif bikin gue takut untuk mendapatkan tindakan medis apapun selama ngga sedang menderita sakit. Gue takut tindakan pencegahan ini justru menjadi bumerang dan memberikan efek samping membahayakan. Ini cara berpikir yang aneh sebenarnya. Karena di sisi lain gue menganggap vaksinasi adalah cara pencegahan yang efektif. Sayangnya itu hanya gue terapkan pada anjing gue, Bruncuz. Bruncuz punya daftar vaksinasi lebih panjang dari gue.
Pertama, cara berpikir yang sangat konservatif bikin gue takut untuk mendapatkan tindakan medis apapun selama ngga sedang menderita sakit. Gue takut tindakan pencegahan ini justru menjadi bumerang dan memberikan efek samping membahayakan. Ini cara berpikir yang aneh sebenarnya. Karena di sisi lain gue menganggap vaksinasi adalah cara pencegahan yang efektif. Sayangnya itu hanya gue terapkan pada anjing gue, Bruncuz. Bruncuz punya daftar vaksinasi lebih panjang dari gue.
Kedua, harga vaksinnya yang selangit, berkisar antara Rp. 700,000 - Rp. 1,000,000/suntikan, belum termasuk biaya konsultasi dokter. Sementara untuk sepaketnya, sebanyak 3 (tiga) kali suntikan harus dilakukan dalam kurun waktu 6 (enam) bulan. Untuk alasan yang kedua ini, sebenarnya gue bersikap ngga konsisten. Gue ngga pernah bersikap hemat dan perhitungan kalau itu mengenai tiket pesawat atau rencana liburan. Gue menjadwalkan liburan sekitar 3 - 4 kali setahun, yang meskipun ala backpacker, tapi tetap saja merogoh kantong. Selain itu, walaupun seadanya, gue juga menyisihkan penghasilan untuk menabung dan investasi. Tapi entah mengapa, tiap kali memikirkan kembali niat untuk vaksinasi, gue segera berusaha menguburnya dalam - dalam dengan alasan finansial. Bahkan gue sempat bertekad baru akan melakukan vaksinasi jika perusahaan tempat gue bekerja saat ini menanggung biayanya, atau paling tidak mensubsidi sebagian biayanya.
Belakangan, niat yang belum kesampaian ini kembali mengganggu ketenangan pikiran gue. Akhirnya di hari Sabtu itu gue berangkat ke Rumah Sakit Umum Pasar Rebo. Saat itu niat gue sekedar untuk mencari informasi, karena gue kurang puas dengan segudang informasi yang udah gue peroleh melalui Google. Setiap kali gue menelepon beberapa Rumah Sakit di Jakarta, hasilnya selalu mengecewakan. Telepon gue dioper - oper ke divisi yang berbeda - beda. Dan selalu berakhir dengan tanpa hasil. Gue belum pernah mendapatkan informasi tepat dari orang yang tepat pula di Rumah Sakit tersebut. Informasi yang jelas pernah gue dapatkan ketika menghubungi Yayasan Kanker Indonesia, baik yang ada di Sunter maupun Lebak Bulus. Namun soal harga selangit itu lagi - lagi mementahkan niat gue.
Usaha lain yang gue lakukan adalah mencari program promo. Program ini pernah ditawarkan sebuah klinik melalui website agregator, dengan potongan harga lumayan. Tapi program diskon yang bombastis justru membuat gue ragu mengenai kualitas vaksinnya. Setelah sibuk browsing, sebuah klinik lainnya menawarkan diskon menggiurkan dengan menggunakan kartu kredit tertentu. Tapi lagi - lagi gue bingung dan ragu, bagaimana mungkin masalah kesehatan serius tingkat tinggi dijual obral seperti itu.Gue semakin ngga ngerti dengan diri sendiri. Dari awal gue begitu 'terganggu' dengan masalah harga yang tinggi, tapi begitu ada tawaran diskon menarik, gue justru meragukan kualitas vaksin dan kredibilitas klinik atau rumah sakitnya. Memangnya gue berharap akan ada rumah sakit sekelas Gleneagles Singapura yang akan menawarkan potongan harga 90%, gitu ? .
Kembali ke kunjungan ke RSU Pasar Rebo, begitu di meja informasi gue langsung memperoleh kepastian bahwa rumah sakit tersebut belum melayani vaksinasi HPV. Mengejutkan sekaligus mengecewakan. Bukankah penyakit kanker serviks salah satu pembunuh perempuan tertinggi di Indonesia ? Lalu kenapa rumah sakit umum ini belum melayani program (vaksinasi) pencegahannya ?
Belum puas dengan hasil pencarian gue, perjalanan pagi itu pun berlanjut ke RSU. Harapan Bunda. Yang menarik, ini adalah satu - satunya rumah sakit yang memberikan informasi jelas mengenai program vaksinasi HPV termasuk harganya melalui website resminya .
Di meja pendaftaran gue dilayani oleh petugas - petugas yang ramah dan siap membantu. Dengan keraguan mendalam gue bertanya, "Mbak, saya mau vaksin kanker serviks, bisa ?" Dalam hati gue berharap sang petugas menjawab, "Vaksinasi tidak bisa dilayani di hari Sabtu.." Namun petugas yang ramah itu justru menjawab, "Sebentar saya cek dulu Mbak, ada dokter kebidanan atau tidak." Gue kaget mendengarnya, dokter kebidanan ? Terdengar sangat menakutkan. Gue bahkan sangat jarang berurusan dengan dokter umum, dan saat ini gue akan dipertemukan dengan dokter kebidanan.
