I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Friday, November 11, 2016

Singgah Sejenak Di Danau Bonen


 5 November 2016

Sepulang dari Curug Rahong, gue dan Ony ngga langsung kembali ke Depok, melainkan sedikit melanjutkan perjalanan, yaitu mencari lokasi Danau Bonen yang lokasinya masih di Cigudeg. Gue mendengar informasi mengenai danau ini dari salah satu warga yang tadi membantu gue dan Ony ketika kesasar mencari Curug Rahong. 

Lokasinya ngga terlalu jauh kok, dan gampang banget dicari, karena posisi area tambangnya di pinggir jalan utama. Tapi 'aman'nya, berada di kawasan ini memang harus rajin - rajin bertanya ke warga sekitar. Itu pun kalau beruntung bertemu seseorang yang bisa ditanya, mengingat kawasannya sepi banget.

Tiba di Danau Bonen, gue melihat beberapa warga lokal sedang asyik memancing ikan. Beberapa bocah bahkan berenang di sekitar tepi danau. Selain itu ada juga beberapa pekerja tambang yang sedang mengeruk lahan di tepi danau menggunakan excavator. Sepertinya danau ini masih aktif sebagai lokasi tambang.

Danau Bonen tampak lumayan keren, dengan airnya yang tenang dan terlihat hijau, dan tentunya dikeliling oleh tebing - tebing bekas tambang yang cakep dan hits! Dan karena areanya sangat luas, jadi bikin penasaran untuk 'lihat-lihat' dan melangkah lebih dalam memasuki sudut lain dari area tambang ini. Tapi, karena pengalaman di Danau Jayamix kemarin gue jadi super waspada, karena gue dikeliling oleh tebing - tebing yang mungkin rawan longsor. 

 


Wisata danau - danau bekas area tambang di Parung seperti ini sebenarnya bitter sweet moment....Di satu sisi kedua mata gue dimanjakan dengan pemandangan yang indah yang jarang gue temui. Namun di sisi lain ada perasaan 'takjub' sekaligus prihatin, membayangkan gunung - gunung yang tadinya menjulang kemudian dikikis, dikeruk, dan digali habis - habisan, hingga meninggalkan lubang raksasa yang kini menjadi danau.   Ironis ya...ada keindahan yang muncul setelah eksploitasi dan kerusakan masif akibat kegiatan tambang. 

Setelah beberapa saat di sana, gue dan Ony pun mengambil langkah pulang...siap berjuang kembali dengan jalan rusak, berlubang, dan debu tebal.

Monday, November 07, 2016

Melancong Ke Curug Rahong


5 November 2016.

Gue dan Ony, yang masih penasaran dan bersemangat mengeksplorasi keindahan Parung, kali ini pengen mencari lokasi Curug Rahong. Dan seperti biasa, gue berdua ngga punya modal petunjuk atau informasi mengenai alamat lokasinya. Tapi berhubung setiap kali mencari lokasi - lokasi piknik di kota Parung ini kami terbiasa kesasar kesana kemari karena buta mengenai lokasi yang dicari, jadi kali ini langkah pun terasa makin ringan. Bagi gue, 'kesasar' itu salah satu faktor yang bikin berpetualang ke suatu tempat baru semakin seru dan menantang....meskipun terkadang bikin emosi juga.

Hal yang sedikit 'menenangkan' dalam perjalanan kali ini adalah karena dari informasi yang gue dapatkan, lokasi curug ini searah dengan Danau Jayamix yang minggu lalu gue datangi. Jadi, dengan semangat gegap gempita, pagi itu....yaaaa...p-a-g-i itu, tepatnya sekitar jam 09:00 ~saking semangatnya untuk mencari Curug Rahong~ gue dan Ony meninggalkan rumah menuju Parung sweet Parung.

Secara administratif, Curug Rahong berlokasi di Kampung Kedaung, Desa Rengas Jajar, Cigudeg. Sama seperti minggu lalu, untuk mencapai daerah Cigudeg ini, gue dan Ony harus melintasi ruas - ruas jalan yang kondisinya rusak parah. Kali ini ditambah becek dan berlumpur, karena sepertinya hujan mengguyur kota ini sehari sebelumnya. Duduk di atas motor dan melalui perjalanan panjang dengan kondisi jalan yang ngga rata dan rusak parah, bikin rasa lelah dan pegalnya berlipat - lipat. 

Gue jadi kasihan sama warga Parung, terlebih Cigudeg ini. Dari pengamatan gue (seadanya), setelah beberapa kali mengunjungi lokasi ini, menurut gue kawasan ini menyimpan kekayaan alam berupa sumber batu dan pasir. Kekayaan alam ini dimanfaatkan oleh pihak - pihak tertentu. Ada banyak titik kawasan tambang batu dan pasir di sini, ratusan truk - truk pengangkut hasil tambang pun lalu-lalang menguasai setiap ruas jalan, tapi dilihat dari infastrukturnya aja, kayaknya daerah Cigudeg dan sekitarnya tertinggal jauh di belakang. Selain jalannya rusak parah, polusi yang ditimbulkan juga pastinya serius. Dimulai dari yang langsung terasa, misalnya polusi udara akibat debu. Tiap kali melintas jalan di Cigudeg ini gue harus menggunakan masker, namun tetap aja debu dan knalpot yang berasal dari truk - truk yang lewat masih terhirup. Ngga kebayang kalo gue harus lewat sini tiap hari....mungkin gue akan terkena penyakit pernafasan dan paru - paru.

