I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Monday, March 28, 2016

Mengintip Koleksi Museum Layang Layang


Sabtu, 26 Maret 2016, gue main ke Museum Layang Layang Indonesia di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan. Awalnya, sebenarnya ngga terlalu niat ke sini, cuma berhubung kondisi kesehatan gue lagi kurang fit karena diganggu oleh si sinusitis nakal, jadi gue dan Ony bermaksud mencari tempat refreshing yang ngga terlalu jauh dari rumah.

Di luar harapan, ternyata museum ini cukup menyenangkan, dan ngga melulu pas untuk anak - anak. Begitu tiba di sini gue langsung kagum dengan bangunan - bangunannya yang etnik berbentuk joglo. Ditambah dengan pekarangan yang rindang dan teduh, bikin nyaman dan betah.

Gue dan Ony membeli tiket masuk seharga Rp. 15,000 per orang. Dengan tiket seharga ini, selain bisa melihat-lihat museum, gue juga bisa ikutan bikin layang layang.

Selain bisa lihat-lihat museum, ada juga paket yang ditawarkan seperti bikin keramik, lukis payung, membatik, dan lainnya, dengan harga tiket Rp. 50,000 per orang.

Mula - mula setiap pengunjung yang datang dipersilahkan untuk ke ruang audio visual dimana pengunjung dapat menyaksikan video berdurasi kurang lebih 15 menit, mengenai sejarah layang layang, jenis - jenis layang layang, dan festival layang layang di berbagai tempat.

Setelah itu, dengan diantar oleh petugas yang berperan sebagai guide, gue dan Ony pun menuju bangunan pendopo yang merupakan ruang pamer koleksi layang layang. Meskipun bukan penggemar permainan layang layang, namun koleksi yang dimiliki museum ini cukup bikin gue takjub. Pertama, karena baru kali ini gue melihat langsung berbagai jenis layang layang dalam bentuk, warna, dan ukuran yang tidak biasa. Sebagian bahkan menurut gue berukuran sangat besar alias raksasa dan berbentuk unik, sampai - sampai harus dipajang di langit - langit rumah. Seluruh layang layang tersebut sudah pernah digunakan atau dimainkan dalam berbagai kesempatan atau festival. 





Kedua, museum ini memiliki koleksi layang layang tidak hanya dari berbagai propinsi di Indonesia, melainkan juga dari negara-negara lainnya. Dan gue bahkan baru tahu, untuk beberapa propinsi di Indonesia, layang layang merupakan bagian dari adat dan kebudayaan. Misalnya digunakan sebagai bagian dari prosesi adat perkawinan, upacara panen, dan lain sebagainya.

Ketiga, ada spot yang menarik di museum dimana dipamerkan contoh layang layang jadi, berikut bahan - bahannya yang masih tradisional banget...yaitu bambu, daun, dan sebagai benangnya menggunakan serat nanas. Yang biking takjub, koleksi layang layang yang terbuat dari daun ini seakan ngga hancur atau rapuh dimakan waktu. 


Puas melihat - lihat koleksi museum, kunjungan gue di sini ditutup dengan workshop kecil - kecilan 'bikin layang layang'. Setiap pengunjung diberikan sebuah rangka layang layang berbentuk konvensional yang terbuat dari bambu dan benang, lalu kertas khusus, dan peralatan lainnya. Lumayanlah....cara refreshing yang menyenangkan. 

'i am cherry'
Sebelum pulang, kenalan sama Yaba
Secara keseluruhan, Museum Layang Layang Indonesia ini worth to see kok ! Sebelumnya, tahun 2010, gue pernah mengunjungi Museum Layang Layang di Melacca, Malaysia. Seingat gue, dalam hal koleksi dari ruang pamer, Museum Layang Layang yang ada di Jakarta ini ngga kalah. Dan yang terpenting adalah selain tempatnya nyaman dan teduh untuk dikunjungi, dan bikin betah bersantai - santai di sini, museum ini juga menyajikan banyak informasi (seputar layang layang) yang menarik dan menambah wawasan pengunjung.

