I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Tuesday, October 06, 2015

Menyongsong Masa Lalu Di Lasem (Hari Kedua)

 

25 September 2015. Hari kedua di Lasem. 

Mungkin sebenarnya gue udah terbangun sejak sekitar jam 5 pagi. Gue dibangunkan oleh suara anjing menggonggong dengan lantang, entah dari mana asalnya...mungkin milik tetangga sekitar. Tapi gue masih belum sanggup meninggalkan kasur minimalis gue, karena sebenarnya badan masih lelah. Sekitar jam 6 pagi gue pun menyeret badan loyo gue ke kamar mandi. Maklum...kebiasaan gue ketika traveling adalah bangun pagi dan mandi pagi, semangat memulai perjalanan panjang.

Pagi itu gue berkenalan dengan kedua tamu guest house lainnya, Sisil dan Imel. Ketika semua sudah bersiap, kami pun berangkat bersama Pop menggunakan sebuah mobil sewaan. Pagi itu Pop berencana mengajak kami menikmati menu sarapan di warung - warung khas Lasem. Sayangnya, setelah menyusuri jalan - jalan dan setiap warung makan yang ada, tidak ada satupun yang buka. Lasem ini, gimana ya....kehidupan di kota ini terasa berjalan lambat dan demikian tenangnya. Tidak ada hiruk-pikuk yang nampak seperti di kota-kota lain yang pernah gue kunjungi.

Di tengah pencarian warung untuk sarapan ini, Pop mengajak untuk mampir ke sebuah bangunan tua yang dulunya berfungsi sebagai Stasiun Lasem. Bangunannya kecil dan nyaris tinggal reruntuhan.

Stasiun Lasem tinggal kenangan
Setelah mendapatkan warung yang buka dan kami bisa menikmati sarapan, perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi Klenteng Cu An Kiong di Jalan Dasun. Kayaknya ini salah satu klenteng paling paling tua dan paling indah yang pernah gue kunjungi. 

Gue belum berhasil menemukan data mengenai tahun dibangunnya klenteng ini, namun yang jelas usianya udah ratusan tahun. Kesan kunonya terasa banget, tapi di saat yang bersamaan, meskipun hampir seluruh elemen yang ada di klenteng masih orisinal, namun semuanya tampak kokoh. Gue benar - benar kagum dan terpesona dengan kekunoan dan keindahan klenteng ini. Tapi rasanya ada yang kurang....mengapa klentengnya sepi tanpa pengunjung yang hendak melakukan ibadah atau memanjatkan doa? Bahkan gue ngga melihat atau mencium asap hio yang biasanya membumbung memenuhi klenteng. "Sepi" dan tanpa pengunjung mungkin bisa berarti bagus...karena gue bisa berkeliling dan memotret, memuaskan rasa kagum gue akan klenteng ini dengan lebih leluasa. Tapi gue sebenarnya sedikit merindukan suasana klenteng yang 'hidup' dan sibuk, dengan orang - orang yang khusuk menjalankan ritual ibadahnya....dengan asap - asap hio yang menjadi ciri khas klenteng...lilin-lilin yang menyala, dan lain sebagainya. Kalau begini, klentengnya jadi lebih nampak seperti museum.

Gerbang Klenteng Cu An Kiong
Klenteng Cu An Kiong dengan lampion-lampionnya yang cantik
Pintu masuk Klenteng Cu An Kiong
Klenteng Cu An Kiong

Tujuan berikutnya adalah ke Vihara Karunia Dharma, yang letaknya di belakang klenteng Cu An Kiong. Menurut gue pribadi, ngga banyak hal yang bisa dilihat di sini. Viharanya memakai lokasi yang tadinya adalah sebuah rumah. Rumah nan megah dan kuno, tentunya. Selain diajak masuk dan melihat - lihat lantai satunya yang gelap, kami juga dibawa ke lantai atas, yang lebih gelap lagi. Jadi lebih menyerupai ajang uji nyali aja. Vihara ini dijaga oleh seorang perempuan, Tante Windi, dan keluarganya. Kedatangan kami disambut ramah oleh Tante Windi dan cucunya yang lucu, Atan, juga sekian banyak anjing dengan gonggongannya yang bersemangat.

Tante Windi dan Atan
Tempat ketiga yang gue kunjungi namanya Lawang Ombo. Seperti rumah - rumah lainnya yang sudah gue lihat dan singgahi di Lasem ini, bangunan Lawang Ombo ini berciri khas gaya Cina serta kuno. Dan seperti rumah - rumah lainnya, Lawang Ombo ini pun dipenuhi dengan berbagai foto - foto keluarga (sepertinya milik keluarga pewaris Lawang Ombo), baik yang tampak vintage maupun modern. Rumahnya maha luas, dan terdiri dari 2 bangunan. Di halaman rumahnya yang super luas juga terdapat sebuah makam sang pemilik rumah.

