Setelah melewati check point di imigrasi bandara Tan Son Nhat International Airport, gue dan Rika langsung ke money changer yang ada di area bandara, buat nukar mata uang Dollar yang kita bawa dari Jakarta menjadi Dong Vietnam. Saat itu dikasih rate lumayan bagus : 18,460 per Dollar.
Keluar dari bandara udah diserbu sama para sopir taxi, sopir ojek dan sejenisnya. Ada salah satu sopir taxi yang ngotot banget ngebujuknya. Ngga galak sih, malah bikin gue ngga tega gitu. Udah gitu dia ngasih harga tinggi banget. Dan gue cuma bisa bilang "I'll just take that bus, coz I only have to pay 2,000 dong", sambil nunjuk ke arah bus No. 152 yang udah nangkring di dekat pintu keluar. Tadi gue udah nanya soal ongkos bus itu ke staf money changer. Sopir taxi yang keliatan udah cape banget itu akhirnya nurunin harga, masih dengan ekspresi wajah memelasnya yang bikin iba. Harga masih ngga sesuai harapan gue, dengan belagak yakin gue menuju ke bus No. 152. Akhirnya dia bilang, "Okay, 4 dollar per person". "No way...3 dollar per person", jawab gue.
Tiba - tiba ada cowo perawakan Asia mendatangi sopir taxi. Gue ngga ngerti dia ngomong apa, tapi gue yakin dia penumpang taxi yang sama, hanya saja karena udah kelamaan nunggu tuh taxi ngga jalan - jalan dia secara halus ngancam bakal cari taxi lain. Akhirnya Pak Sopir setuju harga gue. Jadilah gue, Rika dan cowo sipit itu di dalam taxi yang sama. Cowo itu turun di Ben Thanh market, sementara gue masih lanjut.
Tiba di Phan Lan Hotel, gue langsung disambut sama Van, staf hotel, yang nerima email reservasi gue. Dia tampak ragu dan bengong ngga jelas ngeliat kedatangan gue. Begitu gue kasih liat email gue ke dia, dia malah garuk - garuk kepala kayak orang bego. Gue jadi bingung. Gue jelasin, gue ngga bisa check in kemarin karena ketinggalan pesawat (males banget deh harus ngebahas soal itu lagi).
Van bilang, kemarin dia dimarahin sama bosnya, karena dia nyisain 1 kamar buat gue, tapi ternyata gue ngga nongol. Masih menurut cerita Van, bosnya nyuruh dia bayar 16 dollar karena itu. Gue ngga ngerti apa point dari curahan hatinya Van itu, dan gue minta kepastian Van ada atau tidak kamar tersisa buat gue (kalo ngga ada, gue juga bisa cari kamar di tempat lain). Gerak - gerik Van makin bikin dongkol. Dengan ragu - ragu dia bilang udah full. Gue minta tolong dia kasih rekomendasi, tempat terdekat yang kira - kira masih ada kamar kosong. Van permisi naek ke ruangannya, sementara itu gue dan Rika menghibur diri dengan berfoto - foto ria di luar.
Unik banget kawasan itu, hampir semua rumah di sana dijadiin guest house, dan menyediakan kamar untuk disewain. Udah gitu bangunannya juga unik. Sempit, tapi tinggi menjulang ke atas. Rata - rata minimal 4 lantai.
Van bilang gue bisa dapat kamar disana, asal gue bayar dendanya 16 dollar. No way....I don't want to pay for nothing. Gue pun langsung meninggalkan Phan Lan. Di depan hotel, gue dijegat sama seorang bapak, namanya Mr. Hoang. Dia mau nawarin kamar di tempat lain. Karena udah cape dan ngga tahan dengan panasnya cuaca saat itu, gue ikut dia. Dia pun membawa gue ke My Home guesthouse, yang terletak di jalan yang sama. Gue disambut sama Thao dan tantenya, yang memiliki dan mengelola guesthouse itu. Setelah nego harga, akhirnya disepakati, 15 dollar per malam untuk kamar dengan 2 ranjang, TV, AC dan WC di dalam kamar. Tempatnya bersih dan nyaman banget, karena bangunannya pun masih baru. Sedikit masalah, kamar gue terletak di lantai 5. Jadi naek - turun tangganya serasa fitness.
Thao dan tantenya selain buka usaha penyewaan kamar di rumah mereka, juga menjual beras dan sarang burung walet
Abis check in, bersih - bersih, gue sama Rika pun siap - siap untuk ke Sinhtourist Cafe dan menyisir Ben Thanh market menjelang senja.
No comments :
Post a Comment