Friday, March 25, 2016

Ulang Tahun dan Impian ke Tana Toraja (Hari Keempat)

 

16 Januari 2016.

Bus Litha & Co. malam mengantar gue dari Toraja ke Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, tiba sekitar jam 05:00 pagi lebih sedikit. Begitu turun dari bus rasanya gado-gado....yang jelas badan ini cape dan lelah banget setelah menempuh perjalanan sekitar 7 jam lebih. Pengennya bisa langsung merebahkan badan....di mana kek....tapi kondisi di bandara saat itu ngga memungkinkan. Gue mencari-cari pojokan atau lokasi apapun di mana gue bisa istirahat sambil tiduran sebentar, tapi ngga ada. Jadilah gue ke toilet untuk bersih - bersih seadanya.

Pagi ini rencananya gue akan dijemput temennya Bang Ino, Nuel. Dalam semalaman, rencana gue di Makassar untuk hari ini dan besok, langsung berubah drastis. Kemarin gue sempat panik karena kesulitan untuk menghubungi seseorang yang rencananya akan menjadi host atau guide gue di Makassar hari ini. Bang Ino membantu gue dengan mencarikan temannya di Makassar untuk menemani gue hari ini. Makasih Yesus....yang sudah menjawab kebingungan dan kepanikan gue, dan tidak meninggalkan gue sendirian ketika jauh dari rumah....melalui kebaikan dan bantuan orang - orang, yang sebenarnya baru gue kenal beberapa saat.

Saat itu sebenarnya gue enggan menghubungi Nuel untuk menjemput di bandara, karena masih terlalu pagi...ngga tega. Tapi gimana lagi....gue udah mati gaya di bandara. Sekitar jam 06:00 pagi lewat, Nuel pun menjemput dengan motornya. Dalam perjalanan meninggalkan bandara Nuel menyarankan untuk singgah di rumahnya dulu, karena masih terlalu pagi untuk langsung berangkat ke Maros. Dia menawarkan tempat untuk gue beristirahat sejenak dan menitipkan ransel. Oiiyyaaa....ini mungkin sesuatu yang ngga gue perhitungkan. Kadang gue begitu ngototnya untuk mewujudkan sesuatu, sampai ngga memikirkan detilnya. Masa gue mau ke Leang Leang dan Rammang Rammang hari ini sambil memanggul ransel super berat, ditambah menjinjing oleh - oleh kue depatori.

Akhirnya gue singgah di rumah Nuel yang lokasinya ngga jauh dari bandara. Nuel mempersilahkan gue menempati sebuah kamar untuk beristirahat. Begitu merebahkan badan, rasanya gue mendapat fasilitas kemewahan luar biasa. Meskipun ngga bisa tertidur sepenuhnya, karena cuaca super panas, namun lumayan banget bisa beristirahat begini.

Sekitar jam 09:00 gue dan Nuel pun meninggalkan rumah, menuju Maros, tepatnya.....Leang Leang ! Leang Leang adalah pegunungan karst berumur ribuan tahun, konon merupakan kawasan karst terbesar kedua di dunia. Woww ! Tiba di sana, gue takjub bukan main, karena ngga mengira kawasannya seluas itu, dengan goa - goa menjulang sebesar itu. Seorang guide dari pihak pengelola mengantar gue ke Leang (goa) Pettakere dan Leang Pettae, di mana akhirnya gue bisa menyaksikan peninggalan berupa gambar babi rusa dan telapak tangan yang berusia ribuan tahun yang selama ini cuma bisa gue lihat ketika browsing - browsing di internet....hiks...terharu...Yesus baik banget ngasih gue kesempatan untuk datang dan melihat langsung tempat luar biasa kayak gini.

Di mata gue kawasan ini unik banget....dengan bebatuan berbagai ukuran sampai yang raksasa sekalipun, 'berserakan' di seluruh kawasan ini. Pemandangan ini terkesan absurd dan magical di mata gue. Rasanya gue kehabisan kata - kata untuk melukiskannya....menakjubkan...memukau....mempesona....semua digabung jadi satu, itulah kata yang pas untuk mendeskripsikan Leang Leang ini.




 
 

 





Dari Leang Leang, gue dan Nuel pun melanjutkan perjalanan ke Rammang Rammang. Panasnya saat itu....astaga !!! 100 derajat celcius kali! Dahsyat banget !! Untuk menuju Rammang Rammang gue berdua naik perahu dari sebuah dermaga, ongkosnya Rp. 200,000 pulang - pergi. Perahu ini mengantar gue menyusuri sungai Pute yang arusnya tenang, dengan pohon - pohon bakau di sebelah kanan dan kirinya.

