I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Wednesday, June 28, 2017

Jadi Turis Di Kota Sendiri (2)




Vihara Dharma Bhakti
26 Juni 2017

Kelar urusan check in dan bersih-bersih gue langsung meninggalkan The Packer Lodge (TPL). Target gue adalah jalan - jalan sekitar Petak Sembilan, dan ke Kota Tua.

Lokasi pertama yang gue kunjungi adalah Vihara (Klenteng) Dharma Bhakti. Sebenarnya gue udah pernah ke sini beberapa kali. Tapi, kapan sih gue pernah bosan mengunjungi klenteng ? Apalagi dengan klenteng - klenteng seperti yang ada di kawasan Petak Sembilan ini yang sudah ikonik banget. Lagian, gue belum ke sini lagi setelah klenteng Dharma Bhakti terbakar tahun 2015. 

Meskipun awalnya ngga ngotot - ngotot amat pengen berfoto di sini, namun dengan bantuan pengunjung - pengunjung lainnya, gue berkesempatan mengabadikan beberapa momen di sini. Sensasi turis lainnya....minta tolong orang lain untuk motret. Bahkan gue juga minta tolong ke warga sekitar yang lagi nongkrong di luar klenteng. Sebenarnya gue membawa tongsis. Tapi entah deh...gue tuh paling ogah pake tongsis, macam alay gitu rasanya. Dengan berepot - repot mencari bala bantuan orang lain untuk berfoto, kayaknya lebih menantang.

Vihara Dharma Bhakti

Vihara Dharma Bhakti
Vihara Dharma Bhakti
Puas berada di Vihara Dharma Bakti, tujuan gue berikutnya adalah Kota Tua. Perjalanan gue tempuh dengan berjalan kaki melalui pasar Asemka. Jauh ? Iya...tapi rasanya menyenangkan. Karena jalanan sepi, langit cerah, dan mungkin karena gue sangat menikmati momen nostalgia jadi solo bekpeker kayak gini, yang berpetualang sendirian, hanya gue dan ransel di pundak. Cihuyyy !

Tiba di kawasan Kota Tua, gue 'disambut' lautan manusia yang memenuhi area di depan Museum Fatahillah. Sebenarnya gue sadar, lokasi - lokasi Kota Tua pasti jadi salah satu tujuan utama warga Jakarta dan sekitarnya untuk menghabiskan liburan. Tapi baru kali ini gue kegirangan jadi bagian dari lautan manusia ini. 

Kota Tua
Saat perut berteriak - teriak kelaparan, gue pun mampir di Bangi Kopitiam yang juga berada di kawasan Kota Tua. Awalnya, untuk menyempurnakan idealisme jadi turis dadakan, gue pengen nyari makanan ala Chinese food di kawasan Pecenongan. Tapi, setelah dipikir-pikir kayaknya kejauhan untuk sekedar cari makan. Gue tertarik nongkrong (walaupun sendirian) di Bangi Kopitiam karena restoran ini menempati bangunan tua yang menjadi bagian dari komplek Kota Tua. Ini merupakan daya tarik tersendiri buat gue....soal rasa makanannya ? Standard alias biasa banget sih!

Kota Tua
Kota Tua
Menjelang jam 8 malam, gue kembali ke The Packer Lodge. Kali ini gue ogah berjalan kaki, tapi naik angkot dari dekat Stasiun Jakarta Kota. Sebelum naik angkot, gue mampir dulu di Stasiun Jakarta Kota. Gue senang berada di sini. Selain menikmati memandangi bangunannya yang tua dan kokoh, juga hiruk-pikuk calon penumpang yang menyesaki stasiun.

Stasiun Jakarta Kota
Tiba di hostel, gue langsung mandi dan menghabiskan waktu membaca novel yang gue bawa di ruang makan. Malam itu ruang makan dan ruang merokok dipenuhi tamu hostel lainnya. Sayangnya, gue ngga bisa mengobrol dengan mereka karena sedang asyik dengan makanan atau gadget masing - masing. Tapi ngga apa - apa...sampai detik ini, gue happy bukan kepalang karena semua hal tipikal kehidupan hostel ada di mata gue. Sekitar jam 9 malam gue ke kapsul tersayang, dan tidur. 

Tidur gue di malam itu memang ngga seindah yang gue harapkan. Kenapa ? Tamu di sebelah gue mendengkur dengan dahsyatnya! Gilaaaa....padahal ini kamar khusus perempuan, dan gue takjub luar biasa ada perempuan mendengkur sekeras itu. Tapi di tengah kenikmatan tidur gue yang tercabik - cabik sempurna di malam itu, dalam hati gue ketawa-ketiwi dan bilang pada diri sendiri, "Welcome to hostel life, Cherry. Be carefull what you wish for..."

