I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Tuesday, September 29, 2015

Menyongsong Masa Lalu Di Lasem (Hari Pertama)

Bed sweet bed
Perjalanan gue menyongsong masa lalu ini sebenarnya terdorong oleh rasa penasaran akan kota Lasem. Sebenarnya ngga banyak artikel yang pernah gue baca mengenai Lasem....tapi sejauh yang gue ingat gue pernah membacanya di harian (cetak) Kompas. Saat itu Lasem diangkat ke permukaan karena bertepatan menjelang hari Imlek. Dan Lasem yang sejak pertama gue mendengar namanya disebut - sebut sebagai Tiongkok Kecil, selalu dijadikan semacam teladan akan sikap toleransi yang dijunjung tinggi di antara masyarakat yang heterogen, tepatnya sangat kental budaya Cina. Namun lebih dari itu, gue 'terpesona' dengan 'reputasi' kota Lasem sebagai kota tua dengan nuansa Cina yang masih lestari dan orisinil.

Jadilah sekitar 2 bulan yang lalu gue iseng - iseng membeli tiket kereta (ekonomi) tujuan Pasar Senen (Jakarta) - Semarang Tawang. Rasa penasaran super tinggi membantu gue menepis ragu membayangkan perjalanan kereta ekonomi selama kurang lebih 8 jam menuju Semarang. Rasa penasaran juga bikin gue begitu bersemangat mencari informasi cara mencapai Lasem, penginapan di sana, bagaimana berpetualang di sana dan lain sebagainya.

There is a will, there is a way...tekad gue yang besar untuk menuju Lasem dan ketekunan mencari - cari informasi berbuah manis, yang mengenalkan gue pada Lasem Heritage Trail. Gue pun mulai berkomunikasi dengan Pop, yang gue pribadi sebut pemandu yang mencintai kota Lasem dan memiliki pengetahuan luas mengenai Lasem. Setelah gue berkomunikasi dengannya, rasanya segala tantangan dan pertanyaan dalam benak gue terjawab. Mengenai penginapan, gue bisa menumpang di guest house Lasem Heritage Trail yang tarifnya hanya Rp. 50,000/malam. Dan mengenai cara mengeksplorasi Lasem, Pop juga menyediakan semacam paket tour Lasem.

Tanggal 24 September 2015 yang lalu, bertepatan dengan hari libur Idul Adha 1436H, gue berangkat menuju Stasiun Pasar Senen. Kereta Kertajaya yang akan mengantar gue menuju Semarang Tawang dijadwalkan berangkat sekitar jam 2 siang. Sebenarnya ini bukan waktu favorit gue untuk berangkat, terlebih dengan menggunakan kereta ekonomi, karena sudah terbayang panas dan sesaknya suasana di dalam kereta. Tapi, demi membayar rasa penasaran akan Lasem yang tersimpan di hati gue beberapa tahun terakhir, kayaknya semua itu bukan masalah.

Gue pun melalui perjalanan selama kurang lebih 8 jam menuju Semarang. Kalau menarik mundur waktu ke belakang, gue udah pernah naik kereta ekonomi tujuan Malang - Pasar Senen yang waktunya jauh lebih lama, hampir 18 jam. Jadi perjalanan 8 jam ini bukan sesuatu yang terlalu berat rasanya. Gue sempat tertidur beberapa saat, walaupun sulit banget karena gue duduk di bangku C yang ada di pinggir lorong, dimana ngga ada sesuatu pun yang bisa gue gunakan untuk menyanggah kepala gue yang mengantuk. Ada saat - saat dimana gue berdiri lama dalam perjalanan karena duduk terasa membosankan dan bikin pegal serta nyeri maksimal.

Akhirnya kereta pun merapat di Stasiun Semarang Tawang, hampir jam 9 malam. Ini adalah kali pertama gue menginjakkan kaki di stasiun ini. Dan tiba di sebuah lokasi antah - berantah selarut malam ini, adalah tantangan tersendiri. Gue pun meninggalkan bangunan stasiun menuju jalan besar. 

