Gue pernah berjanji...atau mungkin lebih tepat disebut bernasar, akan berjalan kaki dari kantor dan ke rumah. Janji ini sebagai bentuk kecil dari rasa syukur dan senang gue karena diterima kerja di tempat sekarang.
19 Oktober 2013. Pagi ini gue bertekad untuk mewujudkan janji itu. Gue merasa mulai terdesak karena sudah hampir setahun gue bekerja di sini, tapi belum juga gue merealisasikannya. Persiapannya nyaris ngga ada. Namun yang pasti, untuk berjalan kaki 10.2 km melewati Jalan Raya Bogor yang padat dan semrawut, paling ngga pagi ini gue sudah membawa baju, celana dan sepatu olah raga.
Tepat jam 6.30 sore, gue meninggalkan kantor. Rencana awalnya seharusnya tidak semalam ini. Hanya saja gue sempat tertahan di kantor oleh beberapa urusan pekerjaan. Gue memulai langkah dengan santai. Gue belum pernah menempuh perjalanan sekitar 10 km sekaligus, jadi harus bijak menentukan ritme jalan gue yang kadang terlalu cepat dan bersemangat. Gue gak mau kehabisan tenaga atau pegal di tengah jalan nantinya.
Belum apa - apa gue sudah harus mampir di SPBU terdekat, untuk buang air kecil. Sebelum ini, gue sudah melakukan yang bisa gue sebut 'pemetaan'. Gue mencatat dalam pikiran gue, dalam perjalanan gue nanti akan ada sekitar 4 SBPU dimana gue bisa berhenti untuk keperluan buang air kecil. Selain SPBU, gue juga memetakan pusat perbelanjaan, dan bahkan pohon beringin ! Di sepanjang jalan Raya Bogor banyak terdapat pohon - pohon beringin yang kadang ukurannya sangat besar dan raksasa.
Ada satu pohon beringin raksasa di daerah bernama Lapan yang paling perlu gue antisipasi. Pohon itu terletak di antara kios - kios yang kebanyakan menjual perlengkapan otomotif. Batang pohonnya bahkan menempati satu buah kios di antaranya. Dahan - dahannya terbentang hingga menutupi lebih dari satu ruas Jalan Raya Bogor arah Pasar Rebo. Saat mulai malam dan gelap, sosok raksasanya yang misterius itu cukup bikin gue ngeri. Terlebih, kios - kios yang ada disekitarnya akan tutup pada sore menjelang malam, dan membuat area itu menjadi sepi.
Beberapa ratus meter sebelum melalui pohon itu, gue pun menyeberang jalan. Si penakut yang ingin menaklukkan Jalan Raya Bogor ini pun hanya berani mencuri - curi pandang ke arah sosok beringin dari seberang jalan.
Sepanjang perjalanan gue memang harus beberapa kali menyeberangi jalan. Gue ingin menghindari ruas - ruas jalan yang terlalu sepi, terlalu gelap, atau kurang nyaman dan aman untuk gue lalui.
Gue terus berjalan dan berjalan. Kedua kaki gue mungkin sudah mulai pegal, tapi secara keseluruhan fisik gue masih sangat kuat. Gue sedikit takjub dengan kondisi ini, yang gue asumsinya sebagai hasil positif dari kegiatan renang yang gue lakukan hampir 3 kali dalam seminggu. Yang luput dari persiapan gue adalah, masker. Sebenarnya gue sudah siapkan masker, namun sayangnya gue tinggal begitu saja di laci meja kerja. Gue ngga nyaman pakai masker, sementara untuk perjalanan ini gue ingin mengutamakan kenyamanan semaksimal mungkin. Namun saat gue menempuh perjalanan ini, keputusan itu menjadi sedikit penyesalan. Gue terpaksa harus menghirup udara dan gas kotor yang berasal dari debu jalanan maupun knalpot. Jalan Raya Bogor memang kurang bersahabat terhadap pejalan kaki. Di beberapa bagian jalan, gue bahkan kesulitan mencari ruang untuk berjalan. Kadang gue berjalan dengan berebut ruang dengan para pengendara motor, di tengah kemacetan. Di saat - saat seperti itu rasanya paru - paru gue terisi penuh dengan asap knalpot. Sebenarnya gue bisa berhenti sejenak untuk mampir ke toko terdekat untuk membeli masker. Namun kebiasaan buruk gue saat berjalan kaki adalah sulit berhenti. Berhenti memberi kesempatan untuk fisik gue merasakan lelah dan pegal. Ini harus dihindari.
