I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Tuesday, September 20, 2016

Mandi Belerang Ala Ciseeng

 

18 September 2016

Soooo....weekend ini gue dedikasikan untuk menjelajahi pesona terpendam kota Parung. Kalau sehari sebelumnya, Sabtu, gue dan suami (cieeeeee...!) trekking ke Situs Gunung Munara, kali ini gue  pengen mandi air belerang di Ciseeng.

Tempat pemandian air panas Ciseeng bukanlah lokasi yang asing buat gue dan Ony, karena ini salah satu tempat favorit kami untuk memanjakan dan menyegarkan fisik dengan cara sehat yaitu mandi air belerang. Yang berbeda kali ini adalah gue memilih lokasi sumber air belerang di Gunung Panjang, yang berdekatan dengan Pemandian Air Panas Tirta Sanita. Alasannya, karena pengen mencoba sensasi berbeda karena sumber air belerang di Gunung Panjang ini masih sangat alami dibandingkan Tirta Sanita, di mana pengunjung bisa menikmati berendam air belerang di bathup yang tersedia di ruang - ruang privat.

Kalau di Gunung Panjang ini, pengunjung bisa menikmati mandi air belerang di kolam - kolam yang tersedia, yang berasa banget alaminya.... beratapkan langit, dan dikelilingi hamparan hijau pepohonan di sekitar area kolam pemandian. Pemandian air belerang di Gunung Panjang ini mirip dengan floating pool yang biasanya dimiliki hotel - hotel super mewah, tapi versi alami, orisinil, dan super alakadar.... 

Tapi sebelum akhirnya bisa nyemplung ke kolam, gue dan Ony harus merasa sedikit dongkol karena adanya pungutan - pungutan liar dan ngga jelas yang musti dibayar. Pertama, di jalan umum menuju lokasi Gunung Panjang dan Pemandian Air Panas Tirta Sanita, kami dihentikan seseorang yang 'merampok' Rp. 2,000 per kendaraan yang lewat di situ. "Bayar untuk apaan ?" gue nanya karena kesal. Eeehh...dijawab dengan lebih nyolot, "Mau kemana ? Air panas kan ? Bayar dua ribu!" Isssshh...rasa sebelnya sampai di ubun - ubun, tapi apa boleh buat, meski terpaksa, gue tetap memberikan uang yang diminta. 

Setelah memarkir motor (dan tentunya diharuskan membayar lagi untuk parkir) dan berjalan menuju pintu masuk Gunung Panjang, pengunjung harus membayar Rp. 10,000 per orang. Lalu, begitu tiba di depan kolam, yang jaraknya paling cuma 50 meter berjalan kaki dari pintu masuk tadi, pengunjung kembali harus membayar Rp. 5,000 per orang. Dengan semua pungutan dan tarif yang harus dibayar itu, pengunjung bisa menikmati...mandi air belerang....titik...Selebihnya, ngga ada fasilitas tambahan, selain sebuah bilik kecil seadanya untuk ganti baju, yang 'pintunya' menggunakan bekas spanduk yang sudah sobek di sana sini. Lebih 'nikmatnya' lagi, kamar mandi pun tidak tersedia di sini. Jadi, entahlah hasil pungutan - pungutan itu menguap kemana. Yang disesalkan, tempat pemandian air panas sekeren ini belum dikelola dengan baik....oleh pihak siapa kek gitu.


Jalan setapak menuju pemandian air belerang
Bayar....bayar....bayar...!
Floating Pool ala Ciseeng
Terlepas dari rasa kesal karena proses pungutan berlapis - lapis tadi, harus diakui, gue dan Ony sangat amat menikmati tempat ini. Yang bikin tambah asyik, pengunjungnya ngga terlalu banyak. Sebenarnya ada banyak orang di situ, tapi sebagian besar justru ngga mandi dan berendam, namun cukup sibuk berfoto - foto. Sementara gue, tetap menjaga keseimbangan....antara menikmati mandi air belerang dan berfoto, tentunya. Gue harus optimalkan kunjungan kali ini....apalagi jika teringat setiap lembar uang yang harus gue keluarkan tadi. 

Selain berendam di kolam besar, gue juga berpindah ke kolam lainnya, yang dilengkapi dengan pancuran air panas. Rasanya segarrrrrr banget badan ini!

Just the two of us
Maskeran belerang

Setelah puas berendam dan bosan menghirup aroma belerang, gue dan Ony pun bersiap - siap. Berhubung di sini tidak disediakan fasilitas mandi, maka gue cuma bisa mengeringkan badan dengan handuk, lalu mengganti baju, di bilik alakadar yang ada di situ. Rasanya ? Lengkeeeettt banget! Tapi apa boleh buat.....Kalau di Tirta Sanita, setiap kamar - kamar juga menyediakan fasilitas air bersih untuk mandi. Tapi, sejujurnya, untuk urusan kolam air belerangnya, gue tetap memilih Gunung Panjang ini. 

