I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Monday, October 26, 2015

Sekeping Kenangan Beijing (Hari Pertama) : Summer Palace



Begini cara gue mencapai Summer Palace (Yiheyuan). Mula-mula gue naik kereta subway dari Dengshikou Station. Di saat itulah pertama kali gue membeli Transportation Smart card yang bisa gue gunakan untuk membayar ongkos transportasi umum selama di Beijing. Untuk mendapatkan kartu sakti ini gue membayar RMB 50 : RMB 20 untuk deposit kartu (yang akan dikembalikan kalau gue menyerahkan kembali kartu) dan RMB 30 untuk isi kartu. Keberadaan subway ini benar - benar membantu gue, karena sangat praktis. Untunglah gue sudah belajar banyak mengenai subway semacam ini ketika jalan-jalan di Singapura, jadi ngga bloon - bloon banget. Target gue hari pertama ini memang mempelajari dan membiasakan diri menggunakan sarana transportasi umum.

Untuk tiba di Summer Palace, gue naik subway dari Dengshikou Station (Line 5) dan turun di Dongdan Station untuk menyambung subway Line 1 dan turun di Xi Dan Station. Dari Xi Dan Station gue melanjutkan perjalanan dengan subway Line 4 dan turun di Beigongmen Station. Dari Beigongmen Station gue sempat bingung ketika sudah berada di pintu keluar. Bermodalkan insting yang bercampur dengan keputusasaan saat itu, gue mengambil arah ke kanan dan mengikuti jalan. Akhirnya setelah berjalan kaki kurang dari 1 km, gue tiba di pintu masuk Summer Palace.  Sebenarnya petunjuk yang gue andalkan saat mencari lokasi adalah bus-bus wisata dan kerumunan pengunjung yang juga mengarah ke sana.

Gue tiba di sana sekitar jam 14:00, dan langsung membeli tiket terusan seharga RMB 60. Gue terkaget-kaget dengan padatnya Summer Palace siang itu. Sejak saat itu gue tahu, bahwa mulai 01 April-31 Oktober merupakan peak season alias musim wisata di Cina. Jadi, jangan heran kalau terdapat penumpukan wisatawan seperti ini. Selain itu, harga-harga tiket masuk tempat-tempat wisata pun lebih mahal. Informasi ini jelas-jelas diumumkan di setiap tempat wisata. 

Dua kata yang akan gue gunakan untuk menggambarkan Summer Palace : indah dan luas. Di sini ada bangunan-bangunan istana, serta taman dan danau Kunming yang luas. Gue menghabiskan waktu sekitar 3 jam di sini, dan belum bisa menjelajahi seluruh area Summer Palace. Mungkin biar puas, sebaiknya pengunjung meluangkan waktu 4-5 jam. Gue ngga bisa bilang apa yang paling menarik dan gue suka di sini, karena semuanya menarik dan indah, dan begitu banyak hal bisa dilihat. Gue lupa berapa kali gue membelalakkan mata dengan mulut nyaris menganga demi melihat benda-benda antik yang mungkin hanya pernah gue lihat ketika nonton serial-serial kungfu kesayangan jaman kecil dulu.
 

 
 
 
 
 
 
 

 
 
 

Hampir seluruh bangunan bisa dimasuki oleh pengunjung dan kebanyakan setiap bangunan menjadi semacam galeri yang menyimpan barang - barang peninggalan yang sarat nilai sejarah. Ada furniture (kursi, tempat tidur, lemari, dll), barang pecah belah, batu-batuan, dan lain sebagainya peninggalan jaman Dinasti Qing. 

Selain melihat-lihat seluruh keindahan istana, di sini gue juga menyempatkan diri untuk berfoto dengan kostum Cina masa dinasti Qing. Sejujurnya ini adalah misi dan target yang sudah gue rencanakan sejak di Jakarta...demi apapun, gue harus berfoto dengan kostum keren itu !! Begitulah tekad gue...Gue pun membayar RMB 30 untuk penyewaan kostumnya. Dan kepuasannya tak terkatakan....gue ngga sabar untuk memperlihatkan foto gue dalam jubah kebesaran itu ke Mama...sejak kecil Mama sering memanggil gue si "Sipit". Karenanya, Mama harus lihat bahwa mata sipit gue dan kostum tradisional nan keren ini bagaikan kombinasi sempurna yang menimbulkan sensasi serasa jadi ibu suri jaman kerajaan meski hanya beberapa menit saja. Meskipun mungkin lebih tampak seperti ibu suri yang judes dan galak...seperti ibu suri pada umumnya yang gue lihat di serial-serial kungfu jaman dulu.

Sekitar jam 17:00 lewat gue meninggalkan Summer Palace. Idealnya seharusnya gue juga mengunjungi Old Summer Palace yang lokasinya berdekatan dengan Summer Palace. Namun apa daya...gue kehabisan waktu. Semua ini gara-gara tersesat tadi pagi di Beijing South Railway Station antah berantah.

Gue pun kembali menuju hostel, menuju Dengshikou, dengan perjalanan panjang gonta-ganti line subway, seperti ketika berangkat tadi. Tiba di Dengshikou hari sudah gelap, dan gue dilanda kelaparan yang maha dahsyat. Jelas aja...gue memang belum makan apapun sejak tiba di Beijing...sementara energi gue terkuras sempurna saat mengeksplorasi Summer Palace tadi siang.

Di saat itulah pertama kali gue menemukan sebuah warung kecil yang menjual makanan khas lokal dengan harga terjangkau dan rasanya pas di lidah. Gue pun membeli bakpau kecil dan jagung rebus dengan harga sangat terjangkau. Kendalanya adalah saat gue hendak menanyakan harga, karena sang penjual benar-benar ngga ngerti bahasa Inggris. Yang gue lakukan adalah menunjukkan jempol dan telunjuk gue dengan gerakan seakan - akan menghitung uang, sambil mengucapkan, "How much....how much...?" berkali - kali. Karena sang penjual ngga ngerti maksud gue, akhirnya gue buka dan rentangkan telapak tangan dan menunjukkan kelima jari, berharap dia menunjukkan harga makanan yang gue beli dengan satuan jari. Akhirnya inilah 'bahasa' yang paling ampuh. Sang penjual pun memperlihatkan jarinya, sambil mengatakan sesuatu dalam bahasa Cina. 

Setelah itu gue menuju Seven Eleven terdekat untuk membeli air mineral, dan meninggalkan toko dengan perasaan puas karena di hari pertama di Beijing gue menemukan merek air mineral dengan harga sangat terjangkau : RMB 3.5 (1.5 litter), yaitu merek Spring. Ngga beberapa jauh dari Seven Eleven, gue mampir di sebuah toko buah, untuk membeli pisang dan jeruk, kemewahan untuk menutup perjalanan melelahkan gue hari ini.

Tantangan berikutnya gue hadapi ketika sedang mencari makan malam di rumah makan sekitar Dengshikou. Sekedar untuk memesan "nasi" membutuhkan perjuangan keras. Mula-mula gue masuk ke sebuah rumah makan...trus gue bertanya ke staffnya, "Rice...?" Dia ngga ngerti, gue nyaris frustasi. Gue berusaha mencari foto nasi di daftar menunya, namun tidak ada foto apapun selalu tulisan-tulisan Cina. Lalu gue mengambil tissue dan pulpen dan menulis RICE. Si Staff pun langsung tanggap dan mencari artinya dalam kamus online di smartphonenya. Barulah dia memberitahukan bahwa di tempatnya tidak menjual menu nasi. Gue disuruh ke rumah makan sebelah.