Lawang Ombo
Serambi Lawang Ombo
Sumur jalur penyelundukan candu

Rumah ini dibangun oleh Kapitan Liem di sekitar tahun 1800an dan sangat dikenal sebagai rumah candu. Lawang Ombo ini dahulunya dijadikan tempat penyelundupan candu, dan di lantai satunya terdapat sebuah sumur kecil yang merupakan jalur rahasia penyelundupan candu. Sumur ini terhubung ke sungai Babagan melalui sebuah terowongan di dalamnya. Kesimpulannya, dalam hal selundup - menyelundup, orang - orang dahulu ngga kalah cerdik dengan jaman sekarang.

Ketika gue dan lainnya tiba di sini, gue lihat seorang penjaga rumah bergegas mengambil sprei dan membereskan tempat tidur di sebuah kamar. Gue nanya ke si bapak kenapa beliau membereskan tempat tidur sementara tidak ada yang tinggal di sana. Dan dengan ramah dan polosnya si bapak menjawab, "Kalau Mbak dan teman - teman mau menginap di sini boleh kok....gratis, Mbak...ngga usah bayar..." Ya ampun ! Kayaknya nyali gue ngga sedahsyat itu untuk berani tidur di rumah ini.

Uniknya lagi, Lawang Ombo dihuni oleh banyak anjing, sama seperti di Vihara Karunia Dharma tadi. Namun yang berbeda, tidak ada satupun anjing yang 'menyambut' kedatangan kami dengan gonggongannya. Bahkan kawanan anjing ini terkesan 'takut' ketika didekati orang, dan segera menjauh. Gue ngga pernah lihat tingkah (ganjil) anjing - anjing seperti itu. Tingkah anjing gue kalau ketemu orang - orang 'baru' yang masuk ke 'areanya' ? Pasti mereka akan bersikap ofensif dan menggonggong sejadi - jadinya. Itu karena anjing - anjing gue emang masuk kategori galak (kayak yang punya)...tapi tipe anjing yang ngga bersahabat pun akan menunjukkan ekspresi tertentu. Anjing - anjing di Lawang Ombo ini....entah deh, masuk kategori mana.

Lokasi berikutnya yang kami kunjungi sebelum makan siang adalah Klenteng Gie Yong Bio di Jl. Babagan. Klenteng ini dibangun untuk menghormati ketiga pahlawan Lasem yaitu : Tan Kee Wie, Oey Ing Kiat dan Raden Panji Margono.

Klenteng Gie Yong Bio

Klenteng Gio Yong Bio
Dari Klenteng Gie Yong Bio, gue, Pop dan lainnya berangkat ke Rembang sekedar untuk mencari makan. Kami kesulitan mencari warung makan di Lasem karena banyak tempat yang tutup. Menurut Pop hal itu karena sehari sebelumnya adalah libur hari raya Idul Adha. Lalu ? Kenapa harus tutup sih ? Kalau libur harus tutup, gitu ? Trus sehari setelah libur harus tutup juga ? Ngga ngerti deh...Tapi kayaknya gue terlalu memaksakan pola dan cara berpikir ala Jakarta yang terlalu konsumtif dan dinamis. Padahal kota ini punya ritmenya sendiri, dan itulah yang menjadikannya khas dan menarik.

Sama seperti di Lasem, kami pun kesulitan mencari warung makan yang buka di hari itu. Akhirnya setelah berputar - putar, kami menemukan warung makan yang buka yang namanya Warung Makan Lumayan Pak Brengos di Jalan Pemuda.

Selesai makan, kami mampir di Hotel Antika di Jalan Erlangga. Hotelnya keren banget...karena sepertinya mengambil lokasi rumah kuno bergaya Cina. Secara keseluruhan, baik eksterior maupun interior hotel ini begitu bernuansa Cina yang kental. Gue bersyukur karena meskipun tidak menginap di sana namun diperbolehkan melihat - lihat bagian hotel, bahkan sampai ke lantai atas segala.

Hotel Antika nan antik

Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah batik 'Asri Ana Budaya' milik Bapak Parlan di desa Sendangsari. Begitu tiba di rumahnya, kami disambut oleh Pak Parlan yang dengan semangat mengeluarkan sebagian besar koleksi dagangannya berupa kain - kain batik tulis dengan harga berkisar Rp. 175,000 - Rp. 2,500,000. Batiknya cantik - cantik...namun sayangnya gue ngga bisa membeli satupun. Pasalnya, gue sengaja membawa uang minimalis ke Lasem ini, dengan tanpa membawa kartu kredit maupun kartu debit. Lagian kan shopping is forbidden....(kecuali beli makanan, karena hunger is forbidden...)

