I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Sunday, June 29, 2014

Ereveld Ancol : "Peristirahatan" Belanda di Tepi Pantai

Kemarin (Sabtu, 28 Juni 2014), akhirnya gue berkesempatan mengunjungi satu lagi Ereveld yang ada di Jakarta, yaitu Ereveld Ancol. Kunjungan gue ke Ereveld Menteng Pulo sebelumnya memang menyisakan rasa penasaran dalam diri gue untuk mencari dan mengunjungi ereveld - ereveld lainnya. Kenapa ? Karena gue tertarik dan kagum dengan cerita sejarah yang melatarbelakangi pembangunan ereveld - ereveld ini. 

Lokasinya yang ada di dalam area Taman Impian Jaya Ancol (TIJA), 'memaksa' gue harus merogoh kantong untuk mengunjungi Ereveld ini, yaitu untuk tiket masuk TIJA. Meskipun Ereveld ini bukan termasuk dari wahana hiburan yang ada di TIJA, namun petunjuk lokasinya jelas. Ereveld terletak di dekat Pantai Carnaval. Kalau kehadiran Ereveld Menteng Pulo menurut gue sangat kontras dengan gedung - gedung pencakar langit yang ada di sekitarnya, Ereveld ini kontras karena terletak di antara pantai dan keramaian pengunjung yang sedang piknik di Ancol.

Area Ereveld Ancol ngga terlalu luas. Menurut informasi Pak Elisa, Kepala Ereveld Menteng Pulo, luasnya 'hanya' sekitar 1 hektar. Saat gue tiba di sana sore itu, gue ngga melihat siapapun, termasuk petugas kebersihan ereveld. Di dekat gerbang gue melihat petunjuk mengenai jam berkunjung, dan agar pengunjung membunyikan bel jika hendak memasuki area. Bel yang dimaksud ternyata istimewa, yaitu sebuah lonceng. Setelah 2 kali menarik tali lonceng, seorang petugas kebersihan datang mendekat. Beliau dengan ramah membukakan pintu gerbang dan mempersilahkan masuk.

Gerbang Ereveld
Waktu berkunjung

Bel lonceng
Meskipun saat itu sudah cukup sore, namun gue beruntung karena Pak Dicky, kepala Ereveld Ancol, kebetulan keluar dari rumahnya yang memang berada di area Ereveld, dan bersedia menemani gue dan Ony sejenak serta berbagi cerita mengenai ereveld ini.

Setelah itu, karena ngga ingin menahan Pak Dicky terlalu lama, karena gue tahu waktu kerjanya sudah berakhir sejak jam 1 siang tadi, gue dan Ony pun pamit untuk melihat pemakaman lebih dekat.

Ereveld Ancol, yang berbatasan langsung dengan pantai ini, diresmikan pada 14 September 1946. Di sini terdapat sekitar 1,500 makam. Yang menjadi kekhususan dari Ereveld Ancol adalah di sini dimakamkan warga negara Belanda maupun Indonesia, baik tentara maupun sipil, yang menjadi korban eksekusi oleh pihak Jepang selama masa pendudukan Jepang di Indonesia. Karena itu pada nisan banyak terdapat tulisan "Geexecuteerd...." Ada "Geexecuteerd Mandor" (dieksekusi di Mandor), "Geexecuteerd Antjol" (dieksekusi di Ancol), "Geexecuteerd Pontianak" (dieksekusi di Pontianak) dan banyak lagi lainnya. Ditulis 'Geexecuteerd' karena identitas mereka tidak dikenali, sehingga hanya ditulis berdasarkan lokasi dimana mereka ditemukan saja.

Di tengah - tengah keasyikan gue mengeksplorasi ereveld tiba - tiba handphone gue berbunyi. Nama di layar "Mama" dengan gambar bunga matahari sebagai foto profilnya. Mendadak gue panik. Di seberang sana ternyata Mama bingung karena tadi gue meninggalkan rumah tanpa pamit. Memang....karena tadi Mama sedang menikmati tidur siangnya dan gue ngga mau ganggu. Selama berbicara dengan Mama dalam hati gue terus berharap...jangan sampai Mama tanya dimana gue saat itu...please, Tuhan...Jantung gue nyaris berdetak lebih kencang dari biasanya....berada di antara 1,500 makam yang sepi ngga bikin gue ngeri. Tapi begitu berbicara dengan Mama di telepon, rasa takut justru tiba - tiba menyergap. Takut kalau Mama menanyakan tujuan langkah kaki panjang gue saat itu....dan entah apalagi yang harus gue lakukan...berbohong lagi...atau dengan jujur bilang, "Di Ancol Ma..." Dengar "Ancol" aja Mama pasti akan mengeluarkan jurus histerisnya. Nanti pasti Mama akan memekik, "Apa? Ancol? Jauh banget kau kesana ? Ngapain sih ?" Lalu jika si pemburu makam bersejarah bernyali tipis ini menjawab, "Di makam Belanda, Ma..." Maka, tamatlah riwayat gue saat itu juga...

