Sepulang dari Mausoleum Van Motman, gue ngga langsung kembali ke Stasiun Bogor. Hari itu Bogor sangat 'ramah' karena menyajikan langit yang terang dan cerah, dan bikin gue bersemangat melanjutkan petualangan di kota ini . Target berikutnya gue namakan 'wisata prasasti'. Awalnya gue mendapatkan informasi mengenai situs - situs prasasti ini ketika sempat mengunjungi Museum Pasir Angin. Ibu penjaga museum bilang bahwa gue bisa melihat beberapa prasasti yang terdapat di daerah Ciaruteun, dan ngasih tahu gimana cara ke sana.
Dari Museum Pasir Angin gue naik angkot biru No. 11 ke arah Bogor, dan turun di Polsek Ciampea. Dari Polsek, berikutnya gue naik ojek. Setelah tawar menawar harga, akhirnya Pak Ojek setuju mengantarkan ke beberapa area prasasti dengan tarif Rp. 20,000. Begitu duduk di motor Pak Ojek, selanjutnya adalah perjalanan seru menyisir daerah pedesaan yang tenang dan hijau, dengan pemandangan hamparan sawah atau kebun - kebun dengan pepohonan rimbun di kiri dan kanan jalan. Jalannya pun bergelombang, kadang menanjak kemudian menurun. Udara sore itu pun segar dan mulai dingin. Pokoknya berasa banget jauh dari hingar - bingar kota besar.
Prasasti pertama yang gue kunjungi adalah Prasasti Kebon Kopi atau disebut juga Prasasti Tapak Gajah. Prasasti ini berada tepat di tempat yang sama ketika ditemukan pertama kali di tahun 1860an silam, yaitu ketika dilakukan penebangan hutan untuk dijadikan area kebon kopi. Pada prasasti terdapat 2 pahatan berbentuk telapak kaki gajah dan diantaranya terukir dalam bahasa Sansekerta dan jika diterjemahkan artinya :
“Di sini nampak sepasang tapak kaki gajah yang seperti Airawata, gajah penguasa Taruma yang agung dalam dan bijaksana."
Airawata adalah nama gajah tunggangan Raja Purnawarman yang merupakan raja ketiga yang memerintah Kerajaan Tarumanegara. Kerajaan Tarumanegara....Raja Purnawarman....nama - nama yang selama ini hanya gue dengar dan baca ketika pelajaran sejarah zaman SD - SMA kayaknya....dan berdiri tepat di salah satu bukti sejarah mengenai keberadaannya, bikin gue super takjub.
Udah gitu, keren banget nama gajahnya sang Raja : Airawata. Gajah - gajah masa kini yang gue kenal namanya 'modern' sekali....gajah - gajah yang pernah gue temui di Phuket, Thailand diberi nama Taton dan Valentino (karena lahir bulan Februari yang identik dengan perayaan Valentine..) Teman - teman gajah di Way Kambas Lampung bahkan namanya lebih spektakuler lagi...ada Aries, Ria, Queen, Mega, Ratu dan lain - lain....kalau ngga lihat sosoknya langsung, orang pasti akan mengira pemilik nama - nama ini adalah manusia.
Berhubung hari semakin gelap, gue pun buru - buru naik ojek menuju lokasi prasasti berikutnya : Prasasti Ciaruteun. Dinamakan demikian karena prasasti ini ditemukan di tepi sungai Ciaruteun yang lokasinya tak jauh dari tempatnya diletakkan saat ini. Prasasti seberat 8 ton itu ditemukan oleh N.W. Hoverman pada tahun 1683, dan baru dipindahkan dari sungai Ciaruteun di tahun 1981. Entah bagaimana menggambarkan kesan gue begitu melihatnya. Terdapat banyak hal di permukaan prasastinya, ada 2 telapak kaki yang dipercaya adalah telapak kaki Raja Purnawarman, dan ada juga tulisan dalam bahasa Sansekerta yang berarti :
"Ini (bekas) dua kaki yang seperti kaki dewa Wisnu ialah kaki yang mulya Sang Purnawarman Raja di negeri taruma yang gagah berani di dunia."
Entah apa maksud dan tujuan sang Raja saat membuatnya, namun sepertinya hal yang sama pun dilakukan manusia zaman sekarang, termasuk gue, untuk menunjukkan eksistensi. Dengan kecanggihan teknologi masa kini, banyak media yang bisa digunakan. Dengan berfoto ria, update status di sosial media, blogging dan lain sebagainya. Berfoto di depan patung Merlion, sebagai bukti pernah singgah di Singapura....atau di bawah Menara Kembar Petronas, untuk menandakan pernah ke Malaysia. Tak lupa update foursquare, ditambah status, "Safely arrived here..." dan semacamnya. Hal - hal yang mungkin beberapa tahun ke depan akan tenggelam, terbengkalai dan terlupakan. Namun jejak sang raja serta sepenggal cerita yang terpahat pada prasasti di hadapan gue saat itu adalah mahakarya tingkat tinggi, yang dibuat Sang Raja ratusan tahun silam dan masih utuh sampai sekarang dan (seharusnya) menjadi kekayaan atau aset bangsa sampai kapan pun yang tak ternilai harganya .
Karena hari sudah gelap, gue pun meninggalkan lokasi, diliputi dengan perasaan takjub yang meluap - luap dan beruntung . Beruntung...karena berkesempatan melihat langsung peninggalan sejarah dari masa yang bagi gue demikian silamnya, hingga seperti antara nyata dan dongeng, sebelum akhirnya melihat langsung prasasti - prasasti ini.
Sebenarnya masih ada beberapa prasasti lagi di area yang berdekatan. Tapi gue memutuskan untuk melanjutkan petualangan minggu berikutnya. Karena gue ingin menikmati perjalanan gue dengan santai tanpa dikejar waktu. Gue pun naik angkot biru nomor 05 tujuan Bubulak, yang akan mengantarkan gue ke Stasiun Bogor.
No comments :
Post a Comment