Di rumah makan sebelah, mula-mula gue menunjukkan menu pilihan dengan cara menunjuk ke foto yang ada di dinding-dinding bagian atas rumah makan. Namun mendadak gue tergiur melihat hidangan yang hendak disajikan seorang pelayan di meja salah satu pembeli. Gue pun memberitahukan staff restoran dengan cara menunjuk makanan si pembeli. Bahkan kali ini gue ngga berkata apa-apa lagi secara verbal. Percuma, pikir gue. 

Setelah menikmati makan malam yang gue dapatkan dengan perjuangan luar biasa ini, gue pun kembali ke hostel. Di atas ranjang nan empuk gue merenungi betapa dahsyatnya perjuangan di Beijing ini....semua ini karena kendala bahasa. Gue ngga pernah menghadapi kesulitan seberat ini sepanjang sejarah gue melancong ke negara-negara lain. Sebagai seorang bekpeker gembel yang kadang sok tangguh, kali ini gue serasa mendapatkan tantangan sejati. 

Gue pun menutup hari itu dengan harapan setinggi langit agar esok hari gue bisa bertahan dan diberikan kemudahan dan penyertaan oleh Yesus yang maha baik.

Sunday, October 25, 2015

Review Hostel: Beijing Saga International Youth Hostel

Ketika hendak reservasi hostel untuk trip Beijing ini sejujurnya gue agak-agak sulit dalam mengambil keputusan. Alasan pertama, rate hostelnya cenderung tinggi-tinggi. Kedua, mungkin karena Beijing adalah kota yang sangat besar, gue ngga bisa menyimpulkan satu area tertentu yang merupakan sentra turis. Ketiga, meskipun gue berusaha mendapatkan referensi dari berbagai website dan provider, namun sampai akhir pencarian, gue tetap belum merasa mantap mengenai hostel yang akan gue pilih. Yang bikin gue ragu adalah review-review seperti ini : Hostel A dekat dengan tempat wisata Z, X dan Y. Kemudian ada lagi Hostel B dekat dengan tempat wisata R, S dan T. Dan sebagainya. Sementara target gue selama di Beijing adalah mengunjungi Z, X, Y, R, S dan T. 

Akhirnya pilihan gue jatuh ke Beijing Saga International Youth Hostel yang beralamat di No. 9 Shijiahutong, Dongcheng District, Beijing. Sebenarnya ketika gue sudah menginjakkan kaki di kawasan ini, menurut gue 'identitas' yang paling tepat mengenai lokasinya adalah : Dengshikou. Karena jika hendak ke sini, halte bus yang harus dicapai adalah halte Dengshikou, dan jika hendak naik subway, yang terdekat adalah Dengshikou station. 

4 Bed Dorm-Mixed (shared bathroom)
Koridor lantai 3
Rooftop di lantai 3
Kamar yang gue pilih adalah 4 bed dorm-mix (shared bathroom) yang letaknya di lantai 3 (nomor 302), yang artinya kamar gue terdiri dari 4 tempat tidur untuk tamu campur (baik laki-laki maupun perempuan), dan dengan fasilitas toilet dan kamar mandi di luar kamar tidur, dan digunakan bersama-bersama dengan seluruh tamu hostel lainnya. 

Rate kamarnya adalah USD 13.05 per malam. Kamar dan kasurnya sendiri sangat nyaman dan bersih. Kasurnya demikian tebal dan empuk dengan selimut yang sangat hangat. Gue mendapat kasur nomor 4 yang letaknya di pojok, dekat jendela. Sebagai penghuni yang mendapat kasur pojok, ditambah sebagai satu-satunya tamu perempuan di sini, gue 'menguasai' beberapa kemewahan yang tersedia di kamar ini : meja dan kursi yang tersedia, jendela yang memberikan kehangatan sinar matahari, colokan listrik yang jumlahnya lebih banyak dari tamu lainnya, dan tentunya remote AC.

Mengenai keamanan, hostel ini menyediakan jaminan keamanan yang cukup, karena setiap penghuni kamar mendapat jatah ruang di sebuah lemari, lengkap dengan kunci masing-masing (artinya, penghuni tidak perlu menggunakan gembok sendiri), dan system kunci kamar yang terbilang canggih.

Selain kamar, toilet dan kamar mandi nya pun terbilang sangat bersih dan jumlah yang tersedia sangat memadai. Bisa dibilang, jam berapa pun gue hendak menggunakan keduanya, gue ngga pernah sampai perlu mengantri segala.

Gue sangat menikmati keheningan dan ketenangan kala jam tidur setiap malamnya. Maklum, lokasinya bukan di depan jalan besar, dan bukan di tengah pusat keramaian. Hostel berada di lingkungan rumah warga, jadi suasananya di saat malam hari cenderung sunyi dan tenang.

Kamar dan hostel yang nyaman dan bersih, serta staf-staf hostel yang sangat ramah dan baik dan dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan fasih, adalah hal-hal positif yang gue dapatkan di hostel ini.

Sekarang, mari membahas sisi 'ngga enaknya' tinggal di sini. Pertama, jika ditempuh dengan berjalan kaki dari Jalan Raya Dengshikou menuju hostel, terbilang jauh, sekitar 600 meter. Ini adalah angka jarak yang valid, karena gue dapatkan dari salah satu petunjuk jalan. Jadi, sebelum tiba di hostel, pejalan kaki dari arah Dengshikou akan menemukan sebuah kantor Polisi terlebih dahulu. Dan dari petunjuk yang berada tepat di mulut jalan Shijiahutong, dikatakan bahwa jarak dari mulut jalan ke kantor polisi tersebut adalah 600 meter. Sebenarnya jarak dari kantor polisi menuju hostel masih sekitar 20 meter lagi. Belum lagi jika perjalanan gue dimulai dari Dengshikou Station. Gue perkirakan sejak gue turun dari Subway hingga berada di kamar, jarak yang harus gue tempuh adalah nyaris 800 meter. Dan menurut gue jarak itu lumayan jauhhhhh....dan menimbulkan rasa malas untuk keluar-masuk hostel. Ngga ada pilihan bus atau angkutan umum tersedia.

Sebenarnya gue bukan orang yang malas jalan kaki, tapi setelah gue menjalani kehidupan petualangan di Beijing ini beserta fasilitas - fasilitas umum yang tersedia, orang-orang yang hidup di sini kayaknya sedikit dipaksa untuk (tahan) berjalan kaki jarak jauh. Dan dibandingkan dengan warga Cina, ternyata gue belum setangguh itu.