Jangan sepelekan juga polusi suara yang timbul....beberapa kali gue hampir loncat terkaget - kaget, ketika mendengar suara 'Boommmm...!!!!'... yang muncul akibat kegiatan peledakan yang dilakukan di area tambang. Gimanalah penduduk bisa hidup nyaman dengan suara dahsyat dan getaran yang ditimbulkan begitu...Ketika sempat kesasar, gue dan Ony mampir di sebuah kamar mandi umum dan menumpang cuci kaki. Saat itu ada seorang anak SD sedang asyik mencuci sepatunya. Ketika gue sedang membersihkan kaki dari lumpur, suara ledakan terdengar....Gue kaget setengah mati dan spontan berusaha menghambur demi menyelamatkan diri. Tapi si bocah di sebelah gue tetap tenang dan larut dalam keasyikan mencuci sepatu, ngga kaget atau berekspresi sedikit pun. Mungkin dia sudah mendengar suara seperti itu sejak lahir, jadi sudah terbiasa. Di saat jantung gue masih berdetak kencang karena kaget, dengan santai Ony bilang, "Tenang...itu suara peledak. biasakan dirimu, Cei...." Issshhh....Ogaaaahhhh !!

Saat mulai mendekati kawasan Danau Jayamix, gue pun mulai rajin bertanya ke warga sekitar mengenai keberadaan Curug Rahong. Dan setelah beberapa kali kesasar, thanks Lord, berkat bantuan dari banyak warga, bahkan ada yang sampai mengantar sampai mendekat ke lokasi segala, gue dan Ony pun tiba di jalan masuk menuju curug. 

Tiba di jalan masuk, gue dan Ony 'dihadang' oleh sekelompok pemuda yang memungut tanda masuk sebesar Rp. 4,000 per orang bagi pengunjung curug. Dari sini, gue melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sekitar 2 km lagi untuk tiba di lokasi curug. Tantangannya, ngga ada petunjuk apapun. Gue dan Ony hanya berjalan mengikuti arah sungai di sisi kiri, yang berujung pada Curug Rahong. Tantangan lainnya, gue berdua harus menyusuri jalan setapak di tengah perkebunan dan hutan yang rimbun. Padahal gue khan paling ngeri kalo menyusuri tempat - tempat seperti ini. Imajinasi gue langsung melayang dan membayangkan hal - hal horor. Untunglah Ony selalu bisa menenangkan gue dan memberi semangat untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan ini sendiri menurut gue ngga terlalu melelahkan, karena rute yang harus dilalui ngga terlalu curam atau menanjak.

Mendekat ke pusat air terjunnya, di luar dugaan, gue dan Ony harus 'turun' dan menyusuri tepi sungai. Bahkan, karena saat itu ngga tahu rute yang pas untuk mendekat ke air terjun, gue dan Ony menyeberang sungai segala, demi mencapai tempat berpijak untuk berjalan, mendekat ke air terjun. Selain arusnya yang deras, tantangan lainnya karena harus berhati - hati dengan kedalaman sungai serta batu - batu kali yang licin karena berlumut. 

Akhirnya gue dan Ony tiba di sumber air terjun Curug Rahong....yessss !! Ternyata air terjunnya ngga terlalu tinggi, paling sekitar 15 meter. Di depannya terbentuk kolam yang cukup luas untuk pengunjung bisa berenang. Ngomong - ngomong soal pengunjung, saat itu hanya satu keluarga terdiri dari empat orang dewasa dan dua balita, yang telah tiba di sana lebih dulu dari gue. Jadi, bisa dibilang, sepi banget kan ? Kalau lagi jalan - jalan ke suatu tempat, salah satunya curug, kadang yang bikin males tuh kalo tempat tersebut terlalu padat pengunjung. Baru kali ini gue piknik ke curug, yang sebenarnya sangat indah, tapi sepi banget.




Gue dan Ony pun berganti baju dan menikmati 'main air' di Curug Rahong. Gue ngga berani berenang di sini, karena ngga tahu 'medan'. Di beberapa titik, kedalamannya memang hanya sebatas dada gue. Tapi gue kan ngga tahu, jangan - jangan ada pusaran - pusaran tersembunyi di bawah sana. Gue harus waspada....walaupun kadang 'waspada' versi gue, beda tipis sama 'parno' sih...

Kehadiran pengunjung lainnya lumayan bikin tenang...selain mengusir rasa sepi di tengah hutan rimba begini, bisa jadi teman ngobrol, juga minta bantuan buat foto - foto. Namun setelah beberapa saat, keluarga itu pun bersiap dan meninggalkan lokasi. Tinggallah gue dan Ony, dan seorang pria berusia senja yang sejak tadi duduk di sebuah gubug. Akhirnya, setelah beberapa saat, kami berdua pun meninggalkan lokasi. Meninggalkan air terjun yang menyajikan keindahan dan ketenangan bagi pengunjungnya. Gue ngga berganti baju, dan pulang masih dengan pakaian basah.

Gue dan Ony kembali menyusuri tepi sungai untuk kembali memasuki kawasan hutan. Tiba kembali di desa Kedaung, gue menumpang kamar mandi umum yang disediakan di depan sebuah mushala dan berganti baju. Setelah beristirahat sejenak di sebuah warung sambil mengobrol dengan sang pemilik warung, gue dan Ony pun kembali ke sebuah rumah warga tempat kami menumpang memarkir motor.

Perjalanan ke Curug Rahong ini bisa dibilang penutup kisah kasih petualangan gue dan Ony di kota Parung. Dari daftar lokasi-lokasi yang ingin gue kunjungi di sini, Curug Rahong adalah penutupnya. Gue belum memperoleh informasi lagi mengenai lokasi lainnya di kota ini yang berpotensi jadi tempat wisata alias piknik. Akhirnya, setelah beberapa bulan terakhir mendedikasikan setiap weekend untuk mengeksplorasi Parung, demi membuktikan bahwa kota ini memang menyimpan seribu pesona dan potensi wisata, hari ini misi gue dan Ony terselesaikan. Horraayy !!

Sunday, October 30, 2016

Danau Cantik Bekas Tambang Jayamix


 29 Oktober 2016.

Alkisah, rasa penasaran untuk mengeksplorasi keindahan Parung, Bogor,  yang tersembunyi, membawa gue ke lokasi antah - berantah yang sangat asing dan menurut gue cukup terpencil, yaitu Danau Jayamix. Secara administratif, danau ini terletak di Kampung Nunggaherang, Desa Tegallega, Kecamatan Cigudeg, Bogor. Tapi untuk mencari lokasinya, ternyata luar biasa susah dan menantang,  seakan-akan lokasi ini ngga pernah ada di peta mana pun. 

