I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Tuesday, October 19, 2021

Trip Dadakan Nan Berkesan Ke Parakan (17 Oktober 2021)

18 Oktober 2021


Ke Semarang lagiiii....! Pertengahan tahun ini iseng - iseng gue beli voucher hotel Holiday Inn Simpang Lima pas lagi ada promo di tiket.com (kalo ngga salah). Saat itu gue pikir, beli dulu aja voucher hotelnya, berangkat ngga berangkat urusan nanti. Mungkin karena gue bener - bener happy stay di hotel ini pas trip sebelumnya.

Tanggal 15 Oktober 2021 gue pun berangkat dengan kereta api dari stasiun Gambir ke Stasiun Tawang, tiba lewat tengah malam. Ketika di Jakarta, gue ngga niat - niat amat untuk bikin rencana trip kemana - mana selama di Semarang. Tapi pas last minutes, terbersit niat mau ke Parakan. Parakan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. 

Gue teringat ketika sekitar 2 tahun yang lalu, gue hampir join trip bertema heritage gitu ke Parakan. Pertama kali denger dan lihat foto - foto Parakan, gue langsung takjub dan kepengen ke sini. Foto - foto yang gue lihat adalah bangunan - bangunan tua dengan arsitektur Tionghoa yang ada di sana. Gue langsung teringat Lasem saat itu. Gue pikir hanya di Lasem ada sebuah kawasan dengan bangunan - bangunan tua bergaya Tionghoa yang masih lestari. Ternyata ada lagi di Parakan. Gue harus ke sana ! Namun akhirnya gue batal ikutan tripnya, karena persiapannya sangat mendadak.

Tiba - tiba gue teringat Parakan lagi menjelang trip Semarang kali ini. Meskipun pengen banget ke sana, tapi gue tahu tantangan untuk mengeksplor Parakan adalah....siapa yang akan jadi guide gue di sana ? Untuk trip - trip heritage seperti ini, sebagai wisatawan, gue harus ditemani oleh guide lokal di sana, karena agenda trip ini adalah mendatangi rumah - rumah yang biasanya masih dihuni pemiliknya. 

Gue pun dengan tekunnya browsing - browsing baik di Facebook maupun IG, dan Puji Tuhan, 'perjuangan' gue ngga sia - sia. Gue mendapatkan kontak, seseorang yang bisa memandu gue selama di Parakan di hari Minggu, 17 Oktober. Senang banget!

Sampai gue tiba di Semarang gue belum mencari informasi mengenai bus menuju Parakan. Gue sempat mendapat rekomendasi untuk naik bus PO Nusantara. Tapi di hari Sabtu, 16 Oktober, gue baru mulai menghubungi pihak agent bus untuk booking tiket. Untung masih kebagian tiket, ternyata peminat bus banyak banget, dengan jam keberangkatan yang sangat terbatas. Mungkin tujuan peminatnya kebanyakan bukan hanya ke Parakan, karena rute bus ini adalah Semarang - Purwokerto via Wonosobo.

Minggu, 17 Oktober, gue berangkat ke pool PO Nusantara di Sukun, Banyumanik sekitar jam 6 pagi, karena bus akan berangkat jam 7 pagi. Kondisi busnya ngga sesuai harapan gue sih. Tapi gue maklum aja, harga tiketnya cuma Rp. 55,000. Pas bus berangkat gue langsung wanti - wanti ke keneknya kalo gue turun di Parakan, tepatnya di Rumah Sakit Kristen (Ngesti Waluyo). Gue pikir perjalanan sampai Parakan akan berlangsung sekitar 3 jam lebih. Tapi ternyata jauh lebih cepat, cuma 2 jam. Gue tertidur selama perjalanan, dan saat terbangun, gue cek Google Map, lokasi yang gue tuju tinggal 2 km lagi. Gue pun turun di RSK, menyeberang jalan, dan menumpang menunggu Mbak Lydia, guide gue, di sebuah kantor agent bus. Di situ gue sekalian beli tiket bus yang sama, untuk kembali ke Semarang di hari yang sama. 

Setelah Mbak Lydia menjemput, gue pun diantar untuk melihat pasar tradisional bernama Pasar Entho untuk membeli jajanan pasar khas Parakan. Setelah itu Mbak Lydia membawa gue ke rumah bernama Omah Tjandie "Gotong Royong", yang tadinya merupakan tempat tinggal seorang pendekar kunthaw bernama Louw Tjeng Tie. Gue baru tahu kalo di Indonesia ada pendekar kungfu loh! Saat gue mengeksplor rumah ini, gue dipandu juga oleh Mas Dani yang masih ada hubungan keluarga dengan pemilik rumah ini. Dari Mas Dani, gue mendapatkan banyak cerita menarik mengenai rumah ini dan juga mengenai pendekar Louw Tjeng Tie. Rumahnya selain bagus banget dan masih kokoh, berdiri di tanah yang sangat luas dengan beberapa bangunan lainnya di dalam area yang sama. Di dalamnya gue bisa melihat foto - foto lawas sang pendekar yang diberi julukan Garuda Mas dan anggota keluarganya. Bahkan ada golok 13 pengawal yang dulu digunakan oleh sang pendekar. Oya, ternyata di rumah ini juga menjadi tempat usaha pembuatan kue bolu. Jadi aroma semerbak bolu bisa tercium di seluruh ruangan.

Rumah Omah Tjandie
Koleksi tombak dan foto lawas di rumah Omah Tjandie

Dengan Mbak Lydia

Dari rumah Omah Tjandie, tujuan berikutnya adalah ke sebuah rumah di Jalan Gambiran, posisinya masih bersebelahan dengan rumah Omah Tjandie. Menurut gue, ini rumah lawas yang paling otentik, cantik dan terawat, yang pernah gue kunjungi dan lihat langsung. Area...ato lebih pas gue sebut kompleks karena di area tersebut terdapat beberapa bangunan - bangunan rumah yang sama cantik dan kokohnya, terdapat dua bangunan rumah utama. Uniknya, rumah pertama yang menghadap ke Jalan Gambiran bergaya arsitektur Tionghoa, sementara bangunan di belakangnya bergaya arsitektur Indische. Gue yang penggemar bangunan kuno dan hal - hal berbau heritage, cuma bisa takjub dan terkagum - kagum selama di sini. Berada di sini beberapa saat rasanya kayak ditarik ke masa lampau dan selain gue bisa menikmati setiap detil keindahan kemanapun mata memandang, gue juga disuguhi rasa tenang dan damai, dan bikin gue betah berlama - lama di situ, meskipun ngga melakukan apapun atau mengobrol dengan siapapun. Perasaan kayak gini adalah ultimate goal ketika gue traveling

Rumah bergaya Indische di Jalan Gambiran

Bagian dalam rumah bergaya Indische di Jalan Gambiran

Rumah bergaya Tionghoa di Jalan Gambiran










Berhubung udah lewat waktu makan siang, Mbak Lydia pun mengajak gue makan di sebuah kedai makan bernama Bakmie Longkeng 426 yang berada di Jalan / gang Jogomertan. Tempatnya nyaman, teduh, makanannya juga enak dengan harga sangat terjangkau.


Kelar makan siang, Mbak Lydia mengantar ke kediaman Ci Lina, begitu panggilannya. Rumahnya vintage bergaya Tionghoa, mengingatkan gue sama rumah - rumah yang gue lihat di Lasem. Rumah Ci Lina berdiri di atas area yang sangat luas, karena selain bangunan rumah, di bagian samping dan belakangnya juga terdapat bangunan lainnya yang dijadikan gudang tembakau.

Bagian dalam rumah Ci Lina

Dari kediaman Ci Lina, tujuan berikutnya adalah Klenteng Hok Tek Tong yang merupakan klenteng tertua di Parakan. Dari yang gue baca di laman http://parakan.temanggungkab.go.id/ disebutkan Klenteng ini dibangun sejak tahun 1840. 

Klenteng Hok Tek Tong

Klenteng Hok Tek Tong

Berikutnya Mbak Lydia mengantarkan gue ke bangunan eks Kawedanan Parakan, yang juga merupakan salah satu bangunan cagar budaya di Parakan.

Eks Kawedanan Parakan


Tujuan berikutnya adalah ke Jembatan Gantung Kali Galeh yang menghubungkan dua desa yaitu Desa Gandurejo dan Desa Kauman. Jembatan sepanjang 90 meter ini diresmikan langsung oleh Bapak Presiden Jokowi di tahun 2017 lho! Tujuan gue ke sini sebenarnya ingin menikmati keindahan Gunung Sumbing dari atas jembatan. Namun sayangnya saat itu sang gunung lagi malu - malu tertutup kabut, jadi sosoknya ngga nampak meskipun udah gue tungguin beberapa saat.

