I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Tuesday, December 30, 2014

Hari Keempat : Grand Palace Dan Sekitarnya

02 Desember 2014. Ini hari terakhir gue di Bangkok. Berhubung jadwal keberangkatan gue kembali ke Jakarta dijadwalkan jam 8 malam nanti, berarti gue masih punya cukup waktu untuk mengeksplorasi Bangkok, tepatnya sekitar Khaosan. Pilihan gue tentunya jatuh ke Grand Palace. Bangkok adalah Grand Palace dan Grand Palace adalah Bangkok. Jadi, kunjungan ke Bangkok ngga akan lengkap rasanya kalo ngga mampir ke sini.

Pagi itu juga gue bersiap - siap check out dari Khaosan Immjai. Karena ini adalah hari yang sibuk dan padat, dan ngga memungkinkan untuk gue balik ke Khaosan Immjai nanti siang sekedar untuk check out, maka gue selesaikan semuanya pagi ini. Gue memang diperbolehkan untuk menitip ransel, namun ngga boleh menggunakan fasilitas hostel lagi.

Selesai urusan check out, gue pun memulai langkah menuju Grand Palace dengan berjalan kaki. Tiba di sana, gue membeli tiket masuk seharga 500 bath. Pagi itu Grand Palace ramai oleh pengunjung, baik perorangan maupun group tour. Sebenarnya agak malas melihat kondisinya yang terlalu padat seperti ini.....apalagi kalo lihat hebohnya tiap - tiap group tour, terlebih ketika mereka mengatur group masing - masing. Berteriak - teriak....sambil mengangkat bendera group tinggi - tinggi. Berisik. Selain itu padatnya Grand Palace pagi itu bikin aktivitas berfoto jadi tantangan yang luar biasa berat. Jangan berharap mendapatkan foto tanpa dilatarbelakangi oleh kerumunan pengunjung lainnya. 

Meskipun demikian, pesona Grand Palace dengan bangunan - bangunannya yang megah dan menjulang dengan dominasi warna keemasan itu tetap menghipnotis gue. Sesuai rencana, gue cuma bisa menikmati keindahan dan keagungan Grand Palace sekitar 2 jam, karena masih ada beberapa lokasi di luar sana yang hendak gue kunjungi.

Beruntung dapat spot yang agak sepi
....sendal jepitnya....?&*^%#
a gembel door girl
Berikutnya gue melangkahkan kaki menuju Tha Tien Pier, untuk menumpang kapal yang akan mengantar gue menyeberangi Chao Praya menuju Wat Arun. Ongkosnya murah meriah banget : cukup 3 bath. Tiba di komplek Wat Arun, tempat pertama yang gue cari adalah penyewaan baju tradisional Thailand. Seperti kunjungan gue sebelumnya ke Bangkok, tepatnya ke Wat Arun, kali ini gue juga pengen berfoto dengan mengenakan baju tradisional Thailand yang indah itu. Harga sewanya masih sama seperti saat itu : 100 bath. 

Penari gadungan
Find me if you can !
Paling seneng merhatiin pose Sang Buddha.
Yang ini : Bhumisparsa Mudra
Salah satu sudut Wat Arun
Puas mengenakan baju ala Thailand, gue pun membeli tiket masuk ke Wat Arun seharga 50 bath. Kayaknya istilah "Beauty is pain" juga berlaku saat traveling....yaitu untuk mencapai tempat - tempat indah dan keren, kadang usaha keras diperlukan...."usaha" yang dimaksud disini termasuk cucuran keringat, nafas tersengal - sengal, dan rasa haus mendalam akibat kelelahan. Sebenarnya meniti anak tangga menuju puncak Wat Arun bukanlah tantangan yang luar biasa berat....namun kombinasi mulai dari hostel menuju Grand Palace, lalu mengeksplorasi Grand Palace itu sendiri berjam - jam, kemudian dari Grand Palace menuju Wat Arun ini, yang seluruhnya dilakukan dengan berjalan kaki, terlebih di saat matahari lagi bersinar terik maksimal seperti saat ini, bikin perjalanan mencapai puncak Wat Arun bagaikan perjuangan nan heroik. Tiba di puncak Wat Arun, gue menikmati saat - saat keemasan itu dengan memandangi Chao Phraya dengan kapal - kapal penumpangnya yang sedang melintas.

Chao Phraya dari puncak Wat Arun
Setelah berhasil menghimpun tenaga dan semangat, gue pun meninggalkan Wat Arun, dan kembali menumpang kapal menuju Tha Tien Pier. Target kali adalah Wat Pho. Tiket masuk ke Wat Pho seharga 100 bath. Wat Pho ini tempat yang super istimewa di mata gue....pertama, karena ada Reclining Buddha berukuran 43 meter di sini. 

Siap - siap kembali ke Tha Tien Pier
Gue emang sedikit 'terobsesi' untuk melihat patung Reclining Buddha, yang biasanya dibuat dalam ukuran raksasa. Dan rasanya selama kedua kaki gue masih sanggup, gue akan berusaha semaksimal mungkin mencapainya, di mana pun lokasinya. Sejauh ini gue udah mengunjungi Reclining Buddha yang ada di Wat Chaiya Mangkalaram (33 meter) di Penang,  lalu yang ada di Buddha Park, Laos (120 meter), trus di Wat Lokayasutharam, Ayutthaya (37 meter) dan tentunya yang ada di Wat Pho ini. Gak ada alasan khusus, mungkin karena gue suka dengan posisinya yang tiduran itu, bikin tampak tenang, santai dan damai.

Kedua, karena komplek Wat Pho dipenuhi dengan beberapa chedi (stupa) dalam berbagai ukuran yang bentuknya unik dengan warna - warni yang menarik.

Bukti udah ke Wat Pho :p
Di antara stupa - stupa Wat Pho

Salah satu bangunan indah di Wat Pho
Setelah puas berada di Wat Pho dan berhubung dikejar - kejar oleh waktu yang makin menipis, gue pun mengambil langkah pulang menuju Khaosan Immjai. Siang menjelang sore itu, kawasan sekitar Grand Palace tampak steril dan mendapat pengamanan ketat. Ternyata beberapa jam lagi akan ada parade/iring - iringan keluarga Kerajaan yang akan menuju Grand Palace. Prosesi ini adalah bagian dari perayaan ulang tahun Raja Bhumibol Adulyadej ke 87 tahun, yang akan jatuh tanggal 05 Desember 2014 ini. 