Gue dan Ony memulai perjalanan dari rumah tepat tengah hari. Dan seperti kebiasaan, gue ngga ngerti sama sekali di mana lokasinya. Ketika mencari informasinya di Google, kesan yang gue dapatkan, lokasinya super jauh dan susah dijangkau. Arahnya sama ketika menuju Gunung Munara...tapi kalau Danau Jayamix masih jaaauuuhhh lagi! Padahal Gunung Munara yang berlokasi di Rumpin aja menurut gue udah jauh banget...ternyata Danau Jayamix lebih jauh lagi. Sebenarnya 'kesan' seperti itu ngga bikin gue ragu untuk melangkah ke suatu tempat. Rasa penasaran gue akan mengalahkan segala - galanya. Yang bikin ragu tuh karena ketika gue beberapa waktu lalu berkunjung ke Gunung Munara dan sempat mengobrol dengan beberapa warga lokal, gue mendapat informasi bahwa lokasi Danau Jayamix ini sudah ditutup untuk umum. Alasannya bikin ngeri....karena sering ada pengunjung yang jatuh ke dalam danau. Woww...! Serem sih...tapi justru menambah kadar penasaran gue.  

Ternyata benar adanya...untuk mencapai lokasi Danau Jayamix luar biasa jauh dan membingungkan. Setelah pertigaan Rumpin, gue dan Ony mulai 'rajin' bertanya ke warga sekitar mengenai arah ke Danau Jayamix. Tantangannya tuh bukan cuma karena lokasinya jauh dan susah dicari, tapi ruas jalan ke arah sana yang rusak dan memprihatinkan banget kondisinya. Dan pengguna jalan harus membiasakan diri untuk berbagi jalan dengan truk - truk proyek galian yang merupakan kendaraan yang paling banyak melintas di kawasan itu. Gue dan Ony sempat tersesat karena mendapat informasi yang salah dari seorang warga. Trus, ketika bertanya ke salah seorang warga, justru informasi si remaja ini nyaris bikin gue putus asa....lokasinya masih jauuuuhhhhhh banget, dan kayaknya kawasan Danau Jayamix sudah ditutup alias ngga bisa dikunjungi lagi, begitu katanya. Untungnya Ony ngga terpengaruh dan tetap semangat plus bertekad untuk mencari lokasinya, meskipun saat itu gue berdua udah sangat kelelahan, tersesat dan rintik hujan mulai turun.

Singkatnya, setelah bertanya kesana kemari ke warga lokal sampai tak terhitung berapa kali banyaknya, gue tiba di kawasan yang kayaknya masih aktif digunakan sebagai area penambangan batu - batuan. Hati gue mulai deg - degan....moment of truth nih....Gue harus menyiapkan mental jika nanti ditolak memasuki area Danau Jayamix. Tunggu...revisi...gue ngga siap....pokoknya, apapun yang terjadi, gue harus bisa mencapai dan melihat Danau Jayamix itu, hari ini juga. Gue rela bayar tiket masuk berapa pun harganya, membujuk dan memohon ke petugas keamanan, atau kalau perlu, guling - guling di tanah sambil pura - pura nangis meraung-raung. Pokoknya apapun yang terjadi, gue harus ke Danau Jayamix sekarang juga,  demikian gue bertekad. 

Tiba di satu titik, gue dan Ony disapa oleh beberapa warga lokal yang sedang berada di sebuah warung makan. Mereka menanyakan tujuan gue. "Danau Jayamix", jawab gue. Lalu gue dipersilahkan memasuki jalan berportal yang berada di seberang warung tersebut. Di dekat portal seorang pemuda segera mengeluarkan tiket dan meminta gue membayar Rp. 20,000,- Gue girang dan masih antara percaya ngga percaya. Gue pun menyempatkan bertanya perihal rumor yang mengatakan bahwa Danau Jayamix ditutup, dan menurut si pemuda informasi tersebut salah adanya. Jadi kekhawatiran gue sepanjang jalan tadi tidak terbukti, dan gue memdadak jadi senang maksimal.

Setelah melewati portal, ngga lama kemudian tibalah gue dan Ony di kawasan danau yang sudah bikin penasaran selama ini. Betapa pun lelahnya fisik ini, dengan pakaian mulai basah karena diguyur rintik hujan nonstop dari tadi, belum lagi serangan rasa lapar karena belum sempat makan siang, tapi semuanya terbayar lunas demi melihat pemandangan indah yang terhampar di hadapan gue.





Berhubung gue dan Ony tiba di sana menjelang sore, kami pun ngga menyianyiakan waktu yang tersisa dan langsung mengeksplorasi kawasan danau yang super luas itu. Danau Jayamix, kadang disebut juga sebagai Danau Quarry, bukanlah danau alami, melainkan terbentuk dari bekas area penambangan bebatuan, yang sebelumnya dikelola oleh PT. Jayamix Readymix... By the way,  nama perusahaannya mengingatkan gue sama tokoh-tokoh di komik Asterix deh : Obelix.... Idefix... Abraracourix... Panoramix...Assurancetourix, dan lainnya.

Oyaaa... danau ini disebut juga Danau Quarry, yang artinya : tambang. 

Pesona kawasan ini bukan hanya dari danaunya yang sangat luas, tenang, dengan warna airnya yang hijau tosca itu. Tapi juga tebing - tebing bebatuannya yang menjulang tinggi dan terkesan dramatis. Dengan disertai hujan rintik, gue dan Ony bersemangat mengeksplorasi setiap sisi tebing yang mengeliling danau. Tapi entah mengapa, meskipun sangat terpesona dengan kecantikan kawasan ini, tetap aja gue menyimpan sedikit rasa takut dan ngeri sih...dan untuk itu gue tetap waspada dan berhati - hati ketika melangkah. 