Tiba di Rammang Rammang, kembali gue dibuat takjub demi melihat pemandangan pegunungan kars, kemana pun mata ini memandang. Tapi tunggu deh....gue pernah dengar review Rammang Rammang ini disejajarkan dengan Halong Bay di Hanoi, Vietnam. Kebetulan gue pernah ke Halong Bay tahun 2011 yang lalu, dan menurut gue berbeda ya....kalau Halong Bay, dari namanya aja sudah jelas....adalah pulau - pulau kars yang bertebaran dan menjulang di wilayah lautan. Kalau Rammang Rammang, bagi gue adalah pegunungan kars yang menjulang di antara hamparan area persawahan. Tapi, keduanya sama - sama menakjubkan kok....Sekonyong-konyong gue langsung ngiler melihat kehidupan warga sekitar yang tinggal dan bermata pencaharian di sini. Pasti damai dan tenteram banget tinggal menetap di tempat seindah dan sesunyi ini. 

Di Rammang Rammang ini, gue melewati hari mulai dari kepanasan luar biasa, sampai diguyur hujan. Kebetulan partner gue kali ini, Nuel, cukup seru, doyan berpetualang, dengan fisik yang nyaris ngga ada capenya. Jadi, rasanya siang hingga sore banyak spot di Rammang Rammang ini yang bisa gue eksplorasi. Kalau gue kecapean, dan diserbu rasa haus dan malas, nanti dia akan mengambil peran untuk memberikan motivasi untuk melanjutkan langkah....gampang kok bikin gue bersemangat lagi....cukup bilang, 'Udah jauh-jauh ke sini.....' atau, 'nanti nyesel loh.....kapan lagi bisa kesini......' atau yang paling mutakhir....'Di Jakarta mana ada yang beginian.....' Pastinya....

Perahu yang gue tumpangi


 




Telaga Bidadari
Di tengah hujan, gue memutuskan meninggalkan lokasi. Dalam perjalanan di atas perahu kembali ke dermaga, Nuel malah menyarankan berhenti di sebuah dermaga kecil, Telaga Bidadari. Dengan langkah terseok-seok karena seluruh badan dan baju gue sudah basah, gue pun mampir ke dermaga ini. Sepi, dan bikin gue ngeri karena tempatnya tampak tak terjamah, ditambah karena hujan yang mengguyur. Gue pasrah mengikuti langkah Nuel. Hebatnya, meskipun tanpa petunjuk jalan apapun dan tanpa seorang pun di sini yang bisa ditanyain, dia berhasil menemukan lokasi Telaga Bidadari yang tersembunyi dan sunyi. 

Singkatnya, gue menyempatkan diri berenang dan main air di Telaga Bidadari ini. Saat itu gue akhirnya terbujuk untuk nyebur karena ada serombongan pengunjung lainnya terdiri dari 5 orang, dan dalam sekejap setiap orang saling berinteraksi, dan tibalah pada situasi dimana semua orang harus rela berenang, meski dengan pakaian lengkap...atau jika tidak, akan terus dipaksa dan dicela habis-habisan...Seru dan menyenangkan !

Dengan pakaian dan sepatu basah kuyup, gue dan Nuel pun meninggalkan lokasi. Saat itu sudah jam 17:00 sore lewat. Gue harus meninggalkan lokasi sebelum langit gelap benar. Karena kawasan ini benar-benar sepi tanpa pengunjung lainnya.

Akhirnya wisata ala pra sejarah ke dua pegunungan kars yang sangat fenomenal, dengan keindahan yang spektakuler pun berakhir. Gue meninggalkan Maros, kembali ke Makassar. Dalam perjalanan gue sempat mampir untuk makan malam, masih dengan kondisi sekujur badan basah kuyup, sampai dipelototin oleh pemilik restorannya. 

Sebenarnya gue dilanda rasa bingung yang mendalam.....mestinya malam ini gue menginap di sebuah hotel di tengah kota Makassar. Tapi gue sadar kalau saat itu gue berada jauhhhhh banget dari pusat kota Makassar. Gue ragu untuk meminta Nuel mengantar gue ke hotel tersebut. Selain jauh, sudah malam, hujan pula ! Sebelum gue membahas rencana gue malam itu, Nuel justru kembali menawarkan agar gue tinggal di rumahnya malam itu. Karena gue ngga punya pilihan lain....(tunggu deh...bukannya banyak hotel di sepanjang jalan dekat bandara, Cher ?)....akhirnya gue menerima tawaran tersebut. Jadi malam itu, gue kembali ke rumah Nuel, menjemur semua pakaian dan sepatu, mandi, lalu tidur di kamar yang sama yang gue tempati tadi pagi. 