Jembatan Kali Galeh

Berhubung sudah sore, gue dan Mbak Lydia pun menuju lokasi terakhir yaitu kediaman Mbak Lydia, yang dijadikan snake research center 'Tulala'. Di sana Mbak Lydia mengenalkan gue dengan sekitar 60 ular yang diawetkan, 9 ular yang masih hidup dan 5 anjing yang lucu - lucu. Namun berhubung gue masih sangat parno dengan ular, jadi gue belum berani untuk memegang apalagi menggendongnya.

Salah satu four legged friendnya Mbak Lydia

Kunjungan ke rumah Mbak Lydia menjadi destinasi terakhir. Berikutnya, Mbak Lydia mengantarkan gue kembali ke pool bus di seberang RSK, dan sebelumnya mampir ke sebuah toko oleh - oleh khas Parakan. Bus PO Nusantara yang awalnya dijadwalkan berangkat jam 5.30 sore molor ke jam 6.20 sore karena macet di perjalanan. 

Ketika bus datang, yang gue khawatirkan pun terjadi, gue ngga kebagian bangku. Gue pun minta bantuan kenek untuk mendapatkan bangku sesuai nomor yang tertera di tiket gue. Orang yang menduduki bangku gue, direlokasi entah kemana.

Perjalanan kembali ke Semarang memakan waktu lebih lama, mungkin karena hujan di sepanjang perjalanan dan kemacetan di beberapa titik. Saat bus sudah memasuki kawasan Semarang, disinilah insiden terjadi. Di saat bus berhenti di Transmart Banyumanik dan hampir sebagian penumpang turun, gue tenang - tenang aja duduk dengan asumsi bus tersebut akan berhenti di pool Sukun, lokasi yang sama bus diberangkatkan tadi pagi. Dari Transmart, gue memperhatikan bus malah berbelok ke arah kanan, dan tiba - tiba sudah memasuki gerbang tol. Gue mulai panik ! Ya Tuhan Yesus, gue mau dibawa kemana ?! 

Meskipun dalam hati panik luar biasa, gue tetap berusaha tampak tenang. Gue ngga bisa melihat petunjuk arah jalan karena gelap dimana - mana. Sekonyong - konyong gue semakin bisa menerima kebodohan gue yang ngga ikutan turun di Transmart tadi. Ketakutan terbesar gue adalah....apakah bus ini akan menuju Surabaya ? Kalo iya, trus nyampe sana jam brapa, dan gue akan tinggal dimana ? Kalo masih siang dan terang sih ngga masalah, tapi kalo udah larut malam dan gelap gulita pas nyampe terminal, gimana nasib gue nanti ?? Rasanya pengen nangis saking takutnya, namun lagi - lagi, gue masih berusaha tampak tenang dan masih enggan bertanya ke kenek atau sopir. 

Gue menoleh ke penumpang yang duduk di belakang gue dan bertanya tujuan akhir bus tersebut. Ke Demak, Kudus....jawabnya singkat. Saat itu gue agak lega. Kudus jaraknya masih ngga terlalu jauh dari Semarang. Gue pernah juga malam - malam lewat situ saat menuju Lasem dari Terminal Terboyo Semarang. 

Lalu gue bilang ke si penumpang kalo gue salah turun, mestinya di Semarang tadi. Si pemuda, meskipun bersikap sedikit cuek, dengan berbaik hati membuka smartphonenya untuk cek lokasi saat itu. Trus dia bilang kalo saat itu lokasi masih di Semarang. Gue pun langsung mendekati sopir dan seakan - akan sedang melakukan pengakuan dosa gue bilang, "Pak, saya salah turun, mestinya tadi di Semarang. Saya mau ke Simpang Lima, gimana caranya ?" Pak Sopir dan Pak Kenek kompak merespon semacam....wahhh harusnya turun tadi....mestinya nanya kalo bingung...semacam itu deh. Pak Sopir yang baik dan nampak khawatir dengan ketersesatan gue langsung menghentikan bus di depan RSI Sultan Agung, sambil bilang, "Turun di sini aja ya, yang masih terang. Nanti naik Grab aja". Dan gue pun turun di depan pintu keluar parkir RSI Sultan Agung. Jalanan sekeliling gelap gulita, cuma RSI ini aja yang terang. 

Gue pun langsung membuka aplikasi Grab untuk mencari Grab Car. Notifikasinya, semua driver terdekat sedang busy. Lalu Grab Bike...lagi - lagi semua driver busy. Trus gue buka Go Car. Puji Tuhan, gue langsung mendapatkan driver yang posisinya ga jauh dari situ. Begitu di dalam mobil Go Car sang driver nanya apakah gue menunggu lama sampai mendapatkan driver. Gue bilang ngga, kayaknya hanya 5 menit. Menurut drivernya, di area itu sangat jarang ada ojek atau taksi online, bisa menunggu sampai 1 jam. Aduh...gue bersyukur banget!

Gue tiba di hotel dengan kelegaan yang tak terkatakan. Waktu di dalam bus dengan ketidakpastian gue akan dibawa kemana tadi itu, jantung kayaknya udah copot dan menggelinding ke sana kemari. 

Meskipun dengan insiden salah turun bus tadi, gue sangat terkesan, happy, dan puas dengan perjalanan ke Parakan ini, yang gue arrange secara mendadak. Gue sangat terkesan dengan keindahan Parakan, dengan keramahan warganya, dengan kebaikan dan handalnya pemandu gue, Mbak Lydia. Dan selain itu, dengan kenekatan gue yang berani untuk menempuh perjalanan ke tempat baru, demi menjawab rasa penasaran untuk mengunjungi sesuatu yang sudah lama bikin gue penasaran. Parakan pastinya destinasi yang ingin gue kunjungi lagi suatu saat, karena gue baru sadar, Parakan kaya akan obyek wisata, baik budaya maupun alamnya, dan kunjungan singkat gue kali ini, yang cuma kurang dari 24 jam ini, masih jauh dari cukup untuk bisa mengeksplorasi keindahan Parakan yang lainnya.

Sunday, August 22, 2021

Cerita Karantina : Ketika Covid-19 Menyerang Keluarga (5)


 30 Juli 2021

Setelah dibujuk dengan berbagai cara, akhirnya Mama bersedia untuk dibawa ke RS PGI Cikini malam itu juga. Gue cuma bisa pasrah, di satu sisi gue sedih bukan main karena ngga bisa melihat Mama sehari - sehari selama Mama diisolasi di RS, namun di sisi lain gue lega. Jika Mama dibawa ke RS, artinya Mama berada di tempat yang paling memungkinkan untuk memberikan perawatan dan penyembuhan terbaik untuknya. Jika tetap di rumah saja, hasilnya tidak akan optimal.

Menjelang tengah malam Mama dibawa ke RS. Pardo dan Carol yang mengantarkan ke sana. Setelah serangkaian tes, Mama akhirnya ditempatkan di UGD malam itu. Ternyata Bapak juga sempat akan dirawat malam itu karena saat di-tes juga, saturasi Bapak sempat turun ke angka 94. Namun akhirnya batal, dan Bapak diijinkan pulang.

Sejak malam itu Mama dirawat di RS PGI Cikini. Mungkin itu adalah masa - masa terberat gue dan keluarga, Mama ngga pernah dirawat inap sebelumnya. Terlebih ini bukan rawat inap biasa dimana keluarga bisa berkunjung dan melihat pasien kapan pun mereka ingin. Karena ini kasus Covid-19, Mama tentunya akan dirawat di ruang isolasi. Gue semakin berat membayangkan bagaimana Mama akan menghadapi hari - harinya di sana. Gue cuma bisa pasrah dan menyerahkan semuanya ke tangan Tuhan Yesus. Setiap hari gue berdoa Novena Hati Kudus Yesus dan Novena Tiga Salam Maria bersama Ony, karena hanya doalah yang memberikan gue kekuatan. 

Keesokan harinya, gue, Pardo dan Carol mulai berbagi tugas. Pardo dan Carol akan mulai tinggal di Hotel Puri Inn yang berlokasi tepat di seberang RS. PGI Cikini, agar bisa lebih 'dekat' dengan Mama dan memantau setiap perkembangan, sementara gue tetap di Tanjung Barat, karena harus memenuhi logistik sehari - hari buat yang isoman di rumah.

Mama menjalani perawatan di sana selama kurang lebih 10 hari. Perjuangan Mama untuk bisa bertahan kuat baik secara fisik dan mental pastinya luar biasa. Ngga bisa gue bayangkan, di saat Mama harus merasakan sakit di fisiknya akibat Covid-19 ini dan menjalankan setiap proses penyembuhannya, secara psikis Mama juga harus berjuang lebih kuat lagi, karena berada di sebuah bangsal isolasi yang dipenuhi oleh pasien - pasien Covid-19 lainnya pastilah berat. Apalagi ini adalah bangsal isolasi, dimana pasien tidak memiliki akses untuk bertatap muka dengan anggota keluarga. Kesehariannya, orang - orang yang Mama temui adalah sesama pasien dan tenaga nakes.

