I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Wednesday, October 21, 2015

Menyongsong Masa Lalu Di Lasem (Hari Ketiga)

Pohon trembesi raksasa

26 September 2015. Hari ketiga di Lasem kuno yang indah dan super sepi.

Hari ini gue mengucapkan selamat jalan pada kedua teman sekamar, Imel dan Sisil, karena mereka akan berangkat ke Semarang pagi ini. Dan gue akan melanjutkan petualangan Lasem hari terakhir bersama Pop. 

Pagi - pagi gue diantar Pop mengunjungi Pasar Sumber Girang, sebuah pasar tradisional kecil di gang sempit dengan aktivitas yang cukup sibuk. Jalan - jalan melihat pasar tradisional tuh menyenangkan...karena seringkali pasar tradisional begini bagaikan jendela besar dimana gue bisa bertemu dan berinteraksi dengan penduduk lokal dan melihat kegiatan rutin mereka sehari - hari.

Pasar Sumber Girang
Gue pun mulai menyusuri gang panjang yang kiri - kanannya dipenuhi oleh banyak penjual dan pembeli, dan tentunya berbagai macam dagangan segala rupa. Selain itu gue juga sempat diantar ke sebuah rumah (yang lagi-lagi kuno dan indah) yang ternyata di dalamnya terdapat industri pembuatan tempe rumahan, milik Pak Adi. Pagi itu Pak Adi dan istrinya sedang membuat tempe, mungkin dengan cara paling tradisional pernah gue tahu. 

Oyaa...masyarakat Lasem itu ramah - ramah, baik, dan menurut gue cenderung masih polos. Karena selama di sini, gue seringkali diajak Pop untuk mengetuk rumah seseorang, lalu permisi kepada pemiliknya untuk melihat - lihat isi rumahnya, mendokumentasikan dengan memotret sana - sini, bahkan berkesempatan untuk mengobrol bersama sang pemilik rumah, mengenai sejarah rumah miliknya atau cerita - cerita menarik lainnya. Begitulah yang kami lakukan sejak kemarin. Di setiap lokasi yang kami datangi, kami diijinkan masuk atas dasar kekeluargaan saja. Tidak ada loket tiket/karcis masuk, tidak ada resepsionis yang menyambut kedatangan kami, dan hal - hal official dan komersil seperti itu. Padahal menurut gue, setiap rumah dan peninggalannya yang ada di Lasem ini sangat berharga dan menyimpan nilai histori tinggi sekelas museum saja.

Lanjut ke kunjungan ke rumah industri tempe Pak Adi, di sana gue sempat membeli beberapa tempe fresh yang bentuknya unik, segi lima, dibungkus dengan daun jati. Oleh - oleh paling unik buat Mama di rumah. Selain itu, Pop memberi ide briliant untuk memberikan beberapa tempe sebagai buah tangan ketika gue berkunjung ke rumah - rumah berikutnya.

Pak Adi menyiapkan oleh-oleh tempe buat Mama
Meninggalkan rumah Pak Adi dan kembali menyusuri gang pasar nan sempit, gue berhenti di sebuah spot menarik lainnya, dimana gue melihat seorang ibu penjual minuman khas Lasem bernama cemoye, yang sedang asyik melayani dan mengobrol dengan seorang nenek penjual terasi. Ini salah satu pemandangan khas yang gue sukai, perempuan - perempuan berusia lanjut, dengan tatanan rambut dicepol ke belakang, dan tentunya kostum legendarisnya : kebaya kutu baru dengan motif khas (bunga-bunga) dan kain. Ini kostum yang inspiring banget buat gue. Kebanyakan kebaya yang gue punya adalah kebaya model kutu baru..karena gue menyukai sentuhan tradisional dan konvensional kayak gitu. Tapi kalau gue mengenakan kebaya gue dan bersanding dengan si nenek penjual terasi ini, pasti gue jauh kalah cantik dan anggun darinya. Sang nenek dengan kebayanya itu begitu nampak sebuah kesatuan yang pas, dan utuh, yang saling mempercantik satu dengan lainnya.

Menikmati cemoye
Gue sempat nongkrong beberapa saat menikmati minuman cemoye alias air jahe yang segar dan menghangatkan badan. Sebagai tanda terima kasih untuk sang nenek penjual terasi karena berkenan untuk diajak mengobrol singkat, gue pun membeli sebuah terasi. Oleh-oleh buat Mama.....meskipun selama ini rasanya Mama ngga pernah memasak pakai terasi.