Di atas kasur, pikiran gue menerawang. Awalnya kilas balik perjalanan gue ke Leang Leang dan Rammang Rammang tadi....lalu beralih pada bagaimana akhir dari hari gue kali ini. Aneh juga rasanya gue bisa terdampar di rumah seseorang yang baru gue temui dan kenal tadi pagi. Ngga ada orang lain di rumah itu selain gue dan Nuel. Dalam sejarah gue berpetualang ala backpacker, sendirian, hari ini rasanya gue merangkak naik ke level tertentu. Apakah ini namanya nekat ? atau ceroboh ? Ngga juga sih....ada 'senjata' yang biasa gue andalkan saat traveling, terlebih sendirian kayak gini, namanya insting. Insting ini yang menenangkan gue karena insting memberikan gue signal bahwa segalanya akan baik-baik saja, dan justru gue seharusnya bersyukur karena ada Nuel yang menawarkan 'kemudahan' untuk gue sehingga ngga perlu repot-repot mencari hotel atau penginapan malam ini. Jadi ini bukan kenekatan semata, tapi hari ini justru Yesus mengingatkan gue kembali betapa gue ngga pernah sendirian...Yesus akan menuntun perjalanan gue, salah satunya melalui orang - orang baik di sekitar gue.

Malam itu, di antara kelelahan maksimal, serta serbuan nyamuk dan rasa gerah, gue pun akhirnya terlelap dengan tenangnya.

Wednesday, March 23, 2016

Wisata Benteng Bersejarah Di Cilacap (2)


Selesai menikmati es kelapa utuh nan segar, gue dan Ony didekati seorang pemuda yang menawarkan jasa perahu menuju Pulau Nusakambangan. Di sepanjang kawasan Teluk Penyu dan Benteng Pendem memang dipenuhi oleh warga lokal yang langsung semangat mendekat ke wisatawan yang datang untuk menawarkan jasa perahu menyeberang ke Pulau Nusakambangan. Semua menawarkan dengan harga sama : Rp. 100,000 per perahu, untuk perjalanan pulang - pergi.

Sejak awal sebenarnya gue ngga berencana untuk ke Pulau Nusakambangan. Bukannya ngga berminat, tapi dari kabar yang gue dengar, untuk masuk ke pulau ini harus mendapat ijin khusus dari pihak otoritas setempat, dan belakangan masalah perijinan tersebut semakin ketat. Tapi karena si pemuda, Mas Bowo, demikian persuasif 'menjual' jasanya, gue mulai galau.

Yang paling bikin galau tuh karena memikirkan harus menumpang perahu kecil, hanya bertiga saja, dengan Ony dan Mas Bowo sebagai juru kemudi perahu, menembus ombak pantai Teluk Penyu. Gue bisa berenang, tapi berdasarkan pengalaman, secara mental gue akan merasa paling tenang ketika berada di perahu, terlebih yang kecil begini, di tengah laut atau pantai nan luas seperti ini jika ada Pak Sitanggang alias Bapak menemani.

Bapak perenang tangguh dan ngga pernah takut berada di perairan seperti ini. Kemampuan renangnya bukan dibentuk dan diasah di kolam renang berubin dengan air bening kebiruan sarat akan kaporit. Melainkan di Danau Toba, di pulau Bapak dilahirkan dan dibesarkan, Samosir. Singkatnya, karena kemahirannya dan kegemarannya berenang, Bapaklah yang paling gue andalkan jika harus 'berurusan' dengan pantai lepas seperti ini. 

Tapi Pulau Nusakambangan di seberang sana itu benar - benar bikin gue penasaran. Ony berusaha meyakinkan dan menenangkan gue....ngga ada yang perlu dikhawatirkan...dan tentu aja dengan kata-kata pamungkas...'udah jauh-jauh ke Cilacap, sayang kalau ngga menyeberang ke Nusakambangan sekalian....kapan lagi...' Dan gue langsung teringat perjalanan panjang untuk ke sini...sekitar 5 jam berkereta ditambah 3 jam jalan darat. Benar juga sihh!