Mengenai para nakes di bangsal isolasi C, mereka bagai malaikat - malaikat yang Tuhan Yesus kirim untuk merawat dan menemani Mama selama menjalani masa penyembuhan dan isolasinya yang pasti sangat berat. Saat menceritakan mengenai kebaikan mereka, Mama begitu terharu dan seakan kehabisan kata - kata menggambarkan betapa mereka sangat sabar, lembut dan tekun dalam merawat Mama. Bukan hanya fisik Mama, mereka jugalah yang selalu memberikan semangat dan mengingatkan Mama untuk tetap kuat menjalani perawatan dan tidak drop secara mental. Mereka kerap mengingatkan, "Opung, jangan sedih, nanti anak - anaknya Opung jadi sedih..." 

Bisa dibilang para suster / perawat di bangsal isolasi C mungkin paling ingat sama anak - anaknya Mama. Karena setiap malam, Pardo dan Carol akan menuju bangsal C ini untuk menemui suster/perawat, atau dokter (jika sedang ada dan memungkinkan untuk ditemui) untuk mendapatkan update mengenai kondisi Mama. Selain menanyakan kondisi Mama, mereka juga akan meminta tolong kepada suster agar membantu Mama agar bisa mengisi batere handphonenya. 

Meskipun mereka sangat sibuk karena banyaknya jumlah pasien Covid-19 yang berdatangan setiap hari tanpa memandang waktu, namun sebisa mungkin para nakes ini berusaha membantu dan memenuhi keperluan para pasien. Mama tidak terlalu mengingat nama - nama suster dan perawat di sana, tapi dia mengingat nama Suster Nova. Gue begitu terharu dan bersyukur dengan kebaikan para nakes di RS ini, terlebih di bangsal isolasi Mama. Setiap malam gue mendoakan mereka agar kiranya Tuhan Yesus melindungi dan memberkati mereka dengan kesehatan dan sukacita, terlebih dalam mereka menjalankan pekerjaan mereka sehari - hari yang sangat beresiko.

Terkadang Mama menyampaikan keinginannya untuk menikmati makanan tertentu. Misalnya jus apel. Ketika ada keinginan seperti ini, gue langsung bersemangat untuk bikin jus apel, dan mengirimkannya melalui Gosend secepat mungkin. Di lain waktu Mama tiba - tiba pengen makan ikan teri dan meminta langsung ke Natulang Jogi, dan langsung disiapkan dan dikirimkan ke RS (terima kasih Nantulang yang begitu baik). Pardo dan Carol akan memantau sesering mungkin, apabila Mama membutuhkan sesuatu agar bisa segera terpenuhi.

Setiap malam biasanya keluarga gue akan melakukan video call, untuk bisa saling memberi kabar dan update, dan berdoa bersama. Keluarga kami mungkin saat itu sedang menghadapi masa - masa terberatnya, namun nyata banget kuasa dan kebaikan Tuhan Yesus, yang tidak pernah meninggalkan kami, dan memimpin keluarga kami menghadapi situasi itu. Tuhan Yesus semakin menyatukan kami, hingga kami semakin sehati dan kompak bergotong - royong agar beban yang kami rasakan saat itu bisa terasa lebih ringan. 

Friday, July 30, 2021

Cerita Karantina : Ketika Covid-19 Menyerang Keluarga (4)

 
30 Juli 2021

Udah beberapa hari ini gue ngga ngeblog mengenai kondisi di keluarga dan rumah Mamak. Kemarin - kemarin ngga sempat ngeblog karena situasinya kurang mengenakkan, ngga tenang, dan sangat menguras pikiran dan energi gue. Dan di saat berada di posisi 'terendah' seperti itu, bukan saat nyaman untuk gue mengungkapkan sesuatu di blog. 

Di blog sebelumnya gue sempat bilang kalau kondisi sudah mulai aman dan stabil, karena semua yang sedang isoman di rumah Mama, sudah mendapatkan obat - obatan masing - masing. Jadi gue berpikir, proses isoman akan lancar. Untuk tabung oksigen, kebetulan sudah ada satu tabung yang Anggi pinjam dari teman dekat di gereja. 

Namun ternyata kondisi belum benar - benar 'aman'. Di tiga hari pertama Mama isoman, Mama tidur terus menerus. Hal ini membuat Mama ngga ada waktu untuk makan, minum, atau berjemur. Padahal ketiga hal ini sangat dibutuhkan dan harus dilakukan agar kondisi gejala Mama yang awalnya ringan, tidak menjadi lebih berat. Menurut orang - orang di rumah, sulit sekali membangunkan Mama. 

Situasi seperti ini yang bikin tertekan buat gue, Carol dan Pardo yang cuma bisa menunggu dan memantau dari luar. Mungkin karena masing - masing yang isoman di dalam rumah juga sedang bergumul dengan kondisi mereka, baik secara fisik maupun mental, jadi ngga ada yang benar - benar bisa fokus memaksa Mama untuk bangun, makan, minum dan berjemur.

Di hari Sabtu (24 Juli) gue sekeluarga melakukan video call, dan di situ gue bisa lihat dengan jelas, meskipun Mama sudah dibangunkan namun Mama seperti 'teler' entah karena sudah terlalu lama tertidur, atau menahan kantuk yang luar biasa. Untuk saturasi, tetap selalu dipantau dan sampai saat itu masih normal, di angka 95 atau di atasnya.

Di hari Minggu pagi gue ke rumah Mama, karena ingin melihat Mama dan mengajaknya ngobrol. Sejujurnya gue sedih melihat kondisi Mama semalam saat video call. Meskipun mengobrol dari kejauhan, gue sangat bahagia melihat Mama bisa terbangun, duduk, sambil menjawab pertanyaan - pertanyaan gue. Gue sengaja melontarkan pertanyaan - pertanyaan ringan ke Mama, karena ingin melihat apakah Mama merespon dengan baik atau tidak. Ternyata cukup baik.

Minggu pagi itu, Mama dan Bapak dibawa ke laboratorium Prodia, untuk melakukan beberapa tes, termasuk D-dimer. Kebanyakan hasilnya baru akan keluar di hari Senin. Di sore hari, kami mendatangkan home care doctor untuk memeriksa kondisi Mama. Di sinilah kehebohan dimulai. Tujuan kami memanggil dokter adalah agar Mama bisa mulai diinfus, mengingat inilah satu - satunya cara Mama tetap mendapatkan asupan cairan. Namun tiba - tiba gue mendapat pesan untuk mencari selang NRM. Lohh....buat apa ? Memangnya Mama harus disupport oksigen ? Ternyata saat pemeriksaan oleh dokter, saturasi Mama turun di angka 92, bahkan sempat di angka 80an. Gue panik luar biasa, dan bareng Ony langsung meninggalkan rumah demi mencari selang tersebut.

Gue menyusuri apotik dan Rumah Sakit yang ada mulai dari area Pasar Minggu sampai dengan Pancoran, tidak ada yang menjual selang ini. Puji Tuhan, gue bisa mendapatkannya di Siloam Hospitals Asri di daerah Duren Tiga. Gue pun langsung ke rumah Mama. Dari jendela kamar Mama, gue bisa melihat Mama sudah diinfus dan menggunakan oksigen. Hati gue retak banget melihatnya. 

Gue langsung berpikir, bagaimana cara mendapatkan ekstra tabung oksigen untuk backup tabung yang ada saat ini, yang paling hanya bisa support maksimal selama 4 jam. Gue langsung terpikir untuk ke tempat pengisian oksigen yang ada di dekat Gedung Aneka Tambang. Ternyata pemiliknya memiliki stok satu buah tabung oksigen, dan gue pun membelinya seharga Rp. 2 juta. Saat itu gue ngga mau berpikir panjang, yang penting Mama punya cukup stok oksigen!

Di saat bersamaan Carol juga sedang mengambil pinjaman tabung oksigen dari rumah sahabatnya. Jadi di malam itu, setidaknya ada 3 tabung oksigen standby untuk support Mama. Namun meskipun saturasi Mama stabil setelah menggunakan oksigen, salah satu sepupu yang merupakan seorang dokter dan telah memantau kondisi Mama sejak awal terkonfirmasi positif Covid-19, dr. Anggun (Semoga Tuhan Yesus selalu memberkati Anggun yang tidak sangat baik dan mencurahkan perhatiannya untuk proses perawatan Mama), tetap mengharapkan Mama dibawa ke UGD Rumah Sakit PGI Cikini malam itu juga. 

