Ini murni curhat....curahan hati atas kebingungan yang sampai sekarang gue simpan...
Begini, selama ini, bahkan baru - baru ini, gue sering banget membaca di media sosial, tepatnya Facebook, karena gue ngga bergabung di media sosial mana pun selain Facebook...mengenai statement atau curahan hati, atau apapun itu namanya, dari tempat-tempat penampungan satwa terlantar (khususnya anjing), yang (katanya) sudah mencapai dan jauh melewati kapasitas tampung mereka. Ada yang penghuninya sudah puluhan...bahkan ratusan. Kepedulian masyarakat sekitar sangat diharapkan untuk mengatasi masalah ini....semacam itulah beritanya.
Selain dalam wujud materi (makanan, uang, serta barang keperluan lainnya), para pencinta satwa (khususnya anjing) dapat menunjukkan kepeduliannya dengan cara mengadopsi anjing - anjing ini, dan merawatnya dengan baik. Kampanye untuk "mengadopsi anjing terlantar....bukan membeli anjing baru" cukup menginspirasi gue beberapa tahun lalu ketika gue hendak menambah jumlah sahabat anjing di rumah gue.
Saat itu, setelah bersusah payah meminta ijin dari Mama, akhirnya gue diperbolehkan untuk mencari anjing baru sebagai teman Bruncuz. Sebenarnya ini adalah pengorbanan luar biasa dari Mama yang tidak menyukai anjing (sebagai binatang peliharaan). Dan gue pun langsung memulai proses adopsi anjing.
Gue mulai mengunjungi beberapa shelter atau tempat penampungan anjing di Jakarta. Singkatnya, gue menemukan seekor anjing yang gue sukai, dengan jenis dan ukuran anjing tepat seperti yang gue idam - idamkan selama ini. Setelah mendaftarkan diri sebagai calon adopter, penantian untuk dikunjungi oleh relawan shelter yang hendak melakukan survey pun dimulai. Saat itu gue menunggu hingga beberapa minggu, sampai - sampai gue kembali ke shelter tersebut untuk menanyakan ada apa gerangan, kenapa rumah gue belum kunjung di-survey. Penjelasan yang gue terima saat itu, karena keterbatasan jumlah relawan. Ketika itu gue sempat menjenguk anjing pilihan gue, dan kondisinya sudah mulai kurang baik, agak kotor dan mulai berkutu.
Akhirnya kunjungan yang ditunggu - tunggu pun tiba. Gue ingat, saat itu gue lagi di bioskop di Margo City, menonton sebuah film yang baru saja dimulai. Namun secepat kilat gue langsung beranjak pulang, demi bertemu para relawan shelter yang sudah lama gue nantikan ini.
Di rumah, para relawan ini melihat langsung pekarangan belakang rumah gue, di mana Bruncuz dan rumah megahnya berada. Menurut mereka, lingkungan tinggal Bruncuz sangat baik, dengan area pekarangan cukup luas, dan rumah permanen berukuran besar tempat Bruncuz berlindung.
Selain itu sang relawan juga bertanya hal - hal lain sehubungan dengan keseharian gue dalam merawat Bruncuz, dan sesekali memotret anjing gue yang pemalu itu. Singkatnya, gue mendapat kesan bahwa si relawan ini cukup terkesan dengan kondisi rumah dan keluarga gue yang kondusif untuk memelihara anjing.
Di pertengahan minggu, gue dihubungi oleh pemilik shelter, yang mengabarkan bahwa gue layak jadi adopter, dan anjing idaman gue bisa segera diantar ke rumah. Bahkan saat itu beliau bertanya apakah gue bersedia mengadopsi beberapa anjing sekaligus, yang tentunya gue tolak. Ketika gue tanyakan apakah ada biaya yang harus gue tanggung, jawabannya "tidak", dan bahkan gue dijanjikan untuk diberikan pasokan makanan tambahan karena anjing idaman gue ini sedikit bermasalah dengan nafsu makannya yang dahsyat. Namun, saat itu gue diinformasikan bahwa anjing tersebut hanya boleh dibawa pulang ke rumah gue jika sudah disteril.
Di akhir minggu, dengan bersemangat gue kembali mengunjungi shelter tersebut, untuk bertemu dengan 'anjing masa depan' gue. Saat itu menurut gue kondisinya sudah semakin buruk dibanding ketika kunjungan gue sebelumnya. Secara umum anjing tersebut sehat, namun kotor. Sangat dimaklumi, karena ia tinggal bersama sekitar 200an anjing terlantar lainnya. Saat itu gue sudah mulai khawatir melihat kondisinya, yang pasti akan mempengaruhi kondisi Bruncuz, ketika si anjing idaman ini gue bawa pulang.
Sekali lagi gue mendapat penjelasan bahwa anjing tersebut tidak bisa dibawa pulang jika belum disteril. Gue pun bertanya, kapan kepastian anjing tersebut disteril? Jawabannya: Belum tahu, karena menunggu sumbangan donatur. Karena gue merasa terdesak untuk membawa anjing tersebut secepatnya keluar dari tempat penampungan itu agar kondisinya tidak semakin memburuk, saat itu gue berjanji akan membantu sebagian biaya sterilisasinya. Sang pemilik shelter menyambut senang janji gue ini, dan mengatakan bahwa biaya sterilisasinya mungkin sekitar Rp. 400,000. Ketika itu gue bahkan sempat membawa anjing itu berjalan (dog walking) dengan menggunakan rantai seadanya. Betapa girangnya gue membayangkan, anjing gagah ini kelak akan menjadi partner jogging pagi gue.