Trus, masalah perijinan? Ternyata, perijinan hanya diperlukan jika pengunjung hendak merapat ke kawasan Lembaga Pemasyarakatan. Sementara umumnya wisatawan akan diantar ke pantai Karang Bolong, di sisi lain dari pulau Nusakambangan.  Di sinilah sebuah benteng tua peninggalan Portugis berada.

Dengan keberanian pas-pasan, akhirnya gue memutuskan untuk menyeberang menuju pulau Nusakambangan.

Di luar dugaan, ternyata perjalanan berperahu tersebut sangat nyaman dan menyenangkan. Ngga ada rasa takut, justru girang dan semangat bisa menembus pantai nan luas menuju pulau yang namanya terkesan seram karena identik dengan lembaga pemasyarakatan narapidana kelas kakap ini. 

Perahu yang gue tumpangi pun merapat di pantai Karang Bolong. Mas Bowo mengantar gue dan Ony kepada seorang guide. Si guide menyodorkan harga Rp. 50,000,- Gue mulai menawar harga. Namun si guide ini kayaknya ngga mau menurunkan tarifnya serupiah pun. Akhirnya, gue minta Mas Bowo saja yang menjadi guide. 

Mas Bowo mengantar gue dan Ony menuju benteng Portugis, melewati area yang bisa dibilang seperti hutan belantara. Tiba di sebuah bangunan semacam pintu masuk, gue dan Ony dihentikan oleh seorang pemuda yang minta gue untuk mengisi semacam buku tamu. Rasanya pengen ketawa....masuk hutan pake ngisi buku tamu segala. Tapi permintaan berikutnya malah bikin jengkel, yaitu membayar retribusi 'seiklasnya'. Kata si pemuda, "Untuk biaya pencarian jika misalnya hilang di tengah hutan....dan biaya kebersihan..." Apa siiihhhh ??!!

Perjalanan pun dilanjutkan. Dan beberapa saat kemudian, di hadapan gue nampak sebuah bangunan yang tidak lagi utuh, namun terlihat masih megah dan kokoh. Itulah bangunan benteng peninggalan Portugis yang dibangun pada tahun 1800an, sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi serangan dari laut. Gue dari awal cuma bisa berdecak kagum.....Wowwww!! Keren bangett !! 

Menurut Mas Bowo, benteng tersebut terdiri dari 3 lantai dengan berbagai ruangan. Bagian yang bikin gue paling terpukau adalah akar - akar pepohonan berukuran raksasa yang nampak seakan-akan melilit dan menyatu dengan tembok benteng. Dalam sekejap gue langsung teringat akan....Beng Melea !!

Beng Melea adalah bagian dari Angkor temple, yang lokasinya beberapa puluh kilometer dari kota Siem Reap, Kamboja, yang pernah gue kunjungi tahun 2013 yang lalu. Beng Melea, yang walaupun nyaris bak puing - puing reruntuhan, namun masih menyisakan kesan megah dan agungnya temple tersebut. Ciri khasnya, dan yang merupakan daya tarik utamanya di mata gue, adalah 'dekorasi' berupa akar-akar pohon yang nampak menembus dan menyatu dengan tembok-temboknya yang tinggi dan kokoh. Jadi terkesan menyeramkan dan keren di saat yang bersamaan. 

Dan gue ngga menyangka, ternyata di Indonesia pun gue bisa melihat yang seperti itu. Kalau tahu Pulau Nusakambangan memiliki benteng seeksotis ini, gue pasti sudah berkunjung ke sini sejak dulu. 

Pantai Karang Bolong

Benteng Portugis

Pintu masuk benteng
Peninggalan meriam
Peninggalan meriam

Puas mengeksplorasi benteng tersebut, termasuk menyusuri lantai bawahnya yang gelap gulita dan sempat bikin gue ketakutan setengah mati, gue bertiga pun mengambil langkah kembali ke pantai.

Sebelum menuju perahu, gue menghampiri guide tadi. Gue tertarik dengan beberapa botol madu lengkap dengan ember berisi beberapa bongkahan rumah madu. Jadi, si guide ini menjual hasil hutan berupa beberapa jenis madu dan royal jelly. Biasanya gue paling enggan membeli madu sembarangan, karena malas berspekulasi dengan urusan asli atau tidaknya. Tapi kali ini entah dari mana datangnya keyakinan luar biasa itu, setelah tawar-menawar harga, gue mantap membeli sebotol madu dan sebotol lagi royal jelly seharga Rp. 250,000,-, untuk stok di rumah. 

