I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Wednesday, February 25, 2015

Hari Ketiga : Jelajah Durbar Square


Untuk trip hari ketiga (23 Januari 2015), gue kembali mendatangi kantor Oxford. Kali ini gue pengen sewa mobil khusus untuk mengunjungi Bhaktapur Durbar Square dan Patan Durban Square. Dengan mengunjungi keduanya, maka misi gue mengunjungi ketiga Durbar Square yang ada di Kathmandu terwujud.

Dengan mobil sewaan seharga Rs 2,400 (termasuk sopir, bensin, dan parkir), pagi itu gue meninggalkan hostel sekitar jam 7 pagi. Tempat pertama yang gue kunjungi adalah Bhaktapur Durbar Square. Gue tiba di sana saat kawasan itu masih sepi dan karena masih cukup pagi, jadi cuacanya dingin banget. Jarak dari area parkir menuju pintu masuk, lumayan jauh. Tapi berhubung sepanjang jarak itu gue disuguhi dengan pemandangan berupa bangunan  - bangunan unik khas Nepal, ditambah sejuknya udara saat itu, jadi rasanya nikmat aja.

Antara debu dan kabut

Bhaktapur Durbar Square di pagi hari
Rameshwor Temple

Gulat anjing di depan Nyatapola Temple

Tiba di pintu masuk, gue diharuskan bayar karcis masuk seharga Rs 1,500. Untuk menggambarkan Durbar Square pada umumnya....ini adalah kawasan semacam alun - alun yang lokasinya di sekitar istana kerajaan - kerajaan Nepal. Dahulunya Nepal terdiri dari beberapa kerajaan kecil, sampai akhirnya terjadi penyatuan ketika masa Raja Prithvi Narayan Shah di pertengahan abad ke - 18. Ketiga Durbar Square yang ada di Kathmandu (Kathmandu Durbar Square, Bhaktapur Durbar Square, dan Patan Durbar Square) adalah peninggalan dari kerajaan - kerajaan kecil ini sebelum adanya penyatuan. Di setiap Durbar Square umumnya terdapat bangunan kuil, tempat pemujaan, dan lainnya. Untuk gue, daya tarik ketiga Durbar Square ini adalah karena sepanjang mata memandang, mata gue disuguhi keindahan arsitektur bangunan yang mengagumkan hasil karya para seniman asli Nepal. 
Mini Pashupati Temple (kanan)

Vatsala Temple
Lorong - lorong di Bhaktapur
Golden Gate
Bangunan - bangunannya unik dan baru pernah gue liat di Nepal ini. Kalau dilihat dari dekat, ukiran kayu yang terdapat hampir di seluruh bagian bangunan, bikin gue makin takjub lagi karena setiap detilnya menghasilkan keindahan.

Bagian yang 'kurang gue sukai' di Bhaktapur Durbar Square adalah bangunan - bangunan indah dan bersejarah yang dijadikan restaurant dan cafe. Lagi...dan lagi....gue sebal setiap kali ngelihat bangunan bersejarah dikomersialkan kayak gitu. 

Gue sebenarnya agak bingung dengan batas antara Durbar Square dengan pemukiman warga lokal....atau memang pemukiman tersebut adalah memang bagian dari Durbar Square. Tapi yang jelas terlihat adalah semakin mengarah ke area pemukiman warga, kebersihannya semakin berkurang. Salah satu 'pihak' yang berperan dalam kondisi ini adalah anjing - anjing liar. Kayaknya Kathmandu ini punya jutaan anjing liar deh....Gue yang pecinta anjing aja sampe muak lihatnya. Masalahnya, anjing - anjing tersebut dalam kondisi yang gue bisa bilang terlantar, ngga terawat, jorok, dan populasinya ngga terkontrol. Populasi anjing yang dahsyat banyaknya ini berperan banget sama berkurangnya kebersihan Kathmandu. Iyalah....anjing - anjing yang terlantar dan ngga terawat bakal jadi sumber kotor, bau, dan penyakit, belum lagi kotorannya yang bertebaran di mana - mana.