Meninggalkan hostel dan membayangkan harus berjalan kaki sejauh 800 meter terlebih dahulu untuk ke Dengshikou station (karena semua perjalanan gue akan selalu dimulai dengan naik subway), rasanya udah bikin malas. Setelah gue amati, kayaknya rasa malas itu timbul karena jarak yang cukup jauh, dan karena ngga banyak hal yang bisa gue lihat. Jalan 800 meter yang gue tempuh hanyalah sebuah jalan kecil lurus, dengan rumah - rumah warga di kiri-kanannya. Jadi 'pemandangan' perjalanan gue akan selalu sama : pintu-pintu rumah yang selalu tertutup, warung kelontong, rumah seorang tukang jahit yang bekerja dengan giat dari pagi sampai larut malam dengan pakaian seperti orang kantoran, warga yang berkumpul duduk bersama sambil mengobrol, mobil-mobil warga yang terparkir di pinggir jalan, hotel Super 8 yang sudah tak beroperasi lagi dan tampak gelap dan suram....rasanya itu saja. 

Kedua, hostel tidak menyediakan free breakfast bagi penghuni. Menurut gue ini siasat pihak hostel karena mereka memiliki sebuah restaurant yang berada di bangunan hostel juga. Jadi mungkin dengan tidak disediakannya sarapan gratis, penghuni dipaksa untuk mengeluarkan uangnya di restaurant ini agar bisa menikmati sarapan. Rasanya dengan tarif kasur/kamar sebesar USD 13.05 per malam, dan tidak ada fasilitas sarapan gratis, hostel ini terbilang 'pelit'. Penilaian gue ini berdasarkan perbandingan yang gue lakukan terhadap hostel-hostel lainnya yang pernah gue tinggali. 

Ketiga, hostel ini menurut gue tidak menyediakan ruang duduk maupun ruang sosial untuk para penghuninya. Memang di sini tersedia rooftop, namun gue ngga lihat penghuni hostel berkumpul di sini. Lagian, rooftop tidak menyediakan pemandangan yang luar biasa mempesona, selain atap - atap rumah warga sekitar. Menurut pengamatan gue, kebanyakan penghuni hostel akan menghabiskan waktu santainya, terlebih di malam hari, di restaurant hostel. Tentunya ini bukan lokasi yang mengenakkan buat penghuni yang ngga akan mengkonsumsi dan membeli apapun dari restaurant. Jadilah tiap malam sebelum tidur gue akan menikmati saat santai cukup di kasur nan empuk di kamar 302.

Jadi, apakah gue akan merekomendasikan hostel ini ke orang lain ? Sepertinya ngga, mungkin nilainya 7 dari 10. Apakah gue berkenan untuk tinggal di sini lagi jika suatu saat Yesus yang Maha Baik memberikan gue kesempatan kedua ke Beijing ? Sejujurnya, gue lebih memilih untuk mencari hostel lain, di lokasi lain. Mungkin lokasi yang lebih "leg friendly" (istilah baru si kaki pemalas), dan tentunya dengan tarif yang lebih reasonable.

Sekeping Kenangan Beijing (Hari Pertama)

11 Oktober 2015
Hari yang mungkin sudah puluhan tahun gue nanti pun akhirnya tiba. Pagi ini gue akan berangkat menuju Kuala Lumpur, dan malam nanti perjalanan akan gue lanjutkan menuju Beijing. Gue membeli tiket pesawat AirAsia tujuan Beijing tepat setahun yang lalu, Oktober 2014, total Rp. 3,099,000 (sudah termasuk airport tax) untuk rute : Jakarta - Kuala Lumpur - Beijing - Kuala Lumpur - Jakarta.

Mengapa kali ini Beijing ? Begini...Gue memang sudah sejak lama terobsesi menginjakkan kaki di negeri Cina...inspirasinya sederhana, yaitu karena sejak kecil tontonan gue adalah serial-serial kungfu klasik Cina (buatan Hongkong), sebut aja yang paling fenomenal : Trilogy Condor Heroes : Legend of Condor Heroes (jagoannya bernama : Kwe Cheng....pendekar paling populer yang gue 'kenal' sejak masa kecil dan akan selalu gue ingat sampai kapan pun. Alkisah jaman baheula dahulu sampai ada tebak-tebakan : Kue apa yang ngga bisa dimakan ? Kue basi ? Kue busuk ?? Salah!! Jawaban yang benar adalah Kwe Cheng!). Lalu berikutnya ada serial Return of Condor Heroes/Pendekar Rajawali (dengan tokoh fenomenalnya : Yoko dan Bibi Liong). Dan bagian terakhir dari trilogi ini adalah serial To Liong To atau Pedang Pembunuh Naga (dengan jagoannya bernama Tio Bu Ki). 

Gue dibesarkan di tengah maraknya tontonan serial-serial menarik ini yang secara ngga langsung membuka cakrawala mengenai sebuah negeri unik dan indah di belahan dunia lain entah dimana, dengan cerita sejarah dan budayanya yang kaya dan menarik.

Beberapa tahun lalu (mungkin tahun 2012), gue juga membaca novel berjudul The Empress Orchid karya Anchee Min. Ini mungkin salah satu novel favorit gue sepanjang masa....mengenai kisah seorang selir kaisar Hsien Peng pada masa Dinasti Qing bernama Orchid yang bertangan besi serta berkuasa. Kisah ini mengambil lokasi di Forbidden City alias Kota Terlarang. Cerita yang indah dan sarat cerita sejarah ini sukses membuat gue terobsesi : Gue harus ke Forbidden City ! 

Kembali ke perjalanan panjang gue menuju Beijing, gue tiba di Kuala Lumpur hampir jam 12:00. Gue sempat transit di KLIA2 sekitar 7 jam. Pesawat yang akan mengantarkan gue menuju Beijing berangkat meninggalkan Kuala Lumpur tepat jam 19:00. 

Transit di KLIA2

12 Oktober 2015
Setelah menempuh perjalanan sekitar 6 jam, akhirnya gue tiba di Beijing Capital International Airport sekitar jam 01:00. Tiba di airport, gue melewati pemeriksaan imigrasi dengan lancar, karena gue sudah mengurus visa Cina jauh - jauh hari (Mengurus Visa Turis Ke Cina). 

Dini hari itu, gue ngga langsung meninggalkan airport, melainkan melewatkan malam dengan tidur di ruang tunggu airport. Gue menemukan spot untuk tidur yang lumayan nyaman, namun kenyamanan gue sedikit terganggu dengan dinginnya kondisi saat itu....entah karena AC ruangan, atau karena memang cuaca Beijing yang sudah bersiap menunggu musim dingin.

Sekitar jam 06:00 gue bangun dan membersihkan diri di toilet Airport. Gue pun meninggalkan airport untuk mencari Beijing Saga International Youth Hostel, dengan menggunakan shuttle bus di platform 3 airport yang berangkat meninggalkan airport sekitar jam 07:00. Sesuai dengan petunjuk yang dibekali oleh pihak Hostel, seharusnya shuttle bus ini mengantarkan gue hingga Beijing Central Railway Station. Namun entah mengapa bus malah berhenti di Beijing South Railway Station. Petualangan menantang di kota Beijing pun dimulai saat itu juga. Gue langsung menemukan tantangan paling berat ketika berada di negeri ini : kendala bahasa. Gue mungkin agak meremehkan masalah kendala bahasa ini sebelum tiba di Cina, jadi gue benar-benar shock dengan sulitnya 'bertahan hidup' di Cina tanpa memiliki kemampuan berbahasa lokal. Kesasar di Beijing, dalam keadaan letih, ngantuk dan lapar, dengan dibebani 2 buah ransel berat, tidaklah nyaman. Namun ini ditambah lagi dengan kesulitan bertanya ke warga lokal mengenai arah dan petunjuk menuju hostel yang terletak di Jalan Shijiahutong, karena kendala bahasa, membuat situasi semakin horor. Ternyata kebanyakan warga lokal ngga mengerti bahasa Inggris. Kendala ini membuat mereka juga kesulitan ketika hendak membantu. Tantangan ditambah lagi dengan seluruh petunjuk jalan, fasilitas publik dan termasuk bus umum yang tertulis dalam huruf Cina. 