Sebenarnya gue pengen tinggal sesaat dan ikut menyaksikan acara akbar itu. Apalagi melihat semangat rakyat Bangkok yang mulai memadati sepanjang jalan protokol sekitar Grand Palace siang itu. Kalau dilihat dari atas, pasti sebentar lagi kawasan ini bagaikan lautan dipenuhi rakyat Bangkok yang mengenakan baju berwarna kuning, yang merupakan simbol rasa cinta, kesetiaan dan hormat mereka kepada sang Raja. Tapi gue mendapat informasi bahwa iring - iringan akan dimulai sekitar jam 3 sore nanti. Gue pun urung tinggal, walaupun hati gue sebenarnya pengen banget.

Menikmati jalan protokol Grand Palace yang steril
Gue mengingatkan diri sendiri bahwa gue harus antisipasi perjalanan menuju Airport yang mungkin akan macet sebagai dampak dari acara kerajaan ini. Gue pun kembali berjalan kaki menuju Khaosan Immjai. Sebelumnya gue mampir ke Khaosan Road untuk beli tiket shuttle minivan dari Khaosan ke Don Mueang International Airport seharga 200 bath, yang banyak ditawarkan oleh tour - tour agent di kawasan Khaosan Road. Selain itu gue juga sempat mampir ke kios Hongkong Noodle dekat Khaosan Immjai untuk makan siang kilat.

Sekitar jam 4 kurang 10 menit, gue meninggalkan Khaosan Immjai untuk menuju Khaosan Road, menunggu shuttle van yang akan mengantar gue ke Don Mueang Int. Airport. Dengan segudang kenangan indah dan seru gue di kawasan ini dan juga kota ini, rasanya berat banget untuk mengucapkan selamat tinggal. Selamat tinggal Bangkok, semoga suatu saat nanti Yesus akan ijinkan gue kembali untuk menikmati keindahan dan kenyamanan kota ini.

Monday, December 29, 2014

Hari Ketiga : Nostalgia Ayutthaya

Sejak masih di Jakarta, gue sudah memantapkan hati untuk memasukkan "Ayutthaya" dalam agenda wisata Bangkok kali ini. Gue jatuh cinta pada pandangan pertama pada kota ini sejak 4 tahun lalu.....Bagi gue Ayutthaya menyimpan sejarah dan peradaban tua Thailand yang masih tetap lestari sampai saat ini. Berada di kota ini, berasa mesin waktu berhenti sejenak, dan gue dibawa ke masa - masa lampau ketika sejarah kota dan negeri ini sedang diukir.

Tour ke Ayutthaya ini gue lakukan di hari ketiga gue di Bangkok, 01 Desember 2014. Untuk ke sini, gue menggunakan jasa Mama Tour and Travel, agent yang sama yang gunakan tahun 2010. Sebenarnya di Bangkok, tepatnya di Khaosan Road dan Ranbuttri Road, ada banyak pilihan Tour and Travel agent yang murah meriah. Namun karena gue ingin bernostalgia, kembali ke kenangan pertama kali ke Bangkok 2010 yang lalu, maka gue pun kembali ke Khaosan Road mencari kantor Mama Tour and Travel Agent.

Kali ini gue harus membayar 550 bath untuk 1 day Ayutthaya, Bang Pa - In dan
 Summer Palace tour. Tahun 2010 yang lalu gue membayar 400 bath untuk 1 day Ayutthaya tour. Kesepakatan harga didapat dengan cara negosiasi alias tawar - menawar sebelumnya dengan pihak agent. Mungkin sebenarnya harganya bisa lebih rendah dari itu, tapi berhubung gue amat sangat bersemangat berkunjung ke Ayutthaya lagi, ditambah perhitungan bahwa kali ini gue bakal dapat 'bonus' Bang Pa - In dan Summer Palace, menurut gue harga tersebut pas. Bonus lainnya, gue akan dijemput dari Khaosan Immjai. Sebenarnya ini bukanlah suatu kemewahan dan keharusan buat gue, karena berjalan kaki menuju Khaosan Road, yang merupakan meeting point tournya, adalah rutinitas yang sangat gue nikmati.

Di hari itu, 01 Desember 2014, selesai sarapan roti gosong favorit, gue dijemput oleh pihak tour agent sekitar jam 7 pagi lewat, menuju ke kantor salah satu tour agent di Khaosan Road. Di sana beberapa peserta tour sudah menanti. Dan penantian pun berlanjut panjang....penantian tanpa kejelasan....Untuk gue pribadi ini bukan sesuatu yang mengejutkan, karena beginilah yang gue rasakan 4 tahun silam. Semua peserta diminta berkumpul di meeting point jam 7 pagi. Lalu dibiarkan menunggu, namun ngga jelas nunggu apaan. Staff tour agentnya tampak sibuk masing - masing....berkata - kata, menelepon, atau kadang berteriak dalam bahasa Thailand, yang tentunya gak ada satupun peserta yang mengerti. Kalau ada peserta yang bertanya, menunggu apa, menunggu sampai kapan, dan sebagainya...paling dijawab dengan logat Thailand kental, "Please be patient, Mam/Sir..." Trus nanti staff - staff tersebut mendekat ke peserta, menempelkan stiker ke baju peserta sesuai dengan paket tour masing - masing, lalu mereka kembali disibukkan entah oleh apa. Meninggalkan sekelompok peserta yang bertambah bingung dan agak panik, karena warna stiker yang ditempelkan ke masing - masing peserta ternyata berbeda. Perbedaan warna stiker tergantung pada fasilitas yang akan didapatkan peserta, dan pembedaan warna tersebut untuk memudahkan pihak tour agent berikut supir. Karena stiker warna tertentu berarti termasuk fasilitas antar kembali ke hotel saat tour selesai. Ada juga stiker yang membedakan paket tour yaitu antara tour Ayutthaya saja atau paket lengkap Ayutthaya, Bang Pa - In & Summer Palace, dan semacamnya.