Gue menunggu angkutan umum yang akan mengantar gue ke Terminal Terboyo. Herannya suasana stasiun saat itu ngga ramai, dan rasanya gue adalah satu - satunya orang yang menunggu angkutan umum di pinggir jalan. Dengan mata berkunang - kunang menahan kantuk, gue pun menghentikan satu - satunya angkutan umum yang lewat yang akan mengantar gue ke terminal.

Perjalanan dari Stasiun Semarang Tawang menuju terminal sekitar 10 menit. Angkutan umum yang gue tumpangi ngga masuk ke dalam terminal. Tapi kebetulan tepat di depan terminal pun ada sebuah bus sedang berhenti dengan beberapa penumpang di dalamnya. Dengan mata mengantuk gue lihat nama busnya "Jaya Utama". Gue teringat, Pop sempat mengingatkan nama - nama bus tujuan Semarang - Surabaya: Widji, Indonesia, Sinar Mandiri dan Jaya Utama. Artinya, gue harus naik bus ini. Begitu masuk bus gue lihat seorang penumpang sedang asyik merokok. Sialan....berarti bus yang gue tumpangi ini adalah bus non AC. Tapi apa daya...ngga ada pilihan lain.

Perjalanan Semarang - Lasem ditempuh sekitar 3 jam. Dan dalam karir kaki panjang gue ini melangkah melanglang buana, ini adalah salah satu perjalanan yang paling mengandalkan nyali dan kenekatan tingkat tinggi untuk bisa dilalui. Jalan sendirian, di malam selarut ini, di dalam bus antar kota antar provinsi, dan gue ngga tahu rute perjalanannya serta ngga tahu harus berhenti dimana. Pop sudah membekali informasi bahwa gue harus turun di Masjid Lasem. Namun, harus melalui perjalanan panjang nyaris 3 jam dan hanya memegang informasi "Masjid Lasem" rasanya menantang banget. Malam itu gue rasa sang kernet mendapatkan penumpang paling bawel sepanjang karirnya. Karena setiap kali sang kernet berjalan melewati bangku tempat gue duduk, gue akan bilang, "Pak...Masjid Lasem ya..." Meskipun Pak Kernet selalu menjawab bahwa masjid yang gue maksud letaknya masih jauh, tapi gue pantang malu dan menyerah. Setiap kali gue lihat sosoknya, gue akan bilang, "Pak jangan lupa....saya turun di Masjid Lasem. Masih jauh ngga ?" 

Selain 'mengganggu' Pak Kernet, cara gue 'sadar lokasi' adalah dengan membaca alamat - alamat yang biasanya tercantum di tempat - tempat umum. Misalnya pada papan atau tugu nama sekolah, bank atau kantor Polisi. Paling tidak, dengan melakukannya gue sadar bahwa gue sudah di Kudus....atau Pati....atau sudah memasuki Rembang. Hal ini sebenarnya agak sulit dilakukan, karena sepanjang jalan penerangannya sangat minim, hanya mengandalkan lampu kendaraan. Gelap dimana - mana. Di saat yang sama gue juga tetap berkomunikasi dengan Pop melalui Whats App, yang berjanji akan menjemput gue di Masjid Lasem nanti. Moment yang maha dahsyat adalah ketika gue bilang, "Dah masuk Rembang, Pop..." jawaban yang gue terima paling ngga masuk akal sedunia, "Dah lewat kotanya ? atau masih di tambak garam?" Hahh...!! Saking gelapnya sepanjang perjalanan bahkan gue ngga tahu ada apa di sebelah kiri - kanan jalan raya. Dan mana gue tahu yang mana Rembang kota dan Rembang yang bukan kota....dan apa pula itu tambak garam? Rasanya pengen ketawa terbahak - bahak sambil membenturkan kepala ke jendela bus berkali - kali....di tengah rasa cape, ngantuk, dan bingung campur jadi satu, jawaban Pop adalah sumber kelucuan yang mencengangkan.

Akhirnya gue kembali mengandalkan Pak Kernet. "Pak, Masjid Lasem masih lama ?" Gue salut ama Pak Kernet karena belum frustasi meladeni pertanyaan gue. Akhirnya jawaban yang ditunggu - tunggu pun terdengar dengan indahnya...."10 menit lagi, Mbak..." Gue langsung menghubungi Pop kembali.