Namun kali ini gue beruntung, Mama ngga menanyakan lebih lanjut keberadaan gue saat itu. Mungkin itu caranya untuk menghindari serangan darah tinggi. Karena dia tahu, langkah kaki gue terkadang menuju tempat - tempat yang baginya aneh sehingga memancing emosi kesal. Begitu pembicaraan di telepon dengan Mama selesai, gue pun lega dan perhatian gue kembali pada ereveld ini. 

Pendopo tempat menerima tamu
Lambang Oorlogsgraven Stichting
Dilihat dari gazeb
Seluruh makam tersusun rapi dan bersih
Monumen Ereveld Ancol
"Hungeest Heeft Overwonnen"
Semangat Mereka Telah Menang
....beristirahatlah dengan tenang....
Geexecuteerd Antjol
 "Geexecuteerd Antjol"adalah para korban eksekusi yang dilakukan di Ancol. Salah satu lokasi eksekusinya masih tersisa dan menjadi bagian dari ereveld, yaitu sebuah pohon mindi. Di pohon inilah eksekusi terhadap ratusan korban dilakukan. Kini, pohon besar yang merupakan saksi bisu sejarah itu sudah mati dan diawetkan. Pada bagian batang pohon diletakkan sebuah pelat dengan tulisan penggalan puisi "For The Fallen" karya seorang penyair Inggris bernama Laurence Binyon:

Hemelboom

They shall not grow old
as we that are left grow old
Age shall not weary them
nor the years condemn
at the going down of the sun
and the morning
We shall remember them
We shall remember them

Antjol 1942 - 1945

...Hemelboom...

Pohon Mindi
Duduk di dekat pohon ini dengan puisi indahnya yang bermakna mendalam, menimbulkan perasaan berkecamuk, antara kengerian, kesedihan, haru, namun juga takjub. Terlepas dari bagaimana kematian menjemput mereka, dengan cara yang kejam dan mengenaskan yang gue pribadi pun terlalu ngeri untuk membayangkannya, namun dari dalam hati yang terdalam, meskipun gue ngga mengenal mereka, tersisip doa semoga semua korban ini dapat beristirahat dengan tenang.

Meskipun Ereveld Ancol tidaklah terlalu luas, dan tanpa bangunan - bangunan tambahan indah seperti gereja dan lainnya, namun ereveld ini tetaplah menyimpan keistimewaan untuk gue. Satu lagi lokasi yang telah gue kunjungi dan membuat gue merasa bertambah 'kaya' karena kisah sejarah yang dimilikinya. Sepenggal cerita yang menjadi bagian dari sejarah kemerdekaan Indonesia namun belum pernah gue dengar dari pelajaran - pelajaran mana pun sepanjang masa sekolah gue.

Monday, June 23, 2014

Kisah Sedih di Hari Minggu

Seharusnya itu Minggu pagi yang ceria dan normal seperti biasa. Tepat jam 5:15 pagi gue dan Momo si Husky meninggalkan rumah menuju lapangan luas di seberang Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, di dekat perumahan Tanjung Barat. 

Setelah mengelilingi lapangan 5 kali sambil berjalan, gue dan Momo pun kelelahan. Kali ini gue ngga bawa peralatan minum untuk Momo karena agak malas menyiapkannya tadi pagi. Gue pun berniat membawa Momo kembali ke rumah, dan setiba di sana, gue akan menyiapkan Bruncuz untuk sesi jalan - jalannya. Demikianlah rutinitas gue yang melelahkan, namun mau ngga mau harus dijalankan sebagai tanggung jawab pemilik anjing. 