27 Juni 2017

Gue bangun sekitar jam 8 pagi. Setelah mandi, gue pun menikmati sarapan gratis ala hostel. Menu standard...roti tawar dengan berbagai rasa selai, dan berbagai minuman (kopi dan teh). Kesukaan gue ketika sarapan di hostel adalah membakar roti gue sampai gosong. Tapi kali ini ngga bisa gue lakukan, karena harus ngantri pake mesin toaster. Gue memang menargetkan meninggalkan hostel secepat mungkin. Banyak tempat yang pengen gue kunjungi sampai sebelum waktu check out tiba.

Lokasi pertama yang gue kunjungi adalah Gang Gloria. Keren ya namanya....Ada apa di sini ? Ini adalah sentra kuliner Glodok. Tapi, khusus untuk makanan mengandung babi. Gilaaaa.....Glodok tuh surga buat siapapun penggemar hidangan daging babi. Sepanjang jalan mulai dari pasar Petak Sembilan dipenuhi penjual - penjual somay dan sekba babi. Trus, di Gang Gloria ini kayaknya ngga ada makanan yang luput dari daging babi, mulai dari somay, bakso, bakmi, sate, dan kawan - kawannya. Gue rasa kalo disini ada jualan rujak, bakalan mengandung babi juga kalii... Benar-benar membabi buta Gang Gloria ini! 

Gang Gloria
Bakmi Amoy
Gue bukan penggemar hidangan daging babi sejati sih, tapi ngiler juga pengen sarapan bakmi Amoy. Gue mendapat rekomendasi Bakmi Amoy ini dari hasil browsing, sebagai salah satu bakmi yang paling mantap rasanya. Dengan semangkuk Bakmi Amoy dan segelas liang teh, rasanya sensasi bekpekeran gue kali ini terbayar lunas ! Gue ngga sabar bawa Ony, Mama dan anggota keluarga gue ke Gang Gloria ini suatu saat. 

Oya, gang Gloria ini gampang dicari. Lokasinya di kawasan Pancoran. Bisa dibilang pas berseberangan dengan Pasar Petak Sembilan. Kalau nanya ke siapapun warga sini pasti tahu. Waktu gue nanya ke seorang petugas parkir langsung dijawab, "Ohh...tinggal nyeberang di situ....Banyak makanan di situ, ci !" Siappp, boss !!

Dengan perut kenyang, gue melanjutkan kisah-kasih ala turis dan menuju sebuah lokasi yang belum pernah gue kunjungi sebelumnya, Candra Naya. Sebelum menyeberang jalan, gue tertarik untuk mampir ke Pantjoran Tea House, karena melihat sebuah meja di luar restoran, dengan delapan teko serta beberapa cangkir bergaya vintage. Di atas meja juga terdapat papan tulisan 'Tradisi Patekoan (8 Teko) Silahkan minum ! Teh untuk kebersamaan. Teh untuk masyarakat.' Seorang pelayan segera keluar dan menyambut serta mempersilahkan gue untuk menikmati teh yang disajikan gratis untuk pejalan kaki. Hahhh ? Kok bisa ? Begini ceritanya. Adalah Kapiten Gan Djie yang tinggal di kawasan ini sekitar tahun 1663 dan memulai tradisi minum teh. Kapiten Gan Djie dan istrinya selalu meletakkan delapan teko teh untuk pedagang keliling dan orang-orang yang kelelahan serta hendak menumpang berteduh. So sweet ! Gue bukan pedagang keliling sih...ngga lagi lelah-lelah amat juga (khan baru makan bakmi Amoy)...cuma bekpeker gembel yang pengen neduh bentar dan nyobain tehnya. Boleh kan, Kapiten ? Boleh laaahh...! Boleh doongg !!
Patekoan, Pantjoran Tea House
Dengan diantar Gojek, gue pun tiba di Candra Naya. Candra Naya adalah bangunan kuno yang dahulunya merupakan tempat tinggal Mayor Khouw Kim An, yang diperkirakan dibangun pada sekitar tahun 1807. Bangunannya berarsitektur khas Tionghoa dengan atap yang mirip banget seperti atap klenteng. Lokasinya aneh bin ajaib, dan gampang dicari. Karena Candra Naya ini seakan - akan terbelenggu di tengah-tengah Hotel Novotel Gajah Mada. Yes, Candra Naya berada tepat di tengah Hotel Novotel. Heran dan prihatin jadinya, bangunan bersejarah kayak gini, meskipun terlihat sangat terawat dan bersih, namun terkesan kurang dilindungi. 