Bus pun berhenti di Masjid Lasem, tepat jam 00:05 dini hari. Ketika gue menghirup udara segar sesaat begitu turun dari bus, hati gue berkata...butuh beberapa tahun, dan 10 jam perjalanan darat untuk gue tiba di sini. Akhirnya! 

Gue langsung mengenali Pop dengan motornya yang menunggu tepat di dekat perhentian bus. Gue pun diantar menuju guest house. Lasem saat itu gelap dan sepi. Begitu gue tiba di gerbang guest house, dalam kegelapan gue bisa melihat sosok bangunannya yang megah namun tua. Menyeramkan ? Pastinya. Gue diantar ke kamar tidur, dimana ada 3 kasur di dalamnya, dan 2 kasur di antara sudah terisi oleh 2 perempuan (traveler dari Jakarta juga) yang tidur dengan pulasnya. 

Foto-foto guest house :

Ruang tamu guest house
Ruang tamu guest house
Bangunan guest house

Gue yang masih takjub dan kaget dengan betapa kunonya bangunan guest house, dengan langit - langitnya yang tinggi...pintu - pintu yang menjulang dan jendela - jendela besarnya, berusaha menyesuaikan diri sekilat mungkin. Malam itu gue ngga mandi, karena toilet dan kamar mandi beda lokasi dengan kamar tidur. Gue hanya sempat membersihkan diri dan berganti baju, siap untuk merebahkan badan di kasur....Kasurnya sendiri kecil, jadi kalau mau berbaring gue harus menekukkan badan gue sedikit. 

Gue melalui malam itu dengan berjuang untuk tidur. Sepi. Hanya ada suara kipas angin, selebihnya keheningan. Rasanya kali ini gue 'naik level' ke tingkat 'advanced' dalam hal perbekpekeran. Perjalanan panjang nan melelahkan tadi....guest house unik ini....kamar ini....kasur tempat gue berbaring....meskipun masih di awal perjalanan selama 4 hari gue ke Lasem, namun ini adalah salah satu perjalanan paling berat yang pernah kaki panjang gue ini lalui. Dan gue pun tertidur, dengan semangat mengeksplorasi Lasem esok hari.

Pengeluaran :
Tiket kereta ekonomi Pasar Senen - Semarang Tawang : Rp. 90,000
Bekal makan malam (nasi kotak D'Cost) : Rp. 16,000
Ongkos angkutan umum stasiun Semarang Tawang - Terminal Terboyo : Rp. 5,000
Ongkos bus Semarang - Surabaya : Rp. 22,000 

Total pengeluaran hari pertama : + Rp. 133,000

Monday, September 21, 2015

Keluyuran di Tangerang

Gue dan Ony mendadak pengen ke Tangerang karena penasaran untuk mengunjungi Museum Benteng Heritage. Dari dulu gue sering dengar istilah "Cina Benteng", dan bikin penasaran, karena gue memang selalu excited melihat - lihat kawasan pecinan gitu. Begitu pernah secara kebetulan membaca artikel mengenai Museum Benteng Heritage, gue pun langsung memantapkan hati untuk ke sana. Meskipun selama ini gue ngga kenal Tangerang....dan sejujurnya agak malas dan ogah karena bagi gue 'Tangerang' itu jauh banget dan sulit dijangkau.

Kekhawatiran gue lenyap berkat adanya prasarana KRL (Kereta Rel Listrik) Commuter Jabodetabek. Jadi, dari Stasiun Pasar Minggu gue naik KRL Commuter tujuan Tanah Abang terlebih dahulu, turun di Stasiun Duri. Dari Stasiun Duri gue melanjutkan perjalanan dengan KRL Commuter lagi tujuan Tangerang, dan turun di stasiun paling akhir yaitu Stasiun Tangerang. Total perjalanan sekitar 1.5 jam dengan ongkos total Rp. 4,000 saja. Murah dan praktis kan? 