Semuanya lancar dan menyenangkan, sampai gue tiba di depan sebuah bengkel di Rancho, dimana gue melihat seekor anjing berwarna coklat lengkap dengan rantai di lehernya, sedang asyik di pinggir jalan. Gue sedang berusaha mengingat - ingat dimana gue pernah melihatnya, saat anjing coklat itu melihat Momo dan langsung dengan gerakan cepat mendekat dan menyerangnya. Momo pun bereaksi memberi perlawanan. Gue, yang kaget dengan situasi tersebut hanya bisa menarik tali Momo ke atas. Maksudnya adalah antara melindungi bagian wajahnya dari serangan si anjing gila, sekaligus menghindari konflik lebih parah. Saat itu gue berharap dengan menjauhkan mulut dan taring Momo dari anjing tersebut, perkelahian akan segera berakhir. Situasi sangat menegangkan. Momo menggonggong sejadi - jadinya. Gue yang sehari - hari jarang mendengarnya menggonggong, semakin panik karena itu pertanda si Husky yang gagah berani nih merasa terancam dan tersakiti. 

Di satu titik, gue berhasil mengalihkan perhatian si anjing gila tadi dengan menghalaunya, dan memberi waktu untuk gue dan Momo berlari kabur. Namun ternyata si anjing gila mengejar ganas dari belakang, hingga gue terpaksa berhenti lagi di depan sebuah rumah berhalaman luas. Di saat itulah sekonyong - konyong gue teringat. Anjing gila itu adalah milik penghuni rumah ini. Anjing yang selalu terikat dan terantai, dan bereaksi ganas tiap kali gue dan anjing - anjing gue melalui rumah ini. Lagi - lagi Momo diserangnya secara fisik. Dan beberapa kali gue mendengar gonggongan Momo yang melengking, menandakan dia kesakitan. Di tengah kemarahan dan kepanikan, gue berteriak kepada pemilik tambal ban yang menempati secuil area di bagian depan rumah tersebut, meminta supaya dia menjauhkan anjing tersebut dari Momo. 

Namun dia pun ketakutan, dia bilang itu bukanlah anjingnya, dan dia tak memiliki keberanian untuk mencegahnya. Dia bilang, hanya si pemiliknya saja yang bisa melakukannya. Gue ngga bisa melangkah maju, si anjing gila ada di hadapan gue dan Momo. Itu adalah detik - detik yang menengangkan.

Dari kejauhan gue melihat seorang pria, yang adalah pemilik rumah, keluar dan mendekat ke mobilnya. Gue asumsikan dia sedang bersiap - siap berangkat ke gereja. Dengan susah payah gue berteriak memanggilnya. Saat itu gue geram bukan main. Dia ngga boleh membiarkan anjing gilanya lepas dan meninggalkan rumah dan mengganggu lingkungan sekitarnya seperti itu ! Itu hal paling bodoh dan egois yang dilakukan pemilik anjing !

Dengan tergopoh - gopoh si pemilik anjing gila pun mendekat. Gue minta dia untuk menjauhkan anjingnya dari Momo karena dia menyerang duluan. Saat itulah si anjing gila kembali mendekati Momo dan lagi - lagi menyerangnya. Pemiliknya berusaha menghalau, namun sepertinya tak banyak yang bisa dilakukan. Entah mengapa yang gue bisa lakukan adalah menarik tali Momo ke atas. Sebenarnya gue ingin melindung wajahnya terlebih matanya. Namun saat itu gue ngga sadar bahwa itu pasti menyakiti bagian dadanya. Dan yang menyedihkan lagi, gue sempat mendengar jeritan Momo yang keras dan panjang, menandakan bahwa saat itu dia sedang sangat kesakitan.

Akhirnya si pemilik anjing yang bodoh itu berhasil menarik anjingnya. Gue pun spontan membawa Momo berlari. Tanpa gue sadari dari tadi, ternyata kejadian itu menjadi bahan tontonan orang - orang sekitar yang memandang dengan tatapan ngeri. Gue dan Momo berlari sekencang - kencangnya. 

Tiba di rumah, Momo gue arahkan ke ruang samping, bukan ke halaman belakang. Saat gue sentuh badannya, tampak Momo masih sangat trauma dan kelelahan. Mungkin juga kesakitan. Momo pun langsung mencapai ember air dekat situ dan minum sebanyak - banyaknya. Kadang ia masukkan salah satu kakinya ke dalam ember. Selesai minum, dia pun menjauhkan diri dari ember. Gue mendekat dan mengelus kepala dan badannya, namun ia tak bereaksi. Nafasnya masih tersengal - sengal, mulut dan hidungnya hangat. 

