I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Thursday, April 24, 2014

Kontemplasi di Keheningan Gereja Ayam Bogor

Sejak gue bertekad mewujudkan keinginan untuk mencari dan mengunjungi gereja- gereja tua yang ada di Jakarta dan sekitarnya, gereja pertama yang gue datangi adalah GPIB Zebaoth di Bogor. Gue senang dengan apapun soal gereja ini, bangunannya, sejarah panjangnya, terlebih lokasinya. Lokasinya yang ada di dalam lingkungan Kebun Raya Bogor dan berdampingan dengan istana Bogor, rasanya memberikan keindahan tersendiri. Bahkan namanya, Zebaoth, pun mempunyai arti yang menarik : bala tentara. Di atas itu semua, lagi - lagi sosok 'ayam' yang berdiri tegak di puncak menaranya adalah daya tarik tersendiri.

Sang fenomena : si ayam
Menurut sejarah, pembangunan gereja ini dimulai sekitar tahun 1920. Jadi, sebenarnya dibandingkan dengan beberapa gereja tua yang sudah gue kunjungi di Jakarta, mungkin Zebaothlah yang paling 'muda'. Usianya 'baru' menginjak hampir seratus tahun.

Mungkin terdengar basi, namun keinginan gue untuk datang ke gereja ini sudah ada sejak lama. Sayangnya bertahun - tahun silam, sepertinya gue terperangkap pada stigma, "Gue bukan jemaat gereja itu, jadi rasanya aneh dan canggung untuk ke sana."  Gue sepertinya lupa, bahwa sudah sejak balita gue menjadi jemaat pendatang sejati.

Gue terdaftar dan dibaptis di sebuah gereja HKBP di kawasan Kebayoran, lalu sejak usia sekolah minggu hingga SMP gue adalah warga jemaat HKBP Toko 28, Kramatjati. Memasuki masa SMA dan kuliah, gue "menumpang" lagi dan menjadi bagian dari jemaat gereja HKBP Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Setelah gue bekerja hingga akhir tahun 2013, gue rutin beribadah di gereja GPIB Gideon, Kelapa Dua Depok. Di awal tahun 2014 ini, seiring dengan progresif dan kuatnya keinginan gue untuk melakukan sesuatu di luar rutinitas dan menemui hal - hal baru, gue bagaikan belalang yang hinggap dari satu gereja ke gereja lainnya. Bukan untuk mencari gereja yang terbagus dari yang paling bagus, atau tata ibadah yang paling sempurna, namun sekedar memuaskan keinginan gue untuk bisa beribadah di tempat yang berbeda, terlebih, di tengah jemaat  - jemaat yang berbeda pula.


Untuk GPIB Zebaoth, kalau dihitung - hitung, sudah 3 kali gue beribadah di sini. Saat kedatangan pertama kali, gue kaget menyadari betapa kecilnya ruang ibadahnya, dibandingkan dengan apa yang terlihat dari luar. Hal itu karena beberapa bagian dari bangunannya digunakan sebagai ruang konsistori. 

Sore itu, Setelah misi kuliner terpenuhi (meskipun diiringi oleh hujan tiada akhir), gue tiba di GPIB Zebaoth sekitar jam 3 sore. Saat itu pintu gereja sudah dibuka, dan seorang bapak tampak sedang membersihkan area pintu masuk. Gue minta ijin untuk masuk, dan rasanya luar biasa berada di dalam gereja yang tampak "zaman dulu banget", dengan penerangan minimalis, sendirian.

Bagian dalamnya mengingatkan gue akan gereja ayam yang ada di Pasar Baru, yaitu GPIB Pniel. Mungkin karena keduanya sama  - sama dibangun pada masa pendudukan Belanda, dengan ciri khas arsitektur khas negara tersebut. Meskipun tidak terlalu luas, namun kesan antik dan tua dari fisik gereja ini adalah pesona tersendiri.