Akhirnya, menjelang jam 8 pagi, 2 mobil tour berangkat meninggalkan Khaosan Road menuju Ayutthaya. Perjalanan ditempuh sekitar 3 jam, sampai gue tiba di tujuan pertama Wat Phu Khao Thong. Di sini gue sempat membeli topi anyaman seharga 50 bath, karena ngga tahan sama mentari pagi itu yang begitu menyengat.

all is white...all is bright...
(Wat Phu Khao Thong)
Wat Phu Khao Thong
Masih di area sekitar Wat Phu Khao Thong
Dari Wat Phu Khao Thong, perjalanan pun berlanjut menuju Wat Lokayasutharam. Wat Lokayasutharam adalah lokasi di mana patung Buddha Tidur sepanjang 42 meter berada. Tiba di tempat ini, hati gue menjadi terharu dan sedikit sentimentil. Jika menarik mundur waktu ke sekian tahun silam....yang bikin gue penasaran akan Bangkok dan sekitarnya adalah ketika nonton acara "Backpacker" di TV One tahun 2008 - 2009 lalu yang dibawakan oleh Yulika Satria Daya. Saat itu Yulika sedang mengeksplorasi Thailand, tepatnya Ayutthaya juga. Dan ketika Yulika berada di depan patung Buddha Tidur raksasa itulah gue bilang dalam hati, "Yesus, itu keren banget....gue mau ke sana !" Tentunya harapan gue itu cuma bisa gue bisikkan dalam hati, karena kalo gue bilang ke Mama saat itu, "Ma....itu keren banget, Cei mau ke sana !" paling Mama cuma akan menyahut, "Jangan macam - macam kau....memang kau pikir gak jauh itu ? Terlalu panjang kakimu!" Dan dengan perjuangan mencari tiket promo Air Asia, akhirnya gue bisa berangkat ke Bangkok, pada Februari 2010, sebagai perjalanan ulang tahun gue. Puji Tuhan!

Nice to see you again, Reclining Buddha !
(Wat Lokayasutharam)

Wat Lokayasutharam
Tujuan berikutnya adalah ke Wat Mahathat dimana gue kembali bisa 'bertemu' dengan kepala Buddha yang terdapat di sebuah pohon. Gue mencoba menarik mundur kembali, apa yang melatarbelakangi hingga gue bisa berada di icon fenomenal ini 4 tahun lalu. Simpel dan sederhana, yaitu karena suatu ketika gue melihat fotonya di sebuah majalah National Geographic Traveler, kalau ngga salah, di Gramedia. Seketika gue bermimpi untuk ke sana. Dan akhirnya Yesus membukakan jalan untuk mewujudkan mimpi gue.

Kepala Buddha (Wat Mahathat)
Patung - patung Buddha tanpa kepala di Wat Mahathat
Sisa - sisa kemegahan Wat Mahathat
Dari Wat Mahathat, berikutnya group tour menuju Wat Phra Sri Sanphet dan juga Viharn Phra Mongkolbopit. Di sini setiap peserta tour dapat menikmati makan siang gratis (ngga termasuk minum) dengan menu tradisional Thailand.

3 (tiga) stupa Wat Phra Sri Sanphet
Tujuan akhir dari tour ini adalah Summer Palace di Bang Pa - In. Komplek Istana keluarga Kerajaan ini lumayan luas dan terdiri dari banyak bangunan dengan gaya berbeda - beda, ada yang bergaya Thailand, Eropa aristokrat, oriental, kolonial dan lainnya. Masing - masing bangunan memiliki nama yang sama indahnya. Pengunjung bisa menyewa semacam mobil golf untuk berkeliling komplek istana dengan membayar 400 bath per mobil. Di sini gue harus meminjam sarung yang disediakan petugas (dengan uang jaminan 200 bath) karena saat itu gue memakai rok selutut. Berhubung gue ngga menyewa mobil dan kini memakai sarung panjang, eksplorasi komplek istana nan luas ini dengan berjalan kaki menjadi tantangan tersendiri. 

Excellent and Shining Heavenly Abode
Ho Withun Thasana (Sages' Lookout)

Wehart Chamrunt
(Heavenly Light)

Welcome to Wehart Chamrunt :)
Di depan Aisawan Thiphya-A (Divine Seat of Personal Freedom)
Gue sempat mampir ke beberapa bangunan yang paling menonjol di lokasi ini. Karena keterbatasan waktu, ngga semua bangunan - bangunan indah itu bisa dijelajahi. Lagian, ngga semua bangunan bisa dimasuki pengunjung ....Maklumlah, ini kan istana kerajaan. Sampai saat ini Summer Palace masih digunakan oleh Raja Bhumibol Adulyadej dan Ratu Sirikit untuk menerima serta menjamu tamu.

Di akhir kunjungan gue di Summer Palace ini, gue baru nyadar bahwa gue kehilangan topi anyaman gue yang murah meriah....mungkin gue meninggalkannya di suatu tempat. Selama di sini, gue memang terkadang melepas topi tersebut ketika masuk ke beberapa bangunan. Dan sekarang, hilanglah topi keren gue itu! Ternyata kebiasaan ceroboh gue meninggalkan barang - barang masih belum sembuh.  

Akhirnya tour hari itu pun berakhir....cukup untuk mengobati rasa kangen gue akan kota ini. Makasih Yesus karena cuaca Ayutthaya hari itu cerah banget dan menjadikan tour nostalgia gue kali ini seru dan tak terlupakan.

Wednesday, December 24, 2014

Raja, Anjing, dan Hiruk Pikuk Bangkok

Tidur siang di Wat Lokayasutharam
Kayaknya ada pemandangan yang sedikit beda di kota Bangkok ini, dibandingkan dengan ketika pertama kali gue menginjakkan kaki di sini, tahun 2010 yang lalu. Kalau dugaan gue gak salah, sepertinya populasi anjing di kota ini berkembang pesat. Anjing ada dimana - mana, seakan - akan bersaing jumlah dengan penduduk Bangkok yang juga banyak. Baik di jalan umum dan trotoar, di wat - wat (temple), di pasar, halte bus, dan lainnya. 

Kalau gue perhatiin, anjing - anjing ini emang gak bersih - bersih amat....tapi kebanyakan memakai kalung dan bertubuh gemuk. Berarti mereka tidak terlantar, dan ada yang memperhatikan dan peduli untuk memberikan mereka makanan.