Gue menjauh ke arah pagar ruangan. Dari situ gue memanggil Momo beberapa kali. Momo tidak bereaksi. Gue sangat merasa bersalah. Gue adalah pemiliknya, namun tak bisa melindunginya tadi. Justru gerakan yang gue lakukan terhadapnya seakan - akan membuatnya tak berdaya untuk melakukan perlawanan. Itukah yang Momo rasakan ? Tatapan mata seekor Husky sangat tajam dan bermakna. Namun gue ngga bisa mencerna arti tatapan matanya saat itu. Dengan dia tidak mau merespon panggilan gue, itu sangatlah ganjil. Selama ini Momo adalah sosok anjing yang sangat manja, dan akan selalu meloncat - loncat ke arah gue setiap kali gue datang. Dan sekarang kekakuannya dan sikapnya yang dingin seakan - akan gue tidak ada di ruang itu, sangatlah membuat gue sedih.

Anjing ini pasti sudah memupuk kepercayaannya terhadap gue selama berada di rumah ini beberapa bulan terakhir. Kepercayaan bahwa gue akan merawat dan melindunginya dalam keadaan apapun. Kepercayaan bahwa gue adalah sahabat yang bisa diandalkan. Namun mungkin pagi tadi semuanya pupus begitu saja. 

Gue pun meninggalkan ruangan. Berusaha memberinya waktu untuk beristirahat dan menenangkan diri dari kejadian yang pasti membuatnya stres tadi pagi. Sesekali gue masuk ke dalam, dan melakukan hal sama, memanggilnya, berharap Momo datang mendekati gue dengan antusias...seperti yang biasanya dia lakukan. Namun Momo tetap membaringkan badannya di pojok sambil matanya memandang tajam ke arah gue. 

Setelah beberapa kali mencoba, gue kembali masuk ke ruangan dan memanggil Momo. Akhirnya kali ini dengan langkah berat Momo bangkit dari posisi tidurnya dan mendekat ke arah gue. Terharu. Si Husky yang gagah namun manja ini, akhirnya memutuskan untuk memaafkan gue dan memberikan kesempatan berikutnya. Kesempatan untuk menjadi pelindungnya yang bertanggung jawab, yang tahu apa yang dilakukan saat sahabatnya dalam keadaan terancam jiwa dan raga. Momo pun kembali membaringkan badannya yang besar, namun kali ini di sisi gue. Dia pasti masih sangat kelelahan dan tertekan. Gue memijiti pundak Momo dan tetap dalam posisi itu beberapa saat. Gue pun keluar sebentar untuk membeli roti, dan memberikannya kepada Momo. Entah terdengar bodoh atau konyol, saat itu dalam hati gue berjanji padanya, "Mo, lain waktu kita akan cari lapangan lainnya...atau jalanan lainnya menuju lapangan yang sama. Kita akan tetap jalan pagi setiap weekend. Anjing gila itu ngga akan menghentikan kita. Dan kejadian tadi ngga akan terulang lagi..." 

Kejadian pagi itu adalah salah satu momen paling menegangkan serta mengerikan yang pernah gue temui. Malang benar si Momo....di rumah dia sering diserang oleh Bruncuz....dan kali ini di jalan pun, di saat seharusnya dia bersenang - senang menikmati sesi jalan paginya bersama gue, dia justru diserang oleh anjing lainnya. Gue merasa sangat menyesal dan bersalah, karena gagal memberikan rasa nyaman dan aman pada sahabat berkaki empat ini. Perasaan yang mungkin hanya bisa dimengerti oleh orang - orang yang menyayangi dan memiliki ikatan emosional dengan anjingnya.

Tatapan Momo yang trauma :(

Semestinya insiden semacam itu ngga terjadi andaikan setiap pemilik anjing menyadari tanggung jawabnya, terutama terhadap lingkungan sekitarnya. Terlebih, di lingkungan yang kurang menerima kehadiran anjing seperti ini. Kali ini Momo yang jadi korban, bagaimana jika manusia korbannya ? Sampai sekarang gue ngga habis pikir dengan tindakan bodoh si pemilik anjing....mungkin dia lupa bahwa lingkungan dimana rumahnya berada bukanlah milik nenek moyangnya, sehingga dia membiarkan anjingnya berkeliaran tanpa pengawasan, dan lupa kewajibannya untuk menghormati kepentingan orang sekitarnya.

Sunday, June 15, 2014

Ereveld Menteng Pulo : Makam Bersejarah di Tengah Kota

Ereveld Menteng Pulo
Belakangan minat gue agak sedikit nyentrik : mengunjungi pemakaman tua dan bersejarah. Tujuannya bukan untuk bertapa, bersemedi, mencari wangsit atau hal - hal yang berbau klenik lainnya, tapi sekedar untuk memuaskan keingintahuan gue yang memang menyukai situs - situs yang bernilai budaya dan sejarah. Dan kali ini, rasa penasaran membawa gue ke Ereveld (Makam Kehormatan) Menteng Pulo.