Candra Naya
Candra Naya
Candra Naya
Candra Naya
Candra Naya
Candra Naya
Di sini gue ngga kesulitan sama sekali dalam hal potret memotret. Karena ada petugas keamanan yang setia menemani gue kemana pun melangkah. Awalnya gue kecewa begitu tahu bangunan utama Candra Naya ngga dibuka karena masih libur Lebaran. Namun sang petugas yang ramah ini berusaha menghibur dengan memperlihatkan lokasi - lokasi dan sudut - sudut menarik Candra Naya lainnya. 

Dari Candra Naya, berikutnya kaki panjang gue melangkah ke gedung paling indah di Jakarta, versi gue. Gedung Arsip Nasional yang juga berada di Jalan Gajah Mada. Ini gedung favorit gue sepanjang masa. Bagus banget abisnya...tapi begitu Gojek yang gue tumpangi merapat di pintu gerbangnya, gue membaca pemberitahuan bahwa Gedung Arsip Nasional sedang tutup. 

Gue ngga mau menyerah begitu saja, dan bertanya ke tukang kebun yang sedang sibuk menyapu taman. Jawabannya justru membakar semangat gue untuk masuk ke area gedung, "Masuk aja Mbak, bilang sama petugas sekuritinya tuh di pos. Baik kok orangnya..." Gue pun memasuki gerbang dan menuju pos keamanan sambil bilang, "Pak, saya boleh masuk ya...cuma mau lihat-lihat di depan aja kok, ngga masuk. Saya sudah jauh-jauh dari Depok, Pak. Saya dari Sawangan. Sawangan jauh lho Pak, dekat Parung..." Dan sang petugas pun pasrah dengan kebawelan gue yang maha dahsyat dan membolehkan gue berkeliling sejenak. Belum selesai kebaikan bapak sang petugas sekuriti ini, beliau juga membantu gue berfoto dengan latar belakang gedung Arsip yang fenomenal itu. Ceklek!!

Gedung Arsip Nasional
Gedung Arsip Nasional
Setelah memuaskan rasa kangen akan Gedung Arsip Nasional, gue memutuskan kembali ke The Packer Lodge. Panasnya pagi itu bukan main. Gue pengen menikmati kenyamanan capsule bed yang harus gue tinggalkan beberapa jam lagi. Tiba di hostel, gue langsung mandi, sebelum berbaring di capsule bed. Mandi lagi ? Iyaaaa....itu kebiasaan gue kalo lagi bekpekeran. Tepatnya kalau gue lagi kepanasan plus kegerahan luar biasa, gue akan mandi sesering mungkin untuk menyegarkan diri.

Setelah berbaring santai di capsule bed selama beberapa waktu, dengan berat hati gue pun check out dari The Packer Lodge. Overall, gue puas banget tinggal di sini, meskipun cuma semalem. Entah udah berapa hostel yang pernah gue singgahi di beberapa negara, ngga berlebihan kalau gue bilang TPL adalah salah satu yang terbaik. 

Check out dari hostel, bukan berarti kaki panjang gue ini lelah. Dari TPL gue melanjutkan perjalanan dengan misi mencari Gang Kecap. Apa itu ? Gue pengen mencari lokasi rumah seniman kaligrafi Cina yang menurut informasi yang gue dapatkan, berada di kawasan Gang Kecap. Setelah keluar masuk gang - gang dan pasar - pasar yang ada di sekitar Petak Sembilan dan Jalan Pancoran, langkah gue pun terhenti setelah mendapat informasi dari warga sekitar bahwa toko Sanjaya (tempat seniman kaligrafi Cina tersebut), tutup. Agak kecewa sih...begitu gue hendak mencari Alfamart untuk beli minum karena haus luar biasa, eng...ing...enggg....tepat di seberang Alfamart berdiri Klenteng Toasebio. Gue langsung semangat lagi dan mampir ke dalamnya.

Klenteng Toasebio
Klenteng Toasebio
Abis dari Kleteng Toasebio, gue kembali menuju jalan raya Glodok dan naik angkot menuju Stasiun Jakarta Kota. Niat gue, nanti mau turun di Museum Bank Mandiri untuk berturut-turut mengunjungi Museum Bank Mandiri, Museum Bank Indonesia, Museum Wayang dan Museum Seni Rupa. Tapppiii...gue kecewa ! Karena Museum Bank Mandiri dan Museum Bank Indonesia tutup. Heran...kenapa tempat - tempat menarik yang potensial dikunjungi warga di hari - hari libur begini malah tutup. Gue pun berasumsi museum - museum lainnya di kawasan kota tua tutup semua. 

Perjalanan pun berakhir di Stasiun Jakarta Kota. Gue mengakhiri petualangan dan hasrat pengen jadi turis di kota sendiri dengan hati senang dan puas. Keinginan untuk menjadi horraanggg Kota pun tercapai sudah, walaupun cuma sehari semalam.

No comments :