I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Saturday, June 16, 2018

Tiga Malam Di Semarang (Hari Keempat)



29 Mei 2018

Hari terakhir di Semarang. Gue akan kembali ke Jakarta dengan kereta ekonomi dari Stasiun Poncol keberangkatan sekitar jam 1 siang. Jadi dari semalam gue udah menyiapkan ransel, lalu pagi ini rencananya gue akan keluyuran sampai sekitar jam 11 siang. Trus, balik ke hostel untuk mandi, terakhir, ke stasiun Poncol. 

Mengenai rencana pagi ini, gue akan mengunjungi Pagoda Watugong di Ungaran. Sebenarnya agak sedikit nekad, karena jaraknya ngga dekat - dekat amat. Trus, tantangan lainnya, transportasi ke sana. Kali ini gue ngga akan naik Trans Semarang, tapi Gojek, untuk menghemat waktu. Tarifnya sensasional, untuk ukuran Semarang : Rp. 23,000....gue langsung kebayang panjangnya perjalanan ber-Gojek ke sana nanti. 

Oya, sebenarnya gue masih menyimpan niat untuk ke Ereveld Candi. Tapi gue ngga mau ambil resiko, karena hari ini hari libur nasional (Perayaan Waisak). Jam buka ereveld untuk pengunjung umum kayak gue mengikuti hari kerja. 

Ketika gue tiba di Pagoda Watugong, sekitar jam 8:30 pagi, tentunya di sana sepi. Sebenarnya di area parkir ada sebuah bus yang mengantar group pengunjung, yang belakangan gue tahu bahwa mereka menginap di sana semalam, tapi sudah bersiap meninggalkan area pagoda. 

Nama lengkap vihara ini Vihara Buddha Gaya Watu Gong, dibangun tahun 1955. Di dalam komplek vihara terdapat dua bangunan besar yaitu Gedung Dhammasala dan Pagoda Avalokitesvara. Di pintu utama pengunjung akan langsung melihat bongkahan besar batu alam berbahan andesit yang diberi nama Watu Gong, yang menjadi asal muasal nama vihara ini. 

Batu Watu Gong dan Gerbang Sanchi (replika gerbang di depan
stupa Sanchi di India, simbol penghormatan sebelum memasuki bangunan
vihara/stupa sebagai kediaman Sang Buddha)
Tiba di komplek vihara, gue langsung melangkah ke Pagoda Avalokitesvara. Posisi pagoda ini pas di pinggir jalan raya Ungaran, jadi eye catching banget. Ketika empat tahun lalu gue melalui jalan ini dalam tujuan ke Ambarawa, gue langsung takjub ada bangunan seindah itu. Saat itu sekonyong - konyong gue teringat pagoda Kek Lok Si di Penang, Malaysia. Walaupun ngga mirip - mirip amat sebenarnya, baik dari bentuk maupun warnanya. 

Untuk mendekat ke pagodanya, gue harus menaiki beberapa anak tangga. Tiba di halaman pagoda, terdapat pohon bodhi yang keren banget. Batangnya ngga terlalu tinggi, tapi cabang - cabangnya banyak dan tumbuh melebar sampai tampak menaungi seluruh area halaman. Trus di ranting - rantingnya tergantung banyak pita berwarna merah, yang berisi permohonan dan harapan pengunjung yang berdoa di sana. Warna merahnya jadi kontras dengan dedaunan yang hijau. Masih di bawah cabang pohon bodhi, terdapat sebuah patung Dewi Kwan Im. 

Kebetulan ada seseorang di situ, yang gue asumsikan adalah pegawai vihara, gue minta tolong untuk difotoin beberapa kali. Tuh kan...Yesus 'menemani' gue melalui orang-orang baik hati yang dengan ikhlas memberikan bantuan di saat gue perlukan. Bahkan untuk hal sekecil berfoto ria. Begitu tiba di bangunan pagoda gue lihat dua orang pegawai masih sibuk membersihkan ruangan dalam pagoda. Hari itu adalah perayaan Waisak, jadi mungkin akan ada banyak pengunjung datang untuk berdoa. 