Setelah cukup puas melihat-lihat isi pasar, gue dan Pop melanjutkan perjalanan, kali ini untuk mencari sarapan. Pop mengantarkan gue ke warung Mak Mo. Di sana selain sempat menikmati sarapan bubur ketan item, gue juga sempat melihat-lihat sekilas rumah Mak Mo yang juga kuno dan khas. 

Dari sana Pop mengantar melintasi desa-desa lainnya yang ada di Lasem. Kemudian kami kembali ke guest house. Ini kesempatan emas buat gue untuk berteduh sejenak dari panasnya matahari Lasem di pagi itu. Setelah beristirahat sejenak di guest house, perjalanan pun dilanjutkan menuju rumah batik Ibu Sutra. Saat itu Ibu Sutra kebetulan sedang keluar kota. Di rumahnya yang vintage banget dan keren banget itu, gue sempat bertemu dengan Ibu Mundasah dan Ibu Ngatijah yang sedang asyik membatik. Mereka dengan ramah menerima kedatangan gue, dan mengijinkan gue tinggal sesaat di sana dan meladeni kebawelan gue yang semangat bertanya segala hal mengenai kegiatan membatik yang sedang mereka lakukan.

Rumah Batik Ibu Sutra

Bersama Ibu Mundasah dan Ibu Ngatijah
Dari Batik Ibu Sutra, kami kembali ke guest house, kali ini karena Pop hendak menunggu tamu lainnya dari Jakarta. Ternyata ada 3 orang tamu dari Jakarta, salah satunya bernama Ibu Wasti, yang hendak melihat - lihat Lasem juga dengan dipandu oleh Pop. Ketika ketiganya tiba, gue pun bergabung dalam mobil yang mereka gunakan. Lumayan...karena sejak tadi pagi gue menjelajah Lasem dengan motor bersama Pop, dan meskipun masih pagi, hari itu rasanya sudah panas menyengat.

Bersama group ketiga perempuan dari Jakarta yang hobi fotografi ini, lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Rumah Batik Sekar Kencana milik Bapak Sigit Witcaksono. Rumahnya menyenangkan banget....asri, terkesan kuno dan modern di saat yang bersamaan. Trus yang menarik, workshop batiknya kali ini tampak lebih ramai dan sibuk karena banyak pekerja - pekerja perempuan yang sedang membatik saat itu. Kalau gue lebih senang duduk-duduk manis di antara ibu-ibu pembatik, atau bersantai di bagian depan (teras rumah) Pak Sigit yang super antik dan nyaman itu. Sementara yang lainnya, setelah asyik memuaskan hobi fotografi, mereka pun lanjut melihat-lihat dan membeli produk batik Sekar Kencana.

Batik dimana-mana
Rumah Batik Sekar Kencana
Karena sudah lewat jam makan siang, dari rumah batik Pak Sigit, kami lalu mencari makan siang. Kali ini gue menyantap lontong tuyuhan, yang merupakan kuliner khas Lasem.

Selesai makan, perjalanan pun dilanjutkan dengan mengunjungi rumah Oma Opa, Rumah Kuno Karang Turi, dan terakhir ke Rumah Tegel. Ketiga lokasi terakhir ini menarik dan antik banget, tapi dari ketiganya favorit gue adalah Rumah Oma Opa. Menurut gue itu adalah rumah tua dan kuno yang paling orisinal, termasuk sampai ke penghuninya segala. Selain itu gue juga menikmati mengobrol dengan Opa yang meskipun sudah berusia 84 tahun namun secara fisik masih fit, baik penglihatan, pendengaran dan daya ingat.

Rumah Kuno Karang Turi
Pekarangan Rumah Oma Opa
Teras Rumah Oma Opa
Bersama Opa

Rumah Tegel
Rumah Tegel

Tegel Fabriek Lasem
Tujuan terakhir adalah mencari pohon raksasa. Maksudnya ? Ibu Wasti dan teman-teman ternyata mendapatkan rekomendasi mungkin dari komunitas pecinta hobi fotografi mengenai keberadaan pohon berukuran jumbo yang ada di Lasem. Gue belum pernah mendengar mengenai 'tujuan' yang satu ini, namun tertarik untuk melihatnya juga. Lagian apa daya....khan gue menumpang, jadi akan mengikuti kemana pun mobil melaju. Begitu tiba di lokasi pohon yang berada di area persawahan dan sedikit rumah warga, gue takjub. Pohonnya, yang merupakan jenis pohon trembesi, emang berukuran gede bukan main. Ibu Wasti dan teman-temannya langsung semangat memotret dari segala penjuru.