Begitu rencana itu disampaikan ke Mama, Mama menolak mentah - mentah. Mama ngga suka ke rumah sakit. Zona nyaman Mama hanyalah di rumahnya sendiri. Mama pasti ngga bisa tidur jika bukan berada di rumah sendiri. 

Di saat yang lainnya berusaha membujuk Mama, gue dan Ony ke daerah Pekayon untuk mengisi ulang tabung oksigen yang Mama pakai sejak sore tadi. Dua kali gue ke sana, karena juga harus mengisi tabung oksigen pinjaman dari sahabat Carol. Meskipun sudah ada rencana untuk membawa Mama ke rumah sakit malam itu, tapi buat gue, segala antisipasi tetap harus dilakukan. Dengan adanya tiga tabung oksigen dalam keadaan ready to use, bikin hati ini lebih tenang (lanjut di blog berikutnya).

Friday, July 23, 2021

Cerita Karantina : Ketika Covid-19 Menyerang Keluarga (3)


23 Juli 2021

Memasuki akhir pekan di minggu ini, minggu dimana huru-hara Covid-19 menimpa keluarga gue tercinta.

Situasi per saat gue mengetik blog ini, aman terkendali. Ada beberapa perkembangan, dan hal itu bikin gue cukup happy dan lega. Semalem lagi - lagi gue terbangun dari tidur gue, sekitar jam 1 dini hari. Belakangan ini setiap kali gue terbangun, hal pertama yang gue cek adalah WA group keluarga. Ternyata sudah panjang lebar. Masalah kali ini adalah Mama yang sangat ngga bernafsu makan, dan kebanyakan tidur sepanjang hari. Yang menjadi kekhawatiran kami adalah asupan makan dan minum Mama jika sepanjang waktunya dilalui dengan tidur. Menurut Anggi, meskipun Mama sudah ngga muntah lagi, namun setiap diberi makan, Mama paling cuma bisa menghabiskan 2 - 3 sendok. 

Carol sempat berkonsultasi dengan dokter sahabatnya, dan menurut sang dokter kondisi Mama seperti itu harus diobservasi selama 2 - 3 hari. Jika terus seperti itu, terpaksa Mama harus dirawat inap. Inilah pesan - pesan yang ada di group WA tersendiri yang isinya gue, Pardo dan Carol. Seketika gue langsung gelisah dan tegang. Gue ngga mau Mama dirawat inap ! Kalau Mama dirawat inap, gue ngga bisa melihat Mama sehari - hari. Dalam kondisi saat ini gue masih bisa memandang Mama dari kejauhan, ketika mengantar logistik, mengambil sampah dan lain - lain. Walaupun gue sadar banget bahwa setiap kali gue ada keperluan untuk mengantar / ambil sesuatu dari teras rumah, gue harus melakukannya dan meninggalkan rumah secepat kilat, tapi gue selalu menyempatkan diri memandang ke arah jendela kamar Mama, dan melihat Mama sedang tertidur di ranjangnya, walaupun hanya beberapa detik. Meskipun gue tahu Mama tidur, gue selalu bilang, "Halo Mama, semangat ya, biar cepat sembuh".

Gue pun membangunkan Ony, dan kami memanjatkan doa Bapa Kami dan Novena Tiga Salam Maria. Setelah itu meskipun gue tetap terjaga, namun hati gue lebih tenang.

Di pagi harinya gue mendapatkan kabar gembira dari Carol yang bilang sudah menelepon Mama, dan memberikan semangat panjang lebar kepada Mama. Mama menjadi termotivasi untuk 'bangkit' setelah mengetahui bahwa gejala ringan yang saat ini Mama alami, bisa meningkat jadi gejala berat jika pola makan dan minum Mama seperti saat ini. Dan bahwa kondisi Mama akan lebih baik jika Mama juga rajin berjemur. Jika kondisi Mama memburuk, maka Mama terpaksa harus dirawat inap. 

Mama pun langsung menunjukkan lagi semangat sembuh dan sehatnya. Gue girang bukan main. Karena Nyonya Sitanggang alias Mama yang gue kenal adalah pejuang yang selalu semangat melawan sakitnya. Mama selalu bisa memaksakan dirinya makan meskipun sedang dalam keadaan sakit, dan juga rajin mengkonsumsi apapun yang menurutnya baik buat kesehatannya, meskipun rasanya tidak enak sekalipun. Namun semangat itu hilang sejak Mama terkonfirmasi positif Covid-19. Dan gue sedih banget.

Tapi di pagi ini Mama bahkan sudah meminta sarapan bubur ayam. Gue pun langsung bersemangat untuk ke restoran bubur Acongs langganan keluarga kami, dan memesan sarapan untuk seisi rumah Mama.

Beberapa saat kemudian, Anggi mengirim foto - foto mereka sedang berjemur, termasuk Mama. Aahhh....senangnya, puji Tuhan ! Karena Anggi info kalau pesanan juicer gue sudah tiba, gue pun ke rumah Mama untuk mengambil pesanan juicer gue itu, tentunya dengan saling berjauhan dengan mereka yang sedang berjemur.

Juicer ini gue beli supaya bisa menyediakan jus buah dan sayuran untuk Mama dan yang lainnya. Gue sudah punya segudang buah dan sayuran dari yang gue beli dan juga dari Nantulang Jogi. Tapi karena saking bersemangatnya, gue mampir ke Naga untuk membeli brokoli, timun dan wortel. Siang tadi, gue menyiapkan 4 botol jus campuran pepaya, brokoli dan wortel. Ada sebersit perasaan haru tadi pas berjibaku dengan juicer yang memang baru pertama kali gue gunakan. Biasanya Bapak yang menyiapkan jus untuk gue sekeluarga. Bapak adalah the King of Juice di keluarga gue. Aneh juga....ternyata baru kali ini gue menyiapkan jus untuk Bapak, dan yang lainnya. 

Kabar gembira lainnya adalah obat isoman untuk Rico dan Anggi dari Kemenkes tiba hari ini ! Woww...! Padahal kemarin gue membaca banyak banget pemberitaan mengenai segudang keluhan para pasien Covid-19 yang tidak kunjung menerima obat - obatan mereka meskipun sudah menunggu beberapa lama. Saran gue buat pasien Covid-19 yang masih menunggu obat isomannya, segera kontak Halo Kemenkes melalui WA di nomor +62 812-1230-5515. Karena jalur ini responnya cepat banget dan memberikan solusi. Jika dihitung - hitung obat isoman ini diterima dalam waktu kurang dari 48 jam sejak Anggi melakukan langkah 'tebus obat', sesuai dengan petunjuk Kemenkes. Udah gitu, informatif banget, bahkan nama jasa kurirnya dan nomor resinya pun dikasih tahu, jadi kita bisa track. Gue sangat menghargai dan berterima kasih ke Pemerintah RI dengan bantuan ini. 

Well, untuk gue sendiri di minggu pertama sejak konfirmasi positif Covid-19 Mama dan yang lainnya, hidup terasa seperti roller coaster. Tapi Tuhan Yesus baik banget, sepertinya gue sudah menerima kondisi ini dan merasakan bahwa semua ini sudah seperti rutinitas baru buat gue. Meskipun gue kurang suka bagian dimana gue mendengar kabar kurang 'mengenakkan' mengenai kondisi di rumah, terutama Mama, dan dalam sekejap membuat syaraf gue terasa tegang, tapi hal itu ngga terhindarkan. Ini pengalaman baru buat gue, berhadapan dengan situasi seperti ini, dimana dalam waktu bersamaan, lima orang yang paling gue cintai dan paling penting dalam hidup gue, sakit dalam waktu bersamaan. Bukan sakit yang sederhana dan ringan. Penyakit yang seluruh dunia saat ini sedang hadapi dengan serius. Penyakit yang resikonya bisa mengerikan. 

Puji Tuhan kondisi gue saat ini memungkinkan untuk fokus mengurus anggota keluarga. Gue sudah mengambil cuti dari kantor, dan Puji Tuhan gue memiliki bos yang super baik, pengertian dan berempati tinggi. Begitu gue ceritakan kondisi keluarga gue hari Selasa (20 Juli 2021) yang lalu, pesan Pak Mike cuma satu : agar gue fokus pada kesehatan keluarga dan diri sendiri. Jangan ada secuil pun memikirkan pekerjaan. Di minggu ini gue sering menangis diam - diam, karena menghadapi situasi ini. Tapi gue bukan hanya menangis di saat gelisah dan khawatir dengan kondisi Mama dan yang lainnya. Namun seringkali juga gue menangis karena begitu terharu dengan kebaikan dan empati orang - orang kepada gue.  