Mazmur 43:3
 Kesamaan lainnya gue temui pada sebuah tulisan berisi ayat Alkitab (dalam bahasa Belanda) yang terukir pada sebuah batu, yang merupakan batu pertama pembangunan gereja yang diletakkan pada 30 Januari 1920 silam. Saat gue memandanginya, ngga ada satu kata pun yang gue mengerti (iyalahh...sejak kapan gue ngerti bahasa Belanda ?) Namun di akhir tulisannya, gue membaca : "Psalm 43 ys 3". Dan gue membuka Alkitab dan mencari "Mazmur 43 ayat 3" yang isinya : Suruhlah terang-Mu dan kesetiaan-Mu datang, supaya aku dituntun dan dibawa ke gunung-Mu yang kudus dan ke tempat kediaman-Mu!

Menghadap ke pintu keluar

Selesai membacanya, entah mengapa sekonyong - konyong pikiran gue berkelana ke impian untuk bekpekeran ke Yerusalem, Bethlehem, dan kota - kota serta negara - negara yang menjadi latar belakang kisah sejarah di kitab suci. Impian terdalam yang saat ini seakan - akan tersembunyi jauh di sudut hati gue. Impian yang dari waktu ke waktu bagaikan terkubur semakin dalam oleh keraguan dan ketidakmampuan.

Dalam hati gue berbisik,"Yesus, jika berkenan tuntunlah gue ke sana." Gue pengen banget bisa ke sana, terlebih setelah Mama dan Bapak dianugerahi kesempatan untuk menginjakkan kaki mereka di sana tahun lalu, dan menceritakan pengalaman luar biasa yang dilalui mereka, dengan ekspresi kebahagian yang sangat mendalam, yang gue belum pernah lihat sebelumnya. Semacam ada kilau di matanya, dan terkadang ada yang menggenang di pelupuk matanya, karena menyembunyikan rasa haru dan syukur...lalu di tengah ceritanya Mama tiba - tiba terdiam karena tidak ada kata - kata yang cukup untuk menggambarkan keindahan yang telah dilihatnya.

Gue mendengar nama kota - kota itu sejak gue masuk sekolah minggu di gereja, tapi ketika Mama menceritakan pengalaman pribadinya ketika di sana, hati gue langsung bertekad, "Gue ingin ke sana...gue ingin melihat negeri yang telah memberikan kebahagiaan hakiki serta pengalaman spiritual luar biasa untuk Mama."


Kembali ke Gereja Ayam, puas di lantai dasar, gue naik ke lantai atas. Dari tempat gue berdiri, gue menikmati kemegahan gereja ini. Langit - langit gerejanya....entah gimana menggambarkannya. Kesan tua dan kokoh di saat yang bersamaan, namun yang lebih mendalam adalah kesan 'sophisticated'nya.


Dan gue dengan bersemangat menuju ke berbagai sudut. Gue pikir ini kesempatan istimewa yang ngga datang setiap saat. Kesempatan untuk mengeksplorasi keindahan gereja bersejarah seperti ini. Dan melakukannya di tengah kegelapan dan kesendirian seperti itu, rasanya seru.

Setelah puas, gue pun turun ke lantai dasar. Mengambil tempat duduk dan menyiapkan hati dan pikiran untuk memulai ibadah, di rumah Yesus yang megah dan indah ini.

Friday, April 18, 2014

(GPIB) Immanuel : Allah Beserta Kita!

GPIB Immanuel
Sebenarnya udah lama banget pengen ibadah di GPIB Immanuel, di Jalan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, tepatnya di seberang Stasiun Gambir. Setiap kali melintas di Jalan Merdeka, pasti mata gue menyempatkan untuk memandang ke bangunan yang kokoh ini. Ini adalah salah satu gereja tua dan bersejarah di Jakarta. GPIB Immanuel dibangun tahun 1834, dan saat itu diberi nama "Williemskerk" untuk menghormati Raja Willem I. Saat ini dikenal sebagai GPIB Immanuel, nama yang sama indahnya dengan bangunannya, artinya : Allah Beserta Kita.

Rasa penasaran gue akan gereja ini, menjadi salah satu pemicu mengapa gue belakangan pengen mengunjungi gereja - gereja tua yang ada di Jakarta. Selain indah bangunannya, gue menghargai gereja - gereja ini karena cerita sejarah yang dimiliki. 