Pohon bodhi, Patung Buddha dan Patung Dewi Kwan Im
Pohon bodhi dan bekpeker gembel
Pagoda Avalokitesvara
Di luar dugaan gue, ternyata pagoda hanya terdiri dari satu lantai, yaitu ruangan dimana terdapat patung Buddha berukuran sangat besar, tampak dengan jubah berwarna merah muda. Oya, gue selalu tertarik saat melihat sikap tangan dan jari atau mudra, dari patung - patung Buddha, karena setiap mudra ada arti dan bahkan manfaatnya. Alhasil, setiap kali melihat patung Buddha, gue akan pulang membawa rasa penasaran baru yang harus gue cari jawabannya, yaitu mudra Buddha dan artinya. Mudra patung seperti di Pagoda Avalokitesvara ini rasanya jarang gue lihat, dan begitu gue cari - cari informasi dengan browsing sana - sini, kayaknya yang paling mendekati namanya Apana Mudra. Mudra ini dari segi manfaat, erat hubungan dengan pencernaan dan sekresi, yaitu mengeluarkan racun - racun dari dalam tubuh, sehingga bisa menjauhkan dari sakit - penyakit. Hal ini berlaku baik untuk fisik maupun mental. Sebenarnya gue ngga yakin benar atau ngga nya. Semoga suatu saat gue berkesempatan untuk mendapatkan informasinya yang akurat dari sumber yang tepat. 


Kembali ke bangunan pagoda, rasa penasaran gue terjawab sudah. Gue pikir selama ini gue bisa menaiki setiap lantai pagoda yang menjulang itu, seperti di Kek Lok Si, dimana gue naiki lantainya satu per satu sampai yang tertinggi (yang dibuka untuk pengunjung umum), dan tiba di sana dengan bermandikan keringat. Puas memandangi keindahan pagoda, gue pun melanjutkan langkah menuju patung Buddha Paranibbana, yang posisinya di sebelah pagoda. 

Buddha Parinibbana, menggambarkan saat wafatnya Sang Buddha
di antara dua pohon Sala
Gue sempat berada di halaman di tengah komplek beberapa saat. Saat itu pengunjung lainnya mulai berdatangan. Sementara gue, sudah bersiap - siap mengambil langkah pulang. Gue ngga ke Gedung Dhammasala karena berasumsi gedungnya dikunci. 

Ketika berada di dekat Gerbang Sanchi, seorang bapak yang sedang memegang parang menyapa gue dengan ramah, dan gue pun sempat mengobrol sejenak dengan bapak tersebut. Bapak tersebut ternyata sedang mempersiapkan umbul - umbul untuk perayaan Waisak yang akan berlangsung nanti malam. Beliau mempersilahkan gue untuk bergabung pada perayaan itu, tapi gue bilang kalau gue akan meninggalkan Semarang siang nanti. Pak Warto, namanya. Mempersilahkan gue untuk melihat Gedung Dhammasala dan berniat untuk menemani gue berkeliling. Wowww.....gue senang bukan main, dan sejenak lupa bahwa waktu gue di sini sangat sempit. 

Tiba di Gedung Dhammasala, Pak Warto (lengkapnya Pandita Aggadhammo Warto) yang merupakan pengurus Magabudhi (Majelis Agama Buddha Indonesia) Jawa Tengah, menunjukkan dan menjelaskan ke gue relief Patticasamuppada yang ada di sekeliling tembok halaman luar gedung. Patticasamuppada adalah hukum sebab musabab yang saling berkaitan. Dalam ajaran Buddha, Patticasamuppada adalah mengenai hukum alam yang dialami oleh semua mahluk sebelum meraih kebahagiaan tertinggi, Nibbana. 

Moha, loba dan dosa

Pandita Aggadhammo Warto
Gedung Dhammasala
Bekpeker gembel
Gedung Dhammasala
Gue mendengarkan penjelasan Pak Warto dengan seksama, tanpa rasa bosan. Pak Warto pun ngga lelah dan bosan menjawab pertanyaan - pertanyaan yang terkadang spontan dan apa adanya yang gue sampaikan. Di sela - sela penjelasannya mengenai Patticasamuppada, Pak Warto juga menyisipkan obrolan ringan dan nasihat - nasihat yang mencerahkan dan menyejukkan hati dan pikiran, disampaikan dengan lembut dan kerendahan hati, tanpa ada unsur kesombongan, maupun menghakimi. Jika bukan karena kendala waktu dan gue juga ngga ingin menginterupsi kesibukan Pak Warto terlalu lama, gue pasti akan tinggal di sana beberapa saat. Gue pun berpamitan pada Pak Warto, dan dengan langkah berat meninggalkan vihara.

Di gerbang gue memesan Gojek untuk kembali ke hostel. Gue menunggu beberapa lama, sampai ada Gojek yang akhirnya menerima pesanan gue. Tiba di hostel, gue mandi dan bersiap - siap dan berangkat ke stasiun Poncol. Gue sempat makan siang di sebuah restoran yang ada di seberang stasiun. 

Kereta gue berangkat tepat waktu. Gue melalui perjalanan selama 7 jam dengan memikirkan kembali trip 4 hari 3 malam gue di Semarang yang seru dan sangat berkesan. Teristimewa, dimana selama trip ini gue dipertemukan dengan orang - orang baik dan bersahabat yang bikin traveling sendirian itu ngga garing dan sulit. Sampai jumpa, Semarang !

No comments :