I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Wednesday, December 30, 2015

Demi e-KTP Seumur Hidup....

Kali ini gue mau share cerita 'perjuangan' bikin e-KTP yang masa berlakunya 'seumur hidup'. Jadi, awalnya niat gue cuma ingin memperpanjang e-KTP, karena masa berlakunya sampai dengan 12 Januari 2016. Memang masih tahun depan....tapi masalahnya tanggal 13 - 17 Januari 2016 gue sudah punya rencana trip keluar kota, dan gue akan memerlukan KTP yang masih berlaku untuk proses check in tiket, boarding, dan lainnya di airport nanti.

Selain itu, berhubung mulai awal tahun depan gue sudah akan efektif bekerja di Jakarta (bukan Cimanggis lagi), gue rasa waktu gue (untuk cuti ngurus KTP) ngga akan sefleksibel seperti saat ini...Jadi, libur panjang akhir tahun ini gue memang banyak gunakan untuk urusan-urusan kepindahan gue....kemarin gue membereskan urusan bank, dan target berikutnya adalah urusan KTP.

Senin, 28 Desember 2015
Siang-siang gue datang ke kantor kelurahan Tanjung Barat, hanya dengan membawa KTP asli. Di sana petugas yang ada justru menyambut gue dengan wajah bingung, dan malah menyarankan gue untuk memulai proses perpanjangan KTP ketika KTP gue sudah lewat masa berlakunya. Lalu gue jelaskan tujuan gue untuk memperpanjangnya sekarang, bahwa gue akan traveling mulai tanggal 13 Januari 2016, dan gue perlu KTP yang valid untuk proses check in

Setelah gue jelaskan, sang petugas malah menyarankan untuk datang ke Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang beralamat di Jalan Radio Dalam V No. 5, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Selain itu beliau juga memberitahukan dokumen-dokumen yang harus gue lengkapi yaitu :
  1. Surat pengantar dari RT/RW tempat gue tinggal
  2. Foto kopi Kartu Keluarga
  3. KTP asli
Gue langsung lemas....dari daftar di atas, cuma KTP asli yang gue punya. Nomor 1...gue ngga ngerti cara mengurusnya...di rumah, seluruh anggota keluarga biasanya mempercayakan (baca: membebankan) urusan beginian ke Bapak. Tapi saat ini Bapak dan Mama lagi mudik..dan gue kehilangan sosok ksatria gagah berani yang biasanya membereskan urusan administrasi seperti ini. Berhubung rasanya menemukan jalan buntu, 'perjuangan' hari itu pun gue akhiri.

Selasa, 29 Desember 2015
Pagi, gue nyari-nyari file tempat Bapak biasa menyimpan dokumen-dokumen penting keluarga...mulai dari raport SD, surat babtis, dan dokumen lainnya...demi mendapatkan Kartu Keluarga. Puji Tuhan, ketemu! Berhubung Pak RT tempat gue tinggal bekerja mulai pagi sampai sore, jadi gue menunggu hingga sore untuk bisa bertemu dengan beliau. Sorenya, gue mendatangi kediaman Pak RT dan menyampaikan maksud tujuan gue. Ini sesuatu yang canggung untuk gue karena seumur-umur, dimana pun gue tinggal, ngga pernah kenal Pak RT, ngga pernah ke rumah Pak RT, dan ngga pernah berurusan apapun dengan Pak RT. 

Ketika itu Pak RT sempat menyampaikan sedikit keraguannya...menurutnya, berhubung gue pemegang e-KTP, seharusnya proses perpanjangan dimulai ketika masa berlaku KTP sudah berakhir. Tapi akhirnya Pak RT yang baik hati pun memberikan surat yang gue perlukan. 

Dari kediaman Pak RT gue langsung beranjak ke rumah Pak RW. Rasanya lebih canggung lagi.... Kalau Pak RT tadi paling tidak masih mengenal gue karena beliau mengenal Mama dan Bapak...tapi kalau Pak RW ? Gue ragu....tapi gue cuek, dan menyampaikan keperluan gue. Dengan tanpa berbasa-basi, Pak RW pun memberikan tandatangan dan stempelnya di surat yang diberikan Pak RT tadi. Dan gue meninggalkan rumah Pak RW dengan hati berbunga-bunga seraya membawa sebuah surat sakti : Surat Pengantar RT/RW. Serius deh...gue mungkin sudah mendengar namanya jutaan kali....tapi ini adalah pengalaman pertama mengurusnya dengan 'usaha' sendiri. Bangga...

Rabu, 30 Desember 2015
Gue tiba di Kantor Sudin Kependudukan dan Catatan Sipil sekitar jam 07:30 pagi, diantar Gojek. Tiba di sana antrian sudah banyak, dan gue segera mengambil nomor antrian. Karena jam pelayanan belum dimulai, gue masih sempat mencari minimarket terdekat untuk membeli perbekalan persiapan mengantri nanti seperti kopi, air mineral, kacang dan roti. Selain itu gue juga sudah menyiapkan novel dan smartphone dengan batere full dan prima. Gue cuma ingin memastikan kalau harus menunggu lama nanti, gue akan senantiasa kenyang dan sibuk.

Nomor antrian gue (untuk pelayanan 'Pendaftaran Kependudukan') adalah DO040. Puji Tuhan....dari 39 orang yang seharusnya akan mendapatkan pelayanan lebih dulu dari gue, hanya sekitar 10 - 15 orang yang muncul. Begitu giliran gue tiba, gue pun datang ke meja pelayanan, dan mengatakan ke ibu petugas mengenai maksud tujuan gue. Sebelum gue selesai menjelaskan, si ibu segera memotong, "Mbak....gini ya...kalau sudah e-KTP tuh otomatis sudah (berlaku) seumur hidup...Mbak lihat deh, surat edaran nomor 18/SE/2015..." Gue bengong dan bingung...Informasi (baru) apa pula ini ?! 

Lalu gue jelaskan bahwa gue mendapatkan informasi berbeda dari Pak RT, Pak RW, bahkan kantor Kelurahan tempat gue tinggal. Dengan santai si ibu menjawab, "Belum sampai kali informasinya tuh..." Sekonyong-konyong gue pengen teriak kencang, "Salah gue???!!" Si ibu, yang nampaknya mengharapkan gue untuk segera meninggalkan meja pelayanan, demi jutaan orang lainnya yang sudah antri di belakang gue, membuka smartphonenya, mencari sesuatu di file 'galery'nya dan memperlihatkan ke gue foto surat edaran yang dimaksud. Gue ngga puas, karena gue ngga bisa membayangkan bagaimana kacaunya ketika gue tiba di airport, siap untuk check in, dan petugas mempermasalahkan KTP gue yang saat itu sudah tidak berlaku lagi. Mana mungkin gue menjelaskan ke petugas maskapai mengenai surat edaran antah - berantah itu.

Gue mencari cara lain....spontan gue bilang, "Kalau gitu, karena saya sudah jauh-jauh naik Gojek ke sini...saya mau ganti KTP baru aja...lihat nih Bu...KTP saya sudah jelek, terkelupas....saya mau ganti...masa seumur hidup saya pegang KTP kondisinya begini....." kata gue sambil menunjukkan kondisi KTP gue dengan sebelumnya secepat kilat mengelupaskan plastik pelapisnya agar kondisinya terlihat lebih buruk. Si ibu pun mempersilahkan gue ke lantai 3, tanpa memberikan gue surat pengantar apapun. Aarghh !

Di lantai 3 kondisinya tidak setertib di lantai 1 tadi...selain pemohon yang datang sudah padat, di sini tidak ada system antrian apapun. Pemohon yang datang diminta untuk menumpuk dokumennya, tanpa diverifikasi terlebih dahulu kelengkapannya, dan tanpa diberikan tanda terima. Pemohon memang diberikan secarik kertas kecil....tapi harus mengisinya sendiri, dan tanpa stempel apapun. Setelah menyerahkan seluruh dokumen (termasuk KTP asli gue), gue duduk manis di luar ruangan, membuka novel, serta menyiapkan kopi instant dan kacang. Siap menunggu.