Seperti gue bilang tadi, rutinitas gue pun baru. Saat ini gue lagi ngga memungkinkan untuk jalan pagi sambil melakukan aktivitas street feeding. Karena di pagi hari biasanya gue mengantarkan sarapan ke rumah Mama. Dalam sehari gue bisa 4 - 5 kali ke rumah Mama, mengantarkan logistik, diakhiri dengan mengambil sampah di malam hari. Aktivitas ekstra lainnya yang gue lakukan adalah mandi dan mencuci baju. Jadi, setiap pulang dari rumah Mama, gue akan mandi dan mencuci seluruh baju yang gue gunakan, termasuk tas kain yang gue pakai ketika kesana, sekedar antisipasi untuk menghindari resiko terpapar virus yang sama. Lelah ? Iyahhh....tapi perjuangan gue ngga seberapa dibanding dengan perjuangan Mama dan yang lainnya dalam menghadapi sakit mereka. Menurut gue penyakit ini bukan hanya menyerang fisik, namun juga psikis penderitanya.

Perjuangan belum berakhir, dan bahkan terasa belum dalam kondisi stabil. Karena itu ngga ada putus - putusnya gue berdoa memohon berkat dan belas kasih Tuhan Yesus untuk keluarga gue yang saat ini sedang mengalami pergumulan berat menghadapi situasi Covid-19 ini. Terima kasih, Yesus.

Thursday, July 22, 2021

Cerita Karantina : Ketika Covid-19 Menyerang Keluarga (2)

 22 Juli 2021

Kemarin beban (terutama psikis) yang gue rasakan, banyak berkurang. Tuhan Yesus memberikan banyak perkembangan dan jalan terbuka untuk situasi yang keluarga gue sedang hadapi. Di pagi hari Mama dan Bapak diantar oleh Pardo dan Carol (menggunakan mobil berbeda) ke RS Siloam TB. Simatupang untuk menjalani beberapa tes untuk mengetahui kondisi tubuh mereka secara detail, agar bisa diberikan obat - obatan yang spesifik sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing - masing. 

Untuk Rico dan Anggi, kami melakukan approach ke Puskemas. Kebetulan domisili Rico dan Anggi berbeda, jadi kami berbagi tugas. Tito mengurus pelaporan dan permintaan obat isoman Anggi di Puskesmas Srengseng Sawah, sementara gue dan Ony ke Puskesmas Tanjung Barat untuk mewakili Rico.

Di Puskesmas Tanjung Barat, gue ditemui oleh petugas bernama Ibu Tiwi yang sangat baik dan responsif. Gue melaporkan situasi Rico, memberikan detail informasi (nomor kontak, dll), dan juga gue sampaikan bahwa selain Rico, di dalam satu rumah yang sama, ada anggota keluarga lainnya yang sedang menjalani isoman. Ibu Tiwi mengatakan nanti petugas Puskemas akan menghubungi Rico, dan setelah itu obat - obatan yang diperlukan akan diberikan.

Gue sempat ke Apotik Roxy untuk membeli alat suntikan (tanpa jarum) dan transofix (pembuka ampul NaCl), karena gue mau mengajarkan Anggi cara mencuci hidung. Gue sudah melakukan kebiasaan mencuci hidung selama beberapa tahun terakhir, direkomendasikan oleh salah satu dokter di RS THT Proklamasi saat gue berobat karena masalah alergi debu. Di saat ini, segala action yang berpotensi membantu proses isoman dan penyembuhan, seberapa besar/kecil dampaknya, harus dilakukan. Sore harinya gue ke rumah untuk mengajarkan Anggi cara mencuci hidung, dengan posisi berdiri saling berjauhan, di taman rumah Mama.

Kemarin, Nantulang Jogi (Condet) mengirimkan segudang makanan (untuk makan siang dan malam), dan buah - buahan, yang diberikan melalui Pardo. Nantulang mengatakan akan menyiapkan dan mengirimkan makanan selama seminggu ke depan. Luar biasa wujud bantuan Tuhan Yesus yang datang dari berbagai pihak dalam berbagai bentuk. Entah bagaimana membalas kebaikan Nantulang sekeluarga. Rasanya terharu banget.

Di siang hari, hasil tes Mama dan Bapak keluar. Kondisi Mama secara umum baik, dan gejala ringan. Untuk Bapak, CRP atau C-reactive protein-nya agak tinggi, dan ada sedikit kabut di paru - paru. Obat - obatan yang diberikan disesuaikan dengan kondisi masing - masing. Untuk Fajar, Carol juga sudah mewakilkan untuk teleconsultation dengan salah satu dokter di RS Brawijaya, dan obat - obatan juga disiapkan. 

Di siang hari, Pardo (sebagai contact person saat melakukan tes di Bumame untuk seisi rumah Mama), menerima WA dari Kemenkes. Pesan WA tersebut memberitahukan bahwa masing - masing Bapak, Mama, Rico, Anggi dan Fajar telah terdata di Kemenkes sebagai pasien Covid-19, dan bisa mendapatkan konsultasi, pengobatan dan pengawasan gratis dari Kemenkes RI.

Ada beberapa langkah yang harus dilakukan :

  1. Cek status NIK sebagai Pasien COVID-19 dari WA Kemenkes RI atau lakukan mandiri di https://isoman.kemkes.go.id
  2. Pilih layanan konsultasi telemedisin & masukkan kode voucher dalam layanan (gue memilih Halodoc). 
  3. Melakukan konsultasi dengan dokter dengan menginformasikan bahwa pasien mendapatkan WA dari Kemenkes RI atau bukti verifikasi NIK dari website ISOMAN (point nomor 1 di atas)
  4. Dokter akan memberikan resep digital dalam bentuk PDF atau JPG
  5. Lakukan penebusan resep di website https://isoman.kemkes.go.id/tebusresep  (melampirkan point nomor 4 di atas)
  6. Simpan tracking ID untuk cek status pengiriman dari Apotik Kimia Farma terdekat
Gue dan Anggi langsung mengikuti setiap langkahnya. Saat ini kami masih menunggu pengiriman obat dari apotik Kimia Farma Blok M yang sampai sekarang belum tiba juga. 

Gue sempat menghubungi nomor call center Kimia Farma (1500 255), hasilnya nihil, tidak ada yang merespon. Lalu gue mengirimkan pesan pribadi ke akun Instagram Kimia Farma Care. Dalam waktu singkat pesan gue dijawab dan intinya gue bisa melakukan pelaporan ke nomor kontak Halo Kemenkes : 1500 567 atau via WA. Gue mencoba menelepon ke nomor telepon tersebut namun tanpa hasil, dan Puji Tuhan, ketika gue kontak ke nomor WAnya, responnya sangat cepat. Saat ini status permintaan obat masih dalam verifikasi, tapi setidaknya ada perkembangan, yaitu laporan gue sudah terdaftar dan mendapatkan nomor.

Oya, keluarga gue bisa menerima pesan WA dari Kemenkes ini karena lab tempat seisi rumah Mama melakukan tes PCR, yaitu Bumame, termasuk dalam daftar laboratorium jejaring pemeriksa Covid-19 Kemenkes. Jadi, sepertinya begitu ada hasil tes PCR yang positif Covid-19, pihak lab (Bumame) yang langsung melaporkan ke Kemenkes, sehingga Kemenkes bisa mem-follow up dengan pihak pasien. 

Untuk kondisi Mama dan yang lainnya kemarin, gejala masih terbilang ringan. Mama dan Bapak cenderung kurang bernafsu makan, tapi kami desak terus agar mau makan, karena mulai kemarin Mama, Bapak (dan Fajar) sudah mulai mengkonsumsi obat dokter. Untuk Rico dan Anggi, mereka tetap mengkonsumsi vitamin D, vitamin C dan yang lainnya. 

Begitulah cerita dan perkembangan kemarin dan pagi tadi. Apapun yang terjadi, ngga ada pilihan lain, kami harus tetap berjuang, mengusahakan yang terbaik untuk anggota keluarga yang kami cintai ini, dan tetap berpikir positif. Kami yakin dan percaya, pertolongan Tuhan Yesus pasti tak akan pernah terlambat.

Wednesday, July 21, 2021

Cerita Karantina : Ketika Covid-19 Menyerang Keluarga (1)

21 Juli 2021.

2 - 3 hari terakhir bukan the best days in my life. Mungkin hari - hari yang cukup berat untuk gue dan keluarga harus lalui. Dimulai dari Senin lalu, 19 Juli 2021 ketika pagi - pagi gue mampir ke rumah Mama untuk ambil belanjaan online shop gue. Gue emang selalu menggunakan alamat rumah Mama untuk pengiriman, karena lebih mudah dicari dan akan selalu ada orang di rumah. 

Pagi itu pagar masih digembok, yang bikin gue mulai ngerasa aneh, karena saat itu sudah menjelang jam 8 pagi. Mama keluar dari rumah untuk membuka pagar, dan gue agak kaget kenapa Mama tampak pucat, dan gue langsung menanyakan kenapa seisi rumah masih pada tidur. Di dalam rumah, sambil merapihkan barang belanjaan gue, Anggi sempat bilang, seisi rumah sedang batuk, jadi sebaiknya gue jangan ke rumah dulu. Gue pun langsung pamit pulang.