Ketika gue dan Ony sedang menikmati keindahan dan keheningan danau, tiba - tiba...'booommmm!!!' Dan di saat gue masih terkaget-kaget dengan suara itu dan berusaha menebak suara apakah itu...apakah bahan peledak (yang biasa digunakan di dunia pertambangan), atau petir, beberapa batuan menggelinding dari puncak tebing yang ada di hadapan gue dan Ony. Woww...! Kejadian singkat itu bikin gue tersadar....kayaknya ngga ada jaminan dalam hal safety alias keselamatan di lokasi ini deh...Mungkin secara resmi kawasan ini memang bukan kawasan wisata. Dan memang ngga ada petugas keamanan juga di sini. Jadi, buat para pengunjung, sebaiknya jangan terlena ketika menikmati keindahan lokasi ini dan tetap sadar untuk bertanggung jawab akan keselamatan masing - masing. Kawasan ini adalah surga buat para pecinta fotografi maupun yang sekedar doyan berselfie ria. Dari segala sudut pun memotret dan berfoto, hasilnya pasti keren.Tapi kalau terlena dan ngga berhati - hati, gue rasa kawasan ini juga bisa mengundang bahaya.

Meskipun belum puas, gue dan Ony harus segera meninggalkan lokasi, mengingat jarak super jauh yang harus gue tempuh untuk pulang. Berhubung kondisi jalan yang buruk yang harus dilalui, gue dan Ony ingin meninggalkan daerah Cigudeg ini ketika langit masih terang. 

Overall....gue puas dan senang banget dengan acara jalan - jalan kali ini. Meskipun jaraknya yang jauh dan sulitnya menjangkau Danau Jayamix, tapi gue dan Ony puas karena keindahan yang bisa gue berdua nikmati di sini bahkan melebihi perkiraan dan harapan sebelumnya.

Big THANKS dan salut untuk suami (sebut saja namanya...A.O.S) yang sudah dengan tangguh dan gigih mencari dan menempuh arah menuju lokasi Danau Jayamix, dan menemani istrinya yang panjang kaki dan doyan berpetualang ini.

Wednesday, October 26, 2016

Santai Di Jacuzzi Alam Ala Gunung Peyek

 

22 Oktober 2016

Masih dengan semangat menyala - nyala untuk mengeksplorasi keindahan Parung, sekaligus didorong kebutuhan untuk mencari tempat refreshing selain mall (karena gue ama Ony ngga betah berlama - lama di mall), daaannnn....seiring dengan tanggal yang semakin menua dan dompet yang makin menipis, Sabtu kemarin gue dan Ony bertekad mencari satu lagi lokasi yang bikin gue penasaran belakangan ini, yaitu sumber air panas Gunung Peyek.

Gue penasaran karena pernah lihat fotonya beberapa kali saat googling, dan dari petunjuk yang gue dapatkan sebenarnya lokasinya masih di Ciseeng. Gue jadi takjub ama daerah kecil bernama Ciseeng ini, karena sepertinya kaya akan sumber air panas. Ada Tirta Sanita....ada Gunung Panjang...dan kali ini Gunung Peyek. Sebenarnya 'gunung' yang dimaksud lebih tampak kayak bukit, atau dataran yang tinggi aja sih. 

Jadi Sabtu itu, setelah kelar mencuci dan bersih - bersih rumah, gue dan Ony baru bisa 'bebas' menjelang siang. Pilihan piknik pun jatuh ke Parung, yang jaraknya dekat dari Sawangan. Gue, seperti biasa, ngga punya petunjuk apapun mengenai keberadaan sumber air panas Gunung Peyek ini. 

Gue dan Ony pun mengarah ke kawasan Tirta Sanita, lalu melewati belokan ke arah Gunung Panjang...lalu setelah itu...bingung, ngga tahu kemana lagi. Di depan sebuah Alfa Minimarket, gue berhenti dan nanya ke beberapa anak remaja yang lagi asyik nongkrong. Salah satunya menawarkan diri untuk mengantarkan ke lokasi, karena menurutnya lokasinya sulit dijangkau, terletak di tengah sawah. Setelah tawar menawar, harga yang disepakati adalah Rp. 25,000,- sudah termasuk parkir, dan pungli - pungli lainnya.

Singkatnya, gue dan Ony diantar ke sebuah rumah yang dijadikan lahan parkir, lalu melanjutkan perjalanan sekitar 1 km dengan berjalan kaki. Cape ? Ngga....justru menyenangkan, karena jalan yang gue lalui adalah area ladang - ladang dan sawah. Jadi, sejauh mata memandang, gue disuguhi pemandangan alam yang hijau dan udara menyegarkan.

Tiba di lokasi, rasanya senang dan puas banget...akhirnya bisa melihat langsung, karena selama ini cuma bisa terpesona ngelihat foto - fotonya di Google. Tepat di atas Gunung Peyek terdapat tiga kolam kecil berbentuk bundar, yang merupakan sumber air panas. Aroma belerangnya cukup menyengat, dan di dasar kolam yang berukuran paling besar bahkan nampak gelembung - gelembung kayak air mendidih gitu. Benar - benar kayak jacuzzi alam di atas gunung !

Tapi yang paling keren tuh sensasinya berendam air panas di atas gunung dengan pemandangan indah berupa sawah nan hijau di sekelilingnya. Bonusnya lagi, sepi, ngga ada orang lain selain gue dan Ony, dan kedua remaja yang nganterin, yang akhirnya pamit untuk kembali ke area parkir.

Numpang lewat di ladang jagung
Mejeng di sawah

Penampakan Gunung Peyek
Ony dan cincin giok kesayangannya
...us...the...just...of...two..
Second pool

Oya...di sini ngga ada ruang ganti apalagi kamar mandi, baik untuk berganti pakaian apalagi membilas badan dengan air bersih. Sebelum berendam, gue ganti celana pendek terlebih dahulu. Caranya ? Dengan 'berlindung' di balik handuk, lalu bersembunyi di balik semak - semak. Begitu juga ketika gue hendak berganti celana panjang, ketika selesai berendam. Tapi ketika mau ganti baju....celaka dua belas....ngga memungkinkan jika sekedar bersembunyi di balik handuk dan semak - semak. Meskipun tidak ada orang lain di sekitar Gunung Peyek, tapi di area persawahan di bawah sana nampak ada beberapa orang sedang asyik memancing. Jadilah gue gagal berganti baju dan pulang dengan kaos basah, dilapisi dengan kemeja flanel kering. Seru banget kan ??