Lama - kelamaan suasana ruangan memanas. Ada 3 orang yang bertugas melayani. Satu orang bertugas mencetak dan fokus di balik monitor komputer dan mesin printer, 2 orang bertugas membagikan KTP yang sudah tercetak, dengan memanggil nama pemilik KTP, tanpa menggunakan mike alias pengeras suara. Pengunjung yang kebanyakan tidak sabar, berkerumun di depan 'loket' yang hanya berupa meja-meja kosong, sebagai pembatas antara petugas dan pemohon. Saking padatnya, gue kesulitan untuk mendengar nama-nama yang dipanggil. Dengan terpaksa gue meninggalkan kursi yang gue duduki, dan menutup keasyikan gue membaca. Gue mendekat ke loket, supaya bisa fokus mendengar jika nama gue dipanggil nanti. 

Menjelang jam 12:00 siang gue resah dan gelisah karena nama gue ngga kunjung dipanggil. Padahal gue sudah menumpuk dokumen sejak sekitar jam 08:30 pagi tadi. Apakah gue belum memenuhi persyaratan dokumen ? Gue khawatir, karena tidak membawa surat pengantar dari Kantor Kelurahan...Gue perhatiin, hampir semua pemohon melampirkan surat pengantar (untuk mencetak KTP baru) dari Kantor Kelurahan masing-masing. Gue ingin menanyakan status dokumen gue....tapi kondisi di ruangan tersebut bisa dibilang tidak kondusif sama sekali. Tidak ada petugas yang bisa ditanya...lagian, gue sudah mulai kesal dan kecewa dengan cara mereka mendistribusikan KTP-KTP tersebut yang sangat berantakan. Tepat jam 12:00 para petugas meninggalkan ruangan untuk istirahat makan siang. Gue pun melangkah meninggalkan kantor Sudin, untuk mencari makan siang.

Pelayanan dibuka kembali sekitar jam 13:00. Di saat itu kesabaran gue udah nyaris habis. Bukan hanya gue...melainkan orang-orang yang memadati ruangan lantai 3 tersebut. Yang menyebalkan, petugas tidak menggunakan cara dan pola yang efektif untuk mendistribusikan KTP. Lepas waktu istirahat, petugas yang melayani berkurang. Kebanyakan pengunjung sudah mulai naik pitam, karena petugas tak kunjung mulai memanggil nama - nama yang KTP nya sudah selesai tercetak.

Saat itu gue berdiri di kerumunan orang di dekat meja loket. Di tengah gaduhnya suasana ruangan, gue berdoa pasrah....karena rasanya mood menunggu gue sudah lenyap...tapi gue tetap harus menunggu, karena KTP asli gue sudah ada di tumpukan dokumen. Gue ngga mungkin pulang tanpa membawa kartu pengenal apapun. 

Ketika hampir jam 14:00, si petugas pun mulai memanggil nama kembali...satu persatu nama disebutkan...dan akhirnya, nama gue !! Puji Yesus, haleluyahh!! Gue pun meraih KTP dari tangan si petugas dan meninggalkan kerumunan dengan hati bahagia maksimal. Di luar ruangan, gue menyempatkan untuk memeriksa data yang tercantum pada KTP. Benar semua, dan bagian yang paling bikin gue terpesona adalah...."Berlaku Hingga : SEUMUR HIDUP".  Siapa nyangka....niatnya cuma mau perpanjang KTP sampai 5 tahun ke depan...ternyata malah mendapatkan yang 'seumur hidup'.

Seraya meninggalkan kantor Sudin Kependudukan dan Catatan Sipil tersebut, pikiran gue langsung melayang ke Bapak. Pasti Yesus yang maha baik memberikan Bapak stok kesabaran yang luar biasa berlimpah...selama ini kami sekeluarga (Mama dan lima orang anak-anaknya), ngga pernah mengerti ribetnya mengurus KTP karena 'tinggal terima beres' aja....Bapak yang mengurus semuanya hingga selesai. Sementara gue, hanya mengurus satu KTP saja sudah langsung kapok dan bersyukur karena KTP gue sudah berlaku tanpa batas waktu, artinya gue ngga perlu melewati proses seperti ini yang sangat menghabiskan waktu. 

Dari pengalaman ini, ada dua kendala yang bagi gue paling menyulitkan : Pertama, proses antrian di ruang cetak KTP di lantai 3 tadi, karena tidak ada sistem (seperti pelayanan di lantai 1 yang sudah tertib dan teratur), sehingga antrian berantakan total. Kedua, petugas yang (maaf seribu maaf...semoga ini cuma asumsi gue doang...) entah kurang berdedikasi atau berkompeten. Kendala ini gue temui bukan hanya ketika di lantai 3 tadi...tapi juga ketika di lantai 1 dan mungkin saat di Kantor Kelurahan beberapa hari lalu. Dampaknya, banyak informasi simpang siur nan membingungkan yang gue peroleh. Dampak lainnya, distribusi KTP tidak efektif dan efisien.

Oya...berhubung gue sudah pernah melakukan foto untuk e-KTP sejak beberapa tahun lalu, dan selama ini sudah memegang e-KTP, maka kali ini gue ngga perlu melakukan foto lagi. Baik foto maupun data, mengikuti record dari Kelurahan tempat gue tinggal. Jadi hari ini Sudin Kependudukan dan Catatan Sipil hanya perlu mencetak ulang e-KTP gue, dan mengganti bagian data 'Berlaku Hingga'nya.

Informasi tambahan, proses perpanjangan e-KTP atau pun konversi menjadi e-KTP seumur hidup ini gratis alias tidak dipungut biaya sama sekali.

Jadi, buat yang minat mengganti -KTPnya....selamat berjuang!! 

Saturday, December 26, 2015

Sekeping Kenangan Beijing : Budget....Budget...Budget...

Seperti biasa, gue selalu mencatat pengeluaran selama traveling....kemana pun gue pergi, gue akan selalu membawa buku catatan super kecil yang ukurannya cuma setelapak tangan, dan di situlah gue mencatat rincian pengeluaran. Manfaatnya ? Sebagai dokumentasi kisah perjalanan gue. 

Oya, untuk trip ke Beijing ini gue sudah membeli tiket pesawatnya sejak Oktober 2014. Artinya, hampir setengah dari sumber pengeluaran gue sudah terjadi dan terselesaikan sejak setahun yang lalu. Jadi, gue ngga terlalu terbebani ketika mengumpulkan pundi - pundi modal untuk pengeluaran lainnya (visa, uang saku, dll).

Dan berikut total pengeluaran gue untuk trip kali ini ke Beijing Cina selama 6 hari (11 - 16 Oktober 2015). 

Nilai tukar kurs (tren Oktober 2015) adalah :

  • 1 Yuan Cina = Rp. 2,400
  • 1 Ringgit Malaysia = Rp. 3,500
  • 1 Dollar Amerika = Rp. 13,500


~You can't buy happiness, but you can buy plane ticket...~

Sekeping Kenangan Beijing (Hari Kelima) : Hari Terakhir

16 Oktober 2015

Ini hari terakhir gue di Beijing....hari terakhir berada di negeri Cina yang indah dan menakjubkan ini. Sebenarnya pengen tinggal lebih lama di sini dan pengen mengeksplorasi lebih banyak tempat, tapi sayangnya waktu gue singkat. Nanti malam gue akan kembali ke Kuala Lumpur, jadi pagi hingga sore nanti gue akan super sibuk.

Ketika hendak memilih lokasi yang akan dikunjungi hari ini, gue butuh waktu dan pertimbangan yang ngga mudah. Akhirnya gue memilih tiga lokasi yang paling gue prioritaskan untuk dikunjungi yaitu : Temple of Heaven, Yonghe Lama Temple dan Beihai Park. Secara lokasi, sebenarnya kurang pas dan efisien untuk gue kunjungi secara berturut - turut di hari yang sama. Ketiganya bisa dibilang berada di lokasi yang ngga searah. Kalau melihat peta dan menghubungkan dengan garis lurus, ketiganya akan membentuk segitiga. Tapi meskipun kebayang lelah dan lumayannya waktu yang diperlukan untuk mencapainya, gue bertekad untuk memulai langkah menuju lokasi pertama, Temple of Heaven.