Menikmati pagi di Wat Chanasongkram
Yang menarik, gue ngga melihat adanya semacam benturan antara penduduk manusia dan penduduk anjing di kota ini. Keduanya hidup akur, damai dan berdampingan tanpa saling mengganggu. Ketika sekelompok anjing sedang bersantai di suatu sudut jalan, orang sekitar lalu-lalang tanpa merasa terganggu, takut atau terancam keselamatannya. Si kaki empat pun demikian...tampak tenang dan asyik sendiri, tidak mengganggu tetangga manusianya. Sebagai pemilik dan penyayang anjing, ini pemandangan yang menyenangkan untuk gue.

Suatu ketika di Ayutthaya, gue melihat poster besar memuat foto Raja Thailand, Bhumibol Adulyadej, sedang duduk dan di sisinya ada seekor anjing berwarna coklat tembaga. Anjing tersebut bernama Thong Daeng, yang tadinya merupakan anjing terlantar dan kemudian diadopsi oleh Raja di tahun 1998. Thong Daeng adalah anjing Raja yang paling terkenal dari sekian banyak anjing yang dimilikinya, dan menginsipirasi Raja menulis sebuah buku berjudul "The Story of Thong Daeng". 

Di bukunya tersebut Raja bercerita bahwa Thong Daeng adalah anjing yang penuh rasa hormat, bertingkah laku baik, rendah hati dan mengerti protokol. Anjing betina ini selalu duduk lebih rendah dari sang Raja, bahkan ketika Raja menariknya untuk memeluknya, Thong Daeng akan menurunkan badannya ke lantai. Kedua telinganya dalam posisi terkulai, seakan - akan dia hendak berkata "Saya tidak berani". Saking terkenalnya Thong Daeng, bahkan anjing ini punya halaman Wikipedia sendiri (Thong Daeng).

Raja Bhumibol Adulyadej adalah pecinta anjing sejati dan memberikan perhatian serta kasih sayang besar kepada anjing terlantar. Dalam tulisan - tulisannya, sang Raja sering mengingatkan rakyatnya untuk menaruh kepedulian kepada anjing terlantar, dengan cara mengadopsi dan menyediakan makanan serta tempat tinggal bagi mereka. Menurutnya, anjing terlantar yang diadopsi memiliki kerendahan hati serta kesetiaan yang luar biasa kepada pemiliknya sebagai ungkapan rasa terima kasih mereka kepada sang pemilik. 

Diambil dari Google Image
Diambil dari www.samuidog.org (The King And His Dog)
Diambil dari www.samuidog.org (The King And His Dog)
Sekarang gue mulai bisa mengerti, mengapa penduduk Bangkok (dan mungkin Thailand pada umumnya), begitu menghargai kehadiran mahluk berkaki empat ini di tengah - tengah kehidupan mereka. Mungkin karena teladan Sang Raja yang sangat mereka cintai dan kagumilah yang menginspirasi mereka.

Untuk gue pribadi, yang selama ini hanya mengetahui sosok Raja Bhumibol Adulyadej dari poster - poster besar yang ada dimana - mana, rasa kagum dan hormat gue kepada beliau semakin bertambah. Betapa seorang Raja dengan posisinya yang demikian tinggi dan terhormat menunjukkan sisi manusiawinya dengan mencintai dan merawat anjing - anjing (terlantar) dan bahkan menunjukkan kepedulian setinggi - tingginya bagi mereka, di hadapan seluruh rakyatnya. Bukan hanya hal - hal luar biasa bertema politik, kenegaraan, ekonomi nasional dan lain sebagainya yang beliau sampaikan kepada rakyatnya, namun juga  pesan 'kecil' bermakna besar, yaitu agar rakyatnya menaruh kepedulian kepada para anjing terlantar.  Untuk gue pribadi, teladan yang Raja berikan begitu menyentuh dan menyejukkan hati. Menurut gue, beliau bukanlah Raja bagi Rakyat Thailand semata, melainkan juga Raja bagi para anjing terlantar. 

Tuesday, December 23, 2014

(Review Hostel) Terbuai Kenyamanan Khaosan Immjai

14 Bed Dorm - Mix (Shared bathroom)
Seperti biasa, beberapa minggu menjelang trip bekpekeran gue akan buka websitenya Hostelbookers buat nyari - nyari tempat penginapan. Untuk trip ke Bangkok kali ini pun gue melakukan hal yang sama. Pengalaman gue pertama kali ke Bangkok tahun 2010 adalah pelajaran berharga. Saat itu dengan semangat menggebu - gebu ala bekpeker nekat, gue memutuskan untuk ngga booking hostel mana pun sebelum keberangkatan. Gue bertekad untuk nyari hostel on the spot....dan harus di Jalan Khaosan, karena Khaosan adalah area bekpeker paling legendaris di Bangkok. Dengan idealisme tanpa perhitungan itu, gue malah berakhir di sebuah kamar mengerikan, di Jalan Khaosan. Tragis...

Khaosan Immjai
Kali ini gue menyiapkan urusan hostel sebelum keberangkatan, dan gue gak memaksakan diri untuk tinggal di Jalan Khaosan. Karena pada trip sebelumnya gue tinggal di sana selama seminggu, dan gue masih ingat betapa hingar bingar kawasan itu di saat malam hingga dini hari. Kali ini gue harus lebih cermat mencari lokasi yang tepat. Yaitu lokasi yang strategis namun tetap memberikan gue ketenangan ketika harus beristirahat.

Pencarian gue berakhir di sebuah hostel bernama Khaosan Immjai. Gue membaca review - reviewnya, dan yang paling menarik untuk gue adalah hostel ini masih terbilang baru dan staffnya yang sangat ramah dan helpful.

Gue menempati salah satu ranjang di "14 Bed Dorm - Mix (Shared bathroom)" yang harga per malamnya adalah USD 13.75. Dorm Mix maksudnya kamar campur baik tamu perempuan maupun laki - laki. Kamarnya terletak di lantai 4, dilengkapi dengan 2 kamar mandi sekaligus toilet yang masing - masing untuk tamu perempuan dan laki - laki. Hostel terdiri dari 5 lantai, dan untuk mencapai setiap lantai hanya tersedia tangga, bukan lift. Khaosan Immjai sangatlah bersih dan rapih. Setiap pagi ada staff yang membersihkan setiap sudutnya, termasuk setiap kasur, sehingga kebersihannya terjaga. Karena itu pula, tidak ada aroma - aroma tidak sedap tercium, hanya udara segar. Interior setiap lantai memiliki tema berbeda - beda, setiap sisi tembok dilukisi dengan gambar - gambar serta warna terang dan cerah, yang menciptakan suasana hangat.