Dari Stasiun Tangerang, gue dan Ony cukup berjalan kaki menuju kawasan Pasar Lama, dimana Museum Benteng Heritage berada. Museumnya benar - benar terletak di tengah sebuah pasar tradisional yang hingga siang itu masih cukup padat oleh masyarakat sekitar dan aktivitasnya yang khas. Lengkap dengan suasana beceknya, aroma - aroma khas dimana aroma ikan, daging, sayur mayur dan keringat pedagang dan pembeli membaur menjadi satu. 

Tiba di Museum, gue pun membeli tiket masuk seharga Rp. 20,000 per orang. Karena saat itu gue tiba sekitar jam 11:30 siang, gue masih harus menunggu sampai waktu tour berikutnya yaitu jam 12:00 siang. Jadi setiap kunjungan ke museum ini harus didampingi oleh pemandu tour, yang akan memandu pengunjung selama tour yang berlangsung kurang lebih 45 menit. Selama tour pengunjung dilarang untuk memotret dan mendokumentasikan dalam bentuk apapun.

Bangunan museumnya berupa rumah bergaya sangat khas oriental, ala rumah - rumah mewah dan luas milik orang - orang kaya Cina di jamannya. Rumah ini mengingatkan gue akan museum - museum dengan konsep serupa yang pernah gue lihat di Penang maupun Melacca. Kalau di Penang gue sempat mengunjungi Pinang Peranakan Mansion dan Blue Mansion (Cheong Fatt Tze Mansion). Kalau di Melacca gue pernah mengunjungi Baba & Nyonya Heritage Museum. 

Yang unik dan terkesan kekinian banget, Benteng Heritage Museum ini diresmikan pada tanggal dan jam cantik, yaitu 11 November 2011 (11-11-2011) tepatnya jam 20:11 (jam 8 malam lewat 11 menit). Seperti pada museum - museum yang pernah gue kunjungi di Penang dan Melacca, daya tarik dari museum ini selain bangunannya yang sangat tua namun tetap kokoh, juga barang - barang peninggalannya yang kuno dan bernilai sejarah tinggi, yang hebatnya masih lestari dan terawat. Paling ngga, berkat Benteng Heritage Museum, masyarakat jaman sekarang (salah satunya gue), masih berkesempatan melihat langsung barang - barang maupun perkakas yang digunakan alias nge-hits puluhan atau bahkan sekian ratus tahun yang lalu. Barang - barang yang disimpan dan dipamerkan di sini misalnya : telepon, alat timbang (umumnya) candu, alat untuk menghisap tembakau, alat hitung, buku - buku, pakaian, perangko, koin, dan lain - lainnya yang berusia kuno.


Selain itu, gue juga sangat menikmati tour di Benteng Heritage Museum karena bisa mendengarkan cerita sejarah masyakat Cina Benteng di Tangerang ini, dari sang pemandu tour siang itu, Desy. Paling ngga, rasa ingin tahu gue selama ini dengan istilah "Cina Benteng" terjawab. Kalau mendengar kata 'Tangerang', rasanya pikiran gue akan langsung teringat sebutan "Cina Benteng"....tanpa gue sendiri mengerti sebenarnya itu sebutan resmi dan wajar, atau semacam nama keren atau bahkan sebutan sinis alias ejekan. Ternyata itu adalah sebutan yang lazim dan sebenarnya ada cerita sejarah di baliknya. Jadi, dahulunya VOC, perusahaan dagang Belanda, membangun benteng di sebelah timur sungai Cisadane. Pada tahun 1682 berdasarkan sebuah perjanjian damai, wilayah yang terletak di antara kota Batavia hingga sebelah timur Cisadane ditetapkan sebagai milik VOC. Pihak VOC pun membangun benteng untuk melindungi dan mempertahankan lahan ini. Dan orang - orang Tionghoalah penduduk pertama yang menempati dan mengolah lahan ini. Dari situlah lahir istilah Cina Benteng.