Temple of Heaven

Cara gue mencapai lokasinya terbilang mudah. Seperti biasa, gue naik kereta subway dari Dengshikou Station dan turun di Tiantandongmen Station. Ketika tiba di Tiantandongmen Station, gue sudah mempersiapkan mental dan fisik untuk menghadapi kebingungan mencari arah selanjutnya dari pintu keluar, seperti yang biasa terjadi ketika gue mengunjungi lokasi manapun di Beijing ini. Begitu gue mengambil arah ke kanan dari pintu keluar dan berjalan sedikit, gue tiba di pintu masuk Temple of Heaven. Rasanya langsung pengen sujud syukur pada Yesus, yang telah memberikan kemudahan sedahsyat itu. Rasanya ini adalah lokasi termudah yang gue cari sepanjang waktu gue di Beijing ini. 

Temple of Heaven berupa taman sangat luas yang asri dan nyaman. Mungkin saking nyamannya, lokasi taman Temple of Heaven merupakan tempat berkumpulnya berbagai lapisan masyarakat, baik perorangan maupun komunitas. Di sepanjang jalan, di setiap sudut, di seluruh area taman, pengunjung pasti akan menemui 'komunitas-komunitas' yang asyik melakukan aktivitasnya. Gue sampai tercengang kagum melihatnya. Ada group taichi, group pemain musik, group dance, group pemain kartu, group merajut, group pemain mahyong, dan lain sebagainya. Anggotanya terdiri dari beragam usia.

Gue takjub karena orang - orang ini, meskipun kebanyakan usianya sudah lanjut, masih memiliki minat untuk hobi tertentu, masih memiliki komunitas dimana mereka bertemu dan berkumpul dengan orang-orang lainnya dengan hobi sama, dan (bersyukurlah mereka) masih memiliki lokasi yang sangat indah, tenang, dan damai untuk menghabiskan waktu dan melakukan hobinya tersebut. Rasanya pasti bahagia banget.

Group Taichi
Group pemain musik
Group pemain kartu
Group dancer
Group merajut
Seniman kaligrafi Cina
Meskipun belum puas menikmati taman yang sejuk dengan kesibukan warga lokal dengan hobinya masing-masing, gue pun mulai mencari keberadaan Temple of Heaven. Dan ketika gue menemukannya, lagi - lagi gue merasa takjub. Mungkin ini adalah 'temple' paling indah dan megah yang pernah gue lihat. 

Temple of Heaven dibangun pada tahun 1406 - 1420 di masa Kaisar Yongle yang fenomenal itu. Di masa Dinasti Ming dan Qing, Temple ini digunakan secara rutin setiap tahunnya sebagai tempat dilangsungkannya upacara memohon kepada para dewa, agar diberikan panen yang baik dan melimpah. 






Heavenly center stone


Seven stars stone

Lama Temple

Setelah puas, lelah, dan ngga sanggup lagi berjalan, akhirnya gue meninggalkan Temple of Heaven. Gue melanjutkan perjalanan dengan menaiki kereta subway dari Tiantandongmen Station menuju Yonghe Lama Station.

Temple ini dibangun di tahun 1694 oleh Dinasti Qing, dan merupakan temple Buddha Tibet. Dari bagian depan pintu masuk temple, gue ngga mengira bahwa keseluruhan area dan bangunannya demikian luas memanjang ke belakang. Lama temple terdiri dari lima bangunan temple yang megah yang berdiri secara berurutan dari depan ke belakang. Untuk gue pribadi, melewati dan memandang setiap bangunan, dari pertama menuju kedua, dan seterusnya sampai yang terakhir yaitu yang kelima, berasa 'dejavu'....karena di mata orang awam seperti gue kelima bangunan ini, baik bentuk maupun dekorasinya, hampir identik mirip. 

Menurut gue daya tarik Lama Temple ini adalah.....semuanya. Bangunan - bangunannya yang megah bikin gue terpesona. Selain bangunannya, benda - benda yang ada dan masih digunakan di sini pun menarik untuk dilihat. Trus, berhubung temple ini masih digunakan sebagai tempat ibadah, mengamati kegiatan pengunjung yang sedang melakukan ritual keagamaannya pun adalah pengalaman menarik tersendiri. Gue paling senang dan betah berlama - lama di temple yang ramai dan 'sibuk' serta 'hidup' seperti ini. 








Beihai Park

Tujuan berikutnya dan tujuan terakhir gue di Beijing kali ini adalah....Beihai Park. Jangan ditanya gimana pegal dan nyerinya kedua kaki gue....dan jangan ditanya pula betapa hebatnya rasa lapar yang gue rasakan saat ini. Tadi pagi gue memang sempat mampir ke warung somay dan bakpau langganan. Gue pun sempat membeli sebiji jagung rebus untuk bekal makan siang, dan sudah gue lahap ketika di Temple of Heaven tadi.

Tapi saat ini gue serasa dikejar - kejar hantu bernama 'waktu' yang memaksa gue untuk menyingkirkan rasa lapar demi kepuasan lainnya yaitu menikmati jam - jam terakhir di Beijing. Dan gue berjanji dalam hati, sepulang dari Beihai Park nanti gue akan memperbolehkan diri sendiri makan sepuasnya....tapi itu nanti....mungkin beberapa jam lagi. 

Saat ini, meskipun secara fisik gue sudah kehabisan sumber tenaga dan kekuatan untuk melanjutkan perjalanan, dan meskipun menahan rasa sakit, terutama di kedua kaki gue, untuk berjalan, tapi untungnya hati gue dipenuhi hasrat dan semangat luar biasa untuk terus menjelajah Beijing. Itulah modal utama yang memberikan gue kekuatan untuk menekan segala lapar dan lelah....Semangat ini bagaikan setumpuk makanan lezat yang mengalahkan ribuan jagung rebus ditambah somay dan bakpau sekalipun.

Untuk menuju Beihai Park, gue menaiki kereta subway dari Yonghe Lama Temple sampai ke Dongsi Intersection. Dari Dongsi gue mengganti kereta subway, menuju Beihai North Station. 

Beihai Park adalah taman yang super luas, berdiri di atas area seluas 69 hektar. Ini mungkin area paling luas dan lengkap yang akan gue jelajahi. Taman ini terdiri dari danau, temple, sebuah pulau kecil (Jade Flower Island), dan lainnya.

Beihai Park semula dibangun pada abad ke - 11, terdiri dari bangunan - bangunan istana serta temple. Sekali lagi, Beihai Park luasnya bukan main! Jika gue adalah warga lokal, ini bagaikan surga dunia, dan gue pasti akan sering berkunjung ke sini. Tamannya luas, bersih, dan rindang banget....jika gue duduk di salah satu tempat duduk manapun, sejauh dan sedekat mata memandang, yang terlihat adalah keindahan - keindahan yang disajikan oleh tamannya yang hijau, danau nan tenang, serta bangunan - bangunan bersejarah yang memenuhinya.

Di mata gue Beihai Park adalah taman yang membuat Beijing sangat kontras, karena di luar sana ada bangunan - bangunan pencakar langit yang modern, dengan kehidupan masyarakatnya yang sibuk. Namun Beihai yang juga terletak di tengah kota, justru menyajikan suasana hijau nan tenang dan damai. 
 
White Dagoba





Menjelang jam 18:00, gue meninggalkan Beihai Park. Sebenarnya banyak sisi dari Beihai Park yang belum sempat gue jelajahi karena keterbatasan waktu. Tapi kali ini gue ngga mau memaksakan diri. Paling tidak, gue berhasil mengunjungi Jade Flower Island, dan 'mendaki' sampai mencapai stupa tertingginya, White Dagoba. Sisanya....semoga Yesus mengijinkan gue kembali ke Beijing suatu saat kelak, karena gue akan amat sangat antusias dan senang hati mengulang perjalanan gue ke Beihai Park yang indah ini.