Untuk mendapatkan ijin mengunjungi Ereveld, beberapa hari sebelumnya gue menghubungi Yayasan Makam Kehormatan Belanda (Oorloch Gravenstichting) yang berkantor di kawasan Panglima Polim, melalui telepon (No. 021 - 7207983) dan dilayani oleh Sekretaris Direkturnya, Ibu Ita. Ibu Ita sangat ramah dan segera memberikan ijin lisan untuk gue, serta berjanji akan langsung menghubungi Kepala Ereveld Menteng Pulo, Bapak Elisa Barkah, mengenai rencana kedatangan gue hari Sabtu, 14 Juni 2014. Saat gue menanyakan perlu tidaknya mengirimkan surat permohonan ijin tertulis, Ibu Ita bilang tidak perlu. Beliau hanya berpesan agar ketika memotret di area pemakaman, jangan memotret nama - nama yang tercantum baik pada batu nisan maupun wadah penyimpanan abu jenazah, demi menghormati mereka yang dikuburkan di area ini dan keluarganya. Syarat yang sama sekali ngga sulit untuk gue, yang saat itu girang bukan main karena mendapatkan ijin resmi.

Di Sabtu pagi, saat pamit ke Mama, gue terpaksa harus berbohong ketika Mama nanya tujuan langkah gue hari itu. Karena jika gue jawab, "Ke Pemakaman Belanda, Ma..." pastinya Mama akan histeris dramatis mendengarnya. Dan selanjutnya gue akan mendengar omelan..."Ngapain kau ke pemakaman ?? Aneh - aneh aja kau !" atau..."Memang gak bisa kau cari tempat lain ? Kok ke kuburan ? Ga ngeri apa kau ke sana??"....atau "Terlalu panjang kakimu, memang...istirahat kek di rumah....ini malah ke kuburan !?" Demikianlah kisahnya....meskipun Mama adalah orang yang paling memahami gue dengan segala kelebihan, kekurangan dan keanehan gue, namun tetap saja ada hal - hal yang sampai sekarang bikin Mama geleng - geleng kepala dengan sepak terjang gue.

Lambang Oorloch Gravenstichting
Gue dan Ony tiba di Ereveld telat 30 menit dari yang gue janjikan. Tiba di sana, seorang pemuda yang menjaga pintu gerbang mengantar gue menemui Bapak Elisa Barkah, sang kepala Ereveld. Beliau inilah yang dengan ramah mengajak gue dan Ony berkeliling area Ereveld, menceritakan sejarahnya dan tanpa lelah atau bosan menjawab setiap pertanyaan yang gue dan Ony lontarkan. Keramahan yang gue rasakan sejak menghubungi Ibu Ita di kantor Yayasan, dan kemudian bertemu Bapak Elisa di Ereveld menimbulkan rasa salut dan apreasiasi setinggi - tingginya dalam hati gue kepada Yayasan ini, yang telah membuka tangan lebar - lebar bagi siapapun yang ingin mengenal Ereveld ini dan mengetahui sejarahnya.

Ereveld Menteng Pulo adalah salah satu dari beberapa pemakaman di dunia yang dikelola oleh Oorloch Gravenstichting. Misinya adalah untuk menghormati warganya beserta sanak saudara yang menjadi korban perang, di seluruh belahan dunia, dengan menyediakan tempat peristirahatan yang layak dan merawatnya. Di Indonesia sendiri, terdapat tujuh Ereveld yang seluruhnya terdapat di Pulau Jawa : Ereveld Menteng Pulo dan Ancol (Jakarta), Leuwigajah dan Pandu (Bandung), Kembang Kuning (Surabaya) dan Candi serta Kalibanteng (Semarang). Di Indonesia, Ereveld - Ereveld ini didedikasikan bagi tentara dan pekerja KNIL dan sipil warga Belanda yang tewas di Indonesia selama perang Kemerdekaan Indonesia. 
'8 Desember 1947, peletakan batu pondasi oleh yang terhormat Pimpinan AD Letnan Jenderal H.S Spoor'
Peletakan batu pondasi Ereveld Menteng Pulo dilakukan pada 8 Desember 1947 oleh Pemimpin Angkatan Darat Letnan Jenderal H.S. Spoor, yang ketika wafat juga dimakamkan di lokasi ini. Saat ini terdapat sekitar 4,000 lebih jenazah dimakamkan di area seluas 3 hektar tersebut. Yang membuatnya menarik dan indah adalah semua makam dan nisan disusun rapi dan seragam. Tidak ada nisan atau makam yang tampak menonjol dari lainnya. Seluruh nisan terlihat sederhana dan bersahaja : bercat putih, dengan bentuk disesuaikan berdasarkan keyakinan masing - masing jenazah : Kristiani, Yahudi, Muslim dan Buddha.