Kesasar di Beijing South Railway Station
Tepat di saat mendekati titik frustasi akhirnya gue mendapatkan petunjuk untuk menuju Jalan Shijiahutong, yaitu dengan menggunakan bus No. 106. Bahkan ketika menaiki bus pun kondisinya ngga semudah yang gue pikir. Gue berusaha menanyakan ongkos bus, dan sang kondektur perempuan balik bertanya, dalam bahasa Cina. Sebenarnya intonasi warga lokal agak membingungkan buat gue, karena gue ngga ngerti apakah mereka sedang bertanya, sedang menjawab, sedang marah, atau ekspresi lainnya yang semuanya diucapkan tampak sama (menurut telinga gue). Untunglah gue terbantu dengan informasi yang tertera di dekat pintu bus, yaitu halte-halte dimana bus akan berhenti, yang ditulis dalam huruf latin.

Dengan perjalanan yang cukup dramatis karena selain gue harus menahan pegal dan lelah berdiri di dalam bus, ditambah seluruh penumpang bus sempat dioper ke bus lainnya karena masalah teknis, akhirnya tibalah gue di kawasan Dengshikou. Kawasan ini seperti pusat kota dimana banyak dipenuhi dengan bangunan - bangunan pusat belanja, kantor dan hotel besar. 

Gue pun akhirnya juga menemukan Jalan Shijiahutong, dan dengan berjalan kaki lebih dari 600 meter, gue tiba di  Beijing Saga International Youth Hostel. Gue segera check in, naik ke kamar, mandi dan beristirahat sejenak. Sejujurnya, segala tantangan dan kesulitan selama 3 jam yang gue harus lalui dalam perjalanan dari airport menuju hostel tadi pagi cukup membuat gue trauma dan enggan meninggalkan hostel. Namun berhubung jadwal gue sudah terlambat dan banyak hal yang harus gue jelajahi hari ini, maka setelah beristirahat sejenak, gue pun meninggalkan hostel. Setelah mendapatkan informasi dari browsing-browsing (berkat wifi dari hostel), ditambah mempelajari peta Beijing yang gue ambil secara gratis di Airport dan...puji Tuhan...informasinya dalam huruf latin, akhirnya gue melangkahkan kaki keluar dari hostel... Tujuan gue hari ini adalah mengunjungi Summer Palace.

Mengurus Visa Turis ke Cina

Gue udah mulai bersiap-siap mengurus visa turis untuk ke Cina sejak awal Agustus 2015. Kebetulan Boss saat itu lagi business trip ke luar negeri, jadi jadwal gue lebih 'longgar' untuk ijin sejenak dari kantor.

Dokumen-dokumen yang gue siapkan adalah :
  1. Paspor asli. Masa berlaku paspor minimal 6 bulan sejak tanggal keberangkatan.
  2. Copy tiket pesawat. Gue cukup mencetak konfirmasi tiket dari email yang dikirimkan pihak AirAsia, sesaat setelah gue melakukan pembayaran tiket
  3. Copy bukti reservasi hotel di Cina. Gue gunakan email konfirmasi dari pihak Hostelbookers, yang dikirimkan sesaat setelah gue menyelesaikan reservasi dan pembayaran di websitenya Hostelbookers.
  4. Itinerary (jadwal perjalanan selama di Cina)
  5. Form aplikasi (download dari website resminya Kedutaan Besar RRC di Jakarta : http://www.visaforchina.org )
  6. Foto diri berwarna terbaru, dengan latar belakang warna putih 
  7. Fotokopi KTP 


Jumat, 21 Agustus 2015
Setelah semuanya lengkap, dengan naik Gojek gue pun menempuh perjalanan panjang nan macet dari rumah (Tanjung Barat) menuju "Chinese Visa Application Service Center" yang beralamat di The East Building 2nd Floor. Jl. Dr. Ide Anak Agung Gde Agung Kav. E 3.2 No. 1, Jakarta Selatan.

Tiba di sana gue udah babak belur saking capenya menempuh perjalanan selama kurang lebih 2 jam....dengan Gojek. Kantor ini bukanlah Kedutaan Besar RRC, melainkan agent resmi yang ditunjuk oleh pihak Kedutaan untuk proses pengurusan visa.

Ketika tiba di sana sekitar jam 09:00 pagi lewat, antrian tampak cukup banyak, tapi untungnya loket penerimaan dokumennya juga banyak. Loket-loket dibagi menjadi beberapa kategori, ada yang pribadi dan proses mandiri (seperti gue), ada juga loket pelayanan khusus travel agent. Selain itu, pelayanan loketnya berbeda-beda, ada yang khusus untuk penerimaan dokumen, pembayaran visa (jika dikabulkan) dan pengambilan paspor.

Ketika giliran dipanggil ke loket, petugas memeriksa kelengkapan dokumen gue. Gue agak khawatir ketika petugas nampak ragu akan bukti reservasi hotel yang gue gunakan. Revisi....sebenarnya untuk akomodasi selama di Beijing nanti gue reservasi di Beijing Saga International Youth Hostel...hoStel...bukan hotel. Entah mungkin terkesan bermodal pas-pasan banget, si petugas sesekali menunjukkan ekspresi keraguannya demi melihat bukti reservasi yang gue lampirkan. Gimana ya...mungkin si petugas ragu dengan kemampuan keuangan gue, karena melihat di bukti reservasi bahwa total biaya hostel adalah USD 65.25, untuk 5 malam (12 - 17 Oktober 2015). Itu pun gue baru membayar uang muka sebesar 12% nya yaitu USD 7.83. Semua angka - angka yang terbilang sedikit dan minimalis itu tercantum jelas pada bukti reservasinya. 

Akhirnya si petugas yang kelihatan jelas merasa ngga enak, kemudian menyodorkan ke gue selembar surat pernyataan. Intinya isinya adalah.....bahwa jika gue melampirkan data atau dokumen yang tidak benar, gue harus bertanggung jawab...Gue nanya ke petugas, "Memangnya ada dokumen saya yang ngga benar, Mbak ?" Lagi-lagi dengan tampang ngga tega si petugas menjawab, "Ngga sih Mbak...form ini memang harus diisi untuk applicant yang tidak bisa melampirkan bukti reservasi langsung dari pihak hotel." Jadi gue simpulkan, alasan si petugas meragukan bukti reservasi gue adalah karena, 1) akomodasi yang gue book murah meriah banget...itu pun bayarnya cuma uang muka. Mungkin dia meragukan gue benar-benar akan berwisata selama di Cina. Bukti reservasi hoStel itu hanya sekedar kamuflase, jangan-jangan gue akan overstay dan menetap di Cina. 2) Karena gue reservasi melalui third party, yaitu www.hostelbookers.com. Mungkin reputasi (cemerlang) dan kredibilitas agen-agen alias third party kayak begini (Hostelbookers, Hostelworld, dll) kurang dikenal di kalangan Kedutaan kali ya...Akhirnya dengan berat hati, gue menandatangani surat itu.