Kembali ke Bhaktapur Durbar Square, di sini sebenarnya ada juga museum, tapi gue ogah masuk ke dalamnya karena harus bayar tiket masuk lagi. Trus, di sini gue hampir 'terjebak' oleh tour guide lagi kayak di Pasupatinath Temple kemarin. Mungkin karena tampang gue keliatan banget kayak turis (biar gembel....tapi yang jelas turis), begitu kelar beli tiket masuk Durbar Square, langsung didekati oleh seseorang yang hendak menawarkan jasa tour guide seputar area Durbar Square. Gue langsung nolak. Tapi orang ini gigih banget menawarkan jasanya. Cara teraman adalah langsung melengos cuek meninggalkan si tour guide. Dan walaupun udah beberapa lama di area yang sama, beberapa orang berbeda akan silih berganti mendekat dan menawarkan jasa yang sama. Tips menghindarinya adalah menolak dengan tegas namun sopan.

Tujuan selanjutnya adalah Patan Durbar Square. Suasana di sini lebih ramai dari di Bhaktapur. Posisinya di sebelah jalan besar yang dilalui kendaraan, dan berseberangan dengan sebuah pasar tradisional. Gue sekedar berkeliling kawasan ini, tanpa masuk ke salah satu museum pun - karena harus bayar tiket lagi - berfoto - foto, lalu duduk - duduk di tangga bangunan - bangunannya yang unik itu, mungkin beralaskan kotoran merpati yang merupakan penghuni tetap di Durbar Square tersebut, dan setelah itu gue pun meninggalkan lokasi.


Loket masuk Patan Durbar Square
Di belakang King Yoganarendra Malla statue
Manga Hiti, sumber air untuk kebutuhan sehari - hari penduduk sekitar Patan

Ornamen di atas pintu masuk Patan Museum
Bekpeker gembel kelaparan
Pahatan dan ukiran di pintu masuk temple
Gue justru penasaran untuk menyeberang jalan dan melihat - lihat pasar tradisional. Gue seneng banget liat pasar - pasar di Kathmandu yang selalu terlihat 'hidup' dan sibuk, seperti pusat kegiatan penduduk lokal. Yang mengherankan, pasar - pasar tersebut padat oleh penjual dan pengunjung, sepanjang waktu. Gue jadi bingung, apakah kebanyakan orang - orang lokal sini berkeliaran di pasar melulu sepanjang hari.

Pasar tradisional di seberang Patan Durbar Square

Di Kathmandu banyak banget yang berjualan syal. Mungkin karena cuacanya saat ini yang dingin, jadi syal adalah aksesoris wajib. Gue sempat membeli salah satu syal dengan harga Rs 200 saja. Murah banget.....Di Jakarta gue belum pernah melihat model seperti itu...dan kalaupun ada, harganya pasti jauh lebih mahal.

Setelah itu gue meninggalkan kawasan Patan Durbar Square dan kembali ke Happily Ever After Hostel. Tiba di hostel gue beristirahat dengan merebahkan badan di kasur. Mau jam berapa pun, meskipun matahari kayaknya bersinar maksimal, tapi gue selalu kedinginan di Kathmandu ini. Gue kedinginan, namun di saat yang sama gue kangen berat untuk mandi. Ini adalah rekor terlama gue ngga mandi. Gue belum mandi sejak mendarat di Kuala Lumpur dan Kathmandu, itu berarti sudah 3 hari. Tapi sampai sekarang gue ngga punya secuil pun nyali untuk mengguyurkan air ke tubuh gue. 

Jangankan air untuk mandi, bahkan gue bersusah payah untuk menyesuaikan diri dengan air mineral di sini. Semua air mineral yang gue beli otomatis menjadi dingin seperti air es, walaupun tidak disimpan di kulkas. Itu juga yang bikin gue udah mulai merasakan radang tenggorokan. Karena gue ngga terbiasa mengkonsumsi 'air dingin' secara terus menerus. Selain itu gue udah mulai merasakan gejala - gejala sinus gue kambuh. Jelas aja....karena apapun pantangan penyakit sinus gue ada di sini : debu dan dingin. Debu di sini memang dahsyat banget.....untung gue selalu bawa dan menggunakan masker kemana pun gue pergi.....kecuali pas difoto, biar keren....