Di samping itu, setiap nisan dibubuhi tulisan dengan format sama : nama, pangkat (jika tentara/serdadu), tanggal lahir dan tanggal kematian. Jika data - data dari jenazah yang dikuburkan tidak diketahui maka dibubuhi tulisan "ounbekend" yang berarti : tidak diketahui.
"Opdat Zij Met Eere Mogen Rusten"
Semoga mereka beristirahat dalam kehormatan
"Een Kind Van De Oorlog"
Anak korban perang

Lautan Salib
Rosarium, tempat istirahat pengunjung dan peziarah
Berlatar belakang Apartemen Puri Casablanca
Di antara gedung pencakar langit
Ereveld ini semakin 'dipercantik' dengan kehadiran Gereja Simultan dan Columbarium, yang begitu kontras dengan bangunan - bangunan pencakar langit yang mengelilingi area ini. Meskipun disebut "gereja" namun sebenarnya bangunan indah ini  bukan digunakan untuk acara keagamaan (misa atau kebaktian) melainkan upacara - upacara kenegaraan yang rutin dilakukan di sini.

Di dalam gereja terdapat dua buah salib, satu diletakkan di altar gereja, dan salib lainnya didatangkan dari Burma, terbuat dari kayu bantalan rel kereta api. Rel kereta ini dibangun oleh tentara sekutu yang merupakan tawanan tentara Jepang saat itu. Rel kereta yang dimaksud, menghubungkan Thailand dan Burma, dan melintas di atas Sungai Kwai. Yang bikin terharu....ihiks....gue sudah pernah meniti jalur kereta yang dimaksud saat berkunjung ke Thailand dalam perjalanan ke Kanchanaburi tahun 2010 yang lalu (Jalan Panjang Menuju Tiger Temple). Dan saat ini, gue berdiri dan memandang kagum ke arah Salib kayu yang ternyata memiliki keterkaitan sejarah.

Yang unik dan istimewa dari gereja ini adalah atap menaranya dimana terdapat empat simbol agama di empat penjuru mata angin : Salib, Bulan dan Bintang, Bintang Daud dan simbol Yin Yang.

Gereja Simultan
Injil di dalam Gereja Simultan
Salib dari Burma
Lonceng gereja
Columbarium adalah koridor berbentuk L, tempat penyimpanan abu jenazah, yang bersebelahan langsung dengan Gereja Simultan. Di tengah koridor terdapat kolam berbentuk persegi serta taman hijau di pinggirannya yang memberikan kesan sejuk dan artistik tempat ini. 

Columbarium
Columbarium
Columbarium
Berhubung Pak Elisa sudah akan mengakhiri waktu kerjanya pada pukul satu siang hari itu, gue dan Ony pun berpamitan, mengucapkan terima kasih sebesar - besarnya atas kesempatan dan waktu yang diberikan. Setelah itu, beliau mengijinkan gue berdua untuk berkeliling di area Ereveld. Kesempatan itu gue gunakan untuk melihat - lihat kembali lebih dekat setiap bagian dan area Ereveld. 

Monumen Angkatan Udara
"Ter nagedachtenis aan onze gevallen kameraden"
Untuk rekan - rekan kami yang telah jatuh.
.
Blok Makam Penerbang
Monumen Divisi Tujuh Desember
"Onze Eenheid Is Bevestigd Door Ons Gezamenlijk Lijden”
Kesatuan kami diteguhkan dalam penderitaan bersama
Blok Makam Divisi 7 Desember (7DD)
Rasa takjub gue akan tempat ini tak ada habisnya. Tidak ada kesan angker atau seram sedikit pun...yang ada keheningan, keindahan serta keteduhan yang menenangkan, bukan hanya bagi mereka para korban perang yang beristirahat abadi, namun juga untuk gue yang saat itu sekedar mampir dan berkunjung. Gue setuju banget jika tempat ini tertutup untuk umum, dan hanya bisa diakses dengan ijin dari Yayasan. Karena gue yakin, hanya dengan cara demikianlah kebersihan dan ketenangan tempat ini bisa terjaga.