Gue dan Ony pun meninggalkan pemandian air belerang Gunung Panjang dengan senyum lebar, dan aroma tajam belerang menempel di sekujur badan.

Piknik Gembira ke Gunung Munara



17 September 2016

Sejak menikah dan tinggal di Sawangan, Depok, gue menyimpan keinginan untuk mengeksplorasi daerah kecamatan tetangga, yaitu Parung, dan mencari lokasi- lokasi 'piknik' yang menarik di sana. Kenapa harus Parung ? Alasannya, karena Parung tuh deket banget dari Sawangan. Dan menurut gue tempat wisata di Parung belum banyak diekspos, jadi kayaknya akan lebih menarik dan bikin penasaran.

Sebenarnya lokasi 'tetangga' favorit lainnya adalah Bogor. Tapi gue lagi malas ke sana....pertama, karena akses keluar dari Stasiun Bogor yang menurut gue makin semrawut dan bikin pengguna kereta cape. Kedua, karena sekarang di banyak ruas jalan utama diberlakukan sistem satu arah, jadi kemana - mana rasanya jadi tambah jauh.
Setelah browsing sana sini, gue mendapatkan informasi mengenai keberadaan situs Gunung Munara. Gunung Munara terletak di Rumpin, Kampung Sawah, Parung. 

Begitu lihat alamatnya, gue yakin belum pernah menginjakkan kaki atau sekedar lewat daerah itu. Karena selama ini, lokasi Parung yang paling jauh pernah gue datangi cuma daerah Ciseeng, tepatnya Wisata Air Panas Tirta Sanita. Ternyata lokasi Gunung Munara ini memang masih lebih jauhhhhh....dari Ciseeng. 

Kalau dari Pasar Parung, setelah pertigaan ke arah Ciseeng, kira - kira masih sekitar 30 - 45 menit lagi. Mengenai arah, sebenarnya ngga susah - susah banget...karena cukup ikutin jalan (utama) lurus terus, sampai tiba di sebuah pertigaan lagi. Kayaknya itu yang namanya pertigaan Rumpin. Dari sini, gue dan Ony ambil arah ke kanan, dan lagi - lagi, tinggal ikutin jalan (besar) yang ada, tibalah gue di lokasi situs Gunung Munara.

Mendekati lokasi, jalannya udah mulai berkelok, mendaki, menurun, dan yang pasti, kondisi jalannya buruk dan rusak. Mungkin karena kebanyakan dilalui oleh truk - truk besar pengangkut pasir dan batu gitu. 

Tiba di area parkir motor dan lalu gerbang masuk situs Gunung Munara, pengunjung diharuskan membayar tiket masuk sebesar Rp. 10,000 per orang dan Rp. 5,000 per motor. Setelah itu gue dan Ony pun melanjutkan perjalanan dengan hanya mengandalkan petunjuk arah seadanya dan insting.


Dari informasi yang gue baca, ketinggian Gunung Munara adalah 1119 mdpl yang sebenarnya gue ngga ngerti maksud dan cara ngitungnya gimana....Yang jelas, perjalanan dari gerbang masuk sampai dengan lokasi bukit pertamanya, Batu Belah, gue tempuh dalam waktu kurang lebih 45 menit. Mungkin pengunjung lain bisa jauh lebih cepat dari itu, tapi karena stamina gue ngga terlatih untuk mendaki gunung, jadilah setiap langkah adalah perjuangan luar biasa dengan nafas ngos-ngosan dan keringat bercucuran. Gue harus berhenti beberapa kali untuk sekedar beristirahat sejenak.

Gue bersyukur karena cuara Parung saat itu cerah namun teduh. Dan nampaknya sudah beberapa hari ngga turun hujan di sana, jadi tanah yang harus gue pijak kering.....ngga kebayang kalau gue harus melaluinya setelah diguyur hujan...becek dan licin....pasti bakal lebih menantang lagi. 

Di luar 'pendakian' yang lumayan bikin mandi keringat itu, sebenarnya gue dan Ony sangat menikmati perjalanannya, karena bisa menikmati keindahan alam nan hijau, menghirup aroma alami pepohonan dan tanah, kesunyiannya, dan berinteraksi dengan pengunjung lainnya yang ramah - ramah, yang ngga berjumlah banyak, dan kalo gue tebak, kebanyakan adalah warga sekitar Parung.