Setelah berada di sana sekitar 1.5 jam, gue dan Ony pun meninggalkan lokasi. Selama gue di sana, hanya ada secuil pengunjung yang datang untuk sekedar berselfie-ria, atau penduduk sekitar yang sekedar lewat. Serasa jacuzzi milik pribadi aja jadinya....karena gue dan Ony leluasa berendam di situ, bergantian dari satu kolam ke yang lainnya.

Mission completed! Satu lagi tempat keren di Parung berhasil gue kunjungi...yang ternyata melebihi harapan, dan bikin gue makin excited untuk mengeksplorasi potensi dan keindahan kota ini.

Monday, October 03, 2016

Cibalay Journey


01 Oktober 2016

Akhirnya weekend kemarin gue berhasil mewujudkan 'misi' perjalanan ke Situs Megalitikum Cibalay, yang terletak di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Desa Cibalay, Tenjolaya, Bogor.

Gue dan suami (sebut saja namanya Ony) nekat mencari lokasinya terdorong oleh rasa penasaran dan obsesi menggebu - gebu karena terpesona begitu lihat foto - foto yang di-share di Google. Tempat keren seperti inilah favorit gue dan bikin kaki panjang ini gatal rasanya kalo ngga segera berkunjung ke sana. Belum hilang rasa takjub gue akan pesona Situs Megalitikum Gunung Padang di Cianjur, dan ternyata di Bogor juga ada situs megalitikum serupa. Yang lebih keren, Situs Megalitikum Cibalay ini belum terlalu terekspos umum. Makanya, informasi mengenai situs dan lokasinya juga relatif terbatas. 

Sampai tiba di Bogor, sebenarnya gue ngga mengantongi informasi yang cukup mengenai cara menjangkau lokasinya. Selama ini gue nyaris sulit mendapatkan informasi mengenai sarana transportasi umum untuk mencapai Situs Megalitikum Cibalay. Mungkin sudah banyak yang mengunjungi lokasinya, tapi sepertinya kebanyakan menggunakan kendaraan pribadi, atau berangkat secara kolektif bersama komunitas atau semacamnya dengan menyewa kendaraan. 

Jadi begini caranya mencapai lokasi Situs Megalitikum Cibalay dengan transportasi umum. Gue dan Ony naik kereta dari Stasiun Depok Baru dan turun di Stasiun Bogor. Dari stasiun, gue naik angkutan umum 02 dan turun di BTM (Bogor Trade Mall). Gue dan Ony mampir di BTM untuk makan siang, karena yakin perjalanannya bakalan panjang. Kelar makan siang, gue menyeberang jalan sedikit, untuk naik angkutan umum kali ini yang wajib diperhatikan adalah di kaca depan angkutan harus ada tulisan "FATEN". Ada berbagai angkutan umum di sini...ada yang hijau, ada yang biru, ada yang bertulisan "03" ada yang tanpa nomor...pokoknya yang penting, angkutan umum menuju situs megalitikum Cibalay, musti bertulisan "Faten", tepatnya lagi, tujuan ke Tenjolaya. 

Awalnya gue ngga ngerti arti "Faten" ini. Tapi ketika dalam perjalanan gue sempat browsing - browsing, sepertinya Faten ini adalah salah satu nama terminal. Perjalanannya lumayan menantang. Di awal perjalanan, angkutan umum yang gue tumpangi harus menunggu sekitar 30 menit untuk mengantri giliran jalan. Saat itu sedang ada perbaikan jalan utama, jadi yang bisa digunakan hanya satu jalur. Jadilah penggunaannya harus bergantian, setiap 30 menit. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 13:30 siang dan gue nyaris membatalkan rencana gue menuju Cibalay. 

Dengan modal rasa penasaran yang luar biasa, gue dan Ony pun memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan. Pak Sopir membawa kendaraannya dengan sedikit ngebut...ditambah ketika sudah memasuki kawasan pengunungan, sehingga terkadang berkelok - kelok, menanjak dan kadang menurun dengan cukup curamnya....perjalanannya jadi terasa makin seru. Makin seru lagi ketika rintik - rintik hujan pun mulai turun. Tapi yang bikin super seru tuh karena selama perjalanan gue dan Ony ngga tahu lokasi Situs Megalitikum Cibalay ini, bahkan ngga tahu harus turun di mana.

Akhirnya gue bertanya ke Pak Sopir, "Pak, saya mau ke Situs Cibalay....saya turun di Terminal Faten ya?" Pak Sopir pun menjawab, "Bukan....turunnya di depan...sebentar lagi..." Dan kurang dari 2 menit Pak Sopir pun menghentikan mobilnya di tepi jalan menuju sebuah jalan setapak, dengan sebuah papan petunjuk keberadaan situs. Singkatnya, gue dan Ony berjalan kaki sejauh 2 kilometer di jalan setapak tadi, hingga akhirnya tiba di pintu masuk Situs Megalitikum Cibalay. 

Gue dan Ony sangat menikmati perjalanannya, karena langit mendadak kembali cerah, dan pemandangan hijau yang bisa gue nikmati kemana pun mata memandang. Selain itu, berhubung sudah memasuki kawasan Gunung Halimun Salak, gue dan Ony mendapatkan bonus udara yang sejuk. Bonus lainnya, ngga banyak yang melalui jalan tersebut, selain warga sekitar.




Memasuki kawasan yang ditandai dengan rindangnya pepohonan pinus, disitulah lokasi Situs Megalitikum Cibalay berada. Tiba di lokasi situs pertama yaitu Balaikambang, gue takjub sama struktur dan 'tampilan'nya yang hampir mirip dengan Gunung Padang. Bebatuan baik berupa batu pipih maupun menhir tersebar di area ini.