Setelah itu gue dan Ony pun kembali ke perahu....siap menyeberang ke Teluk Penyu. Meninggalkan pulau yang pernah bikin gue penasaran dan ternyata memang memiliki potensi dan daya tarik nan eksotis meski terkesan angker. Siap menghadapi tantangan penuh kejutan, terutama urusan transportasi umumnya Cilacap, demi menempuh perjalanan panjang kembali ke Purwokerto.

Sunday, March 20, 2016

Wisata Benteng Bersejarah Di Cilacap (1)

Salah satu kota di pulau Jawa yang menjadi target jalan-jalan gue selama ini adalah Cilacap....kenapa ? Karena di sana ada Benteng Pendem, dan juga pintu masuk menuju Nusakambangan. Dari informasi yang pernah gue baca dari hasil browsing sana-sini, di Pulau Nusakambangan juga terdapat sebuah benteng bersejarah. Penasaran.

Tapi langkah gue menuju Cilacap selama ini terkendala karena jaraknya yang menurut gue jauh (dari Jakarta), dan tiket kereta Jakarta - Cilacap yang lumayan mahal. Juga, gue belum rela musti ngambil cuti dari kantor demi berkunjung ke sini. Tapi singkatnya, weekend ini gue bisa mewujudkan keinginan untuk melihat langsung benteng Pendem yang cukup fenomenal itu. Yaaaa....akhirnya gue memang harus ngambil cuti sehari.

Untuk menuju Cilacap, bisa ditempuh dengan naik kereta (dari Stasiun Senen, Jakarta) tujuan Purwokerto. Kayaknya Purwokerto adalah kota tetangga yang terdekat dengan Cilacap. Dari Terminal Purwokerto, gue tinggal naik bus tujuan Cilacap. Busnya alakadar gitu...kayak metromini kalau di Jakarta...non AC, ongkosnya Rp. 20,000,-

Kendala menggunakan transportasi umum baik di Purwokerto maupun Cilacap adalah meskipun jumlah armadanya lumayan, namun sepertinya peminatnya ngga banyak, alias sepi penumpang. Jadi, angkutan-angkutan umum doyan banget ngetem nungguin penumpang. Selain itu, masih dalam misi menjaring penumpang sebanyak-banyaknya, angkutan-angkutan umum di sini bergerak sloowww banget...kayak keong. Beberapa waktu yang lalu pernah baca bahwa Purwokerto - Cilacap bisa ditempuh dalam 1.5 jam. Tapi nyatanya, perjalanan yang gue tempuh memakan waktu hingga 3 jam. Di tengah jalan bahkan gue sempat dioper ke bus lainnya. Ngetem....jalannya lambat....dioper segala....sempurna! Ternyata yang beginian ngga cuma terjadi di Jakarta doang.

Tiba di terminal Cilacap, gue naik angkutan umum warna kuning tujuan Sleko. Oya...di sini gue dan Ony juga kesulitan ketika mencari informasi mengenai angkutan menuju Benteng Pendem. Begitu tiba di terminal, langsung nanya sana sini, malah diarahkan untuk naik angkutan umum warna hijau. Tapi berhubung kerumunan orang yang mengarahkan ini terlihat terlalu agresif, gue justru jadi curiga.

Karena bingung, gue memilih mampir ke toko Indomaret yang ada dekat situ. Di saat kepanasan dan bingung kayak gini, yang paling menghibur adalah makan ice cream. Sekalian beli stok cemilan, gue juga nanya-nanya ke kasir Indomaret, angkutan umum menuju Benteng Pendem. Si kasir yang ramah ngasih tahu kalau gue musti naik angkutan warna kuning. Tuh kan....gue udah feeling kalau informasi orang-orang di terminal tadi 'menyesatkan'.

Akhirnya gue naik angkutan kuning ini, dan diturunkan di sebuah persimpangan jalan, dekat kilang minyak Pertamina, dan harus berjalan kaki lumayan jauh menuju pintu masuk Benteng Pendem. Dalam perjalanan, baik ketika naik angkutan kuning maupun ketika berjalan kaki menyusuri pinggir pantai, sepanjang mata memandang, gue ngga lihat keberadaan angkutan hijau. Artinya, kalau tadi gue dan Ony pasrah naik angkutan hijau itu, entahlah akan dibawa kemana.