Kembali ke rumah gue, gue langsung menghubungi Carol mengenai kondisi di rumah. Di situlah dimulai 'investigasi' gue berdua mengenai kondisi keluarga di rumah Mama. Begini, Mama adalah tipe orang yang kalau kita hubungi melalui telepon dan menanyakan kabarnya, akan menjawab, "Mama sehat". Itu juga yang terjadi bahkan di hari sebelumnya. Karena gue sudah melihat sendiri (gue memang sudah jarang ke rumah Mama untuk mengamankan Mama dan Bapak dari resiko penularan virus Covid-19), gue ngga percaya lagi kalau Mama bilang begitu. Setelah didesak - desak, barulah ada pengakuan bahwa Mama batuk, pusing, dan gejala - gejala ringan lainnya. Begitu juga Bapak. Siang hari, Mama dan Bapak pun langsung diantar ke Bumame TB. Simatupang untuk menjalani tes PCR. Hasilnya baru bisa keluar dalam 16 jam kemudian. 

Di hari itu, gue dan Carol sudah mengkondisikan seisi rumah Mama terpapar Covid-19, meskipun belum menerima hasil. Mulai hari itu, rumah Mama diisolasi, tidak ada yang boleh keluar. Untuk kebutuhan mereka, gue, Carol dan Tito bergantian datang untuk mengirimkan vitamin, obat, tabung oksigen, makanan, dan lainnya. 

Di malam itu gue ngga bisa tidur pulas. Hati gue ngga tenang menunggu hasil. Ketika di pagi hari mata gue sudah mulai mengantuk, Pardo menelepon, dengan suara lemah mengabarkan bahwa hasil PCR sudah keluar, Mama dan Bapak positif Covid-19. Dunia gue seakan runtuh seketika. Hal terburuk yang paling gue takuti, terlebih sejak dimulainya masa pandemi ini, terjadi. Tapi dari hari sebelumnya gue sudah mulai belajar 'menerima' the worst situation. Gue berdoa ngga ada putusnya, "Tuhan Yesus, apapun hasil tes Mama dan Bapak, berikan mereka kekuatan untuk menerimanya, dan berikan gue juga kekuatan. Gue ngga boleh down, karena kalau memang benar positif, seisi rumah Mama dipastikan positif semua. Artinya hanya ada gue, Carol, Ony, dan Tito yang bisa merawat dan memenuhi kebutuhan mereka, meskipun ngga secara langsung." 

Mulai pagi itu, gue dan Carol bergantian ke rumah. Bagian gue mengantarkan makanan (sarapan, makan siang, makan malam, buah, susu), dan kebutuhan lainnya yang sewaktu - waktu dibutuhkan. Kemarin gue bolak - balik ke rumah sekitar 5 kali. Dan setiap datang, gue menyempatkan melihat dan berbicara dengan Mama yang berada di kamarnya, melalui jendela yang tertutup dan jarak beberapa meter. Yang gue bisa lakukan cuma memberikan semangat, bersikap ceria dan menahan tangis gue di dalam hati. Mama pun menasihati supaya gue tetap kuat dan tenang, dan sempat bilang kondisi Mama pada dasarnya baik. Mama pengen keluar kamar tapi khawatir karena ada Fajar. Fajar sangat lengket sama Opung dan Omanya. Pagi itu gue sempat melihat Fajar cengeng, karena ngga bisa minta digendong Opungnya. Di saat berbalik menuju gerbang untuk pulang, air mata gue jatuh karena ngga tahan menahan sedih melihat situasi itu.

Menjelang siang, Pardo, Rico, Anggi dan Fajar berangkat ke Bumame untuk tes PCR. Sore harinya hasil tes keluar: Rico, Anggi dan Fajar dinyatakan positif Covid-19, dan Pardo negatif. Gue berasa langsung lemas lunglai, demi mikirin Fajar. Ya Tuhan, gimana anak sekecil itu (2 tahun) harus menghadapi virus Covid-19 ini di tubuhnya ? Rasanya pengen nangis, tapi di saat yang sama gue langsung merasakan kekuatan dari Tuhan Yesus. Pardo, Carol dan gue pun langsung mulai mengatur 'strategi', karena saat ini lebih mudah dengan keluarnya hasil semua penghuni rumah Mama. Untuk Rico dan Anggi, kita akan menghubungi Puskesmas untuk mendapatkan pengobatan gratis. Untuk Fajar, Carol akan menghubungi RS Brawijaya untuk mengatur janji telemedicine. Dan untuk Mama dan Bapak, kami akan membawa ke RS Siloam TB. Simatupang, agar keduanya bisa melakukan CT Scan Torax, Rontgen paru - paru dan tes lainnya. Harapan kami, jika keduanya sudah melalui semua tes ini, pihak rumah sakit akan memberikan obat yang spesifik sesuai dengan kondisi dan kebutuhan keduanya. Keputusan ini kami ambil dengan mempertimbangkan : 1) keduanya sudah lansia, Bapak berusia 76 tahun dan Mama 71 tahun, 2) Mama memiliki komorbid.



Hari itu gue lewati dengan bolak - balik ke Naga Supermarket untuk membeli keperluan logistik makanan, buah, sayur dan susu, ke Indomaret/Alfa berkali - kali, ke ACE untuk membeli UV Sterilizer, ke toko kelontong untuk membeli termos air panas Mama, dan di sela - selanya menyiapkan makan siang dan makan malam buat di rumah Mama.

Di malam hari, Pardo mengabarkan beberapa kali bahwa Mama muntah, rasanya sedih banget, membayangkan kondisi Mama pasti sangat lemah, tapi gue ngga berdaya, ngga bisa melihat apalagi hadir di sisi Mama dan membantunya. Hari itu gue sempat saling bertelepon sama Mama. Hampir di setiap hubungan telepon, gue menahan nangis. Mama sedang berjuang menghadapi sakitnya, dan gue ngga bisa berada di dekatnya. Sesaat setelah Mama muntah, gue menelepon Mama. Gue bilang, "Mama, setiap anak - anak Mama sakit, Mama selalu wanti - wanti, 'paksain makan...paksain makan' iya kan, Ma ? Jadi sekarang Mama harus paksain makan walaupun mual ya, supaya perut Mama ngga kosong." 

Sampai tengah malam Mama muntah lagi. Gue langsung berbagi tugas dengan Pardo, untuk mencari apotik manapun yang masih buka. Puji Tuhan, dalam kondisi PPKM seperti saat ini, apotik masih bisa tetap buka 24 jam. Dan di apotik andalan gue, Apotik Roxy, gue mendapatkan semua keperluan Mama untuk mengatasi mual dan antisipasi kekurangan cairan.

Gue melalui malam itu dengan sangat gelisah. Gelisah akan banyak hal. Gimana kondisi Mama sepanjang malam. Gimana tes besok, akan baikkah hasilnya ? Bagaimana Fajar, Anggi, Rico ? Semua berkecamuk di pikiran gue. Dan tentu saja, kalau gue sedang banyak pikiran, insomnia pun kumat, gue ngga tidur semaleman. Gue cuma bisa berdoa memohon pertolongan Tuhan Yesus agar gue diberikan ketenangan.

Monday, July 12, 2021

Cerita Karantina : Cat Street Feeding


12 Juli 2021

Memasuki 1.5 tahun masa pandemi Covid-19, 'kesibukan' gue dalam hal perkucingan bertambah,  Belakangan gue suka melakukan 'street feeding' yaitu memberikan makanan kepada kucing - kucing jalanan dan telantar. Ada hal sedih yang melatarbelakangi aktivitas gue ini. 

Jadi, sekitar awal Mei 2021 gue kehilangan salah satu kucing yang bernama Tikus alias Ty-Ty. Hilangnya misterius, di suatu pagi, gue ngga menemukan Ty-Ty dimana pun. Dia ngga meninggalkan jejaknya sama sekali. 


Gue sedih, karena Ty-Ty adalah salah satu kucing telantar pertama yang gue rawat, sejak masih sangat kecil. Sudah banyak suka duka selama gue merawat Ty-Ty. Dan meskipun gue bukan penggemar kucing, namun karena gue ngga pernah tegaan terhadap hewan, gue tetap merawat Ty-Ty sebaik mungkin. Lalu Ty-Ty menghilang. Di pikiran gue berkecamuk segudang asumsi dan prasangka tentang kemana dan gimana hilangnya Ty-Ty. Tapi satu hal yang paling bikin gue khawatir, betapa Ty-Ty ngga punya 'skill' dan pengalaman untuk hidup di dunia luar sana, yang sebenarnya sangat mengancam dan berbahaya untuk seekor kucing seperti Ty-Ty, yang terbiasa dirawat sejak kecil. 