Benteng Heritage Museum
Pintu masuk museum
Ruang penjualan tiket museum
Oleh - oleh dari Museum
Produksi pabrik kecap tertua di Tangerang : Teng Giok Seng

Dari Benteng Heritage Museum, gue dan Ony tinggal berjalan kaki menuju klenteng Boen Tek Bio di Jalan Bakti (masih di kawasan Pasar Lama), yang merupakan klenteng tertua di Tangerang. Klentengnya ramai dikunjungi oleh warga yang hendak menjalankan ibadah. Bahkan di siang itu ada pasangan pengantin juga. 

Klenteng Boen Tek Bio


Karena sudah kelaparan, gue dan Ony pun berniat mencari makan siang....tadinya pengen nyobain sajian kuliner khas Tangerang : nasi uduk Encim Sukaria...tapi batal karena menurut informasi dari salah satu staff Benteng Heritage Museum, nasi uduk Encim Sukaria sudah akan habis dan tutup sekitar jam 11:00 siang. Artinya, laris banget....Makanan khas Tangerang lainnya adalah laksa. Tapi berhubung laksa bukanlah makanan favorit gue -anehnya, bahkan gue belum pernah sekalipun makan laksa....- maka gue berniat nyari makanan ala mall dan gagal totallah misi wisata kuliner Tangerang kali ini.

Gue pun kembali ke arah stasiun Tangerang dan tepat di seberang bangunan Pendopo, gue naik angkutan umum (warna biru) nomor R03A jurusan Ps. Anyar - Serpong, untuk menuju Mall Tangcity. Di sana gue makan di D'Cost....Selesai makan siang dan ngopi, gue meninggalkan Tangcity untuk mencari 'tujuan wisata' Tangerang lainnya, yaitu Bendungan Pintu Air 10. Dari Tangcity gue menyeberang jalan dan naik angkutan umum RB (warna kuning biru) dan turun di Jembatan Pasar Lama. Dari situ gue menyambung naik angkutan warna biru ungu dan turun tepat di seberang Pintu Air 10. Dinamakan Pintu Air 10 karena bendungan ini memiliki sepuluh pintu air....(informasi paling penting sedunia abad ini!)

Santai di bendungan
Sungai Cisadane
Bendung Pasar Baru Irigasi Cisadane
(Pintu Air 10)
Sebenarnya gue ngga yakin juga kalau bendungan ini adalah tempat wisata. Tapi untuk gue, yang seumur - umur belum pernah menginjakkan kaki di bendungan, cukup bikin semangat dan girang. Ngga banyak yang bisa dilakukan di sini, selain duduk menikmati pemandangan sungai Cisadane yang sore itu nampak tenang sambil mengamati pengunjung lainnya yang asyik memancing ikan. 

Dari Pintu Air 10, gue dan Ony pun kembali ke Stasiun Tangerang. Tapi berhubung masih penasaran, gue kembali ke Klenteng Boen Tek Bio, karena berharap klenteng sudah lebih sepi dan karena masih bertekad menantang Ony untuk mengadu kemampuan bermain caturnya dengan group bapak - bapak usia lanjut yang siang tadi gue perhatian asyik bermain catur. Namun begitu gue tiba di sana, klenteng masih tetap padat, bahkan ada pasangan pengantin lagi sore itu, dan Ony masih enggan bertarung catur dengan group bapak - bapak yang sampai sore itu masih tekun di depan papan caturnya, dengan personel sama dan posisi duduk yang sama pula. 

Akhirnya gue dan Ony pun melangkah kembali ke Stasiun Tangerang untuk bersiap kembali ke kota Jakarta yang gue rindukan *noraks!* Lagi - lagi, Yesus yang maha baik memberikan perjalanan KRL Commuter yang lancar dan nyaman dari Tangerang menuju Pasar Minggu. 

Perjalanan ke Tangerang ini cukup menghapus pandangan skeptis gue mengenai kota ini. Sebelumnya gue berpikir ngga ada yang menarik untuk dikunjungi di sini...(Maaf, warga Tangerang!) Tapi ternyata gue salah...kota ini cukup menyenangkan untuk dijelajahi. Bahkan gue dan Ony masih menyimpan daftar tempat - tempat yang harus dikunjungi di Tangerang yang belum sempat didatangi hari ini. 

Jadi...sampai jumpa lagi, Tangerang !