Batik Tiga Negeri dari rumah batik 'Asri Ana Budaya'

Oya, sebelum tiba di rumah Pak Parlan, mobil yang kami tumpangi berhenti di kawasan tambak garam. Jadi seperti inilah penampakan tambak garam yang pertama kali gue 'dengar' ketika berkomunikasi dengan Pop semalam sebelumnya. Dasar orang kota...gue begitu takjub melihat gunungan garam kasar di mana - mana. Dan seinget gue, mungkin itu adalah saat pertama kali gue melihat sebuah lokasi dan proses pembuatan garam.

Tambak garam
Gue dan yang lainnya meninggalkan rumah batik Pak Parlan ketika hari menjelang senja. Masih ada tujuan akhir yang hendak dituju, yaitu Pantai Karang Jahe yang berada di sepanjang jalan antara Rembang dan Lasem. Pantainya ngga terlalu istimewa, namun lumayan sebagai tujuan penutup hari. Di sini gue bisa relaks menyusuri pantai, di mana banyak pengunjung lainnya menikmati suasana dan aktivitas pantai. Menikmati jagung bakar dan minuman kelapa muda dan sempat lihat sunset juga meskipun cantiknya kurang optimal dan ngga sempat tertangkap kamera.

Pantai Karang Jahe


Tujuan berikutnya adalah pulang ke guest house supaya sempat beristirahat sejenak. Ngga berapa lama kemudian, kami pun meninggalkan guest house lagi, kali ini untuk mencari makan malam ala Chinese food di Warung Makan Pak Ujang.

Kembali ke guest house, kelar mandi, gue pun merebahkan badan lelah di kasur mini, masih di kamar yang super unik ini. Bonus untuk tidur gue malam ini, gue akhirnya mendapatkan bantal dari Pop. Semalam Pop lupa menyiapkan bantal untuk gue, jadilah gue tidur berbantalkan buku novel dan jaket yang gue bawa....darurat sekali kan ?

Malam itu gue menuju tidur dengan memikirkan kembali perjalanan yang udah gue tempuh hari ini. Gilaaa....Lasem tuh keren banget...vintage banget ! Terlebih kawasan China Town (Pecinannya). Selama ini gue punya gambaran sendiri mengenai 'kota tua'. Kota tua yang selama ini ada di benak gue hanyalah yang pernah gue lihat di kawasan Kota, Jakarta, atau Semarang, atau daerah lainnya. Tapi yang di Lasem ini, kayaknya ngga cukup kata untuk mendeskripsikannya...makanya gue lebih suka kata 'kuno'.

Di sini gue melihat bangunan - bangunan maupun desa - desa dengan gaya dan nuansa yang belum pernah gue lihat sebelumnya dan bahkan gue ngga pernah berpikir bahwa hal - hal seperti itu ada. Bukan hanya hal - hal yang berupa fisik, cerita sejarah Lasem pun ngga kalah menariknya untuk disimak. Rasa penasaran tingkat tinggi gue serta perjalanan panjang yang musti gue tempuh semalam terbayar dengan pengalaman menyenangkan yang gue rasakan hari ini.


Pengeluaran : 
  • 'Tiket masuk' : Untuk setiap lokasi yang gue datangi, berhubung ngga ada penjualan tiket atau semacamnya, biasa gue diminta collect uang bersama sebesar Rp. 10,000 per orang per tempat, yang akan diberikan kepada penjaga rumah sebagai bentuk rasa terima kasih udah diijinkan masuk. Jadi untuk ke Klenteng Cu An Kiong, Vihara Karunia Dharma, Lawang Ombo dan Gie Yong Bio, total pengeluaran : Rp. 40,000
  • Makan (sarapan, makan siang dan makan malam) dan jajan (di pantai Karang Jahe) dan beli minuman mineral : kurang lebih Rp. 75,000-Rp. 80,000. Total setelah di-shared dengan tamu guest house lainnya 
  • Transportasi (sewa mobil, driver dan jasa guide) Rp. 200,000,-. Total setelah di-shared dengan tamu guest house lainnya = Rp. 70,000 
Total pengeluaran hari kedua : Rp. + 190,000,-

2 comments :

xaverietta said...

Mbak, boleh tahu menginap di guest house apa?

Cherry Sitanggang said...

Hi Xaverietta,

Guest Housenya berupa rumah tua gitu...Jika minat, bisa kontak (Mas) Pop di 0895 0949 6192 yaa...nanti Mas Pop juga yang akan jd guide jalan - jalan.
Happy traveling :)