Breakfast timeee !
Mengenai review bahwa staff Khaosan Immjai sangat baik dan ramah, gue setuju 1000%. Dan bagi gue yang selalu menganggap hostel adalah rumah kedua ketika sedang tidak berada di negeri sendiri, kehadiran staff - staff yang ramah dan bersahabat sangatlah penting dan cukup menentukan nikmat atau ngga nya liburan yang gue lalui.

Di malam kedatangan gue, setelah meniti setiap anak tangga sampai ke lantai 4, begitu membuka pintu kamar, di hadapan gue adalah pemandangan yang sering gue rindukan di saat gue sedang tidak bekpekeran....di saat gue sedang berkutat dengan kehidupan dan rutinitas yang normal.....yaitu kasur tingkat (bunk bed) yang tersusun rapi. Gue memilih salah satu kasur bawah yang ada di pojok, dekat pintu ke balkon. Dan saat gue merebahkan badan di ranjang dan merasakan kenyamanannya...seakan - akan gue melepaskan segala kerinduan gue untuk traveling dan merasakan kehidupan nan seru di dalam kamar dorm seperti ini.

Pojok hair drier di lt. 3
Hostel ini memberikan fasilitas lengkap versi bekpeker. Pertama, air dingin dan panas untuk mandi. Kedua, hair drier, di lantai 3. Ini berguna banget buat bekpeker gembel kayak gue yang tiap paginya gak punya waktu berlama - lama di hostel sekedar untuk mengeringkan rambut habis keramas. Ketiga, balkon bersama untuk menjemur handuk dan lainnya. Setiap mandi bahkan gue bisa langsung mencuci pakaian dalam gue, lalu menjemurnya di balkon dimana terdapat 2 jemuran bagi penghuni tiap kamar. Dan di siang hari ketika gue kembali, semua jemuran gue sudah kering. Jemuran kering....hatipun senang. Rasanya guelah yang menguasai jemuran ini. Karena sebelum meninggalkan hostel setiap harinya gue akan menjemur handuk besar, handuk kecil, kaos dan celana tidur, lalu cucian gue. Keempat, wifi yang koneksinya sangat baik di setiap ruangan. Kelima, fasilitas 4 unit PC dengan koneksi internet gratis, yang terdapat di lantai satu. Keenam, fasilitas mesin cuci yang bisa disewa oleh tamu. Untuk fasilitas yang ini, gue belum pernah menggunakan, karena emang belum perlu. Dan fasilitas - fasilitas lainnya, yang kebanyakan bisa ditemui di lantai satu yang juga merupakan ruang tamu dan ruang resepsionis.

Lantai 1, komplit fasilitasnya
Untuk masalah keamanan, hostel ini juga punya sistem yang cukup memadai. Setiap tamu diberikan 1 kunci pintu utama (jaga - jaga kalau pulang larut malam dan pintu hostel sudah dikunci) dan 1 kartu slot untuk menuju tangga ke setiap kamar. Di tiap kamar, setiap tamu diberikan 1 lemari setinggi perut orang dewasa, untuk menyimpan barang masing - masing, tidak termasuk gembok dan kuncinya. Setiap bekpeker pasti tahu, betapa pentingnya membawa serta pasangan gembok dan kunci kemana pun. Setiap kamarnya memang tidak berkunci, namun karena di setiap lantai hanya terdapat 1 kamar, maka privasinya sangat terasa. Orang - orang yang lalu lalang dan keluar masuk kamar hanyalah penghuni kamar tersebut.

Mengenai suasana tidur gue setiap malam, sewajarnya malam - malam yang gue lalui di hostel, tepatnya di mix dorm room kayak gini, 'musik' pengiring tidur gue adalah alunan suara mendengkur, batuk - batuk, mengobrol, atau suara pintu yang terbuka dan tertutup ketika ada yang masuk atau meninggalkan kamar. Atau yang lebih sensasional lagi, meskipun lampu sudah kamar sudah dimatikan, selalu ada tamu lainnya yang malah sibuk sendiri dengan lemari pribadinya lalu mengemasi ransel dan barang - barang bawaannya dan semacamnya....kegiatan yang sebenarnya mustahil dilakukan tanpa menimbulkan suara gaduh. Dan di saat - saat seperti itu, yang gue lakukan adalah mencari kehangatan di balik selimut tebal, berusaha menikmati suasana dan meyakinkan diri sendiri bahwa begitu meninggalkan hostel ini, gue akan segera merindukan segala kegaduhan dan hiruk pikuk ini.

Sarapan paling lezat sedunia
Untuk urusan sarapan, menu hariannya adalah roti tawar dengan selai nanas dan butter. Selain itu tamu juga bisa menyiapkan kopi atau teh panas masing - masing. Jadi gue bisa merasakan lagi sensasi sarapan dengan 4 lembar roti gosong yang harus gue bakar 2 kali di mesin toaster, sampai seluruh permukaan roti kering dan menghitam. Berbeda dengan rutinitas di hostel lainnya, sehabis sarapan tamu tidak perlu mencuci piring dan peralatan makan lainnya, karena pekerjaan itu akan dilakukan oleh salah satu staff yang bertugas. Woww....rasanya ada yang kurang sih....Setiap kali gue cerita sama Mama soal kehidupan di hostel, terlebih rutinitas ketika gue sarapan, Mama cuma berujar datar, "Oh....jadi jauh - jauh kau ke luar negeri, harus nyuci piring juga kau ?"

Yang jelas, gue suka dengan segala hal yang ada di hostel ini. Ketika gue tiba di Bangkok, harus diakui awalnya gue kesulitan mencari lokasinya. Entah mungkin karena saat itu malam hari....atau karena gue menggunakan bus umum untuk pertama kalinya, atau karena Khaosan Immjai berada di lokasi yang belum pernah gue 'sentuh' sebelumnya. Tapi begitu gue merasakan tinggal di sini, ini adalah hostel terbaik nomor dua dari seluruh hostel yang pernah gue tempati sepanjang sejarah gue bekpekeran. Yang terbaik pertama adalah Betelbox di Singapura. Yang gue maksud adalah 'hostel' dengan konsep shared room ya...bukan hostel atau hotel dengan single bed room.