Gue pun kembali ke Dengshikou dan menikmati makan malam terakhir di sini yang meskipun masih di tempat makan yang sama seperti hari - hari sebelumnya, namun dengan menu terbilang mewah : nasi goreng dan dumpling. Gue memang berjanji pada diri sendiri akan menikmati dumpling ketika berada di Beijing. Gue sudah mencari informasinya, dan menemukan rekomendasi sebuah restoran dumpling tersohor di kawasan Wangfujing yang lumayan dekat dengan Dengshikou. Namun kemarin malam ketika gue tiba di restoran yang dimaksud, gue melihat poster yang memuat informasi harga dumplingnya di atas 100 Yuan, yang bagi gue ngga masuk akal, alias mahal banget! Gue urung makan di sana. Dan untuk menghibur diri, hari ini gue memesan dumpling di restoran langganan yang menyajikan sepiring dumping rebus hanya dengan 7 Yuan saja. Bagi gue, rasanya enak banget!


Wangfujing Shopping Street

Dengan perut kenyang, gue bukannya langsung kembali ke hostel, melainkan ke Wangfujing Shopping Street. Beberapa malam terakhir gue memang rajin ke sini, dengan berjalan kaki dari hostel, untuk sekedar menikmati hingar-bingarnya di malam hari, terutama di Wangfujing Street. 

Di sini, baik warga lokal dan turis disuguhi sebuah jalan yang cukup panjang dan sangat padat dengan penjual makanan yang terbilang unik dan anti mainstream...ada kalajengking, ulat, kelabang, belalang, kuda laut, bintang laut, ulat sutera, dan lain sebagainya yang disajikan dalam bentuk sate. Selain itu, ini adalah lokasi yang tepat untuk mencari cinderamata dan souvenir ala Cina, karena selain beragam, harganya pun bisa ditawar semaksimal mungkin (asal cuek dan ngga tahu malu).

Setelah puas di sana, gue pun menuju hostel, kembali dengan berjalan kaki. Kali ini langkah gue sudah terseok - seok menahan sakit. Perjalanan sekitar 2 km yang harus gue lalui rasanya berat....seberat bobot badan gue. Sepanjang jalan gue sudah membayangkan akan sempat beristirahat sejenak sekitar 1 jam untuk mengistirahatkan kedua kaki gue...kemudian ada sekitar 15 menit untuk berkemas....lalu gue pun akan meninggalkan hostel menuju airport.

Namun impian indah itu buyar seketika karena begitu membuka pintu kamar 302 gue 'disambut' oleh kehadiran dua tamu baru. Keduanya berasal dari Australia, sangat ramah dan bersahabat. Begitu gue masuk, mereka langsung menyapa dan membuka percakapan. Dan kami pun terlibat dalam percakapan seru ala backpacker....keduanya menceritakan pengalaman mereka baru kembali dari Korea Utara. Bayangkan....siapa yang ngga penasaran dengan 'trip ke Korea Utara' ? Setahu gue belum banyak turis bisa dan pernah 'menembus' Korea Utara...dan rasa penasaran membawa gue dalam percakapan yang makin seru dan berapi-api.

Percakapan pun berakhir karena gue pamit untuk mandi dan berkemas, dan keduanya juga hendak meninggalkan hostel untuk mencari makan malam. Sepeninggal mereka, gue panik luar biasa karena kehabisan waktu berkemas dan bersiap - siap. Untungnya setengah persiapan sudah gue lakukan di pagi hari sebelum meninggalkan hostel, jadi sekarang gue tinggal mandi dan memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Setelah itu gue pun meninggalkan hostel dan menuju Dengshikou Station.

Perjalanan yang melelahkan belum berakhir, karena dari Dengshikou Station gue tidak langsung menuju Dongzhimen Station, melainkan 'sedikit' mengambil arah menjauh yaitu ke Dongdan Station. Tujuan gue kemari adalah untuk mengembalikan Smart card dan mengambil depositnya. Kenapa harus di Dongdan, bukan di Dengshikou ? Meskipun pembelian Smart Card bisa dilakukan di Station manapun, namun untuk pengembalian dan pengambilan depositnya cuma bisa dilakukan di beberapa station besar saja, dan yang terdekat dari Dengshikou adalah Dongdan.

Memang merepotkan dan melelahkan....tapi saat ini setiap sen sangatlah berharga. Uang deposit tersebut rencananya akan gue pakai untuk membeli minum dan makan malam di airport nanti.

Dari Dongdan Station barulah gue menuju Dongzhimen Station. Di Dongzhimen Station gue naik Airport Express yang akan mengantar gue ke Beijing Capital International Airport.

Tiba di airport, ada pengalaman yang belum pernah gue alami sebelumnya di airport mana pun yang pernah gue singgahi...yaitu betapa ketatnya pemeriksaan penumpang di terminal keberangkatan.

Bayangkan, setiap penumpang mungkin harus melalui pemeriksaan, baik body check maupun barang bawaan, yang berlangsung kurang lebih 5 menit. Meskipun diperiksa oleh petugas perempuan, namun 'perlakuan' yang ngga biasa ini bikin gue merasa risih dan terheran-heran, dan berakhir dengan kepasrahan.

Mula-mula petugas melakukan body check dengan tangan kosong. Kemudian menggunakan tongkat sensor atau alat deteksi untuk memeriksa bagian-bagian 'tersembunyi' seperti lipatan ketiak, selangkangan, bahkan diselipkan ke balik baju yang gue kenakan untuk mendeteksi area perut. Ya ampun....apalah yang mereka harapkan bakal ditemukan di situ selain gelambir di perut gue...?! Tumpukan lemak itu kan cuma berbahaya bagi kesehatan gue....tapi ngga akan membahayakan keselamatan penerbangan....

Ketika sang petugas meminta gue berbalik untuk memeriksa bagian belakang tubuh gue, pemandangan yang gue lihat bikin gue senyum menahan tawa. Di hadapan gue, seorang penumpang pria dengan ekspresi wajah malas dan heran (sama seperti gue) berdiri dengan kaos tergulung sampai dada, sehingga memperlihatkan perutnya yang buncit menyembul. Entah dia melakukannya karena diminta oleh petugas atau atas inisiatifnya sendiri yang berlebihan....atau mungkin ngga sanggup menahan rasa gerah dan kepanasan di ruang yang sangat dingin itu. Dalam sekejap gue langsung teringat sama sosok Winnie The Pooh, yang sering tampak mengenai kaos merah kekecilan sampai memperlihatkan perutnya....dan itulah yang bikin gue menahan tawa dan sedikit terhibur. Jahatnya...

Dan untuk ransel, setiap kali petugas mencurigai ada yang 'ganjil' di dalamnya, mereka akan meminta gue membongkar isinya dan memberitahukan benda apa yang harus gue keluarkan. Jika setelah melihat bendanya dan menurut mereka bukanlah sesuatu yang berbahaya, misalnya botol sabun cair atau pelembab, gue diminta untuk memasukkan kembali benda-benda itu dan merapihkan ransel gue, dan meminta gue memasukkan ransel tersebut kembali melalui mesin pemeriksaan X-ray.

Begitu seterusnya gue bolak - balik....bongkar ransel....rapihin ransel....masukkin ransel melewati mesin X-ray....bongkar lagi....rapihin lagi...X-ray lagi... sampai akhirnya mereka yakin ngga ada benda berbahaya di dalam ransel gue.

Menjelang tengah malam, pesawat AirAsia pun mengantarkan gue kembali ke Kuala Lumpur. Rasa sedih meninggalkan Beijing, mengalahkan kesedihan yang sama yang biasa gue rasakan ketika meninggalkan tujuan wisata lainnya selama ini.

Beijing buat gue adalah simbol perjuangan. Faktor utamanya adalah kedua kaki gue yang sudah cidera sejak hari pertama menginjakkan kaki di sini, entah mengapa....kayaknya karena cara berjalan gue yang 'sembarangan' dan kali ini ngga sinkron dengan sepatu yang gue pakai. Trus kendala bahasa juga faktor yang bikin perjalanan gue selama 5 hari di Beijing ini menantang banget...Lalu, kendala uang pas-pasan yang gue bawa dan miliki...trus....trus....yang jelas gue bisa bikin daftar panjang mengenai hal-hal yang menjadi rintangan dan bikin perjalanan di Beijing ini 'berat' dan menantang banget.

