I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Monday, May 17, 2021

GKI Gereformeerd Semarang

25 April 2021

Perjalanan gue ke Semarang kali ini cukup 'bersejarah'. Karena setelah lebih dari setahun gue ngga menginjakkan kaki dan mengikuti kebaktian rutin setiap hari Minggu di gereja, akibat situasi pandemi Covid-19, akhirnya gue berkesempatan untuk ibadah Minggu di gereja lagi.

Entah kenapa pagi itu saat lagi menikmati sarapan di hotel, terbersit keinginan untuk ke gereja. Gue pikir mumpung lagi di Semarang dan gue kangen untuk mengunjungi dan mengikuti ibadah di Gereja Blenduk. Tapi so typical gue banget, rencana langsung berubah. Tiba - tiba gue kepikiran pengen mencari keberadaan Gereja GKI Gereformeerd, yang memang belum pernah gue datangi. Kenapa ke sini ? Karena ini salah satu gereja bersejarah, dan gue pernah lihat foto bangunannya, unik banget. 


Tapi mendadak gue ragu....emangnya gereja dibuka untuk umum ? Kalau pun iya, apakah ada pembatasan kapasitas gereja ? Gue langsung browsing mencari informasi dan nemu akun IG GKI Gereformeerd. Di akun itu gue membaca informasi kalau waktu kebaktian di sana ada 2 (dua), yaitu jam 9 pagi dan jam 17.15 sore. Tapi untuk jemaat yang hendak mengikuti ibadah langsung di gereja, harus mendaftar online terlebih dahulu di link yang tersedia. Gue pun membuka linknya, baik untuk pendaftaran kebaktian pagi maupun sore, sayangnya sudah full.

Di sore harinya, gue nekad mau ke GKI Gereformeerd langsung. Gue pikir, kalaupun nanti ngga kebagian kuota untuk ibadah di sana, hitung - hitung paling ngga gue sudah bisa berkunjung dan melihat langsung gereja ini, menjawab rasa penasaran gue selama ini.

Gue memesan Gocar menuju ke sana. Selama di Semarang Gocar emang jadi andalan gue banget. Praktis, cepat dan murah. Seingat gue, kemana pun tujuannya, ongkosnya paling antara Rp. 15,000 - 24,000. 

Gue sengaja berangkat ke gereja jauh lebih awal dari jam kebaktian, alasannya, biar gereja masih sepi. Ini memang kebiasaan gue, saat di Jakarta sekalipun. Gue tuh paling menikmati momen di saat gereja masih kosong, hening, sepi bahkan gelap. Entah kenapa ya, duduk di bangku jemaat menghadap altar dalam keheningan seperti itu rasanya peaceful dan safe banget. 

Di pintu masuk gereja kebetulan sudah ada seorang jemaat yang bertugas menyambut para jemaat. Dengan polosnya gue langsung bertanya, apakah gue masih diperbolehkan mengikuti ibadah, meskipun kuota sudah penuh ? Bapak petugas tersebut dengan sangat ramah langsung mengiyakan, dan mempersilahkan gue untuk mengisi buku tamu, dan memilih bangku di dalam gereja. Wow....senangnya !




Setelah itu gue masuk ke dalam gereja, menikmati momen hening yang gue bilang tadi. Terharu dan senang banget, setelah setahun lebih ngga pernah ke gereja. 

Mengenai gereja ini, GKI Gereformeerd terletak di Jalan Sutomo No. 24, dekat Rumah Sakit Kariadi, dan merupakan salah satu gereja bersejarah di Semarang. Gereja ini berdiri sejak 27 Oktober 1918, yaitu di masa Pemerintahan Hindia Belanda. Gue penasaran dengan sejarah dan asal usul namanya 'Gereformeerd' yang terdengar 'Belanda' banget, namun sayangnya belum menemukan sumber informasi yang detail mengenai ini. 

Untuk bangunannya yang masih kokoh dan cantik, di bagian dalamnya mirip gereja GPIB Pniel (Gereja Ayam) di Pasar Baru, Jakarta, dengan bangku dari kayu jati dan rotan yang gue yakin masih otentik sejak gereja ini berdiri. Protokol kesehatan diterapkan di sini, dengan pengurangan kapasitas jemaat dan pengaturan antar tempat duduk yang berjarak. Selama kebaktian, baik Bapak Pendeta (hari itu ibadah dilayani oleh Bapak Pendeta Rahmat Rajagukguk) maupun penatua selalu mengingatkan agar para jemaat tidak sekalipun membuka masker. 

Setelah ibadah selesai, gue pun langsung memesan Gocar untuk kembali ke hotel. Saat itu sudah gelap, jadi gue ngga bisa menikmati memandangi bangunan gereja yang menurut gue unik banget, juga lingkungan sekitarnya. Meskipun ngga bisa berlama - lama di sini, paling ngga sudah cukup mengobati kerinduan gue untuk beribadah langsung di gereja.