Setelah dokumen gue dinyatakan lengkap, petugas pun memberikan selembar kertas "Pick Up Form", yang harus gue bawa ketika pengambilan paspor (jika permohonan visa gue dikabulkan) pada hari Rabu, 26 Agustus 2015. 

Pick Up Form


Rabu, 26 Agustus 2015
Gue kembali mendatangi Chinese Visa Application Service Center, lagi-lagi dengan diantar Gojek....dan lagi-lagi gue harus merasakan kejamnya kemacetan Jakarta, selama 2 jam. Berhubung sudah 3 tahun belakangan gue hidup dan berkutat di seputaran Cimanggis, gue jadi agak-agak shock dengan dahsyatnya kemacetan Jakarta.


Mula-mula gue diharuskan menuju loket pembayaran dengan menunjukkan "Pick Up Form" yang diberikan sebelumnya. Di sana gue membayar Rp. 540,000.- Ini adalah pembayaran visa paling murah, yaitu untuk visa dengan masa berlaku 3 bulan, 1 kali saja diperbolehkan masuk wilayah Cina, dan dengan jadwal pengurusan visa normal (4 hari kerja). Perincian dari biaya ini adalah : Biaya visa sebesar Rp. 300,000,- dan biaya service aplikasi sebesar Rp. 240,000,-

Setelah menyelesaikan pembayaran, gue pun menerima bukti pembayaran (Receipt). Dengan bukti pembayaran inilah gue menuju loket berikutnya, dan mengambil paspor gue...tentunya dengan stiker Visa Cina di dalamnya. Terharu....impian masa kecil gue untuk ke Cina sekonyong-konyong membentang di mata, demi melihat visa Cina di paspor. Gue membeli tiket pesawat ke Cina sejak Oktober 2014. Setelah itu gue cuek dan selalu berpikir jadwal perjalanan gue masih lama...namun dengan Visa di tangan, euforia menyambut perjalanan Cina gue langsung terasa.

China, I'm coming !

Wednesday, October 21, 2015

Menyongsong Masa Lalu Di Lasem (Hari Ketiga)

Pohon trembesi raksasa

26 September 2015. Hari ketiga di Lasem kuno yang indah dan super sepi.

Hari ini gue mengucapkan selamat jalan pada kedua teman sekamar, Imel dan Sisil, karena mereka akan berangkat ke Semarang pagi ini. Dan gue akan melanjutkan petualangan Lasem hari terakhir bersama Pop. 

Pagi - pagi gue diantar Pop mengunjungi Pasar Sumber Girang, sebuah pasar tradisional kecil di gang sempit dengan aktivitas yang cukup sibuk. Jalan - jalan melihat pasar tradisional tuh menyenangkan...karena seringkali pasar tradisional begini bagaikan jendela besar dimana gue bisa bertemu dan berinteraksi dengan penduduk lokal dan melihat kegiatan rutin mereka sehari - hari.

Pasar Sumber Girang
Gue pun mulai menyusuri gang panjang yang kiri - kanannya dipenuhi oleh banyak penjual dan pembeli, dan tentunya berbagai macam dagangan segala rupa. Selain itu gue juga sempat diantar ke sebuah rumah (yang lagi-lagi kuno dan indah) yang ternyata di dalamnya terdapat industri pembuatan tempe rumahan, milik Pak Adi. Pagi itu Pak Adi dan istrinya sedang membuat tempe, mungkin dengan cara paling tradisional pernah gue tahu. 

Oyaa...masyarakat Lasem itu ramah - ramah, baik, dan menurut gue cenderung masih polos. Karena selama di sini, gue seringkali diajak Pop untuk mengetuk rumah seseorang, lalu permisi kepada pemiliknya untuk melihat - lihat isi rumahnya, mendokumentasikan dengan memotret sana - sini, bahkan berkesempatan untuk mengobrol bersama sang pemilik rumah, mengenai sejarah rumah miliknya atau cerita - cerita menarik lainnya. Begitulah yang kami lakukan sejak kemarin. Di setiap lokasi yang kami datangi, kami diijinkan masuk atas dasar kekeluargaan saja. Tidak ada loket tiket/karcis masuk, tidak ada resepsionis yang menyambut kedatangan kami, dan hal - hal official dan komersil seperti itu. Padahal menurut gue, setiap rumah dan peninggalannya yang ada di Lasem ini sangat berharga dan menyimpan nilai histori tinggi sekelas museum saja.

Lanjut ke kunjungan ke rumah industri tempe Pak Adi, di sana gue sempat membeli beberapa tempe fresh yang bentuknya unik, segi lima, dibungkus dengan daun jati. Oleh - oleh paling unik buat Mama di rumah. Selain itu, Pop memberi ide briliant untuk memberikan beberapa tempe sebagai buah tangan ketika gue berkunjung ke rumah - rumah berikutnya.

Pak Adi menyiapkan oleh-oleh tempe buat Mama
Meninggalkan rumah Pak Adi dan kembali menyusuri gang pasar nan sempit, gue berhenti di sebuah spot menarik lainnya, dimana gue melihat seorang ibu penjual minuman khas Lasem bernama cemoye, yang sedang asyik melayani dan mengobrol dengan seorang nenek penjual terasi. Ini salah satu pemandangan khas yang gue sukai, perempuan - perempuan berusia lanjut, dengan tatanan rambut dicepol ke belakang, dan tentunya kostum legendarisnya : kebaya kutu baru dengan motif khas (bunga-bunga) dan kain. Ini kostum yang inspiring banget buat gue. Kebanyakan kebaya yang gue punya adalah kebaya model kutu baru..karena gue menyukai sentuhan tradisional dan konvensional kayak gitu. Tapi kalau gue mengenakan kebaya gue dan bersanding dengan si nenek penjual terasi ini, pasti gue jauh kalah cantik dan anggun darinya. Sang nenek dengan kebayanya itu begitu nampak sebuah kesatuan yang pas, dan utuh, yang saling mempercantik satu dengan lainnya.

Menikmati cemoye
Gue sempat nongkrong beberapa saat menikmati minuman cemoye alias air jahe yang segar dan menghangatkan badan. Sebagai tanda terima kasih untuk sang nenek penjual terasi karena berkenan untuk diajak mengobrol singkat, gue pun membeli sebuah terasi. Oleh-oleh buat Mama.....meskipun selama ini rasanya Mama ngga pernah memasak pakai terasi.

Setelah cukup puas melihat-lihat isi pasar, gue dan Pop melanjutkan perjalanan, kali ini untuk mencari sarapan. Pop mengantarkan gue ke warung Mak Mo. Di sana selain sempat menikmati sarapan bubur ketan item, gue juga sempat melihat-lihat sekilas rumah Mak Mo yang juga kuno dan khas. 