Akhirnya gue dan Ony tiba di bukit Batu Belah. Untuk mendaki bukit ini disediakan tali, yang sangat membantu pengunjung berstamina alakadar dan berbobot tambun seperti gue. Bukit ini ngga terlalu besar, paling cuma bisa menampung sekitar 5 - 7 orang di atasnya. Jadi, untuk bisa ke sini, pengunjung harus gantian. Pemandangan dari atas bukit, pastinya indah dan menyenangkan. Rasanya gue bisa melihat kota Parung dari sini, dan hamparan hutan yang nampak rimbun dan hijau. Buat gue yang sehari - hari menghabiskan waktu terbanyaknya untuk beraktivitas di hutan beton Sudirman (Jakarta) dan sekitarnya, pemandangan indah kayak gini benar - benar kemewahan dan langka.






Setelah puas di sini, gue dan Ony pun melanjutkan perjalanan, kali ini menuju Bukti Batu Kodok. Gue kurang ngerti kenapa disebut demikian, karena meskipun dengan menggunakan daya imajinasi paling tinggi sekalipun, gue belum bisa melihat bentuk kodok dari susunan batuannya. Waktu ngobrol singkat sama petugas penjaga situs Gunung Munara, si petugas sempat bertanya, "Sudah ke Batu Kodok, Mbak ? Yang bentuknya kayak kodok....?" Gue cuma manggut - manggut aja tanda setuju....padahal dalam hati menyimpan bingung. Kodok mananya ??
 
Anyway, pemandangan dari bukti Batu Kodok ini lebih keren lagi...ditambah bebatuannya yang berukuran raksasa, keren dan nyaman banget untuk sekedar nongkrong menikmati alam sekitar, atau berfoto - foto. 




Ketika hendak melangkah pulang, gue dan Ony bertemu seorang bocah kecil bernama Dimas yang tadi gue lihat ketika di Bukit Batu Belah. Dimas menawarkan diri untuk mengantar ke Batu Adzan. Batu Adzan ? Apa itu ? Gue dan Ony pun tertarik, dan menuju ke sana dengan diantar oleh Dimas. Batu Adzan nampak seperti menara yang berdiri kokoh tegak lurus. Katanya, di atas batu itulah dikumandangkan adzan. Gue cuma bingung gimana caranya naik ke situ...

Dimas mengajak gue dan Ony memanjat bukit kecil di sebelah Batu Adzan, supaya bisa memandanginya dari jarak dekat. Sebenarnya kekaguman gue sama Batu Adzan sih biasa aja....tapi gue sangat menikmati nongkrong di situ karena sepi tanpa pengunjung lainnya dan lebih padat oleh pepohonan.



Dari Batu Adzan, gue dan Ony mengucapkan selamat tinggal ke pemandu cilik, Dimas, dan memberikan sedikit tanda terima kasih. Lalu mengambil langkah pulang. Tiba di sebuah pos, sang petugas menyarankan gue untuk mengunjungi Batu Monyet. Apalagi itu ? Batunya berbentuk monyet ? Karena penasaran, gue pun langsung mengikuti langkah salah satu petugas yang berinisiatif menunjukkan lokasinya. Untuk mencapainya ternyata kembali gue dan Ony harus memanjat sebuah bukit. Tapi yang ini agak menantang karena curam dan licin oleh lumut. Begitu tiba di atas gue bingung....mana Batu Monyetnya ? Ternyata 'label' monyet diberikan karena terdapat semacam cetakan wajah monyet di atas bukit itu yang katanya terbentuk secara alami. Lucunya, bukit tersebut adalah tempat favorit monyet - monyet yang menghuni Gunung Munara. 

Dari Batu Monyet, gue dan Ony meninggalkan lokasi. Gue sudah mulai merasakan kenikmatan berada di tengah hutan di Gunung Munara ini, tapi berhubung hari sudah sore dan langit menjelang gelap, gue dan Ony harus bergegas menuju gerbang Gunung Munara. Kalau terjebak di sini ketika langit sudah gelap, pasti gue akan ketakutan luar biasa.

Perjalanan ke Gunung Munara pun terselesaikan. Gue girang bukan main karena sudah mewujudkan keinginan gue ke sana, padahal baru mendengar informasinya seminggu sebelumnya. Gue dan Ony bertekad untuk kembali ke sini lagi dalam waktu dekat, dan bahkan sedikit berhayal untuk bisa bermalam di sana, tepatnya di Bukit Batu Kodok. Gunung Munara memang dibuka 24 jam, termasuk bagi pengunjung yang hendak berkemah dan menginap. 

Yang membuat kunjungan ke sini menyenangkan adalah karena kawasannya masih tampak belum terjamah, alami dan sepi banget. Yang bikin kurang sreg, karena banyak banget pungutan - pungutannya. Ada sumbangan, uang kebersihan, dll, di luar tiket masuk dan parkir di awal tadi. However, overall, Situs Gunung Munara is worth a visit !