Jadi apakah gue akan merekomendasikan hostel Khaosan Immjai ini ke orang lain ? Pasti banget. Apakah gue akan memilih tinggal di sini lagi jika suatu saat berkesempatan ke Bangkok lagi ? Pengen banget ! Idealnya sebenarnya gue pengen mencoba tinggal di hostel - hostel berbeda namun pada akhirnya kalau udah 'jatuh hati' sama hostel tertentu, gue pengen kembali lagi dan lagi ke tempat itu.


Khaosan Immjai Hostel
Alamat : Samsen Soi 1, Samsen Road
Cara Naik Bus dari Don Mueang International Airport :
Naik Bus nomor 59 sampai ke Chatuchak Market atau Mo Chit
Dari Chatuchak Market atau Mo Chit naik bus No. 3 atau 524 turun di Samsen Soi 1 (tepat di perhentian bus, ada kios Seven Eleven). 
Menyeberang Samsen Road dan tinggal jalan kaki sekitar 20 meter, Khaosan Immjai ada di sisi kiri

Friday, December 19, 2014

Hari Kedua : Lelah Memuncak di Chatuchak

Pagi ini gue bangun dengan sejumlah rencana melayang - layang di pikiran gue. Target gue adalah Chatuchak Market ! Tapi sebelum ke sana gue akan menyempatkan diri mengunjungi beberapa tempat menarik sekitar Khaosan, yaitu ke Wat Chanasongkram yang berada tepat di seberang Khaosan Road, serta ke Wat Saket.

Pemandangan Wat Chansongkram pagi itu adalah bangunan - bangunan megah yang didominasi warna keemasan, lalu beberapa biksu yang berlalu lalang memulai aktivitas mereka, dan sekawanan anjing yang sedang bersantai.

Morning !

Vitarka Mudrā
Dari Wat Chansongkram, gue melanjutkan langkah menuju Wat Saket. Untuk mencapai Wat Saket, tepatnya mencapai puncaknya, perjuangannya lumayan. Selain jarak tempuh cukup jauh yang harus gue lalui dengan berjalan - kaki, tiba di komplek Wat Saket, gue harus menaiki sekitar 300 anak tangga untuk sampai di puncaknya. Namun kelelahan gue terbayar begitu melihat stupa keemasan berukuran raksasa tepat di puncaknya. Puas berada di sini dan berhasil membuktikan pada diri sendiri kalo stamina gue cukup baik untuk sampai disini, gue pun mengambil arah turun, dan meninggalkan lokasi Wat Saket.

Wat Saket
Stupa Wat Saket
Mengharapkan keberuntungan
Pemandangan dari puncak Wat Saket
Dalam perjalanan ke arah Khaosan Road, lewat dari Democracy Monument sedikit, gue menyeberang jalan untuk menunggu bus umum ke arah Chatuchak Market.

Democracy Monument
Wat Ratchanadda
Sebelum berangkat ke Bangkok gue udah berniat pengen ke Chatuchak market. Ini sebenarnya bertolak belakang banget dengan kebiasaan bekpekeran gue yang ogah ke pusat - pusat belanja. Meskipun Bangkok dikenal salah satunya sebagai pusat wisata belanja, tapi gue ngga tergoda. Waktu ke sini tahun 2010 yang lalu pun ngga ada niat untuk memasukkan 'belanja' ke dalam agenda gue.

Namun kali ini gue sedikit tergoda dan merencanakan ke Chatuchak Market, yang katanya salah satu weekend market terbesar dunia, dengan lebih dari 10,000 kios di dalamnya. Gue berniat ke sini untuk mencari hadiah ulang tahun untuk keponakan gue tersayang, Abigail (Abby) ,yang tepat berulang tahun ke-4 hari ini (30 November 2014). Meskipun gue gak bisa ikut perayaan ulang tahunnya yang diadakan di Puncak hari ini, tapi gue bertekad akan membawa pulang hadiah spesial buat Abby. 

Awalnya gue tiba di Chatuchak dengan segudang harapan. Melihat areanya yang luas banget, gue optimis kalo gue akan menemukan apapun yang gue perlukan di pasar legendaris ini. Gue pun mulai mengeksplorasi pasar yang dipenuhi dengan kios - kios dengan berbagai jenis barang dagangan. Mulai dari makanan, souvenir, tas, pakaian, lukisan dan barang seni, pecah belah, bahkan hewan peliharaan. Tapi semakin waktu berjalan, dan kaki gue pun ngga berhenti berjalan, kelelahan dan rasa bosan menyerang gue.

Menara Jam di Chatuchak
Coconut Ice paling enak sedunia
Lorong kios - kios
Gue udah berusaha mencari dan memperhatikan setiap kios yang udah dilewati oleh kedua kaki lelah gue ini. Namun sayangnya gak menemukan sesuatu pun yang menarik bagi gue. Target gue adalah mencari hadiah spesial buat Abby, bukan sekedar  oleh - oleh seperti gantungan kunci, tas, atau benda semacam itu. Kalau sekedar mencari barang - barang simpel seperti itu, mungkin Chatuchak inilah surganya, karena menyajikan banyak pilihan dengan harga terjangkau. Panasnya cuaca siang itu ditambah menumpuknya orang dan kios di kawasan Chatuchak juga bikin gue susah fokus. Apalagi pas melewati bagian hewan peliharaan.

Gue paling sebal sebenarnya kalo lihat pet shop dan semacamnya yang menjual anak - anak hewan. Gak tega lihatnya. Tapi begitu gue mau segera kabur dari area itu, gue malah tertahan sama pernak - pernik keperluan hewan, khususnya anjing, yang lucu - lucu dan unik dan mungkin ngga akan gue temui di Jakarta. Gue sempat mau beli baju dan tas ransel buat Bruncuz dan Momo. Untung gue segera tersadar, Bruncuz dan Momo pastilah ngga nyaman dengan aksesoris seperti itu. Mungkin akan gue akan terhibur melihat kedua anjing gue memakai baju layaknya manusia, ditambah lagi dengan tas ransel yang bisa memuat HP atau botol minum, namun keduanya pasti ngga akan merasa nyaman.