Petugas itu pun berlalu ke dalam kantor dan gue bisa melihatnya menelepon. Dia kembali dan bilang, "Dokternya ada Mbak. Mbak mau dengan dr. Rina atau dr. Arman ?" Otak gue berpacu. Gue ngga siap untuk melangkah sejauh ini. Awalnya khan hanya untuk mencari informasi, namun sekarang gue harus memilih dokter. Dan, siapa pula dr. Rina dan dr. Arman ? Gue cuma menjawab dengan suara tertahan, "Yang perempuan aja Mbak...dokter Rina.." Gue pun dipersilahkan menuju ruang kebidanan. Astaga....ini peristiwa bersejarah yang menegangkan untuk gue. Berstatus masih lajang, belum menikah, dan melangkah menuju ruang praktek kebidanan. Rasa paniknya hampir sama seperti waktu gue pertama kali bekpekeran, sendirian, bertahun - tahun silam. Saat gue tiba di pelabuhan Harbourfront, siap menghadapi barisan petugas imigrasi Singapura. Sensasinya sama. Berjalan di lorong rumah sakit, siap menghadapi dokter spesialis kebidanan.
Di ruang yang dipenuhi banyak pasien itu, beberapa perawat menyambut gue dengan ramah. Mereka mencatat data pribadi dan mengukur tekanan darah gue. Begitu selesai, gue bertanya pada salah satu perawat, "Hasilnya apa Mbak ? Darah rendah ya ?" Hasil tekanan darah gue selama ini emang seringnya rendah, dan kali ini gue berharap hasil itu menjadi penyelamat gue. Gue berkhayal si perawat menjawab, "Darah rendah, Mbak....Mbak dilarang vaksin hari ini." Namun lagi - lagi jawabannya lain, "Normal, Mbak.." Setelah itu, gue pun dipersilahkan menunggu di antara pasien - pasien lainnya. Kehadiran gue disitu sepertinya menjadi pemandangan yang kontras, di antara para perempuan lainnya yang kebanyakan sedang mengandung, dan ditemani suami masing - masing. Gue harus menunggu sekitar sejam lebih karena panjangnya antrian. Akhirnya nama gue pun dipanggil, "Nona Cherry !" Entah apa yang ada di pikiran orang - orang yang ada di ruang itu begitu mendengar sebutan "Nona" itu.
Di dalam ruang praktek dr. Rina Fajarwati spOG., lagi - lagi gue disambut dengan keramahan ala rumah sakit ini baik oleh sang dokter maupun perawat pendampingnya. Dr. Rina tidak menggunakan jaket atau pakaian putih ala dokter, dan sejujurnya secara psikis itu menolong gue untuk mengurangi rasa takut. Dr. Rina mengatakan bahwa keputusan gue untuk vaksin sangatlah positif mengingat begitu banyaknya pasien kanker serviks yang dia layani sehari - hari. Mencegah lebih baik daripada mengobati, katanya. Yang dimaksud dengan "mencegah" karena vaksinasi ini dianjurkan dilakukan ketika belum menikah alias belum aktif secara seksual, pada usia sedini mungkin (dapat diberikan sejak usia 10 tahun).
Dari awal gue udah bilang ke dr. Rina kalau gue sangat penakut berhadapan dengan jarum suntik, vaksin, dan sejenisnya. Gue teringat waktu melakukan vaksin flu di kinik kantor beberapa bulan sebelumnya. Gue harus memeluk tangan sang dokter erat - erat demi mengurangi rasa sakitnya. Sebenarnya rasa sakitnya tidak seberapa, namun karena rasa takutnya segunung, jarum suntik secuil itu pun menimbulkan rasa sakit luar biasa.
Dokter yang bersikap sangat keibuan itu pun seakan - akan bisa membaca pikiran gue dan dia bilang, "Gak sakit kok...cuma sebentar. Pegang tangan saya saja.." Dan jarum suntik itu pun mendarat di lengan kiri gue. Dr. Rina bilang efeknya lengan gue akan terasa pegal. Gue ngga masalah dengan itu, karena toh kedua lengan gue saat itu sudah sangat pegal akibat berenang sampai malam di hari sebelumnya.
Proses vaksinasi selesai, dan senyum bahagia mengembang di wajah gue. Akhirnya dengan keberanian seadanya gue bisa mewujudkan niat yang udah tertahan selama bertahun - tahun. Gue pun melangkah dengan girang ke meja kasir. Biaya yang harus gue bayar hari itu :
- Vaksin Cervarix (total) : Rp. 699,925
- Biaya dokter & administrasi : Rp. 170,000
Selain itu gue pun diberikan jadwal vaksinasi berikutnya, yaitu bulan Oktober 2013 dan Maret 2014. Dalam hati gue berjanji untuk jadwal berikutnya tidak akan membiarkan alasan apapun membuat gue ragu dan menunda proses vaksinasinya. Kesehatan gue, yang penting baik untuk saat ini maupun masa depan, harus menjadi yang utama dan prioritas.
No comments :
Post a Comment