Bermodal rasa penasaran dan kagum, pagi ini gue membulatkan tekad untuk mengikuti ibadah Jumat Agung di gereja ini. Gue pun berangkat lumayan pagi, karena jadwal kebaktian bahasa Indonesia adalah jam 6 dan jam 8 pagi (kebanyakan GPIB kebaktian di jam 9 pagi). Gue naik kereta tujuan Jakarta Kota, dan turun di Stasiun Gondangdia. Dari situ gue naik bus Kopaja P20 dan turun tepat di stasiun Gambir, di seberang gereja.

Kubah Gereja
Begitu memasuki gedung gereja, mata gue langsung tertuju pada kubah tepat di tengah gereja. Gue belum pernah berada di bawah kubah setinggi dan semegah itu. Kubah itu menjadi sumber masuknya cahaya ke dalam gereja. Yang unik lagi, gerejanya nyaris berbentuk bundar, dan susunan bangku jemaat mengikuti bentuk dome gereja ini. Bangku kayu yang dibuat melingkar mengikuti bentuk bangunan gereja itu, kembali membuat gue terpana saking kagumnya, karena bentuknya yang gak biasa. 

Orgel
Ibadah diiringi dengan orgel yang ada di lantai atas gereja. Terharu...akhirnya bisa dengar suara orgel. Orgel di gereja ini adalah buatan tahun 1843 namun kondisinya masih prima untuk digunakan. Mengikuti ibadah diiringi dengan alunan orgel rasanya menimbulkan sensasi berbeda. Seperti masuk ke mesin waktu, ke masa sangat lampau yang gue sendiri ngga kenal. Musiknya begitu konservatif dan ketika orgel itu dimainkan di bangunan semegah ini, menimbulkan kesan syahdu dan agung.
Senang rasanya bisa merayakan Jumat Agung dan mengikuti Perjamuan Kudus di dalam gereja ini. Ada yang unik, yaitu saat Perjamuan Kudus dilakukan, ternyata jemaat meminum anggur dari cawan yang sama secara bergantian. Awalnya gue terkaget - kaget, bayangkan 4 cawan akan digunakan oleh sekitar 40 orang yang duduk di meja perjamuan. Pikir gue, apakah tidak ada yang memikirkan faktor kebersihan dan kesehatan ?

Simbol Jumat Agung : salib & mahkota duri
Mendekati giliran gue untuk maju ke meja perjamuan rasa 'herannya' belum hilang. Sejak pertama kali gue mengikuti perjamuan kudus yaitu setelah gue menerima pemberkatan sidi (jaman dahulu kala), cara pembagian anggurnya selalu sama, yaitu diberikan dengan gelas plastik kecil kepada masing - masing jemaat. Namun yang ada di hadapan gue saat itu, cawan perak dioper dari satu jemaat ke jemaat berikutnya.

Pintu Utama
Gue pun melangkah pasrah ke meja perjamuan, duduk, lalu mengambil roti yang dibagikan, dan memakannya. Kemudian Bapak Pendeta menaikkan cawan anggur dan berkata "Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku". Seketika gue buang jauh - jauh kekhawatiran gue. Dan sekonyong - konyong gue menyadari, ngga semua hal harus dicerna dengan logika manusia yang kadang menjurus pada sikap egois dan sombong seperti yang tadi gue rasakan. Kesakralan dan arti dari perjamuan kudus ini ngga seharusnya di"ganggu" oleh pikiran - pikiran negatif, salah satunya kekhawatiran gue tadi. Lagian, adalah kewajiban gue sebagai jemaat pendatang untuk menghormati dan mengikuti tata ibadah setiap gereja yang gue datangi dengan tertib.

Setelah ibadah selesai dan umat meninggalkan gereja, gue tetap di dalam. Mata gue masih belum lelah mengamati karya seni luar biasa yang ada di hadapan gue. Bahkan gue sempat menaiki tangga melingkar dan mendekat ke ruang orgel, sekalian memandangi jendela - jendela besar dan pilar - pilar kokoh yang menopang gereja.

Rasanya berat banget melangkahkan kaki keluar dari gedung gereja, namun apa daya, kebaktian berikutnya (bahasa Belanda) sudah dimulai dan jemaat sudah memasuki gereja. Gue pun meninggalkan gereja dan dengan perasaan campur aduk. Rasa bahagia karena bisa mendapatkan kesempatan menginjakkan kaki ke rumah-Nya yang agung dan indah.