Tapi gue juga punya daftar yang panjangnya ratusan kali lipat dari itu, mengenai hal - hal yang bikin gue jatuh cinta pada kota dan negeri ini serta alasan kenapa gue bahagia selama di sini. Beijing meninggalkan kesan yang indah dan mendalam di hati gue. Dan gue yakin...sedikit-banyak Beijing membentuk gue menjadi pribadi yang lebih tangguh dan kuat...meskipun tetap cengeng dan gampang nangis.

Gue bersyukur pada Yesus yang maha baik atas hadiah berupa pengalaman istimewa ini, menyiapkan segala kebutuhan gue, dan memimpin perjalanan nan seru di kota yang super keren ini. Makasih Yesus!

Sunday, December 13, 2015

Sekeping Kenangan Beijing (Hari Keempat) : Carilah Makam Sampai Ke Negeri Cina


15 Oktober 2015

Ini adalah petualangan gue hari keempat di Beijing. Rencananya hari ini gue mau berkunjung ke Ming Tombs.

Sebenarnya sejak awal mendengar namanya gue belum ada gambaran, apa dan kayak mana 'wisata' Ming Tombs itu. Ming Tombs adalah area pemakaman ketiga belas kaisar - kaisar dinasti Ming. Lokasinya sekitar 50 km dari kota Beijing, yaitu di daerah Changping, tepatnya di kaki Gunung Tianshou, dan tersebar dalam area terpisah. Saat ini hanya tiga lokasi yang bisa dikunjungi oleh publik : Sacred Way, Changling Tomb Museum dan Dingling Tomb Museum. 

Gue, yang penggemar wisata ke area - area pemakaman sarat cerita sejarah, langsung ngiler dan bertekad sekuat baja untuk mengunjunginya. Caranya ? Seperti biasa, gue ngga memiliki informasi matang mengenai alat transportasi maupun cara mencapai suatu lokasi di Beijing ini, sejak dari Jakarta. Gue mencari informasinya secara mendadak. Padahal berhubung di Cina situs Google diblokir, jadi tantangan tersendiri buat gue untuk nyari - nyari info. Untunglah meskipun ngga ada Google, di sini gue cukup terbantu dengan website pencari informasi lainnya, yaitu Bing

Dengan informasi di tangan, bukan berarti pencarian gue menjadi mudah. Untuk menuju Ming Tombs gue harus menggunakan bus no. 872 dari Deshengmen Bus Station. Gue sadar hari ini akan menantang banget....karena gue baru kali ini mendengar nama bus station ini. Kemarin, untuk mencari bus menuju Mutianyu dari Dongzhimen Bus Station yang terkenal aja, sulitnya bukan main. Untuk menuju Deshengmen Bus Station, gue naik subway dan turun di Jishuitan Station. Ketika gue keluar dari Exit A Jishuitan Station, disitulah gue mulai bingung, apakah harus mengambil arah kiri atau kanan.

Akhirnya gue putuskan untuk mengambil arah kanan. Dan setelah berjalan beberapa ratus meter, gue pesimis telah mengambil arah yang benar, karena ngga melihat tanda-tanda keberadaan bus station. Setelah bertanya kepada seorang warga lokal, yang dengan baik hati 'mengkonfirmasi' bahwa gue sudah salah ambil arah, gue pun kembali ke Jishuitan Station. Kali ini dari Jishuitan Station gue mengambil arah ke kiri. Setelah berjalan beberapa puluh meter, di sisi kiri gue melihat lokasi yang nampak seperti bus station, namun ini bukanlah Deshengmen Bus Station, melainkan Deshengmenxi Bus Station. Ya ampun.....menantang luar biasa Beijing ini.....! Bisa - bisanya ada 2 bus station lokasinya berdekatan dan namanya pun mirip. Setelah melewati bus station ini, ngga berapa jauh kemudian barulah gue melihat Deshengmen Bus Station.

Jangan berharap akan ada tulisan "Deshengmen Bus Station" dengan huruf Latin berukuran besar di lokasi ini. Feeling gue mengatakan bahwa lokasi itu adalah benar bus station, hanya karena gue melihat banyak bus besar berada di dalamnya.

Gue pun menaiki bus nomor 872, yang akan mengantar gue sejenak keluar dari kota Beijing menuju Changping.

Berhubung Bus ini membawa gue keluar dari hingar - bingar kota Beijing, jadi untuk menemukan lokasi yang gue tuju adalah tantangan berikutnya. Modal gue hanya sebaris informasi bahwa gue harus berhenti di station (halte / perhentian bus) kesepuluh untuk mencapai lokasi tujuan pertama gue : Sacred Way.

Jadi sepanjang perjalanan sekitar 2 jam itu, gue harus waspada dan menghitung setiap halte bus yang gue lewati. Kenapa harus waspada ? Karena ngga ada awak bus yang akan mengingatkan penumpang nama - nama dari setiap halte/perhentian. Selain itu papan informasi nama halte memuat tulisan berupa nama halte yang meskipun dengan huruf Latin namun ukurannya kecil dan ngga akan terbaca dari dalam bus.

Gue pun tiba di halte kesepuluh : Changping. Dengan menyeberang jalan dan berjalan sedikit akhirnya gue melihat pintu masuk dan loket penjualan tiket Sacred Way, dimana gue membeli tiket masuk seharga 30 Yuan.


Sacred Way

Berasal dari kepercayaan bahwa seorang kaisar adalah putra sorga, yang turun ke negeri ini melalui jalan suci (sacred way) ini, dan ketika ia meninggal, sang kaisar pun akan melalui jalan yang sama.

Di sebelah kiri dan kanan jalan, terdapat patung- patung berukuran besar, berupa figur manusia (tokoh Jenderal, pejabat dan orang-orang berjasa) dan juga hewan (singa, unta, gajah, dan lain sebagainya). Ketika gue tiba disana, komplek yang sangat luas ini sepi pengunjung. Ditambah dengan keteduhan pepohonan rindang yang memenuhi komplek, dan cuaca mendung saat itu yang bikin langit agak gelap, ada nuansa damai yang sedikit menimbulkan rasa takut. Sedikiiittt....


Changling Tomb Museum

Puas di Sacred Way, gue kembali ke halte bus Changping dan melanjutkan perjalanan kembali dengan bus nomor 872, menuju Changling Tomb Museum. Bagaimana gue bisa berhenti di sini ? Caranya adalah dengan petunjuk yang gue miliki, yaitu bahwa gue harus berhenti di halte keempat sejak dari Changping Station tadi. Tiba di Changling Tomb Museum, gue membeli tiket masuk seharga 45 Yuan. 

Changling Tomb adalah area makam yang terluas, dan menurut gue memiliki bangunan - bangunan indah dan bersejarah terbanyak, di antara area pemakaman lainnya yang gue kunjungi. Changling Tomb merupakan makam dari kaisar ketiga (dari total 16 kaisar) di masa Dinasti Ming, yaitu Kaisar Zhu Di dan Pemaisuri Xu. Kaisar Zhu sering juga disebut sebagai Kaisar Yongle.

Ketika berkunjung ke beberapa situs bersejarah di Beijing dan sekitarnya, gue dan pengunjung lainnya akan sering mendengar dan membaca kisah sejarah yang memuat nama Kaisar Yongle. Kaisar Yongle dianggap sebagai kaisar yang paling berjasa dan memberikan kontribusi terbesar sepanjang sejarah Cina. Kaisar Yongle pulalah yang membangun Changling Tomb di tahun 1409, sebagai tempat pemakaman istrinya, Permaisuri Xu. Dan 15 tahun setelahnya, ketika wafat, Kaisar Yongle pun dikuburkan di tempat yang sama.


 
Dingling Tomb Museum

Ini adalah tujuan terakhir gue dari agenda 'wisata makam' Ming Tombs hari ini. Untuk mencapai lokasinya, gue kembali harus menggunakan bus No. 872.