Ketika gue pamit untuk meninggalkan shelter kepada sang pemilik, beliau kembali menginformasikan mengenai biaya sterilisasi anjing. "Paling sekitar Rp. 750,000...." begitu katanya. Gue meninggalkan lokasi dalam bingung. Mengapa biaya bisa berubah dalam hitungan jam. Jika shelter ini demikian 'akrab' dengan prosedur sterilisasi, kenapa mereka tidak bisa mengkonfirmasikan ke gue angka biaya yang jelas dan pasti?
Akhir minggu pun berakhir. Dan suatu saat ketika sedang di kantor, gue menerima sebuah sms dari si pemilik shelter dengan pesan : biaya sterilisasinya Rp. 900,000, maklum anjing besar...(saking 'takjub' dan emosinya, pesan sms ini masih gue simpan). Saat itu gue langsung berkata dalam hati...Lupakan ! Meskipun gue sudah terlanjur menyayangi anjing itu, tapi gue ngga akan mengadopsinya. Kalau gue ngga bisa merawatnya, semoga Yesus menjaga dan merawatnya dengan cara yang lain.
Kekesalan gue memuncak saat itu, merasa dipermainkan oleh pihak shelter. Jika sejak awal gue diberitahukan bahwa ada biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak adopter, gue pasti bisa menerimanya dengan besar hati dan siap. Oyyaa?? Iyalah! Karena sejak awal niat gue memang membeli anak anjing....dan gue sudah menyiapkan uang untuk itu. Namun entah apa maksud dari pihak shelter dengan melakukan hal seperti itu....Rasa sayang gue terhadap anjing tersebut serta antusiasme menggebu - gebu untuk mengadopsinya, tidak mendapatkan timbal balik yang sepantasnya. Dan demi alasan atau motif apapun, gue ngga bisa mengerti cara berpikir serta alasan pihak shelter untuk melakukan hal seperti itu.
Gue memang ngga punya uang melimpah atau fasilitas super lengkap dan mewah untuk merawat anjing. Namun gue punya rasa sayang seluas samudra kepada anjing dan sanggup berkomitmen untuk merawatnya sebaik mungkin meskipun dalam keterbatasan yang gue miliki. Apa yang pihak shelter lakukan seperti sebuah usaha untuk menarik ulur niat baik gue untuk mengadopsi anjing, dan hal itu ngga bisa gue terima. Banyak anjing terlantar lain yang akan menerima uluran tangan gue untuk merawatnya....dan gue sekonyong - konyong muak dan kesal dengan shelter yang mengaku kewalahan menampung ratusan anjing ini.
Sejak itu, telepon dan sms yang gue terima dari pihak pemilik shelter, yang menanyakan apakah gue masih berniat mengadopsi...kenapa tidak ada kabar lebih lanjut dari gue....dan lain sebagainya...tak terhitung jumlahnya, dari beberapa nomor telepon yang berbeda. Dan sejak itu pula, gue enggan menanggapinya. Setiap sms yang gue terima, ngga gue balas. Dan setiap gue dihubungi melalui telepon, gue akan menghindar dan bilang gue sedang tidak bisa menerima telepon, akan menelepon balik....dan hal itu ngga pernah gue lakukan. Percaya atau tidak, bahkan si pemilik shelter masih mencoba menghubungi gue hingga 2 tahun setelah kejadian itu. Apakah gue tergerak untuk kembali berhubungan dan berkomunikasi dengan mereka ? Ogaahh... Go away ! Urus sendiri ratusan anjing yang ada di shelter loe...Gue ngga peduli lagi!
Bukan hanya gue yang kecewa, Mama pun sangat kecewa. Mama kecewa karena putrinya yang (menurutnya) terlalu menyayangi anjing dan mendedikasi dirinya untuk merawat anjing ini, dikecewakan oleh pihak yang seharusnya merasa terbantukan. "Mama sebenarnya ngga suka kalau ada anjing lagi di rumah ini. Tapi karena Cherry terus - menerus bilang pengen punya anjing lagi...Mama ngalah. Tapi kok malah begini ?? Mereka anggap goblok apa boruku??! Kalau tahu begitu, seharusnya kuusir aja mereka dari rumahku waktu mereka datang ke sini !" semprot Mama sewot, marah, panas mendidih.
Demikianlah sekelumit cerita kegagalan adopsi yang pernah gue hadapi....yang lagi, hingga sekarang belum bisa gue terima dengan akal pikiran sehat gue. Hingga kini gue suka bertanya-tanya dalam hati...seperti apa sebenarnya prosedur normal adopsi anjing....apakah semua calon adopter mengalami pengalaman yang sama seperti gue....apakah seluruh shelter melakukan hal yang sama ?.... Anyway, saat ini gue sudah memiliki Momo si Husky yang juga gue adopsi dari seseorang yang sudah enggan memiliki dan merawatnya. Namun kali ini dengan prosedur mudah dan singkat...tanpa berbelit - belit, tanpa drama, dan lain sebagainya.
Dan bagi tempat penampungan anjing mana pun, gue hanya bisa mendoakan semoga Tuhan menyertai dan membalas setiap niat baik dan tulus mereka merawat anjing - anjing terlantar di muka bumi ini.