Sunday, April 13, 2014

(Gereja) Ayam Yang Bikin Penasaran

GPIB Pniel (Gereja Ayam)
Pagi tadi, kaki gue yang panjang dan sulit dikendalikan ini, memutuskan untuk mendarat dan mengikuti kebaktian di sebuah gereja di kawasan Pasar Baru, GPIB Pniel, yang merupakan salah satu gereja tua dan bersejarah di Jakarta, dibangun pada tahun 1913. Untuk sampai ke sini, gue naik commuter line tujuan Kota dan turun di stasiun Sawah Besar. Dari stasiun Sawah Besar gue melanjutkan naik Mikrolet M12 arah Terminal Senen, dan turun tepat di seberang gereja. Ini adalah kunjungan gue yang kedua, sejak beberapa minggu yang lalu. Gue menikmati setiap kedatangan gue ke sini, karena selain sebagai tempat ibadah, gereja ini bagaikan sebuah museum yang menyimpan cerita sejarah, yang selalu menarik untuk gue.


Halo, ayam !
Apa yang menjadi daya tariknya untuk gue ? Sederhana : simbol ayam yang ada di di atap bangunan gereja. Kehadiran ayam ini membuat gue penasaran dan mendorong gue untuk mencari informasi mengenai alasan keberadaannya di situ. Menurut gue simbol itu unik banget, dan ternyata ada filosofi yang melatarbelakangi 'kehadiran' ayam itu di situ, yang bahkan menjadi ciri khas gereja ini, sehingga lebih dikenal sebagai "Gereja Ayam". Pertama, kehadiran 'si ayam' tersebut sebagai penunjuk arah mata angin. Kedua, "ayam" ini adalah simbol dari kisah yang diambil dari Alkitab, yaitu mengenai Petrus yang menyangkal Yesus sebanyak tiga kali. "Yesus berkata kepadanya: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali." ~ Matius 26:34. Simbol ayam dihadirkan untuk mengingatkan manusia untuk tidak menyangkal Yesus.

Meskipun gereja ini lebih dikenal sebagai "Gereja Ayam", namun gue juga tertarik dengan namanya yang unik : Pniel. Pniel diambil dari kisah mengenai Yakub di Kitab Kejadian. Pniel adalah tempat dimana Yakub diberkati dan namanya diubah menjadi "Israel". "Yakub menamai tempat itu Pniel, sebab katanya: "Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!" ~ Kejadian 32:30.

Alkitab Belanda Usia Seabad Lebih
Selain itu, di gereja ini juga tersimpan sebuah Alkitab besar berbahasa Belanda peninggalan tahun 1855 yang ada di altar, dekat mimbar gereja. Karena kondisinya sudah sangat tua dan rapuh, Alkitab tersebut diletakkan dalam sebuah diorama kaca. Selain Alkitab tersebut, ternyata perabotan yang terdapat di dalam gereja, seperti bangku dan mimbar dari kayu jati, pun masih asli peninggalan jaman Belanda.

"Barang" menarik lainnya yang bikin gue penasaran dan langsung buka Alkitab adalah tulisan berbahasa Belanda yang terukir di sebuah marmer dan diletakkan di tembok belakang gereja. Gue ngga ngerti artinya, tapi begitu gue lihat tulisan "Jac 1:27", gue pun membuka Yakobus 1: 27 dan tulisan dalam bahasa Indonesianya adalah :


"Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia." 

Hhmmm....ayat ini sepertinya mau mengingatkan setiap warga gereja, terlebih gue, mengenai arti 'ibadah' sebenarnya, bahwa itu bukanlah semata - mata datang ke gereja, bernyanyi dan berdoa, mendengarkan firman Tuhan, memberikan persembahan, berjabatan tangan dengan sesama jemaat dan Pendeta, lalu pulang. Ini teguran untuk gue agar tidak menutup mata dan telinga terhadap sekeliling gue, terlebih orang - orang yang kekurangan dan membutuhkan.