Setelah mengisi buku tamu, gue meninggalkan Ereveld. Mata gue seakan ngga ada puasnya memandang seluruh area Ereveld, yang bagaikan sebuah buku terbuka yang menyajikan cerita sejarah, yang sangat menarik dan bermanfaat.

Friday, June 06, 2014

Wisata Prasasti di Bogor (1)

Sepulang dari Mausoleum Van Motman, gue ngga langsung kembali ke Stasiun Bogor. Hari itu Bogor sangat 'ramah' karena menyajikan langit yang terang dan cerah, dan bikin gue bersemangat melanjutkan petualangan di kota ini Smiley. Target berikutnya gue namakan 'wisata prasasti'. Awalnya gue mendapatkan informasi mengenai situs - situs prasasti ini ketika sempat mengunjungi Museum Pasir Angin. Ibu penjaga museum bilang bahwa gue bisa melihat beberapa prasasti yang terdapat di daerah Ciaruteun, dan ngasih tahu gimana cara ke sana. 

Dari Museum Pasir Angin gue naik angkot biru No. 11 ke arah Bogor, dan turun di Polsek Ciampea. Dari Polsek, berikutnya gue naik ojek. Setelah tawar menawar harga, akhirnya Pak Ojek setuju mengantarkan ke beberapa area prasasti dengan tarif Rp. 20,000. Begitu duduk di motor Pak Ojek, selanjutnya adalah perjalanan seru menyisir daerah pedesaan yang tenang dan hijau, dengan pemandangan hamparan sawah atau kebun - kebun dengan pepohonan rimbun di kiri dan kanan jalan. Jalannya pun bergelombang, kadang menanjak kemudian menurun. Udara sore itu pun segar dan mulai dingin. Pokoknya berasa banget jauh dari hingar - bingar kota besar.


Prasasti pertama yang gue kunjungi adalah Prasasti Kebon Kopi atau disebut juga Prasasti Tapak Gajah. Prasasti ini berada tepat di tempat yang sama ketika ditemukan pertama kali di tahun 1860an silam, yaitu ketika dilakukan penebangan hutan untuk dijadikan area kebon kopi. Pada prasasti terdapat 2 pahatan berbentuk telapak kaki gajah dan diantaranya terukir dalam bahasa Sansekerta dan jika diterjemahkan artinya :
“Di sini nampak sepasang tapak kaki gajah yang seperti Airawata, gajah penguasa Taruma yang agung dalam dan bijaksana."

Airawata adalah nama gajah tunggangan Raja Purnawarman yang merupakan raja ketiga yang memerintah Kerajaan Tarumanegara. Kerajaan Tarumanegara....Raja Purnawarman....nama - nama yang selama ini hanya gue dengar dan baca ketika pelajaran sejarah zaman SD - SMA kayaknya....dan berdiri tepat di salah satu bukti sejarah mengenai keberadaannya, bikin gue super takjub.

Udah gitu, keren banget nama gajahnya sang Raja : Airawata. Gajah - gajah masa kini yang gue kenal namanya 'modern' sekali....gajah - gajah yang pernah gue temui di Phuket, Thailand diberi nama Taton dan Valentino (karena lahir bulan Februari yang identik dengan perayaan Valentine..Smiley) Teman - teman gajah di Way Kambas Lampung bahkan namanya lebih spektakuler lagi...ada Aries, Ria, Queen, Mega, Ratu dan lain - lain....kalau ngga lihat sosoknya langsung, orang pasti akan mengira pemilik nama - nama ini adalah manusia.



Berhubung hari semakin gelap, gue pun buru - buru naik ojek menuju lokasi prasasti berikutnya : Prasasti Ciaruteun. Dinamakan demikian karena prasasti ini ditemukan di tepi sungai Ciaruteun yang lokasinya tak jauh dari tempatnya diletakkan saat ini. Prasasti seberat 8 ton itu ditemukan oleh N.W. Hoverman pada tahun 1683, dan baru dipindahkan dari sungai Ciaruteun di tahun 1981. Entah bagaimana menggambarkan kesan gue begitu melihatnya. Terdapat banyak hal di permukaan prasastinya, ada 2 telapak kaki yang dipercaya adalah telapak kaki Raja Purnawarman, dan ada juga tulisan dalam bahasa Sansekerta yang berarti :
"Ini (bekas) dua kaki yang seperti kaki dewa Wisnu ialah kaki yang mulya Sang Purnawarman Raja di negeri taruma yang gagah berani di dunia." 