Setelah hampir seharian berada di daerah Ming Tombs gue merasa kalo bus ini kayaknya didedikasikan untuk mereka yang hendak mengunjungi Ming Tombs...karena selain komplek - komplek pemakaman, gue ngga lihat ada tujuan lainnya.

Oya, daerah ini relatif masih hijau dan sejuk dan dimana-mana terdapat perkebunan apel. Jadi selain perkebunan apel dan komplek pemakaman Dinasti Ming, gue ngga melihat ada lokasi lainnya yang bisa disinggahi.

Dingling Tomb adalah makam dari kaisar ketiga belas Dinasti Ming, yaitu Kaisar Zhu Yijun juga kedua permaisurinya, Permaisuri Xiaoduan dan Permaisuri Xiaojing. 

Kalau menurut gue Changling Tomb adalah yang paling megah dengan bangunan - bangunan indah, sementara Dingling Tomb inilah yang paling menarik. Karena 'daya tarik' utamanya adalah makam Kaisar Zhu Yijun dan kedua permaisurinya yang berada di bawah tanah, tepatnya 40 meter di bawah permukaan tanah. Jadi para pengunjung akan memasuki sebuah terowongan, lalu menuruni banyak anak tangga, dan berakhir di sebuah area yang luas dan megah, dimana sang kaisar dan permaisuri - permaisurinya dimakamkan. Berada di sana rasanya campur aduk, didominasi dengan perasaan takjub betapa tempat pemakaman alias kuburan saja demikian luas dan megahnya bagaikan sebuah istana.

Di Dingling Tomb ini gue ngga ngambil banyak foto. Karena selain ada larangan untuk mengambil foto di istana bawah tanah Dingling, juga yang mengherankan kebanyakan hasil foto gue buram dan kurang optimal selama di sini. Dari ketiga lokasi yang sudah gue kunjungi hari ini, menurut gue Dingling inilah yang menyuguhkan suasana 'makam' yang sebenar-benarnya. Bayangkan, ketika berada di istana bawah tanah tadi, gue bisa melihat langsung peti mati sang kaisar dan kedua permaisurinya yang megah dan berwarna merah. Selain itu, di bawah sana juga terdapat benda-benda peninggalan yang tak ternilai harganya....ada barang pecah belah, emas, dan lain sebagainya

Gue menyelesaikan 'misi' Ming Tombs ini tepat ketika sore hari. Dan sore itu gue musti berjuang sekuat tenaga berebutan bus  No. 872 yang armadanya sangat terbatas, dengan para pengunjung lainnya yang siap untuk meninggalkan Dingling menuju Beijing. Dengan perut super lapar, karena gue memang belum makan siang ~seperti hari - hari gue sebelumnya di negeri ini~ gue harus bersikut-sikutan dengan calon penumpang lainnya. Jangan bermimpi untuk mendapatkan tempat duduk....untuk bisa memasuki bus saja sudah merupakan anugerah luar biasa.

Untunglah sebagai alumni sekaligus pengguna aktif commuter line Jabodetabek, urusan beginian bukanlah sesuatu yang berat buat gue. Untung juga gue bukan warga lokal, jadi ngga ngerti ketika banyak di antara penumpang saling memaki dan mengumpat dalam bahasa lokal, saat rebutan masuk bus. 

Ketika akhirnya berhasil masuk ke dalam bus, gue harus puas dan tabah berdiri di antara padatnya penumpang bus....dan menempuh perjalanan 2 jam lebih menuju Beijing. Sekali lagi....dengan perut kosong nyaring bunyinya. Sepanjang jalan dimana gue melihat perkebunan apel di sisi kiri dan kanan jalan, dengan pemandangan indah berupa pepohonan dan buah - buah apel merah yang nampak matang, siap dipanen serta mengundang selera, rasanya kontras banget dengan kondisi perut gue yang sudah berteriak kelaparan sejak siang tadi.

Oya...ada beberapa alasan mengapa gue belum makan siang sampai sesore ini. Pertama, gue ngga melihat ada tempat - tempat penjualan makanan yang menarik. Karena kalaupun ada, yang ditawarkan cuma sosis, nugget, dan jagung rebus. Alasan kedua, karena gue ngga bernafsu makan ketika berada di area pemakaman. Entah kenapa ya...mungkin lokasi pemakaman memiliki 'aura' tersendiri yang menimbulkan suasana dan perasaan tertentu, dan buat gue pribadi, bikin gue sejenak kehilangan nafsu makan. S e j e n a k.....

Alasan ketiga, masalah waktu. Target untuk menyelesaikan misi Ming Tombs dalam sehari dengan menggunakan transportasi umum menuntut gue untuk menggunakan waktu dengan efisien dan efektif. Dan seringnya di saat hasrat berpetualang dan eksplorasi sedang menggebu-gebu, 'makan' bagi gue hanyalah interupsi yang kurang perlu.

Alasan terakhir...yaitu yang paling penting dan fundamental...karena gue ngga punya uang. Uang minimalis yang gue bawa hari ini tersedot habis untuk membeli tiket masuk. Hobi gue yang nyentrik kali ini berhasil menguras kantong hingga 135 Yuan (sekitar Rp. 337,500) untuk tiket masuk ketiga lokasi yang telah gue kunjungi. Orang aneh mana yang lebih memilih menggunakan uangnya yang pas-pasan untuk melihat pemakaman dibanding makan ? Gue.

Lagi-lagi, ini adalah hari serta perjalanan yang seru....bayangkan, gue bisa memuaskan hobi unik mengunjungi 'makam' sampai ke negeri Cina ! Kali ini bahkan makam-makam dengan lebih banyak cerita sejarah yang menarik dan mendalam....seru banget !

Terima kasih Yesus, yang sudah mengerti hobi dan minat gue yang nyentrik dan aneh, dan mengantarkan gue melangkah sampai sejauh ini. Bukan perjalanan yang mudah dan murah, tapi Yesus yang maha baik senantiasa menemani dan mencukupi kebutuhan gue.

Wednesday, November 11, 2015

Sekeping Kenangan Beijing (Hari Ketiga) : Mutianyu Great Wall



14 Oktober 2015.

Hari ketiga di Beijing, dan lagi-lagi hari ini gue melewatkan hari penting keluarga yaitu ulang tahun Anggira. Jadi merasa bersalah lagi....

Ini hari yang gue tunggu - tunggu....yaitu rencana gue untuk datang dan melihat langsung Tembok Raksasa alias Great Wall, dengan mata kepala gue sendiri. Yesus yang super maha baik memberikan gue anugerah tak terhingga yaitu kesempatan untuk mengunjungi salah satu tempat paling terkenal sedunia : Tembok Raksasa (Great Wall). Lokasi yang namanya sudah gue dengar sejak di bangku sekolah...Waktu SD, gue lupa mata pelajaran apa, siswa harus hapal 7 (tujuh) keajaiban dunia. Dan Tembok Raksasa Cina akan selalu ada dalam daftar...Buat anak SD yang imut-imut dan polos kayak gue kala itu,  kata-kata "keajaiban dunia" aja terdengar sureal di telinga. Apalagi "Tembok Raksasa"...ya ampun, apa pula itu, dan kayak mana tembok yang berukuran raksasa itu. Kenapa 'tembok' aja menjadi spesial dan mendunia...kenapa urusan tembok ini perlu menjadi bagian ilmu pengetahuan yang perlu diketahui anak SD segala...

Suatu ketika gue pernah juga nonton tayangan di televisi di mana illusionist David Copperfield memberikan suguhan atraksi berjalan menembus Tembok Raksasa Cina. Macam mana menembus tembok ? Pokoknya, semua hal yang gue dengar dan lihat mengenai Tembok Raksasa ini cuma menyisakan rasa penasaran doang....karena saat itu ngga ada teknologi Youtube dan teman-temannya, jadi gue ngga bisa browsing-browsing demi mendapat gambaran seperti apa sebenarnya Tembok Raksasa itu. 