 

Sore itu gue ditemani oleh Kang Deni, seorang warga lokal yang sepertinya mendedikasikan dirinya untuk menjaga lokasi situs ini. Perjalanan mengeksplorasi situs pun menjadi lebih asyik dan menyenangkan, karena Kang Deni ngga pelit berbagi cerita seputar kawasan situs ini, dan dengan senang hati menunjukkan lokasi - lokasi situs lainnya. 

Di kawasan ini terdapat beberapa titik situs di antaranya Situs Balaikambang, Kebon Kopi, Pasir Manggis, Batu Bergores, dan Jami Picing. Mengenai sejarah dan usia dari situs - situs ini, bisa dikatakan gue belum mendapatkan informasi yang paling akurat, tepat, dan meyakinkan mengenai hal ini. Bahkan ketika membuka website resmi Pemerintah Kota Bogor, informasi yang gue dapatkan minimalis sekali.


Anyway, terlepas dari secuil informasi yang tersedia, bagi gue kawasan ini super istimewa karena memiliki aset berupa situs megalitikum yang keren dan mempesona seperti ini.

 



Hari itu, karena keterbatasan waktu, gue dan Ony cuma bisa mengunjungi Situs Balaikambang, Kebon Kopi, dan Jami Picing. Sebenarnya Kang Deni menawarkan untuk mengunjungi lokasi lainnya yaitu Situs Batu Bergores dan Pasir Manggis. Bahkan, Kang Deni juga mengajak untuk trekking sampai ke lokasi kecelakaan Sukhoi Superjet 100 yang jatuh di kawasan Gunung Salak tahun 2012 yang lalu. Selain itu kawasan ini juga memiliki sebuah curug (air terjun). Namun lagi - lagi karena kendala waktu, sore itu gue dan Ony ngga bisa mendatangi lokasi - lokasi yang dengan segera langsung membangkitkan rasa penasaran gue.

Oya, sore itu ngga banyak pengunjung menyambangi Situs Megalitikum Cibalay. Ada beberapa orang yang datang secara berkelompok, tapi sepertinya bukan untuk tujuan 'wisata', melainkan untuk 'berdoa secara khusus'....trus awalnya gue sempat bingung melihat ada sisa - sisa sesajen berupa gelas - gelas (plastik) berisi kopi dan teh....ada rokok...ada dupa...entahlah....Meskipun sering disebutkan bahwa situs-situs purbakala seperti ini dibangun sebagai tempat pemujaan spiritual masyarakat di zamannya, namun terkadang gue masih bingung dan sedikit heran, mengapa oleh masyarakat masa kini dikaitkan dengan urusan spiritual menjurus klenik. Well, tapi itu kan menyangkut keyakinan masing - masing...dan tiap orang boleh punya motif sendiri mengenai tujuannya ke tempat seperti ini.



Sebenarnya gue dan Ony sangat menikmati berlama - lama di kawasan situs megalitikum yang teduh dan tenang ini. Namun kami harus segera meninggalkan lokasi demi mengingat perjalanan panjang pulang kembali ke Stasiun Bogor.


Benar aja....gue dan Ony harus menunggu angkutan umum sekitar 30 menit, dan itu pun harus ekstra sabar karena angkutan berjalan bak keong. Akhirnya, kami tiba di Stasiun Bogor sekitar jam 21:00 malam.
 

Gue masih merasa takjub dengan betapa mudahnya mencapai lokasi situs ini. Serius deh...kadang saat traveling, gue sering merasakan 'no pain no gain' moment. Untuk mencapai tempat yang super keren, butuh perjuangan ekstra. Tapi kali ini, gue ngerasa ngga ada kendala yang berarti atau harus menempuh medan yang berat. Hmm...masih terbayang keindahan dan pesona kawasan situs tadi. Gue dan Ony pun langsung semangat dan mulai merencanakan perjalanan kembali ke Situs Megalitikum Cibalay.

Tuesday, September 20, 2016

Mandi Belerang Ala Ciseeng

 

18 September 2016

Soooo....weekend ini gue dedikasikan untuk menjelajahi pesona terpendam kota Parung. Kalau sehari sebelumnya, Sabtu, gue dan suami (cieeeeee...!) trekking ke Situs Gunung Munara, kali ini gue  pengen mandi air belerang di Ciseeng.

Tempat pemandian air panas Ciseeng bukanlah lokasi yang asing buat gue dan Ony, karena ini salah satu tempat favorit kami untuk memanjakan dan menyegarkan fisik dengan cara sehat yaitu mandi air belerang. Yang berbeda kali ini adalah gue memilih lokasi sumber air belerang di Gunung Panjang, yang berdekatan dengan Pemandian Air Panas Tirta Sanita. Alasannya, karena pengen mencoba sensasi berbeda karena sumber air belerang di Gunung Panjang ini masih sangat alami dibandingkan Tirta Sanita, di mana pengunjung bisa menikmati berendam air belerang di bathup yang tersedia di ruang - ruang privat.

Kalau di Gunung Panjang ini, pengunjung bisa menikmati mandi air belerang di kolam - kolam yang tersedia, yang berasa banget alaminya.... beratapkan langit, dan dikelilingi hamparan hijau pepohonan di sekitar area kolam pemandian. Pemandian air belerang di Gunung Panjang ini mirip dengan floating pool yang biasanya dimiliki hotel - hotel super mewah, tapi versi alami, orisinil, dan super alakadar.... 

Tapi sebelum akhirnya bisa nyemplung ke kolam, gue dan Ony harus merasa sedikit dongkol karena adanya pungutan - pungutan liar dan ngga jelas yang musti dibayar. Pertama, di jalan umum menuju lokasi Gunung Panjang dan Pemandian Air Panas Tirta Sanita, kami dihentikan seseorang yang 'merampok' Rp. 2,000 per kendaraan yang lewat di situ. "Bayar untuk apaan ?" gue nanya karena kesal. Eeehh...dijawab dengan lebih nyolot, "Mau kemana ? Air panas kan ? Bayar dua ribu!" Isssshh...rasa sebelnya sampai di ubun - ubun, tapi apa boleh buat, meski terpaksa, gue tetap memberikan uang yang diminta. 