Dari sana Pop mengantar melintasi desa-desa lainnya yang ada di Lasem. Kemudian kami kembali ke guest house. Ini kesempatan emas buat gue untuk berteduh sejenak dari panasnya matahari Lasem di pagi itu. Setelah beristirahat sejenak di guest house, perjalanan pun dilanjutkan menuju rumah batik Ibu Sutra. Saat itu Ibu Sutra kebetulan sedang keluar kota. Di rumahnya yang vintage banget dan keren banget itu, gue sempat bertemu dengan Ibu Mundasah dan Ibu Ngatijah yang sedang asyik membatik. Mereka dengan ramah menerima kedatangan gue, dan mengijinkan gue tinggal sesaat di sana dan meladeni kebawelan gue yang semangat bertanya segala hal mengenai kegiatan membatik yang sedang mereka lakukan.

Rumah Batik Ibu Sutra

Bersama Ibu Mundasah dan Ibu Ngatijah
Dari Batik Ibu Sutra, kami kembali ke guest house, kali ini karena Pop hendak menunggu tamu lainnya dari Jakarta. Ternyata ada 3 orang tamu dari Jakarta, salah satunya bernama Ibu Wasti, yang hendak melihat - lihat Lasem juga dengan dipandu oleh Pop. Ketika ketiganya tiba, gue pun bergabung dalam mobil yang mereka gunakan. Lumayan...karena sejak tadi pagi gue menjelajah Lasem dengan motor bersama Pop, dan meskipun masih pagi, hari itu rasanya sudah panas menyengat.

Bersama group ketiga perempuan dari Jakarta yang hobi fotografi ini, lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Rumah Batik Sekar Kencana milik Bapak Sigit Witcaksono. Rumahnya menyenangkan banget....asri, terkesan kuno dan modern di saat yang bersamaan. Trus yang menarik, workshop batiknya kali ini tampak lebih ramai dan sibuk karena banyak pekerja - pekerja perempuan yang sedang membatik saat itu. Kalau gue lebih senang duduk-duduk manis di antara ibu-ibu pembatik, atau bersantai di bagian depan (teras rumah) Pak Sigit yang super antik dan nyaman itu. Sementara yang lainnya, setelah asyik memuaskan hobi fotografi, mereka pun lanjut melihat-lihat dan membeli produk batik Sekar Kencana.

Batik dimana-mana
Rumah Batik Sekar Kencana
Karena sudah lewat jam makan siang, dari rumah batik Pak Sigit, kami lalu mencari makan siang. Kali ini gue menyantap lontong tuyuhan, yang merupakan kuliner khas Lasem.

Selesai makan, perjalanan pun dilanjutkan dengan mengunjungi rumah Oma Opa, Rumah Kuno Karang Turi, dan terakhir ke Rumah Tegel. Ketiga lokasi terakhir ini menarik dan antik banget, tapi dari ketiganya favorit gue adalah Rumah Oma Opa. Menurut gue itu adalah rumah tua dan kuno yang paling orisinal, termasuk sampai ke penghuninya segala. Selain itu gue juga menikmati mengobrol dengan Opa yang meskipun sudah berusia 84 tahun namun secara fisik masih fit, baik penglihatan, pendengaran dan daya ingat.

Rumah Kuno Karang Turi
Pekarangan Rumah Oma Opa
Teras Rumah Oma Opa
Bersama Opa

Rumah Tegel
Rumah Tegel

Tegel Fabriek Lasem
Tujuan terakhir adalah mencari pohon raksasa. Maksudnya ? Ibu Wasti dan teman-teman ternyata mendapatkan rekomendasi mungkin dari komunitas pecinta hobi fotografi mengenai keberadaan pohon berukuran jumbo yang ada di Lasem. Gue belum pernah mendengar mengenai 'tujuan' yang satu ini, namun tertarik untuk melihatnya juga. Lagian apa daya....khan gue menumpang, jadi akan mengikuti kemana pun mobil melaju. Begitu tiba di lokasi pohon yang berada di area persawahan dan sedikit rumah warga, gue takjub. Pohonnya, yang merupakan jenis pohon trembesi, emang berukuran gede bukan main. Ibu Wasti dan teman-temannya langsung semangat memotret dari segala penjuru.

Ada perbedaan jelas banget antara fotografer dan non fotografer (kayak gue). Kalau gue, meskipun takjub namun cukup dengan mengabadikan beberapa foto, sementara bagi ketiga fotografer yang bersama gue sore itu, mungkin pohon tersebut nampak seperti harta karun. Mereka asyik dan tekun mengabadikan dalam bentuk foto. Dalam 10 menit pertama, ketakjuban gue sudah mereda terhadap si pohon jumbo. Sementara bagi ketiga fotografer ini, waktu 1 jam pun rasanya kurang. Untunglah saat itu hari sudah mulai gelap, dan 'memaksa' kami meninggalkan lokasi.

Pohon trembesi raksasa

Dari sinilah gue berpisah dengan yang lainnya. Gue kembali ke guest house dengan diantar Pop, untuk mengambil ransel. Tiba di guest house gue sempat mandi dan membereskan barang - barang. Pop lalu mengantarkan gue menunggu bus tujuan Semarang (dari Surabaya). Sekitar jam 18:30 bus Widji pun tiba. Kali ini, lagi-lagi gue dapat bus non AC, yang dipenuhi beberapa penumpang perokok.

Bus tiba di Semarang sekitar jam 21:30 malam. Gue turun di Jalan Baru, dan menyambung angkutan umum tujuan Johar lalu turun di dekat gereja Blenduk. Gue sempat melihat - lihat pasar malam yang ada di sana, dan menikmati makan malam ala angkringan.

Gereja Blenduk
Setelah itu gue berjalan kaki menuju stasiun Semarang Tawang. Kadang gue merasa takjub sekaligus ngeri dengan kenekatan diri sendiri. Karena saat itu hari sudah sangat malam, suasana jalan pun sepi dan gelap, dan gue sendirian, dengan cueknya menggendong tas ransel menyusuri jalan yang belum pernah gue lalui, menuju Stasiun.

Setelah menunggu beberapa saat, kereta yang akan mengantar gue menuju Stasiun Senen (Jakarta) pun tiba. Kereta yang akan membawa gue kembali ke Jakarta dalam perjalanan selama kurang lebih 8 jam, yang mungkin ngga nyaman-nyaman amat.

Namun yang pasti gue senang dan puas. Akhirnya misi Lasem berhasil gue wujudkan. Kesan secara keseluruhan, menurut gue kota ini antik dan menarik banget. Berada di kota ini selama beberapa hari, rasanya gue ditarik ke masa lampau, dan 'terjebak' tinggal di masa itu untuk sesaat. Saking segala sesuatu di sini tampak tua (termasuk kebanyakan warganya), buat gue yang orang Jakarta dan terbiasa dengan hiruk-pikuk ala metropolitan, kota ini meninggalkan setitik kesan...gimana ya bilangnya...suram dan muram. Mungkin karena suasananya yang bisa dibilang sangat sepi. Atau mungkin karena dinamika kota ini yang jauh lebih lambat dari kota tempat gue hidup kesehariannya. Gimana pun, gue sangat menikmati libur singkat selama 3 hari di kota unik ini.