Kebaktian jam 9 pagi tadi dipimpin oleh Bapak Pendeta Adriano Wangkay. Beliau bukan sosok yang asing buat gue, karena sebelumnya pernah menjadi ketua majelis jemaat di GBIP Gideon Kelapa Dua Depok. Dan agenda pagi tadi adalah peneguhan anggota sidi jemaat setempat. Di akhir ceremony peneguhan, para anggota sidi baru tersebut menyanyikan lagu yang selalu membuat gue terharu, judulnya : Di Setiap Janjiku. Entah kenapa setiap kali mendengarkan lagu ini, gue yang cuek ini akan bersusah payah membendung air mata untuk tidak menetes.

Di setiap janjiku
Dan setiap doaku
Juga langkah imanku
Tuhan bersamaku.
Tiap gunung ku tempuh
Harapanku pun teguh
Rahmat Tuhan beserta
Untuk selamanya.

Tuhan b'ri anugrahNya
Tuhan b'ri kuasaNya
Kristuslah didalamku
Ku 'kan menang bersamaNya

Bagian dalam gereja
Kayaknya lagu ini 'menyentuh' banget. Semua perasaan yang ada di hati gue tumpah seketika, lebur jadi satu....sedih, bahagia, putus asa, bersemangat, lelah, tegar, semuanya....Jadi teringat cobaan dan masalah - masalah hidup yang gue hadapi yang terkadang bikin galau dan lelah, namun langsung terhapus karena teringat walaupun gue 'sendirian' tapi Yesus senantiasa beserta gue, melindungi gue, dan memimpin gue menyelesaikan masalah satu persatu.

Lagu ini bikin 'sedih' sekaligus memberikan kekuatan. Baris terakhir dari lagu ini seperti mantra yang memberikan keyakinan : Ku 'kan menang bersamaNya. Lagu indah ini, yang gue dengarkan di bangunan gereja yang ngga kalah indahnya, adalah sepenggal kenangan indah yang akan selalu gue ingat mengenai GPIB Pniel atau Gereja Ayam.

Monday, April 07, 2014

Ibadah Pagi di Gereja Peninggalan Portugis

Pintu utama
Beberapa bulan terakhir, kegiatan gue tiap hari Minggu adalah mengikuti kebaktian di gereja - gereja yang berbeda. Lebih tepatnya lagi, saat ini gue sedang senang - senangnya mengeksplorasi gereja - gereja tua yang ada di Jakarta dan Bogor. 

Bisa dibilang ini adalah kombinasi antara menjalankan kewajiban beribadah dan berpetualang. Untuk alasan berpetualang, cara ini benar - benar memberikan kepuasan maksimal buat gue karena selain bisa datang dan melihat langsung tempat - tempat bersejarah seperti ini, gue juga bisa mengikuti ritual ibadah (kebaktiannya).

GPIB Sion
Sebenarnya berhubung kebanyakan dari gereja - gereja tua ini adalah GPIB (Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat), jadi secara tata ibadah termasuk doa dan lagu yang digunakan sama. Namun secara pribadi, gue menikmati beribadah di tempat (bangunan) yang berbeda dengan jemaat setempat yang berbeda, yang pastinya memiliki karakteristik yang berbeda pula. Terlebih, pengalamannya menjadi bertambah seru, karena gue harus berusaha mencari dan menjangkau lokasinya yang mungkin terbilang jauh dari tempat tinggal gue.

Lonceng gereja
Kemarin (06 April 2014), gereja yang gue kunjungi adalah GPIB Sion di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta Barat. Gereja ini dulunya bernama Portugeesche Buitenkerk atau Gereja Portugis yang diresmikan sejak 23 Oktober 1695. Dan ini adalah bangunan tertua di Jakarta yang masih digunakan sesuai fungsinya ketika pertama kali dibangun, yaitu sebagai gereja. Membaca sejarahnya di internet, serta melihat langsung bangunannya dengan mata kepala sendiri, membuat gue sadar betapa selama ini gue kurang peduli dan menghargai bahwa di Jakarta sendiri yang adalah tempat tinggal gue, ada bangunan setua dan kaya sejarah seperti ini. Gue sering banget ke daerah Kota, tapi selama ini ngga sadar ada gereja tua peninggalan Portugis berdiri tegak di pinggir jalan, di lokasi yang sangat mudah dijangkau.