Pagi ini gue begitu bersemangat, dengan euforia dan di saat bersamaan rasa grogi meluap - luap demi menuju tempat yang udah membuat gue penasaran sejak lama. Gue bangun sekitar jam 05:00 pagi, dan mengendap-endap meninggalkan hostel di saat langit masih gelap. Gue naik subway dari Dengshikou Station menuju Dongzhimen Station. Kali ini ngga bisa mampir ke warung bakpau, karena ngga yakin sudah buka atau ngga. Selain itu karena gue takut ketinggalan bus.



Dongzhimen Station terintegrasi dengan Dongzhimen Bus Station. Menurut petunjuk yang gue dapatkan hasil dari browsing sana sini, akan ada Bus No. 867 yang berangkat dari Dongzhimen Outer langsung menuju ke Muntianyu jam 07:00 pagi.


Dari petunjuknya semua terkesan mudah dan simpel. Tapi pagi itu lagi-lagi gue frustasi sejadi-jadinya karena kebingungan mencari halte bus No. 867. Begitu tiba di Dongzhimen, gue langsung melihat terminal bus, tapi gue kebingungan saat mencari yang namanya Dongzhimen Outer. Gue sempat keluar dari terminal menuju jalan raya, yang gue temukan justru Bus No. 916. Sebenarnya bus ini adalah alternatif lainnya menuju Mutianyu, namun nanti di akhir perjalanan, gue harus menggunakan minivan untuk mencapai Mutianyu. Selain masalah keuangan yang super minimalis, gue ngotot untuk tetap menggunakan Bus No. 867 karena idealisme luar biasa untuk mencari tantangan. 

Begini, segala sesuatu yang ada di Beijing ini sebenarnya tantangan buat gue....seringkali bikin gue sampai down banget dan kelelahan fisik dan mental. Sesekali gue sampai mau nangis segala, karena mau kemana pun rasanya sulit banget. Tapi khusus untuk perjalanan Tembok Raksasa ini, gue berjanji untuk mencapainya dengan cara yang paling konvensional. Dan bagi gue cara itu adalah dengan naik Bus No. 867. 

Mengenai rute dan pintu masuk Tembok Raksasa sebenarnya banyak rute yang bisa dipilih, karena Tembok Raksasa yang memang super panjang dan membentang hingga melintasi beberapa kota di Cina. Rute yang paling populer adalah Badaling, Mutianyu, dan Jinshanling & Simatai. Mungkin karena ketiganyalah yang terdekat dari Beijing.

Sejak awal gue sudah berjanji dalam hati kalau gue akan memilih jalur Mutianyu Great Wall yang sebenarnya berjarak tempuh 3 jam lebih dari Beijing. Tapi dari review-review yang gue baca, justru itulah yang bikin Mutianyu Great Wall cenderung lebih sepi pengunjung dibandingkan Badaling yang lebih dekat ke Beijing. Katanya Badaling padat dan ramai oleh pengunjung, dan tempat semacam itu bukanlah favorit gue.

Kembali ke perjuangan mencari Bus No. 867, herannya, meskipun gue bertanya ke beberapa orang berbeda, baik petugas maupun calon penumpang, ngga ada yang tahu di mana 'pangkalan' bus No. 867....atau mungkin mereka ngga ngerti apa yang gue cari atau tanyakan. Mata gue sampai kelelahan mengamati setiap bus yang gue lihat di dalam terminal, berharap menemukan angka '867' di salah satunya. Tapi nihil.

Akhirnya seorang petugas memberitahukan arah yang harus gue tempuh untuk mencari 'pangkalan' Bus No. 867 tersebut. Arah itu membawa gue keluar dari terminal (lagi), dan setelah berada di jalan raya (lagi) gue bingung (lagi) kemana langkah selanjutnya. Gue pun mengambil arah kiri, karena dari kejauhan melihat ada kerumunan bus di arah itu. Setelah berjalan beberapa ratus meter, gue pun melihat semacam terminal bayangan. Gue mendekat, dan puji Tuhan Haleluyah, gue melihat sosok bus dengan nomor 867.


Saat itu ada beberapa orang menunggu di garis antrian. Sekitar jam 07:00 lewat sedikit, bus pun berangkat. Seseorang yang gue kira adalah kru bus, karena saat itu dia mengenakan kemeja layaknya kenek, menanyakan tujuan para penumpang. Dan bagi penumpang yang hendak menuju Mutianyu Great Wall, dia memberikan pesan tambahan bahwa nanti akan diturunkan di suatu jalan, dari situ menyambung naik minivan dengan membayar 25 Yuan. Gue bingung dan mulai curiga ini adalah scam, karena gue ngga pernah membaca informasi seperti ini. Tapi berhubung gue sudah terlalu lelah di pagi itu ditambah dorongan semangat menggebu-gebu menuju Tembok Raksasa secepatnya, gue pun menurut.

Di suatu jalan antah - berantah, setelah perjalanan sekitar 2.5 jam, gue turun bersama beberapa penumpang lainnya, dan mengikuti si kenek gadungan menuju sebuah area parkir. Gue menaiki salah satu mobil yang disediakan, yang katanya akan mengantar ke Mutianyu.

Tiba di Mutianyu, rombongan kecil ini tinggal berjalan beberapa ratus meter dan akhirnya tiba di pintu masuk Mutianyu Great Wall. Gue langsung membeli paket tiket menuju Great Wall (Tembok Raksasa) seharga 160 Yuan, yaitu paket paling ekonomis alias murah. Setelah itu gue membayar ongkos 25 Yuan ke si kenek gadungan dan berpisah dengannya. Dengan membayar 160 Yuan gue mendapatkan fasilitas : shuttle bus menuju pos cable car atau cable way, cableway untuk naik mendekat ke Great Wall, tiket Great Wall itu sendiri, dan Toboggan.

 
 
 


Dengan langkah penuh percaya diri gue menuju lokasi di mana hampir semua orang berkumpul. Tapi begitu gue mendekat dan sang petugas melihat tiket gue, dengan bahasa Cina yang jelas - jelas gue ngga ngerti, sang petugas seperti memberitahukan bahwa gue salah masuk. Maksudnya ? Dengan tangannya sang petugas menunjukkan arah lokasi, yang sebenarnya sudah gue lewati tadi. Dengan bingung gue pun kembali ke lokasi itu. Lalu kejadian yang ngga akan gue lupa seumur hidup gue pun terjadi, hanya dalam waktu sekejap. 


Ketika gue menunjukkan tiket kepada petugas, gue pun dipersilahkan mengikuti arah jalan setapak yang membawa gue menuju...pos cableway. Saat itu gue terkaget-kaget karena 'cableway' yang ada di hadapan gue benar-benar berbeda dengan harapan. Cableway lebih tampak seperti ayunan berbentuk bangku, tanpa pijakan kaki, tanpa peralatan keselamatan...dan di saat mata dan pikiran gue masih bekerja keras mencerna keheranan gue, seorang petugas berteriak-teriak, lagi-lagi dengan bahasa yang ngga gue mengerti, seakan - akan meminta gue untuk segera naik ke ayunan. Masih terbengong-bengong dengan beban botol air mineral di tangan kiri, dan tumpukan tiket di tangan kanan, gue naik ke ayunan itu, dan hanya dalam beberapa detik secara otomatis terpasanglah semacam pegangan yang mungkin dimaksudkan juga sebagai satu-satunya alat pengaman pada ayunan, dan dalam beberapa detik kemudian cableway yang otomatis selalu bergerak membawa gue melayang di atas udara, dengan pemandangan hijau dan horornya hutan belantara di bawah gue.

Gue takut, kaget dan nyaris histeris.  Bibir gue menyebutkan 'Dalam nama Yesus....dalam nama Yesus...' entah mungkin ribuan kali banyaknya. 

Bagaimana menggambarkannya...rasanya jantung gue merosot turun, sampai keluar dari tubuh gue, lalu menggelinding di tanah, dan jatuh ke jurang ! Gue menutup mata dan berdoa sejadi-jadinya berharap doa yang gue panjatkan dalam keadaan panik darurat seperti itu bisa menenangkan gue...