Selamat tinggal Lasem!

Pengeluaran :
  • Tempe : Rp. 20,000
  • Jamu : Rp. 5,000
  • Cemoye & terasi : 20,000
  • Sarapan Mak Mo : Rp. 8,000
  • Kamar (2 hari @Rp. 50,000) : Rp. 100,000
  • Transportasi dan jasa guide (2 hari) : Rp. 200,000
  • Ongkos Bus Widji : Rp. 22,000
  • Ongkos angkot Johar - Gereja Blenduk : Rp. 5,000
  • Makan malam angkringan : Rp. 10,000
  • Ongkos Kereta Kertajaya Semarang Tawang - Pasar Senen : Rp. 90,000
Total pengeluaran hari ketiga : + Rp. 480,000

Tuesday, October 06, 2015

Menyongsong Masa Lalu Di Lasem (Hari Kedua)

 

25 September 2015. Hari kedua di Lasem. 

Mungkin sebenarnya gue udah terbangun sejak sekitar jam 5 pagi. Gue dibangunkan oleh suara anjing menggonggong dengan lantang, entah dari mana asalnya...mungkin milik tetangga sekitar. Tapi gue masih belum sanggup meninggalkan kasur minimalis gue, karena sebenarnya badan masih lelah. Sekitar jam 6 pagi gue pun menyeret badan loyo gue ke kamar mandi. Maklum...kebiasaan gue ketika traveling adalah bangun pagi dan mandi pagi, semangat memulai perjalanan panjang.

Pagi itu gue berkenalan dengan kedua tamu guest house lainnya, Sisil dan Imel. Ketika semua sudah bersiap, kami pun berangkat bersama Pop menggunakan sebuah mobil sewaan. Pagi itu Pop berencana mengajak kami menikmati menu sarapan di warung - warung khas Lasem. Sayangnya, setelah menyusuri jalan - jalan dan setiap warung makan yang ada, tidak ada satupun yang buka. Lasem ini, gimana ya....kehidupan di kota ini terasa berjalan lambat dan demikian tenangnya. Tidak ada hiruk-pikuk yang nampak seperti di kota-kota lain yang pernah gue kunjungi.

Di tengah pencarian warung untuk sarapan ini, Pop mengajak untuk mampir ke sebuah bangunan tua yang dulunya berfungsi sebagai Stasiun Lasem. Bangunannya kecil dan nyaris tinggal reruntuhan.

Stasiun Lasem tinggal kenangan
Setelah mendapatkan warung yang buka dan kami bisa menikmati sarapan, perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi Klenteng Cu An Kiong di Jalan Dasun. Kayaknya ini salah satu klenteng paling paling tua dan paling indah yang pernah gue kunjungi. 

Gue belum berhasil menemukan data mengenai tahun dibangunnya klenteng ini, namun yang jelas usianya udah ratusan tahun. Kesan kunonya terasa banget, tapi di saat yang bersamaan, meskipun hampir seluruh elemen yang ada di klenteng masih orisinal, namun semuanya tampak kokoh. Gue benar - benar kagum dan terpesona dengan kekunoan dan keindahan klenteng ini. Tapi rasanya ada yang kurang....mengapa klentengnya sepi tanpa pengunjung yang hendak melakukan ibadah atau memanjatkan doa? Bahkan gue ngga melihat atau mencium asap hio yang biasanya membumbung memenuhi klenteng. "Sepi" dan tanpa pengunjung mungkin bisa berarti bagus...karena gue bisa berkeliling dan memotret, memuaskan rasa kagum gue akan klenteng ini dengan lebih leluasa. Tapi gue sebenarnya sedikit merindukan suasana klenteng yang 'hidup' dan sibuk, dengan orang - orang yang khusuk menjalankan ritual ibadahnya....dengan asap - asap hio yang menjadi ciri khas klenteng...lilin-lilin yang menyala, dan lain sebagainya. Kalau begini, klentengnya jadi lebih nampak seperti museum.

Gerbang Klenteng Cu An Kiong
Klenteng Cu An Kiong dengan lampion-lampionnya yang cantik
Pintu masuk Klenteng Cu An Kiong
Klenteng Cu An Kiong

Tujuan berikutnya adalah ke Vihara Karunia Dharma, yang letaknya di belakang klenteng Cu An Kiong. Menurut gue pribadi, ngga banyak hal yang bisa dilihat di sini. Viharanya memakai lokasi yang tadinya adalah sebuah rumah. Rumah nan megah dan kuno, tentunya. Selain diajak masuk dan melihat - lihat lantai satunya yang gelap, kami juga dibawa ke lantai atas, yang lebih gelap lagi. Jadi lebih menyerupai ajang uji nyali aja. Vihara ini dijaga oleh seorang perempuan, Tante Windi, dan keluarganya. Kedatangan kami disambut ramah oleh Tante Windi dan cucunya yang lucu, Atan, juga sekian banyak anjing dengan gonggongannya yang bersemangat.

Tante Windi dan Atan
Tempat ketiga yang gue kunjungi namanya Lawang Ombo. Seperti rumah - rumah lainnya yang sudah gue lihat dan singgahi di Lasem ini, bangunan Lawang Ombo ini berciri khas gaya Cina serta kuno. Dan seperti rumah - rumah lainnya, Lawang Ombo ini pun dipenuhi dengan berbagai foto - foto keluarga (sepertinya milik keluarga pewaris Lawang Ombo), baik yang tampak vintage maupun modern. Rumahnya maha luas, dan terdiri dari 2 bangunan. Di halaman rumahnya yang super luas juga terdapat sebuah makam sang pemilik rumah.

Lawang Ombo
Serambi Lawang Ombo
Sumur jalur penyelundukan candu

Rumah ini dibangun oleh Kapitan Liem di sekitar tahun 1800an dan sangat dikenal sebagai rumah candu. Lawang Ombo ini dahulunya dijadikan tempat penyelundupan candu, dan di lantai satunya terdapat sebuah sumur kecil yang merupakan jalur rahasia penyelundupan candu. Sumur ini terhubung ke sungai Babagan melalui sebuah terowongan di dalamnya. Kesimpulannya, dalam hal selundup - menyelundup, orang - orang dahulu ngga kalah cerdik dengan jaman sekarang.

Ketika gue dan lainnya tiba di sini, gue lihat seorang penjaga rumah bergegas mengambil sprei dan membereskan tempat tidur di sebuah kamar. Gue nanya ke si bapak kenapa beliau membereskan tempat tidur sementara tidak ada yang tinggal di sana. Dan dengan ramah dan polosnya si bapak menjawab, "Kalau Mbak dan teman - teman mau menginap di sini boleh kok....gratis, Mbak...ngga usah bayar..." Ya ampun ! Kayaknya nyali gue ngga sedahsyat itu untuk berani tidur di rumah ini.