Berhubung belum tahu lokasinya, di hari Sabtunya gue sengaja datang ke kawasan Kota untuk mencari lokasi tepatnya. Gue naik komuter line dan turun di stasiun Kota. Dari stasiun ternyata gue tinggal berjalan kaki tidak begitu jauh dan menyeberang jalan. Posisi gereja ada di pojok jalan, jadi mudah ditemukan. Tepatnya lagi, area gereja bersebelahan dengan Halte Transjakarta "Jayakarta".

Mimbar kotbah
Kedatangan gue disambut oleh seorang bapak penjaga gereja yang sangat baik hati karena memperbolehkan gue masuk ke dalam gereja. Bukan itu saja, gue juga diperbolehkan naik ke atas untuk melihat orgel (organ seruling) dan dijelaskan sekilas cara kerjanya. Gue seperti anak kecil dilepas di toko mainan, yang langsung dengan semangatnya kesana kemari mengagumi apapun yang ada di hadapan gue saat itu. Gue ngga berhenti berdecak kagum melihat megah dan kokohnya gereja ini. Menurut catatan sejarah, bangunannya tersusun dari batu bata yang direkatkan dengan menggunakan pasir dan gula tahan panas. Informasi menarik lainnya, hampir sebagian perlengkapan sejak dibangunnya gereja ini, masih digunakan hingga sekarang. Memandangi mimbar kotbah bergaya Barok dari kayu eboni yang memberi kesan berbentuk seperti mahkota dengan detil - detik ornamen yang luar biasa, bikin mata gue terbelalak dan cuma bisa ternganga...seumur - umur gue ngga pernah lihat yang seperti itu.

Makam Portugis
Di area taman gereja, terdapat beberapa pemakaman Portugis dengan batu nisan besar bertuliskan bahasa Portugis, yang memberi kesan sedikit 'seram' tapi di saat yang bersamaan menambah kesan 'kuno' dan 'antik'nya gereja ini semakin mendalam.

Keesokan paginya, dengan langkah pasti dan bersemangat, gue berangkat menuju gereja ini untuk mengikuti kebaktian jam 10 pagi. Gue tiba sekitar 45 menit sebelumnya dan langsung mengambil tempat duduk di depan. Gue duduk diam menikmati keheningan, sambil mata gue menyapu seluruh bagian gereja. Langit - langitnya yang tinggi, pilar - pilarnya yang kokoh, jendela - jendelanya yang besar, keempat lampu tembaga yang antik di tengah bangunan, semuanya. Rasanya unsur 'modern' di dalam gereja ini hanyalah AC (penyejuk udara) yang dipasang di beberapa titik, sehingga sebuah pintu kaca harus dibangun di depan pintu utama.

Orgel, di atas pintu keluar
Di luar dugaan, ternyata jemaat yang mengikuti kebaktian pagi itu ngga terlalu banyak, dan kebanyakan berusia lanjut. Kebaktian dipimpin oleh Bapak Pendeta Richard Tumundo S.Th. Pagi itu gue memang belum bisa menikmati alunan orgel yang mengiringi kebaktian - menurut bapak penjaga gereja yang kemarin gue temui, orgel hanya akan digunakan di minggu pertama saja. Sebenarnya kedatangan gue kemarin tepat di minggu pertama namun entah kenapa orgelnya tidak digunakan - tapi ngga masalah, alunan piano modern diiringi suara merdu kedua kantoria yang bertugas pagi itu membuat suasana kebaktian kian hikmat. Terlebih di saat salah satu lagu kesayangan gue berkumandang rasanya jadi makin syahdu.


SuaraMu kudengar memanggil diriku,
supaya ‘ku di Golgota dibasuh darahMu
Aku datanglah, Tuhan, padaMu
dalam darahMu kudus sucikan diriku

Ketika kebaktian usai, dan setiap jemaat saling bersalaman dan meninggalkan bangunan gereja, gue ngga langsung pulang. Gereja ini, dengan segala keunikan dan kekayaan sejarah yang dimilikinya memberikan kesan tenang dan teduh, sampai - sampai bikin gue ngga rela meninggalkannya. Dan mulai saat ini, gereja ini adalah salah satu tempat favorit gue dan dalam hati gue janji bahwa ini bukanlah kunjungan terakhir gue kesini.