Menjelang jam 8 malam, posisi gue sudah di sekitar pabrik Khong Guan. Di dekatnya terdapat pusat belanja Naga, yang entah kenapa setiap kali gue lewat situ selalu tergoda untuk mampir dan jajan. Lalu gue mempertimbangkan untuk mencari makan malam. Seperti gue bilang tadi, gue ingin menjalani acara jalan kaki gue malam ini sesantai dan senyaman mungkin, dan gue harus menikmatinya. Kali ini gue ingin menikmati makan malam berupa sate padang yang ada di daerah Keong.
Herannya, gue ngga betah berlama - lama duduk. Jadi gue sekedar menyelesaikan makan malam gue itu, lalu dengan semangat memulai berjalan kaki lagi. Di titik itu, gue udah menemukan kenikmatan berjalan kaki di sepanjang Jalan Raya Bogor yang semrawut. Banyak hal yang bisa gue lihat dan lakukan. Seakan - akan berjalan kaki membuat gue bisa lebih dekat dengan hal - hal menarik yang selama ini tak terjangkau oleh gue. Dengan segala tantangan dan kenikmatannya, perjalanan ini jauh lebih penting dan menarik dari sekedar mencapai tujuan akhirnya.
Sejak awal perjalanan, dua kali gue berhenti karena masalah alas sepatu gue yang hampir copot. Ini adalah perpaduan antara usia pakai sepatu itu yang lumayan lama yaitu 3 tahun, dan jalan berjalan gue yang terlalu cuek dan membuat sepatu apapun yang gue pakai cenderung cepat rusak. Sempat terbersit niat untuk mampir ke toko yang menjual lem power atau semacamnya. Karena kondisi sepatu ini membuat gue terseok - seok, dan ini sangat menghambat perjalanan. Tapi tentunya lagi - lagi gue ogah berhenti. Gue bahkan enggan berhenti untuk menyelamatkan paru - paru gue dari gas beracun tadi, lalu untuk apa gue berhenti untuk sekedar urusan sepatu. Gue pun merobek paksa bagian sol yang terlepas dari sepatu. Masalah pun selesai.
Mendekati daerah Cijantung, gue memutuskan untuk tetap di ruas Jalan Raya Bogor arah Bogor. Karena setiap hari melewati jalan ini, gue sudah sangat hapal bahwa kawasan ini akan berubah menjadi tempat bisnis prostitusi gelap di malam hari. Beberapa wanita atau pria yang ingin menjadi wanita dengan pakaian agak terbuka dan dandanan seadanya akan berdiri di sepanjang trotoar atau (mungkin) menunggu pelanggan di warung - warung kecil yang ada di dekatnya, di sepanjang ruas Jalan Raya Bogor arah Pasar Rebo.
Mal Cijantung pun sudah di depan mata. Gue sudah sering menempuh perjalanan Mal - Cijantung sampai ke rumah. Jadi rasanya misi perjalanan gue sudah hampir berakhir. Mama pasti sedang menunggu gue dengan was - was dan khawatir. Tadi pagi sebelum berangkat ke kantor, seperti biasa apabila gue membawa tas ransel Mama akan menanyakan apakah gue berencana berenang hari ini. Gue jawab, "Ngga Ma. Cei mau jalan kaki dari kantor ke rumah." Senyum semangat terukir di wajah gue. "Apaaaa ?!!!" dan gue lihat wajah Mama sedikit histeris dan berakhir dengan ekspresi dan was - was kesal. Sepertinya Mama sadar, nasihat apapun yang akan disampaikannya, gue akan tetap berjalan kaki.
Gue tiba di rumah tepat jam 9 malam. Mama menyambut kepulangan gue dengan kelegaan mendalam yang terlihat jelas di wajahnya. Bruncuz menyambut gue dengan gonggongan dan loncatan, bersemangat dan berenergi maksimal, seakan - akan sudah 20 tahun ngga berjumpa dengan gue. Ya, meskipun gue sudah kelelahan dan ingin segera mandi, kewajiban malam gue harus tetap dijalankan. Masih dengan pakaian dan sepatu olah raga lengkap, gue memasak dan menyiapkan makan malam untuk Bruncuz. Setelah beberapa saat bermain - main dengan Bruncuz di teras belakang, gue pun mandi dan naik ke ranjang.
Alamak, rasa lelah dan pegalnya menyerbu dengan ganas. Gue pun segera terlelap. Di tengah malam gue dibangunkan oleh rasa sakit di tenggorokan. Ini pastinya efek dari tidak menggunakan masker. Seluruh indra pernafasan di tubuh gue mulai menunjukkan respon atas segala macam udara kotor yang gue hirup di sepanjang perjalanan. Namun semuanya terobati dengan rasa senang dan puas yang gue rasakan. Setelah hampir setahun menunda, akhirnya gue bisa menepati nasar gue. Makasih Yesus!
No comments :
Post a Comment