Gue pun mengambil langkah pulang, dengan menumpang bus No. 524 ke arah kembali ke hostel. Gue pengen istirahat dan merebahkan badan sejenak, rasanya tenaga gue tersedot luar biasa di Chatuchak tadi, baik untuk berjalan maupun memperhatikan setiap kios.

Tiba di Khaosan Immjai, gue langsung ke kamar. Di atas ranjang, gue sedikit menyesali karena meskipun sudah melewatkan 1 hari dari keseluruhan waktu gue yang singkat di Bangkok ini, gue pulang dengan tangan kosong, tanpa berhasil mendapatkan kado untuk Abby. Kenapa semua orang bilang belanja ke Chatuchak bagaikan surga ? Gue ngga ngerti.....Setelah berisitirahat sejenak, gue pun kembali bersiap - siap meninggalkan hostel. Gue masih belum putus asa dalam misi mencari kado Abby. Kali ini gue akan ke MBK ( Mahboonkrong) Center. Dari cerita yang gue dengar dan baca, ini adalah salah satu Mall legendaris di Bangkok, selain Platinum. Gue akan kesana untuk membuktikan sendiri, dan tentunya masih dalam misi mencari hadiah Abby. 

Untuk ke sana gue naik kapal ferry dari Phra Artrit Pier menyusuri sungai Chao Phraya menuju Sathorn Pier. Dari Sathorn Pier gue lanjut naik BTS Skytrain di Stasiun Saphan Taksin menuju Stasiun National Stadium. Dan MBK Center, tepat bersebelahan dengan stasiun National Stadium. Gue tiba di MBK Center dengan harapan lebih besar ketimbang ketika tiba di Chatuchak Market tadi, karena gue pikir inilah satu - satunya kesempatan mendapatkan hadiah Abby. Gue pun menyusuri setiap lantai di mall itu, mencari barang apapun yang menarik sebagai hadiah untuk Abby. Namun lagi - lagi gue kecewa. Bagi gue Mall ini ngga berbeda dengan ITC - ITC yang gampang gue temui di Jakarta. Bagi gue Mall - mall di Jakarta menyajikan lebih banyak barang, atau paling tidak barang - barang yang sama, namun dengan harga yang lebih terjangkau. Jadi soal urusan belanja, gue adalah pendukung pasar dan produk asli Indonesia, karena dari segi variasi, kualitas dan harga, lebih unggul kok. Dan lagi - lagi gue pulang ke Khaosan dengan tangan kosong. Gue enggan mencari Mall lainnya, karena selain saat itu sudah malam, gue pesimis akan menemukan hadiah yang pas dan menarik untuk Abby. 

Gue pun memutuskan pulang ke hostel....dengan kedua kaki super lelah dan pegal. Kesan gue, mengeksplorasi tempat - tempat belanja itu lebih melelahkan serta membosankan. Entah deh....mungkin karena niat gue menggendong ransel berat jauh - jauh dari Jakarta ke Bangkok ini bukanlah untuk kepuasan materi seperti berbelanja. Gue penggemar berat kota Bangkok karena kekayaan budaya, religi, dan sejarah yang dimilikinya, bukan pusat belanjanya. Mungkin karena niat minimalis untuk berbelanja itulah gue ngga kunjung menemukan hadiah Abby di sini. Tenang Abby sayang, Aju Cei akan cari hadiah yang lebih menarik di Jakarta nanti !

Wednesday, December 10, 2014

Hari Pertama : Antara Don Mueang dan Samsen Road

Sam Sen Road
Menjelang akhir tahun 2014, tepatnya tanggal 29 Nov - 1 Des 2014 yang lalu, Yesus yang Maha Baik kembali memberikan gue kado istimewa : trip ke Bangkok. Tiketnya gue beli (tentu saja) dari Air Asia ketika promo tahun lalu, totalnya cuma sekitar IDR 500,000 (pulang - pergi). 

Pertama kali gue menginjakkan kaki di Bangkok adalah tahun Februari 2010 yang lalu, yang menyisakan segudang kenangan indah dan seru yang tak terlupakan. Karena itu gue bersemangat dengan trip kali ini, karena di mata gue Bangkok itu gak pernah membosankan. 

Saat kunjungan gue tahun 2010 yang lalu pesawat Air Asia yang gue tumpangi mendarat di Suvarnabhumi International Airport. Dari Airport menuju Khaosan Road, gue tinggal menumpang minibus (semacam Bus Damrinya Bangkok). Gue tinggal duduk manis di minibus yang nyaman itu, sampai sang sopir menghentikan mobil di halte dekat Khaosan Road.

Sementara kali ini, Air Asia sudah tidak lagi mendarat di Suvarnabhumi International Airport, melainkan Don Mueang International Airport. Ini menjadi tantangan tersendiri, karena dari informasi yang gue dapatkan baik dari hasil browsing maupun dari pihak Khaosan Immjai (Hostel tempat gue akan menginap), tidak ada pilihan minibus yang akan mengantar gue langsung ke kawasan Khaosan. Pilihannya adalah dengan taksi atau bus umum. Ada juga yang lebih menantang yaitu naik kereta. Tapi berhubung gue dijadwalkan mendarat di Don Mueang jam 20:15 malam, jadi gue enggan mengambil alternatif itu.

Meskipun namanya "Khaosan Immjai" hostel ini ngga benar - benar terletak di kawasan Khaosan, melainkan di sekitar Sam Sen Road, lengkapnya : Sen Soi 1 Samsen Road, Wat Sam, Phraya, Phranakorn District. Entah kenapa kalau gue lihat di peta kok posisinya seperti berada di tengah - tengah antara komplek Anantasamakhom Throne Hall dan Khaosan Road. Gue agak bingung sebenarnya....