Tuesday, May 11, 2021

Kesengsem Pesona Benteng Pendem


11 Mei 2021

Tanggal 23 - 27 April 2021 yang lalu akhirnya gue bisa jalan lagi ke Semarang. Seinget gue sebelum masa pandemi, setiap tahun gue selalu ke sana. Semarang khan salah satu kota kesukaan gue. Kali ini tujuan gue ke sana, mau santai, staycation, work from hotel, mungkin singgah ke Ambarawa, pokoknya bukan untuk eksplor tempat - tempat wisata di sana. Tapi meskipun gue udah sering ke Semarang, ada satu lokasi yang gue belum pernah kunjungi dan masih penasaran mau ke sana, yaitu Benteng Willem I atau Benteng Pendem di Ambarawa. Jadi, trip Semarang kali ini gue bertekad akan mencari jalan ke sana, meskipun gue solo traveler.

Berhubung masih masa pandemi, kali ini gue milih naik kereta Eksekutif (Argo Muria) dari Stasiun Gambir. Dulunya, biasanya gue naik kereta kelas Ekonomi dari Stasiun Senen. Tapi ngebayangin kalo bangku kereta ekonomi tuh sederet bertiga dan tanpa pembatas antar penumpang, langsung bikin gue parno. Selama setahun pandemi, gue menahan diri banget untuk ngga piknik kemana - mana. Ini akhirnya gue memutuskan untuk ke Semarang pun karena bisa dibilang mulai jenuh kelamaan ngga piknik. Itupun dengan komitmen untuk menjaga diri gue sebaik-baiknya dan menjalankan protokol kesehatan baik selama perjalanan maupun selama di Semarang. Jadilah cara teraman, menurut gue, dengan naik kereta Eksekutif, dengan harapan kapasitas penumpang bakal dikurangi drastis. Dan benar sih, perjalanan dari Jakarta ke Stasiun Tawang, Semarang, keretanya super lengang. Oya, untuk harga tiket kereta pulang pergi gue beli seharga Rp. 489.500, sudah termasuk potongan harga, ada promo dari Tiket.com.

Tiba di Stasiun Tawang, gue naik grab car ke hotel Holiday Inn, Simpang Lima. Sebelum ke Semarang gue udah survey hotel yang lokasinya strategis, nyaman dan asyik buat work from hotel. Setelah baca beberapa review, pilihan gue jatuh ke Holiday Inn ini. Untuk harga, ekonomis banget menurut gue, apalagi belinya pas lagi program promo Tiket.com, jadilah total gue dapat harga Rp.1.254.260 untuk empat malam, sudah termasuk sarapan.

Setiba di hotel gue langsung buka laptop, kerja, telponan ama Pak Boss, kelar. Begitu sorean dan langit masih cerah - cerahnya, gue keluar meninggalkan hotel buat menikmati kota Semarang. Gue pun berjalan kaki menuju pusat oleh - oleh Bandeng Juwana di Pandanaran. Beli oleh - oleh bandeng vacuum buat Mamak, Carol dan Ony, paketin pake JNE langsung di lokasi yang sama, trus gue balik ke hotel. Gue ngga mau ribet sama urusan bawa oleh - oleh, karena kali ini bawaan gue sendiri udah banyak. Maklum, kali ini kan gue niat sekalian kerja, jadi tetap bawa laptop dan perlengkapan kerja lainnya. Udah gitu, gue bakal lumayan panjang stay di Semarang, 5 hari, jadi stok baju yang gue bawa pun mau gak mau agak lebih banyak. 

Hari kedua, Sabtu, 24 April 2021, rencana gue adalah mengunjungi benteng Willem I atau Benteng Pendem di Ambarawa. Gimana caranya ? Sebelum trip ke Semarang, gue udah cari - cari info mengenai owis alias ojek wisata di Semarang, yang bisa mengantar sampai ke Ambarawa juga. Ngga susah nyarinya, cukup modal Instagram. Lagian kayaknya 'owis' udah populer di Semarang. Gue menemukan satu kontak, dan sepakat mengenai harga yang ditawarkan, yaitu Rp. 230,000 untuk mengunjungi beberapa lokasi wisata di Ambarawa. Sebenarnya gue ngga ngotot mau mengunjungi tempat wisata selain benteng Pendem sih, tapi berhubung paketnya begitu, gue oke - oke aja.

Gue minta dijemput oleh Yudha, owis yang akan menemani gue ke Ambarawa, sekitar jam 7:30 pagi. Perjalanan menuju Benteng Pendem seingat gue sekitar 45 menit deh. Dan gue ngga pernah bosan dengan perjalanan dari kota Semarang menuju Ambarawa, melewati Ungaran seperti ini. Gue selalu menikmati, entah apanya ya....udaranya yang sejuk, ngelewatin banyak bangunan - bangunan tua, pokoknya selalu suka. 