Ada perbedaan jelas banget antara fotografer dan non fotografer (kayak gue). Kalau gue, meskipun takjub namun cukup dengan mengabadikan beberapa foto, sementara bagi ketiga fotografer yang bersama gue sore itu, mungkin pohon tersebut nampak seperti harta karun. Mereka asyik dan tekun mengabadikan dalam bentuk foto. Dalam 10 menit pertama, ketakjuban gue sudah mereda terhadap si pohon jumbo. Sementara bagi ketiga fotografer ini, waktu 1 jam pun rasanya kurang. Untunglah saat itu hari sudah mulai gelap, dan 'memaksa' kami meninggalkan lokasi.

Pohon trembesi raksasa

Dari sinilah gue berpisah dengan yang lainnya. Gue kembali ke guest house dengan diantar Pop, untuk mengambil ransel. Tiba di guest house gue sempat mandi dan membereskan barang - barang. Pop lalu mengantarkan gue menunggu bus tujuan Semarang (dari Surabaya). Sekitar jam 18:30 bus Widji pun tiba. Kali ini, lagi-lagi gue dapat bus non AC, yang dipenuhi beberapa penumpang perokok.

Bus tiba di Semarang sekitar jam 21:30 malam. Gue turun di Jalan Baru, dan menyambung angkutan umum tujuan Johar lalu turun di dekat gereja Blenduk. Gue sempat melihat - lihat pasar malam yang ada di sana, dan menikmati makan malam ala angkringan.

Gereja Blenduk
Setelah itu gue berjalan kaki menuju stasiun Semarang Tawang. Kadang gue merasa takjub sekaligus ngeri dengan kenekatan diri sendiri. Karena saat itu hari sudah sangat malam, suasana jalan pun sepi dan gelap, dan gue sendirian, dengan cueknya menggendong tas ransel menyusuri jalan yang belum pernah gue lalui, menuju Stasiun.

Setelah menunggu beberapa saat, kereta yang akan mengantar gue menuju Stasiun Senen (Jakarta) pun tiba. Kereta yang akan membawa gue kembali ke Jakarta dalam perjalanan selama kurang lebih 8 jam, yang mungkin ngga nyaman-nyaman amat.

Namun yang pasti gue senang dan puas. Akhirnya misi Lasem berhasil gue wujudkan. Kesan secara keseluruhan, menurut gue kota ini antik dan menarik banget. Berada di kota ini selama beberapa hari, rasanya gue ditarik ke masa lampau, dan 'terjebak' tinggal di masa itu untuk sesaat. Saking segala sesuatu di sini tampak tua (termasuk kebanyakan warganya), buat gue yang orang Jakarta dan terbiasa dengan hiruk-pikuk ala metropolitan, kota ini meninggalkan setitik kesan...gimana ya bilangnya...suram dan muram. Mungkin karena suasananya yang bisa dibilang sangat sepi. Atau mungkin karena dinamika kota ini yang jauh lebih lambat dari kota tempat gue hidup kesehariannya. Gimana pun, gue sangat menikmati libur singkat selama 3 hari di kota unik ini.

Selamat tinggal Lasem!

Pengeluaran :
  • Tempe : Rp. 20,000
  • Jamu : Rp. 5,000
  • Cemoye & terasi : 20,000
  • Sarapan Mak Mo : Rp. 8,000
  • Kamar (2 hari @Rp. 50,000) : Rp. 100,000
  • Transportasi dan jasa guide (2 hari) : Rp. 200,000
  • Ongkos Bus Widji : Rp. 22,000
  • Ongkos angkot Johar - Gereja Blenduk : Rp. 5,000
  • Makan malam angkringan : Rp. 10,000
  • Ongkos Kereta Kertajaya Semarang Tawang - Pasar Senen : Rp. 90,000
Total pengeluaran hari ketiga : + Rp. 480,000

No comments :