Gue memang bukan penggemar ketinggian. Apalagi berada di atas udara, hanya bersandar pada ayunan yang gue ngga punya keyakinan apapun mengenai keselamatan yang bisa dijanjikannya, angin sejuk dan dingin yang kini seakan-akan bagaikan ancaman karena membuat ayunan ini nampak rapuh dan mudah digerakkan bahkan oleh angin sekalipun, dan hamparan hijau di bawah sana...bagi kebanyakan orang semestinya itu adalah pemandangan indah luar biasa...tapi buat gue yang dipaksa menikmatinya di atas ayunan kabel seperti ini, sulit untuk gue menikmatinya.

Entah berapa lama perjalanan cableway itu, tapi itu adalah perjalanan menyeramkan terlama yang pernah gue lalui...dan gue rasa dalam waktu dekat gue ngga akan siap mengulanginya lagi. 

Untungnya, semua ketakutan mencekam itu langsung terbayar lunas, dengan sensasi rasa bahagia yang timbul begitu gue tersadar bahwa gue sudah menginjakkan kaki di Tembok Raksasa. Rasanya masih percaya ngga percaya....ketika gue melangkah di atas setiap bebatuan kehitaman yang tersusun kokoh, atau ketika gue meniti setiap anak tangganya yang terkadang curam, atau saat mata gue menangkap pemandangan indah nan hijau yang mengelilingi Tembok Raksasa...Rasanya pengen menjedotkan kepala di salah satu sudut tembok yang bersejarah dan fenomenal ini sambil teriak, "Mimpikah ini...mimpikah ini...??"  



 

Berdiri di salah satu bagian kecil dari rangkaian Tembok Raksasa yang panjangnya ribuan kilometer, gue cuma bisa menelan rasa kagum dan heran, ngga abis pikir, bagaimana perjuangan dan pengorbanan ribuan atau jutaan orang yang dahulu bekerja keras dan terlibat dalam pembangunan tembok yang diperuntukkan sebagai garis pertahanan ini.
Kalau di masyarakat umum sering terdengar stigma bahwa orang Cina terkenal akan karakter pekerja keras, tekun, dan pantang menyerah, kayaknya Tembok Raksasa ini akan mengingatkan dunia seperti apa nenek moyang bangsa Cina dahulunya dan dari mana karakter-karakter positif itu menurun.

Gue menyusuri hingga ujung dari Mutianyu Great Wall. Meskipun agak melelahkan, tapi rasa girang dan bersyukur karena bisa berada di sini, bikin gue bersemangat. Yang bikin suasana di atas sini tambah menyenangkan adalah karena sepi pengunjung. Selain suasananya jadi tenang dan kadang sunyi, keuntungan lainnya adalah kemudahan memotret dan berfoto karena tidak terganggu dengan ramai dan padatnya pengunjung.



Setelah berada di sini sekitar 2 jam lebih, gue pun mengambil langkah untuk pulang. 'Pulang' berarti gue musti berjuang lagi untuk menuruni pegunungan. Dan bayangan cableway yang harus gue tempuh tadi pagi benar-benar bikin trauma. Kejutan apa lagi yang akan gue hadapi kali ini.

Gue sudah membeli tiket 'Toboggan'. Toboggan adalah semacam kereta berkapasitas satu orang (atau dua orang jika bersama anak kecil), yang dilengkapi roda serta rem, dan akan meluncur dengan kendali si penumpang. Selain kendali berupa rem tadi, kereta seluncur ini bergerak di atas lintasan baja tahan karat juga dengan mengandalkan akselerasi teori gaya gravitasi. Dari brosur yang gue baca tadi pagi, Toboggan ini dibuat dengan teknologi Jerman dan dibangun oleh perusahaan Jerman. Cableway mengerikan tadi pagi itu, entah teknologi apa yang digunakan untuk membuatnya.

Meskipun dengan embel-embel 'teknologi Jerman' sebenarnya ngga serta-merta menyurutkan rasa takut gue untuk menaikinya. Gue sempat ragu beberapa saat, dan hanya bisa melihat dari kejauhan pengunjung-pengunjung lain yang bersemangat menggunakannya. Namun gue ngga punya pilihan....revisi, gue punya pilihan ! Pertama, membeli tiket cablecar yang dipastikan mahal....kedua, trekking alias berjalan kaki sejauh kurang lebih 3-4 jam perjalanan. 

Dari brosur yang sama, gue melihat foto Ibu Negara Amerika Serikat, Michelle Obama pernah mengunjungi Mutianyu Great Wall...dan beliau pun pernah menaiki Toboggan ini. Brosur memuat fotonya yang tampak kegirangan menikmati perjalanan Toboggan itu. Itulah satu-satunya motivasi gue saat itu. Gue berusaha keras meyakinkan diri sendiri bahwa perjalanan itu pastinya akan menyenangkan....lagian, kalau Mrs. Obama berani, gue juga harus berani !! Begitulah tekad membara namun kurang keyakinan yang gue tanamkan demi bisa meninggalkan Mutianyu Great Wall, tanpa perlu tambahan pengeluaran.
Dengan langkah resah, gue pun naik ke atas Toboggan dan mendorong tuas remnya...dan kereta seluncur itu pun bergerak....bergerak sangat mulus dan yang mengherankan, gue merasa sangat nyaman, aman dan menikmati perjalanan ini. Ketika keberanian gue sudah kembali, gue bahkan meningkatkan kecepatannya. Lama-kelamaan, gue dengan cueknya mengeluarkan kamera, menarik tuas rem, dan mulai memotret. Gue girang bukan main. Ini adalah alat transportasi paling hebat, inovatif, dan menghibur yang pernah gue naiki.

 
 
 


Akhirnya gue tiba di pintu masuk/keluar cableway. Gue meninggalkan lokasi dengan hati bersorak-sorai menahan rasa bahagia. Perjalanan ke Mutianyu Great Wall ini adalah pengalaman paling seru yang pernah gue lakukan dan ngga akan terlupakan. 

Saat itu gue ngga langsung menuju halte shuttle bus, melainkan mampir ke Stone Museum yang jaraknya ngga jauh. Lagian gue beruntung, karena saat itu ngga ada penjaga sama sekali, gue bebas masuk berkeliaran di dalamnya tanpa harus membeli tiket masuk.

 

Setelah puas di Stone Museum, barulah gue menuju halte shuttle bus. Dengan perjalanan sangat singkat, gue sudah tiba lagi di area pintu utama Mutianyu Great Wall. Di sana gue disambut oleh puluhan orang yang seakan-akan menawarkan sesuatu. Ternyata mereka menawarkan jasa minivan, yang akan mengantar gue sampai halte Bus No. 916 terdekat. Gue sampai kewalahan menolaknya. Gue sebenarnya tertarik untuk sekedar menanyakan harganya, namun orang-orang ini begitu agresif.

Gue sempat masuk ke dalam kantor pelayanan informasi untuk menanyakan informasi transportasi umum ke Beijing. Berhubung terlalu rumit dan ngga menjamin akan lebih murah, gue pun keluar dan mendekat ke salah satu perempuan yang menawarkan jasa minivan tadi, dan mulai menawar harga. Kesepakatan pun terjadi, gue hanya perlu membayar 20 Yuan. 

Gue diantar sampai ke sebuah halte dimana gue bisa naik Bus No. 916. Bus yang ditunggu pun tiba, gue naik dan siap menikmati perjalanan kembali ke Dongzhimen Station, Beijing selama kurang lebih 3 jam ke depan. 

Mengenang hal luar biasa yang sudah gue lakukan hari ini, dengan segala keseruan, rintangan, perjuangan mengalahkan rasa takut, dan lain sebagainya, gue hanya bisa tersenyum dan mengucapkan jutaan kali rasa syukur pada Yesus yang sudah bersama gue dalam setiap detik langkah gue hari ini. Dan hati gue mengumandangkan lagu kesayangan nan indah dan selalu menenangkan :

Tiap langkahku, diatur oleh Tuhan
dan tangan kasih kasihNya, memimpinku
Di tengah badai dunia menakutkan
Hatiku tetap tenang teduh

Tiap langkahku, ku tahu yang Tuhan pimpin
ke tempat tinggi ku dihantarNya
hingga sekali nanti aku tiba
Di rumah Bapa sorga yang baka