Seperti biasa, sore itu gue melanglang buana ke Kathmandu Durbar Square. Sore itu lebih gelap dari sore - sore sebelumnya, karena kebetulan pas waktu pemadaman listrik. Gue pun ngga berlama - lama di sini, tapi gue juga ngga mau kembali ke hostel terlalu dini. Maka mampirlah gue di sebuah kawasan pertokoan. Bagian depan pertokoan ini berupa toko - toko jam. Gue mampir ke salah satunya, dan dengan iseng tanpa harapan sedikitpun bertanya ke bapak pemilik toko. "Bapak punya jam sekecil ini?" kata gue sambil nunjukkin jam tangan Alba gue yang diameternya cuma 1 cm. Gue ngga pernah berharap bakal menemukan jam seperti ini lagi gue sudah berusaha mencarinya ke mana pun di Jakarta, dan tidak ada yang menjual. Lalu si bapak ini mengangguk dan bilang, "Ada...tunggu..." Gue bengong. Si bapak pun mengambil beberapa jam tangan dan etalase di belakangnya dan tampaklah sebuah jam tangan mini yang nyaris sama persis dengan jam Alba gue. Gue ngga bisa berkata apa - apa saking takjubnya. Terus gue ambil jam itu, mau gue pasangkan di tangan gue. Si bapak yang mungkin merasa ukuran antara jam mini tersebut ngga sebanding dengan postur tubuh dan tangan gue yang tambun ini, bilang "Kamu jangan pakai yang itu....terlalu kecil...ini ada yang lebih besar..." *sialan!* Dengan halus gue menolak dan bilang kalau gue memang penggemar jam - jam berukuran super kecil. Negosiasi harga pun terjadi. Si bapak penjual jam awalnya menawarkan di harga Rs 1,950, dan di akhir dari proses tawar menawar itu, gue keluar sebagai pemenang yang berhak membawa pulang kembaran jam mungil gue seharga USD 10. 

Malam itu gue pulang dengan membawa sebuah jam mungil ala Nepal, dan hati dipenuhi sukacita yang meluap - luap. Meskipun Thamel saat itu nyaris gelap gulita karena pemadaman listrik, tapi di mata gue langit saat itu terang benderang cerahnya, saking girangnya gue. 

Ngga beberapa lama gue pun tiba di hostel. Malam itu gue kembali tidur di tengah perjuangan menahan rasa dingin. Dan ini adalah tidur malam terakhir gue di Kathmandu. Udah terbayang betapa beratnya besok ketika gue harus mengucapkan selamat tinggal...pada kamar yang sempit ini, dengan kasurnya yang tipis dan selimut risolnya.

2 comments :

Anonymous said...

Hi Cherry
So happy to read your updates - been checking regularly. Di mana ya toko jam tangan Alba itu - its really a steal at US$10! In your earlier posting re Sadhu berapa ya mbak bayar tip photo-taking Rs 20/50?
Do keep on writing - absolutely love reading your blog.

Hummingbird

Cherry Sitanggang said...

Hi Hummingbird aka Anonymous :p

Woww...ge er bgt baca commentnya! itu bukan jam tangan Alba...mereknya sendiri "Milenium" (apa coba tuh?!) dari Japan katanya...karena murahnya, kayaknya itu jam kw deh, tp sampe sekarang msh awet kok :)

Foto ama Sadhu tuh gratis sebenarnya, tp waktu itu si tour guide bilang, boleh kasih sumbangan, boleh juga ngga...dan waktu itu kebetulan cuma punya duit Rs 100 (alias IDR 13,000an doang....) dan cuma 1 sadhu doang yg bisa dikasih, karena uang kecilnya cuma sgitu.

Just info, waktu saya ke Patan, kebetulan ngeliat beberapa sadhu juga lagi minta sumbangan door to door

Jadi kalo mo hunting foto ama mereka, mungkin Patan jd target :)