Tiba di Benteng Pendem, gue membayar sekitar Rp. 5,000 per orang kalo gak salah. Dan saat itu cuma gue dan Yudha yang ada di sana. Sepi, cuma sesekali ada motor lewat, karena Benteng Pendem sendiri ternyata dijadikan tempat tinggal dan Lapas. Begitu masuk lebih dalam ke area tengah benteng dan berdiri di antara tembok - temboknya yang tua namun tetap kokoh itu, rasanya tak tergambarkan. Sensasi yang muncul, setiap gue menyimpan rasa penasaran tingkat tinggi untuk mengunjungi suatu tempat, dan akhirnya bisa menginjakkan kaki di situ, apalagi tempatnya keren dan bersejarah banget kayak benteng Pendem ini, rasanya luar biasa banget. 






Benteng Pendem ini dibangun tahun 1834 dan namanya diambil dari nama raja Belanda Willem Frederik Prins Vans Oranje - Nassau (1815 - 1940). Disebut 'pendem' karena benteng ini berada di bawah tanah atau terkubur, sebagai bagian dari siasat perang. Buat gue, ini benteng 'pendem' kedua yang pernah gue kunjungi. Beberapa tahun yang lalu gue pernah ke benteng pendem di Cilacap, yang seinget gue dikelola lebih profesional sebagai tempat wisata. Sebenarnya benteng - benteng peninggalan jaman kolonial kayak gini memiliki kesan horor atau mistis tersendiri. Tapi entah kenapa selalu bikin gue penasaran dan bertekad mengunjungi benteng - benteng peninggalan Belanda di daerah lainnya. 


Gue berkesempatan untuk mengeksplor area benteng sampai mentok ke pintu masuk Lapas yang memang harus steril. Lalu gue mengambil arah sebaliknya, dan menuju area pesawahan, dimana gue bisa melihat sebuah bangunan yang merupakan bagian dari komplek benteng Pendem juga. Bangunan berbentuk kotak yang tampak tersusun dari bata merah, berdiri di tengah sawah. Kata Yudha, banyak bangunan seperti itu di kawasan benteng Pendem ini, dan saat ini fungsinya adalah sebagai tempat penyimpanan hasil sawah. Saat gue melanjutkan langkah menyusuri tepi sawah itu, lagi - lagi gue melihat bangunan benteng lainnya, kali ini tampak lebih padat penghuni. Gue bisa melihat jemuran pakaian, atau kandang burung digantung di dalam lantai dua bangunan itu. Gimana rasanya sih tinggal di sini ? Gue menyimpan rasa takjub yang demikian dahsyatnya. Di satu sisi, gue pecinta dan penggemar bangunan - bangunan kolonial bersejarah. Tapi logika gue ngga nyampe untuk membayangkan ada orang dan keluarganya bisa tinggal di bangunan - bangunan tersebut. Yang dibangun hampir 200 tahun silam...dengan kondisi apa adanya alias tanpa direvitalisasi dulu...salut deh gue ! Pasti itu jadi pengalaman dan cerita super menarik tersendiri yang mereka miliki. 



Gue kembali ke area tengah benteng, tempat gue masuk tadi. Saat di sana, tiba - tiba seseorang yang sedang mengendarai motor berhenti, dan bilang, "Kalau mau naik ke atas, naik aja. Kalau ada yang tanya, bilang aja 'kata Pak RT'."

Memang ada papan bertuliskan larangan untuk naik ke lantai 2 benteng. Karena mendapatkan 'ijin' gue pun naik ke atas. Di situ gue sempat melihat - lihat beberapa bagian benteng yang digunakan sebagai tempat tinggal termasuk rumah Pak RT. Dalam hati gue cuma terkagum - kagum sekaligus bertanya - tanya, "Gimana rasanya coba tinggal di sini ?" 






Setelah beberapa saat di area benteng Pendem, gue dan Yudha pun meninggalkan lokasi. Sebenarnya gue belum puas - puas banget sih, entah kenapa, rasanya berat melepaskan pandangan gue dari komplek benteng Pendem ini. Mempesona banget sih buat gue. Mungkin kalo ngga mikirin waktu, gue bisa menghabiskan waktu beberapa lama lagi, cuma berdiri diam di tengah komplek benteng ini. Tapi, weirdo banget gak sih ? Mau duduk - duduk, ngga ada tempatnya. Akhirnya gue menghibur diri dan berjanji dalam hati, secepatnya gue akan ke Ambarawa lagi, dan ke benteng ini lagi. Gue pun melangkah meninggalkan komplek benteng.