Entah apa maksud dan tujuan sang Raja saat membuatnya, namun sepertinya hal yang sama pun dilakukan manusia zaman sekarang, termasuk gue, untuk menunjukkan eksistensi. Dengan kecanggihan teknologi masa kini, banyak media yang bisa digunakan. Dengan berfoto ria, update status di sosial media, blogging dan lain sebagainya. Berfoto di depan patung Merlion, sebagai bukti pernah singgah di Singapura....atau di bawah Menara Kembar Petronas, untuk menandakan pernah ke Malaysia. Tak lupa update foursquare, ditambah status, "Safely arrived here..." dan semacamnya. Hal - hal yang mungkin beberapa tahun ke depan akan tenggelam, terbengkalai dan terlupakan. Namun jejak sang raja serta sepenggal cerita yang terpahat pada prasasti di hadapan gue saat itu adalah mahakarya tingkat tinggi, yang dibuat Sang Raja ratusan tahun silam dan masih utuh sampai sekarang dan (seharusnya) menjadi kekayaan atau aset bangsa sampai kapan pun yang tak ternilai harganya Smiley

Karena hari sudah gelap, gue pun meninggalkan lokasi, diliputi dengan perasaan takjub yang meluap - luap dan beruntung Smiley. Beruntung...karena berkesempatan melihat langsung peninggalan sejarah dari masa yang bagi gue demikian silamnya, hingga seperti antara nyata dan dongeng, sebelum akhirnya melihat langsung prasasti - prasasti ini.

Sebenarnya masih ada beberapa prasasti lagi di area yang berdekatan. Tapi gue memutuskan untuk melanjutkan petualangan minggu berikutnya. Karena gue ingin menikmati perjalanan gue dengan santai tanpa dikejar waktu. Gue pun naik angkot biru nomor 05 tujuan Bubulak, yang akan mengantarkan gue ke Stasiun Bogor.

Wednesday, June 04, 2014

Uniknya Gereja Santa Maria de Fatima

 

'Proyek' gue mencari gereja - gereja tua dan bersejarah masih berlanjut. Sabtu pagi menjelang siang itu, sepulang latihan yoga di Menteng, gue menuju kawasan Taman Sari, Glodok, Jakarta Barat, yaitu lokasi Gereja Santa Maria de Fatima yang ada di Jalan Kemenangan III No. 47. Gereja ini juga disebut Gereja Toasebio karena dahulu nama jalannya adalah Jalan Toasebio. Ini bukan pertama kalinya gue menginjakkan kaki di sini, karena beberapa tahun yang lalu saat gue mengunjungi beberapa klenteng di Petak Sembilan pun gue mampir kemari.

Nama gereja diambil dari kisah penampakan Bunda Maria kepada 3 gembala di Fatima, Portugal. Kisah ini juga digambarkan pada relief gua Maria yang ada di samping gereja. Ini gereja paling unik yang pernah gue lihat dan datangi. Jika tanpa lambang Salib besar di bagian atapnya ditambah tiang nama di halamannya, gue pasti akan mengira bangunan ini adalah sebuah klenteng, bukan gereja. Arsitektur dan setiap ornamen gereja ini sarat budaya Tionghoa.

 
 
  
 
 

Gereja ini dahulunya adalah rumah tinggal milik seorang Tionghoa bernama Kapitan Tjioe dan bangunannya diperkirakan berusia 200 tahun. lahan tersebut dibeli oleh gereja dan digunakan sebagai tempat ibadah sejak tahun 1955.

Budaya Tionghoa jelas terlihat baik di bagian dalam maupun luar gereja. Bagian altarnya yang didominasi warna merah dan emas, mengingatkan gue akan meja abu atau persembahan yang biasa gue temui di dalam klenteng. Di halaman gereja, terdapat sepasang patung singa terbuat dari batu yang melambangkan kemegahan dan kebangsawanan pemiliknya. Rasanya gak ada habisnya gue berdecak kagum melihat setiap detil gereja ini. Selain karena unik bergaya Tionghoa, bangunannya yang antik dan tua namun tetap kokoh adalah daya tarik tersendiri.

Meskipun senang karena bisa mengunjungi salah satu gereja tertua dan bersejarah di Jakarta ini, namun rasanya masih ada yang kurang karena belum mengikuti misa/kebaktian di sini. Jadi, saat gue meninggalkan area Gereja Santa Maria de Fatima siang itu, dalam hati gue janji suatu saat akan kembali lagi ke sana.