Untuk mencari Ty-Ty, gue biasa berjalan kaki sampai radius beberapa kilometer dari rumah gue, baik pagi maupun sore selesai kerja. Ini gue lakukan non stop, bahkan sampai sekarang. Hasilnya nihil. Lalu, suatu hari gue pernah membaca di sebuah group kucing di Facebook. Ada seseorang curhat mengenai kucingnya yang hilang. Kemudian seorang pecinta kucing lainnya menyarankan ide yang aneh dan unik. Katanya, kasih makan kucing - kucing jalanan yang ada di sekitar rumah, lalu katakan ke kucing itu, supaya mencari kucing kita yang hilang. Masih di thread yang sama, beberapa orang memberikan testimoni bahwa meskipun metode ini aneh bin ajaib, kucing - kucing mereka yang hilang, berhasil kembali ke rumah masing - masing.

Gue pun mengikuti saran tersebut. Saat ini, ada sekitar 15 kucing jalanan yang rutin gue hampiri dan kasih makan setiap harinya. Sejak gue melakukan kegiatan streetfeeding ini, penilaian gue terhadap kucing sedikit berubah. Dulunya gue pikir kucing ngga sepintar anjing, yang bisa mengenal dan mengingat orang. Ternyata kucing juga bisa. Sebagai kucing jalanan, mereka bisa acuh tak acuh dan tak bergeming ketika ada orang lalu - lalang di depannya. Tapi setiap gue lewat, mereka langsung mengejar, menuntut diberi makanan.

Lalu, apakah Ty-Ty sudah kembali ke rumah gue ? Belum. Ty-Ty belum kembali. Tapi kegiatan 'streetfeeding' ini sudah menjadi kebiasaan untuk gue, dan gue ngga keberatan untuk terus melakukannya selama mampu. Bahkan, ada hal positif dari kebiasaan ini, karena 'memaksa' gue untuk rajin, konsisten dan tepat waktu untuk jalan kaki setiap pagi ini. Jadi, setiap pagi kegiatan gue adalah meninggalkan rumah sekitar jam 7 pagi, jalan pagi mengejar target 10000 langkah, 'berburu' sinar matahari pagi yang pasti baik buat fisik gue, sambil memberikan makanan kepada kucing - kucing jalanan dan telantar yang gue temui. 

Puji Tuhan, gue selalu dicukupkan untuk bisa menyediakan dan memberikan makanan kepada para kucing jalanan. Salah satunya dari kuis - kuis yang gue ikuti, gue pernah beberapa kali memenangkan kuis berhadiah makanan kucing dalam jumlah yang lumayan banget. Kalaupun mesti membeli, selalu ada flash sale di sebuah e-commerce yang memungkinkan gue membeli stok makanan kucing berkualitas dengan harga miring. Pokoknya selalu ada aja jalannya kok.

Mengingat sudah hampir 3 bulan sejak Ty-Ty menghilang, saat ini gue cuma bisa berharap Ty-Ty masih hidup dan dirawat dengan baik oleh seseorang. Dan untuk gue sendiri, gue sudah harus move on dan ngga berlarut dalam kesedihan karena kehilangan ty-Ty. Gue yakin, dengan menyebarkan kebaikan kepada para kucing jalanan dan telantar, di sisi dunia yang lain, ada seseorang yang akan berbuat kebaikan juga kepada Ty-Ty. 

Monday, May 17, 2021

GKI Gereformeerd Semarang

25 April 2021

Perjalanan gue ke Semarang kali ini cukup 'bersejarah'. Karena setelah lebih dari setahun gue ngga menginjakkan kaki dan mengikuti kebaktian rutin setiap hari Minggu di gereja, akibat situasi pandemi Covid-19, akhirnya gue berkesempatan untuk ibadah Minggu di gereja lagi.

Entah kenapa pagi itu saat lagi menikmati sarapan di hotel, terbersit keinginan untuk ke gereja. Gue pikir mumpung lagi di Semarang dan gue kangen untuk mengunjungi dan mengikuti ibadah di Gereja Blenduk. Tapi so typical gue banget, rencana langsung berubah. Tiba - tiba gue kepikiran pengen mencari keberadaan Gereja GKI Gereformeerd, yang memang belum pernah gue datangi. Kenapa ke sini ? Karena ini salah satu gereja bersejarah, dan gue pernah lihat foto bangunannya, unik banget. 


Tapi mendadak gue ragu....emangnya gereja dibuka untuk umum ? Kalau pun iya, apakah ada pembatasan kapasitas gereja ? Gue langsung browsing mencari informasi dan nemu akun IG GKI Gereformeerd. Di akun itu gue membaca informasi kalau waktu kebaktian di sana ada 2 (dua), yaitu jam 9 pagi dan jam 17.15 sore. Tapi untuk jemaat yang hendak mengikuti ibadah langsung di gereja, harus mendaftar online terlebih dahulu di link yang tersedia. Gue pun membuka linknya, baik untuk pendaftaran kebaktian pagi maupun sore, sayangnya sudah full.

Di sore harinya, gue nekad mau ke GKI Gereformeerd langsung. Gue pikir, kalaupun nanti ngga kebagian kuota untuk ibadah di sana, hitung - hitung paling ngga gue sudah bisa berkunjung dan melihat langsung gereja ini, menjawab rasa penasaran gue selama ini.

Gue memesan Gocar menuju ke sana. Selama di Semarang Gocar emang jadi andalan gue banget. Praktis, cepat dan murah. Seingat gue, kemana pun tujuannya, ongkosnya paling antara Rp. 15,000 - 24,000. 

Gue sengaja berangkat ke gereja jauh lebih awal dari jam kebaktian, alasannya, biar gereja masih sepi. Ini memang kebiasaan gue, saat di Jakarta sekalipun. Gue tuh paling menikmati momen di saat gereja masih kosong, hening, sepi bahkan gelap. Entah kenapa ya, duduk di bangku jemaat menghadap altar dalam keheningan seperti itu rasanya peaceful dan safe banget. 

Di pintu masuk gereja kebetulan sudah ada seorang jemaat yang bertugas menyambut para jemaat. Dengan polosnya gue langsung bertanya, apakah gue masih diperbolehkan mengikuti ibadah, meskipun kuota sudah penuh ? Bapak petugas tersebut dengan sangat ramah langsung mengiyakan, dan mempersilahkan gue untuk mengisi buku tamu, dan memilih bangku di dalam gereja. Wow....senangnya !




Setelah itu gue masuk ke dalam gereja, menikmati momen hening yang gue bilang tadi. Terharu dan senang banget, setelah setahun lebih ngga pernah ke gereja. 

Mengenai gereja ini, GKI Gereformeerd terletak di Jalan Sutomo No. 24, dekat Rumah Sakit Kariadi, dan merupakan salah satu gereja bersejarah di Semarang. Gereja ini berdiri sejak 27 Oktober 1918, yaitu di masa Pemerintahan Hindia Belanda. Gue penasaran dengan sejarah dan asal usul namanya 'Gereformeerd' yang terdengar 'Belanda' banget, namun sayangnya belum menemukan sumber informasi yang detail mengenai ini. 

Untuk bangunannya yang masih kokoh dan cantik, di bagian dalamnya mirip gereja GPIB Pniel (Gereja Ayam) di Pasar Baru, Jakarta, dengan bangku dari kayu jati dan rotan yang gue yakin masih otentik sejak gereja ini berdiri. Protokol kesehatan diterapkan di sini, dengan pengurangan kapasitas jemaat dan pengaturan antar tempat duduk yang berjarak. Selama kebaktian, baik Bapak Pendeta (hari itu ibadah dilayani oleh Bapak Pendeta Rahmat Rajagukguk) maupun penatua selalu mengingatkan agar para jemaat tidak sekalipun membuka masker. 

Setelah ibadah selesai, gue pun langsung memesan Gocar untuk kembali ke hotel. Saat itu sudah gelap, jadi gue ngga bisa menikmati memandangi bangunan gereja yang menurut gue unik banget, juga lingkungan sekitarnya. Meskipun ngga bisa berlama - lama di sini, paling ngga sudah cukup mengobati kerinduan gue untuk beribadah langsung di gereja.

Tuesday, May 11, 2021

Kesengsem Pesona Benteng Pendem


11 Mei 2021

Tanggal 23 - 27 April 2021 yang lalu akhirnya gue bisa jalan lagi ke Semarang. Seinget gue sebelum masa pandemi, setiap tahun gue selalu ke sana. Semarang khan salah satu kota kesukaan gue. Kali ini tujuan gue ke sana, mau santai, staycation, work from hotel, mungkin singgah ke Ambarawa, pokoknya bukan untuk eksplor tempat - tempat wisata di sana. Tapi meskipun gue udah sering ke Semarang, ada satu lokasi yang gue belum pernah kunjungi dan masih penasaran mau ke sana, yaitu Benteng Willem I atau Benteng Pendem di Ambarawa. Jadi, trip Semarang kali ini gue bertekad akan mencari jalan ke sana, meskipun gue solo traveler.