Uniknya lagi, Lawang Ombo dihuni oleh banyak anjing, sama seperti di Vihara Karunia Dharma tadi. Namun yang berbeda, tidak ada satupun anjing yang 'menyambut' kedatangan kami dengan gonggongannya. Bahkan kawanan anjing ini terkesan 'takut' ketika didekati orang, dan segera menjauh. Gue ngga pernah lihat tingkah (ganjil) anjing - anjing seperti itu. Tingkah anjing gue kalau ketemu orang - orang 'baru' yang masuk ke 'areanya' ? Pasti mereka akan bersikap ofensif dan menggonggong sejadi - jadinya. Itu karena anjing - anjing gue emang masuk kategori galak (kayak yang punya)...tapi tipe anjing yang ngga bersahabat pun akan menunjukkan ekspresi tertentu. Anjing - anjing di Lawang Ombo ini....entah deh, masuk kategori mana.

Lokasi berikutnya yang kami kunjungi sebelum makan siang adalah Klenteng Gie Yong Bio di Jl. Babagan. Klenteng ini dibangun untuk menghormati ketiga pahlawan Lasem yaitu : Tan Kee Wie, Oey Ing Kiat dan Raden Panji Margono.

Klenteng Gie Yong Bio

Klenteng Gio Yong Bio
Dari Klenteng Gie Yong Bio, gue, Pop dan lainnya berangkat ke Rembang sekedar untuk mencari makan. Kami kesulitan mencari warung makan di Lasem karena banyak tempat yang tutup. Menurut Pop hal itu karena sehari sebelumnya adalah libur hari raya Idul Adha. Lalu ? Kenapa harus tutup sih ? Kalau libur harus tutup, gitu ? Trus sehari setelah libur harus tutup juga ? Ngga ngerti deh...Tapi kayaknya gue terlalu memaksakan pola dan cara berpikir ala Jakarta yang terlalu konsumtif dan dinamis. Padahal kota ini punya ritmenya sendiri, dan itulah yang menjadikannya khas dan menarik.

Sama seperti di Lasem, kami pun kesulitan mencari warung makan yang buka di hari itu. Akhirnya setelah berputar - putar, kami menemukan warung makan yang buka yang namanya Warung Makan Lumayan Pak Brengos di Jalan Pemuda.

Selesai makan, kami mampir di Hotel Antika di Jalan Erlangga. Hotelnya keren banget...karena sepertinya mengambil lokasi rumah kuno bergaya Cina. Secara keseluruhan, baik eksterior maupun interior hotel ini begitu bernuansa Cina yang kental. Gue bersyukur karena meskipun tidak menginap di sana namun diperbolehkan melihat - lihat bagian hotel, bahkan sampai ke lantai atas segala.

Hotel Antika nan antik

Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah batik 'Asri Ana Budaya' milik Bapak Parlan di desa Sendangsari. Begitu tiba di rumahnya, kami disambut oleh Pak Parlan yang dengan semangat mengeluarkan sebagian besar koleksi dagangannya berupa kain - kain batik tulis dengan harga berkisar Rp. 175,000 - Rp. 2,500,000. Batiknya cantik - cantik...namun sayangnya gue ngga bisa membeli satupun. Pasalnya, gue sengaja membawa uang minimalis ke Lasem ini, dengan tanpa membawa kartu kredit maupun kartu debit. Lagian kan shopping is forbidden....(kecuali beli makanan, karena hunger is forbidden...)

Batik Tiga Negeri dari rumah batik 'Asri Ana Budaya'

Oya, sebelum tiba di rumah Pak Parlan, mobil yang kami tumpangi berhenti di kawasan tambak garam. Jadi seperti inilah penampakan tambak garam yang pertama kali gue 'dengar' ketika berkomunikasi dengan Pop semalam sebelumnya. Dasar orang kota...gue begitu takjub melihat gunungan garam kasar di mana - mana. Dan seinget gue, mungkin itu adalah saat pertama kali gue melihat sebuah lokasi dan proses pembuatan garam.

Tambak garam
Gue dan yang lainnya meninggalkan rumah batik Pak Parlan ketika hari menjelang senja. Masih ada tujuan akhir yang hendak dituju, yaitu Pantai Karang Jahe yang berada di sepanjang jalan antara Rembang dan Lasem. Pantainya ngga terlalu istimewa, namun lumayan sebagai tujuan penutup hari. Di sini gue bisa relaks menyusuri pantai, di mana banyak pengunjung lainnya menikmati suasana dan aktivitas pantai. Menikmati jagung bakar dan minuman kelapa muda dan sempat lihat sunset juga meskipun cantiknya kurang optimal dan ngga sempat tertangkap kamera.

Pantai Karang Jahe


Tujuan berikutnya adalah pulang ke guest house supaya sempat beristirahat sejenak. Ngga berapa lama kemudian, kami pun meninggalkan guest house lagi, kali ini untuk mencari makan malam ala Chinese food di Warung Makan Pak Ujang.

Kembali ke guest house, kelar mandi, gue pun merebahkan badan lelah di kasur mini, masih di kamar yang super unik ini. Bonus untuk tidur gue malam ini, gue akhirnya mendapatkan bantal dari Pop. Semalam Pop lupa menyiapkan bantal untuk gue, jadilah gue tidur berbantalkan buku novel dan jaket yang gue bawa....darurat sekali kan ?

Malam itu gue menuju tidur dengan memikirkan kembali perjalanan yang udah gue tempuh hari ini. Gilaaa....Lasem tuh keren banget...vintage banget ! Terlebih kawasan China Town (Pecinannya). Selama ini gue punya gambaran sendiri mengenai 'kota tua'. Kota tua yang selama ini ada di benak gue hanyalah yang pernah gue lihat di kawasan Kota, Jakarta, atau Semarang, atau daerah lainnya. Tapi yang di Lasem ini, kayaknya ngga cukup kata untuk mendeskripsikannya...makanya gue lebih suka kata 'kuno'.

Di sini gue melihat bangunan - bangunan maupun desa - desa dengan gaya dan nuansa yang belum pernah gue lihat sebelumnya dan bahkan gue ngga pernah berpikir bahwa hal - hal seperti itu ada. Bukan hanya hal - hal yang berupa fisik, cerita sejarah Lasem pun ngga kalah menariknya untuk disimak. Rasa penasaran tingkat tinggi gue serta perjalanan panjang yang musti gue tempuh semalam terbayar dengan pengalaman menyenangkan yang gue rasakan hari ini.


Pengeluaran : 
  • 'Tiket masuk' : Untuk setiap lokasi yang gue datangi, berhubung ngga ada penjualan tiket atau semacamnya, biasa gue diminta collect uang bersama sebesar Rp. 10,000 per orang per tempat, yang akan diberikan kepada penjaga rumah sebagai bentuk rasa terima kasih udah diijinkan masuk. Jadi untuk ke Klenteng Cu An Kiong, Vihara Karunia Dharma, Lawang Ombo dan Gie Yong Bio, total pengeluaran : Rp. 40,000
  • Makan (sarapan, makan siang dan makan malam) dan jajan (di pantai Karang Jahe) dan beli minuman mineral : kurang lebih Rp. 75,000-Rp. 80,000. Total setelah di-shared dengan tamu guest house lainnya 
  • Transportasi (sewa mobil, driver dan jasa guide) Rp. 200,000,-. Total setelah di-shared dengan tamu guest house lainnya = Rp. 70,000 
Total pengeluaran hari kedua : Rp. + 190,000,-