Setelah memarkir motor (dan tentunya diharuskan membayar lagi untuk parkir) dan berjalan menuju pintu masuk Gunung Panjang, pengunjung harus membayar Rp. 10,000 per orang. Lalu, begitu tiba di depan kolam, yang jaraknya paling cuma 50 meter berjalan kaki dari pintu masuk tadi, pengunjung kembali harus membayar Rp. 5,000 per orang. Dengan semua pungutan dan tarif yang harus dibayar itu, pengunjung bisa menikmati...mandi air belerang....titik...Selebihnya, ngga ada fasilitas tambahan, selain sebuah bilik kecil seadanya untuk ganti baju, yang 'pintunya' menggunakan bekas spanduk yang sudah sobek di sana sini. Lebih 'nikmatnya' lagi, kamar mandi pun tidak tersedia di sini. Jadi, entahlah hasil pungutan - pungutan itu menguap kemana. Yang disesalkan, tempat pemandian air panas sekeren ini belum dikelola dengan baik....oleh pihak siapa kek gitu.


Jalan setapak menuju pemandian air belerang
Bayar....bayar....bayar...!
Floating Pool ala Ciseeng
Terlepas dari rasa kesal karena proses pungutan berlapis - lapis tadi, harus diakui, gue dan Ony sangat amat menikmati tempat ini. Yang bikin tambah asyik, pengunjungnya ngga terlalu banyak. Sebenarnya ada banyak orang di situ, tapi sebagian besar justru ngga mandi dan berendam, namun cukup sibuk berfoto - foto. Sementara gue, tetap menjaga keseimbangan....antara menikmati mandi air belerang dan berfoto, tentunya. Gue harus optimalkan kunjungan kali ini....apalagi jika teringat setiap lembar uang yang harus gue keluarkan tadi. 

Selain berendam di kolam besar, gue juga berpindah ke kolam lainnya, yang dilengkapi dengan pancuran air panas. Rasanya segarrrrrr banget badan ini!

Just the two of us
Maskeran belerang

Setelah puas berendam dan bosan menghirup aroma belerang, gue dan Ony pun bersiap - siap. Berhubung di sini tidak disediakan fasilitas mandi, maka gue cuma bisa mengeringkan badan dengan handuk, lalu mengganti baju, di bilik alakadar yang ada di situ. Rasanya ? Lengkeeeettt banget! Tapi apa boleh buat.....Kalau di Tirta Sanita, setiap kamar - kamar juga menyediakan fasilitas air bersih untuk mandi. Tapi, sejujurnya, untuk urusan kolam air belerangnya, gue tetap memilih Gunung Panjang ini. 

Gue dan Ony pun meninggalkan pemandian air belerang Gunung Panjang dengan senyum lebar, dan aroma tajam belerang menempel di sekujur badan.

Piknik Gembira ke Gunung Munara



17 September 2016

Sejak menikah dan tinggal di Sawangan, Depok, gue menyimpan keinginan untuk mengeksplorasi daerah kecamatan tetangga, yaitu Parung, dan mencari lokasi- lokasi 'piknik' yang menarik di sana. Kenapa harus Parung ? Alasannya, karena Parung tuh deket banget dari Sawangan. Dan menurut gue tempat wisata di Parung belum banyak diekspos, jadi kayaknya akan lebih menarik dan bikin penasaran.

Sebenarnya lokasi 'tetangga' favorit lainnya adalah Bogor. Tapi gue lagi malas ke sana....pertama, karena akses keluar dari Stasiun Bogor yang menurut gue makin semrawut dan bikin pengguna kereta cape. Kedua, karena sekarang di banyak ruas jalan utama diberlakukan sistem satu arah, jadi kemana - mana rasanya jadi tambah jauh.
Setelah browsing sana sini, gue mendapatkan informasi mengenai keberadaan situs Gunung Munara. Gunung Munara terletak di Rumpin, Kampung Sawah, Parung. 

Begitu lihat alamatnya, gue yakin belum pernah menginjakkan kaki atau sekedar lewat daerah itu. Karena selama ini, lokasi Parung yang paling jauh pernah gue datangi cuma daerah Ciseeng, tepatnya Wisata Air Panas Tirta Sanita. Ternyata lokasi Gunung Munara ini memang masih lebih jauhhhhh....dari Ciseeng. 

Kalau dari Pasar Parung, setelah pertigaan ke arah Ciseeng, kira - kira masih sekitar 30 - 45 menit lagi. Mengenai arah, sebenarnya ngga susah - susah banget...karena cukup ikutin jalan (utama) lurus terus, sampai tiba di sebuah pertigaan lagi. Kayaknya itu yang namanya pertigaan Rumpin. Dari sini, gue dan Ony ambil arah ke kanan, dan lagi - lagi, tinggal ikutin jalan (besar) yang ada, tibalah gue di lokasi situs Gunung Munara.

Mendekati lokasi, jalannya udah mulai berkelok, mendaki, menurun, dan yang pasti, kondisi jalannya buruk dan rusak. Mungkin karena kebanyakan dilalui oleh truk - truk besar pengangkut pasir dan batu gitu. 

Tiba di area parkir motor dan lalu gerbang masuk situs Gunung Munara, pengunjung diharuskan membayar tiket masuk sebesar Rp. 10,000 per orang dan Rp. 5,000 per motor. Setelah itu gue dan Ony pun melanjutkan perjalanan dengan hanya mengandalkan petunjuk arah seadanya dan insting.


Dari informasi yang gue baca, ketinggian Gunung Munara adalah 1119 mdpl yang sebenarnya gue ngga ngerti maksud dan cara ngitungnya gimana....Yang jelas, perjalanan dari gerbang masuk sampai dengan lokasi bukit pertamanya, Batu Belah, gue tempuh dalam waktu kurang lebih 45 menit. Mungkin pengunjung lain bisa jauh lebih cepat dari itu, tapi karena stamina gue ngga terlatih untuk mendaki gunung, jadilah setiap langkah adalah perjuangan luar biasa dengan nafas ngos-ngosan dan keringat bercucuran. Gue harus berhenti beberapa kali untuk sekedar beristirahat sejenak.