Berhubung masih masa pandemi, kali ini gue milih naik kereta Eksekutif (Argo Muria) dari Stasiun Gambir. Dulunya, biasanya gue naik kereta kelas Ekonomi dari Stasiun Senen. Tapi ngebayangin kalo bangku kereta ekonomi tuh sederet bertiga dan tanpa pembatas antar penumpang, langsung bikin gue parno. Selama setahun pandemi, gue menahan diri banget untuk ngga piknik kemana - mana. Ini akhirnya gue memutuskan untuk ke Semarang pun karena bisa dibilang mulai jenuh kelamaan ngga piknik. Itupun dengan komitmen untuk menjaga diri gue sebaik-baiknya dan menjalankan protokol kesehatan baik selama perjalanan maupun selama di Semarang. Jadilah cara teraman, menurut gue, dengan naik kereta Eksekutif, dengan harapan kapasitas penumpang bakal dikurangi drastis. Dan benar sih, perjalanan dari Jakarta ke Stasiun Tawang, Semarang, keretanya super lengang. Oya, untuk harga tiket kereta pulang pergi gue beli seharga Rp. 489.500, sudah termasuk potongan harga, ada promo dari Tiket.com.

Tiba di Stasiun Tawang, gue naik grab car ke hotel Holiday Inn, Simpang Lima. Sebelum ke Semarang gue udah survey hotel yang lokasinya strategis, nyaman dan asyik buat work from hotel. Setelah baca beberapa review, pilihan gue jatuh ke Holiday Inn ini. Untuk harga, ekonomis banget menurut gue, apalagi belinya pas lagi program promo Tiket.com, jadilah total gue dapat harga Rp.1.254.260 untuk empat malam, sudah termasuk sarapan.

Setiba di hotel gue langsung buka laptop, kerja, telponan ama Pak Boss, kelar. Begitu sorean dan langit masih cerah - cerahnya, gue keluar meninggalkan hotel buat menikmati kota Semarang. Gue pun berjalan kaki menuju pusat oleh - oleh Bandeng Juwana di Pandanaran. Beli oleh - oleh bandeng vacuum buat Mamak, Carol dan Ony, paketin pake JNE langsung di lokasi yang sama, trus gue balik ke hotel. Gue ngga mau ribet sama urusan bawa oleh - oleh, karena kali ini bawaan gue sendiri udah banyak. Maklum, kali ini kan gue niat sekalian kerja, jadi tetap bawa laptop dan perlengkapan kerja lainnya. Udah gitu, gue bakal lumayan panjang stay di Semarang, 5 hari, jadi stok baju yang gue bawa pun mau gak mau agak lebih banyak. 

Hari kedua, Sabtu, 24 April 2021, rencana gue adalah mengunjungi benteng Willem I atau Benteng Pendem di Ambarawa. Gimana caranya ? Sebelum trip ke Semarang, gue udah cari - cari info mengenai owis alias ojek wisata di Semarang, yang bisa mengantar sampai ke Ambarawa juga. Ngga susah nyarinya, cukup modal Instagram. Lagian kayaknya 'owis' udah populer di Semarang. Gue menemukan satu kontak, dan sepakat mengenai harga yang ditawarkan, yaitu Rp. 230,000 untuk mengunjungi beberapa lokasi wisata di Ambarawa. Sebenarnya gue ngga ngotot mau mengunjungi tempat wisata selain benteng Pendem sih, tapi berhubung paketnya begitu, gue oke - oke aja.

Gue minta dijemput oleh Yudha, owis yang akan menemani gue ke Ambarawa, sekitar jam 7:30 pagi. Perjalanan menuju Benteng Pendem seingat gue sekitar 45 menit deh. Dan gue ngga pernah bosan dengan perjalanan dari kota Semarang menuju Ambarawa, melewati Ungaran seperti ini. Gue selalu menikmati, entah apanya ya....udaranya yang sejuk, ngelewatin banyak bangunan - bangunan tua, pokoknya selalu suka. 

Tiba di Benteng Pendem, gue membayar sekitar Rp. 5,000 per orang kalo gak salah. Dan saat itu cuma gue dan Yudha yang ada di sana. Sepi, cuma sesekali ada motor lewat, karena Benteng Pendem sendiri ternyata dijadikan tempat tinggal dan Lapas. Begitu masuk lebih dalam ke area tengah benteng dan berdiri di antara tembok - temboknya yang tua namun tetap kokoh itu, rasanya tak tergambarkan. Sensasi yang muncul, setiap gue menyimpan rasa penasaran tingkat tinggi untuk mengunjungi suatu tempat, dan akhirnya bisa menginjakkan kaki di situ, apalagi tempatnya keren dan bersejarah banget kayak benteng Pendem ini, rasanya luar biasa banget. 






Benteng Pendem ini dibangun tahun 1834 dan namanya diambil dari nama raja Belanda Willem Frederik Prins Vans Oranje - Nassau (1815 - 1940). Disebut 'pendem' karena benteng ini berada di bawah tanah atau terkubur, sebagai bagian dari siasat perang. Buat gue, ini benteng 'pendem' kedua yang pernah gue kunjungi. Beberapa tahun yang lalu gue pernah ke benteng pendem di Cilacap, yang seinget gue dikelola lebih profesional sebagai tempat wisata. Sebenarnya benteng - benteng peninggalan jaman kolonial kayak gini memiliki kesan horor atau mistis tersendiri. Tapi entah kenapa selalu bikin gue penasaran dan bertekad mengunjungi benteng - benteng peninggalan Belanda di daerah lainnya. 


Gue berkesempatan untuk mengeksplor area benteng sampai mentok ke pintu masuk Lapas yang memang harus steril. Lalu gue mengambil arah sebaliknya, dan menuju area pesawahan, dimana gue bisa melihat sebuah bangunan yang merupakan bagian dari komplek benteng Pendem juga. Bangunan berbentuk kotak yang tampak tersusun dari bata merah, berdiri di tengah sawah. Kata Yudha, banyak bangunan seperti itu di kawasan benteng Pendem ini, dan saat ini fungsinya adalah sebagai tempat penyimpanan hasil sawah. Saat gue melanjutkan langkah menyusuri tepi sawah itu, lagi - lagi gue melihat bangunan benteng lainnya, kali ini tampak lebih padat penghuni. Gue bisa melihat jemuran pakaian, atau kandang burung digantung di dalam lantai dua bangunan itu. Gimana rasanya sih tinggal di sini ? Gue menyimpan rasa takjub yang demikian dahsyatnya. Di satu sisi, gue pecinta dan penggemar bangunan - bangunan kolonial bersejarah. Tapi logika gue ngga nyampe untuk membayangkan ada orang dan keluarganya bisa tinggal di bangunan - bangunan tersebut. Yang dibangun hampir 200 tahun silam...dengan kondisi apa adanya alias tanpa direvitalisasi dulu...salut deh gue ! Pasti itu jadi pengalaman dan cerita super menarik tersendiri yang mereka miliki. 



Gue kembali ke area tengah benteng, tempat gue masuk tadi. Saat di sana, tiba - tiba seseorang yang sedang mengendarai motor berhenti, dan bilang, "Kalau mau naik ke atas, naik aja. Kalau ada yang tanya, bilang aja 'kata Pak RT'."

Memang ada papan bertuliskan larangan untuk naik ke lantai 2 benteng. Karena mendapatkan 'ijin' gue pun naik ke atas. Di situ gue sempat melihat - lihat beberapa bagian benteng yang digunakan sebagai tempat tinggal termasuk rumah Pak RT. Dalam hati gue cuma terkagum - kagum sekaligus bertanya - tanya, "Gimana rasanya coba tinggal di sini ?" 






Setelah beberapa saat di area benteng Pendem, gue dan Yudha pun meninggalkan lokasi. Sebenarnya gue belum puas - puas banget sih, entah kenapa, rasanya berat melepaskan pandangan gue dari komplek benteng Pendem ini. Mempesona banget sih buat gue. Mungkin kalo ngga mikirin waktu, gue bisa menghabiskan waktu beberapa lama lagi, cuma berdiri diam di tengah komplek benteng ini. Tapi, weirdo banget gak sih ? Mau duduk - duduk, ngga ada tempatnya. Akhirnya gue menghibur diri dan berjanji dalam hati, secepatnya gue akan ke Ambarawa lagi, dan ke benteng ini lagi. Gue pun melangkah meninggalkan komplek benteng.