Berhubung gue adalah bekpeker gembel yang selalu penasaran dengan hal baru dan kadang sok mencari tantangan, maka pilihan gue jatuh ke.....naik bus umum. Keuntungannya mendarat di Don Mueang adalah lokasinya dekat banget dengan jalan raya utama. Jadi begitu keluar gedung airport, gue tinggal berjalan kaki beberapa ratus meter meninggalkan komplek airport, langsung nemu halte bus. Di halte bus itulah gue menunggu bus pertama No. 59 tujuan Terminal Bus Mo Chit atau Chatuchak Market. Nunggu busnya lumayan lama, 20 menit lebih, ongkosnya gak sampe 20 bath. Gue turun di Mo Chit terminal dengan mulus tanpa kendala. Gue pun kembali menunggu di halte Mo Chit, bus berikutnya, nomor 524. Bus yang satu ini, udah nunggunya lama banget (lebih dari 30 menit), kendala lainnya adalah Ibu Kondektur yang bertugas benar - benar ngga mengerti bahasa Inggris. Jadi begitu gue bilang mau turun di "Sam Sen Soi" dia langsung nunjuk seseorang yang duduk di belakang gue. Gue asumsiin bahwa si Ibu Kondektur minta gue tanya ke pemudi tersebut. Gue pun menyodorkan peta yang gue pegang dengan jari gue menunjukkan ke arah "Sam Sen Soi 1". Si pemudi malah kebingungan. Selain bingung karena gak tahu jalan yang gue maksud, juga karena ngga ngerti bahasa Inggris. 

Gue pun duduk dengan pasrah, dengan secuil rasa kesal terselip di hati gue....entah kesal sama siapa. Kalau gue menarik ke belakang apa yang gue alami tahun 2010 lalu, rasanya emang ngga pernah mudah mencari jalan di Bangkok ini. Kendala pertama, karena kebanyakan (hampir semua) nama jalan dan fasilitas  - fasilitas lainnya di kota ini ditulis dalam huruf Thailand yang keriting - keriting itu. Kedua, ngga semua orang disini bisa berbahasa Inggris, jadi gue sulit berkomunikasi ketika mau nanya apapun. Senjata gue dari tadi cuma sodor - sodorin peta Bangkok doang....Tapi kali ini celaka duabelas, karena selain orang yang gue tanya ngga ngerti bahasa Inggris, juga ngga tahu jalan yang gue cari. Dan semua tantangan itu makin sempurna karena ini adalah malam hari. Mungkin di siang hari akan lebih mudah buat gue mencari arah dan jalan. Sementara itu rasa lelah dan lapar udah menyerang....apalagi dengan ransel berat membebani punggung gue kayak sekarang.

Mata gue cuma bisa memandangi selembar kertas berisi email konfirmasi dari Khaosan Immjai di tangan kiri dan peta Bangkok di tangan kanan. Sekonyong - konyong gue kesal karena pihak Khaosan Immjai tidak memberikan informasi tambahan misalnya gedung atau bangunan terdekat dengan hostel itu, atau apapun yang agak spesifik. Informasi yang diberikan cuma :

By bus: Airport shuttle bus A1 or public bus no. 59 to Mo-Chit Bus Terminal or Chatuchak Market and then take bus no. 3 or 524 to the opposite side of "Sam Sen Soi 1" and then you just walk across the main road (“Sam Sen Road”) and walk through Sam Sen Soi 1  around 20 meter you will see the orange building on the left hand side. Total prices is around 16 – 50 Baht , 100 – 200 minutes depends on traffic and how often they come. Satu - satunya petunjuk mengenai bangunannya cuma "orange building", yang sebenarnya kurang berarti di saat gelap malam seperti ini.

Di tengah kepasrahan, gue yakin bahwa di dalam situasi kayak gini, instinglah yang akan membantu gue. Gue selalu percaya, di tengah kebingungan seperti ini, Yesus punya cara tersendiri untuk membantu gue....ngga selalu melalui orang - orang yang gue temui, namun juga melalui diri gue sendiri. Di tengah jalan antah berantah, begitu melihat Seven Eleven, gue pun memilih untuk segera turun. Padahal gue gak ada petunjuk sedikit pun di mana gue berada saat itu. Entah karena bantuan insting gue, atau karena dorongan rasa haus yang kronis. Seven Eleven itu bak oase buat gue, dan gue langsung masuk untuk beli air mineral. Gue udah ngga minum air sejak boarding di Jakarta tadi, jadi ditambah dengan lamanya perjalanan Jakarta - Bangkok dan sampai saat ini, gue belum minum setetes air pun selama kurang lebih 4 jam.

Di kasir, sambil membayar air mineral yang gue beli, gue juga menyempatkan bertanya jalan yang gue cari. Puji Tuhan, dengan antusias si kasir yang baik hati itu langsung meninggalkan mesin kasirnya, menuju ke luar toko dan dengan terbata - bata menjelaskan arah ke gue. Yang gue tangkap, gue hanya perlu berjalan kaki melewati 2 persimpangan / lampu merah, lagi, lalu posisi jalan tersebut ada di sebelah kanan, alias gue harus menyeberang jalan. Gue girang bukan main.....! Padahal tadi gue berhenti di sini bukan karena tahu jalan, melainkan sekedar terdorong oleh insting doang.

Dengan informasi yang gue dapatkan ditambah seliter air mineral di pelukan gue, langkah gue menjadi jauh lebih ringan. Kurang dari sepuluh menit kemudian gue pun tiba di Khaosan Immjai, saat itu sekitar jam 11 malam. Jadi, "Sam Sen Soi 1" lebih nampak seperti gang, bukan jalan utama. Ngga heran kalo warga Bangkok pun ngga tahu keberadaannya.

Karena gue masih penasaran dimana posisi hostel ini sebenarnya, gue pun berniat untuk mencari Khaosan Road malam itu juga. Dengan semangat menggebu - gebu, kelar bersih - bersih sejenak, gue pun meninggalkan hostel malam itu. Cukup berjalan - kaki sekitar 10 menit menyusuri Sam Sen Road, gue tiba di Khaosan Road. Ada sedikit rasa haru di hati, akhirnya setelah 4 tahun berlalu gue kembali menginjakkan kaki di jalan fenomenal ini. Suasananya masih sama seperti saat itu, karena kebetulan 4 tahun lalu pun gue tiba di sini ketika malam minggu. Jadi, jalan ini diramaikan dengan hiruk - pikuk wisatawan yang larut dalam kehidupan malam ala Khaosan Road yang heboh dan hingar - bingar. 

Kota ini, tepatnya kawasan ini, selalu menantang untuk gue. Sejak mendarat di airport menuju hostel aja gue mendapatkan pengalaman yang seru. Dan gue ngga sabar untuk menyambut esok dan memulai petualangan gue di kota ini.