Gue bersyukur karena cuara Parung saat itu cerah namun teduh. Dan nampaknya sudah beberapa hari ngga turun hujan di sana, jadi tanah yang harus gue pijak kering.....ngga kebayang kalau gue harus melaluinya setelah diguyur hujan...becek dan licin....pasti bakal lebih menantang lagi. 

Di luar 'pendakian' yang lumayan bikin mandi keringat itu, sebenarnya gue dan Ony sangat menikmati perjalanannya, karena bisa menikmati keindahan alam nan hijau, menghirup aroma alami pepohonan dan tanah, kesunyiannya, dan berinteraksi dengan pengunjung lainnya yang ramah - ramah, yang ngga berjumlah banyak, dan kalo gue tebak, kebanyakan adalah warga sekitar Parung.

Akhirnya gue dan Ony tiba di bukit Batu Belah. Untuk mendaki bukit ini disediakan tali, yang sangat membantu pengunjung berstamina alakadar dan berbobot tambun seperti gue. Bukit ini ngga terlalu besar, paling cuma bisa menampung sekitar 5 - 7 orang di atasnya. Jadi, untuk bisa ke sini, pengunjung harus gantian. Pemandangan dari atas bukit, pastinya indah dan menyenangkan. Rasanya gue bisa melihat kota Parung dari sini, dan hamparan hutan yang nampak rimbun dan hijau. Buat gue yang sehari - hari menghabiskan waktu terbanyaknya untuk beraktivitas di hutan beton Sudirman (Jakarta) dan sekitarnya, pemandangan indah kayak gini benar - benar kemewahan dan langka.






Setelah puas di sini, gue dan Ony pun melanjutkan perjalanan, kali ini menuju Bukti Batu Kodok. Gue kurang ngerti kenapa disebut demikian, karena meskipun dengan menggunakan daya imajinasi paling tinggi sekalipun, gue belum bisa melihat bentuk kodok dari susunan batuannya. Waktu ngobrol singkat sama petugas penjaga situs Gunung Munara, si petugas sempat bertanya, "Sudah ke Batu Kodok, Mbak ? Yang bentuknya kayak kodok....?" Gue cuma manggut - manggut aja tanda setuju....padahal dalam hati menyimpan bingung. Kodok mananya ??
 
Anyway, pemandangan dari bukti Batu Kodok ini lebih keren lagi...ditambah bebatuannya yang berukuran raksasa, keren dan nyaman banget untuk sekedar nongkrong menikmati alam sekitar, atau berfoto - foto. 




Ketika hendak melangkah pulang, gue dan Ony bertemu seorang bocah kecil bernama Dimas yang tadi gue lihat ketika di Bukit Batu Belah. Dimas menawarkan diri untuk mengantar ke Batu Adzan. Batu Adzan ? Apa itu ? Gue dan Ony pun tertarik, dan menuju ke sana dengan diantar oleh Dimas. Batu Adzan nampak seperti menara yang berdiri kokoh tegak lurus. Katanya, di atas batu itulah dikumandangkan adzan. Gue cuma bingung gimana caranya naik ke situ...

Dimas mengajak gue dan Ony memanjat bukit kecil di sebelah Batu Adzan, supaya bisa memandanginya dari jarak dekat. Sebenarnya kekaguman gue sama Batu Adzan sih biasa aja....tapi gue sangat menikmati nongkrong di situ karena sepi tanpa pengunjung lainnya dan lebih padat oleh pepohonan.



Dari Batu Adzan, gue dan Ony mengucapkan selamat tinggal ke pemandu cilik, Dimas, dan memberikan sedikit tanda terima kasih. Lalu mengambil langkah pulang. Tiba di sebuah pos, sang petugas menyarankan gue untuk mengunjungi Batu Monyet. Apalagi itu ? Batunya berbentuk monyet ? Karena penasaran, gue pun langsung mengikuti langkah salah satu petugas yang berinisiatif menunjukkan lokasinya. Untuk mencapainya ternyata kembali gue dan Ony harus memanjat sebuah bukit. Tapi yang ini agak menantang karena curam dan licin oleh lumut. Begitu tiba di atas gue bingung....mana Batu Monyetnya ? Ternyata 'label' monyet diberikan karena terdapat semacam cetakan wajah monyet di atas bukit itu yang katanya terbentuk secara alami. Lucunya, bukit tersebut adalah tempat favorit monyet - monyet yang menghuni Gunung Munara. 

Dari Batu Monyet, gue dan Ony meninggalkan lokasi. Gue sudah mulai merasakan kenikmatan berada di tengah hutan di Gunung Munara ini, tapi berhubung hari sudah sore dan langit menjelang gelap, gue dan Ony harus bergegas menuju gerbang Gunung Munara. Kalau terjebak di sini ketika langit sudah gelap, pasti gue akan ketakutan luar biasa.

Perjalanan ke Gunung Munara pun terselesaikan. Gue girang bukan main karena sudah mewujudkan keinginan gue ke sana, padahal baru mendengar informasinya seminggu sebelumnya. Gue dan Ony bertekad untuk kembali ke sini lagi dalam waktu dekat, dan bahkan sedikit berhayal untuk bisa bermalam di sana, tepatnya di Bukit Batu Kodok. Gunung Munara memang dibuka 24 jam, termasuk bagi pengunjung yang hendak berkemah dan menginap. 

Yang membuat kunjungan ke sini menyenangkan adalah karena kawasannya masih tampak belum terjamah, alami dan sepi banget. Yang bikin kurang sreg, karena banyak banget pungutan - pungutannya. Ada sumbangan, uang kebersihan, dll, di luar tiket masuk dan parkir di awal tadi. However, overall, Situs Gunung Munara is worth a visit !