Tiba di Benteng Pendem, gue girang bukan main. Ketika gue memimpikan begitu lama untuk berkunjung ke sebuah tempat, yang sudah membuat gue penasaran dengan dahsyatnya, dan akhirnya impian gue itu terwujud, ada perasaan istimewa yang ngga bisa digambarkan. Benteng Pendem ini salah satu contohnya. Ternyata perasaan senang mendalam itu ngga tergerus dengan melelahkan dan berlikunya jalan yang harus gue tempuh untuk menuju kemari.

Tiket masuk Benteng Pendem seharga Rp. 5,000. Benteng Pendem adalah benteng peninggalan Belanda, yang dibangun tahun 1861. Di dalam area Benteng Pendem yang sangat luas, gue menikmati melihat - lihat setiap bangunan benteng, yang terdiri dari berbagai ruangan. Ada ruang barak, benteng pertahanan, ruang klinik, gudang senjata, ruang penjara, dapur, dan lain sebagainya. Untuk sebuah peninggalan benteng bersejarah, ini adalah tempat paling mengagumkan yang pernah gue kunjungi. Sayangnya, menurut gue kondisi benteng ini nyaris terbengkalai, dan pengunjung tidak disuguhi fasilitas maupun informasi apapun, selain tiang dengan tulisan nama -nama dari masing - masing ruangan. Petugas yang ada saat itu, sepertinya hanya bertugas untuk menjual tiket semata. Tidak ada yang berinisiatif menawarkan jasa guide atau semacamnya. Dan gue ngga ngerti konsep dari lokasi ini....apakah dianggap sebagai kawasan bersejarah, atau taman rekreasi. 

Oya di sini gue sempat ikutan 'tour uji nyali' dengan memasuki sebuah terowongan yang di dalamnya terdapat beberapa ruangan. Tentunya terowongan tersebut gelap gulita, dan yang bikin tambah menantang adalah kondisinya yang digenangi air (laut) hampir setinggi betis. Di luar terowongan ada seorang anak muda menawarkan untuk mengantar ke dalam terowongan, dengan bantuan sebuah senter kecil. Awalnya gue ragu dan nyaris ogah untuk masuk, walaupun penasaran. Namun, berhubung Ony meyakinkan bahwa tour ini adalah 'highlight' dari perjalanan gue ke Benteng Pendem ini, maka dengan modal nyali minimalis, gue pun pasrah ikutan.

Awalnya si pemandu memperkenalkan sederetan ruangan yang merupakan ruang meriam. Dengan penerangan minimalis, dan kaki yang masuk ke dalam genangan air cukup tinggi, rasanya sensasional. Gue ketakutan setengah mati selama perjalanan terseok-seok sepanjang kurang lebih 100 meter itu. Sepanjang jalan gue berpegang erat-erat pada si pemandu di sebelah kiri, dan Ony di sebelah kanan. Dan ketika air yang menggenang sudah hampir mencapai ke lutut, dan kegelapan semakin menjadi-jadi, si pemandu mengarahkan senternya ke sebuah ruangan kecil, dan dengan santainya bilang, "Kalau ini ruang pembantaian....jadi di sinilah tempat orang-orang disiksa....Di sini pernah dilakukan syuting Uji Nyali juga..." Hallaaahhhh!!  Gue cuma melihat sekilas ruangan yang dimaksud, dan nyahut, "Oh gitu....ya udah buruan jalannya, Mas !" Cengkeraman gue ke si pemandu dan Ony semakin kuat. Dan tiba - tiba gue mendengar si pemandu berseloroh sambil nyengir, "Mbaknya kayaknya takut banget...." Yaelahhh ?! Rasanya pengen mendaratkan jitakan bertubi-tubi ke si pemandu....siapa sih yang ngga takut berada di terowongan gelap dan tergenang air seperti itu....??! Musti melintasi ruang pembantaian segala ! Masa gue ketawa terpingkal-pingkal bahagia melintasi tempat mengerikan kayak gini.  

Begitu tiba di pintu keluar dan melihat cahaya terang, rasanya lega bukan main. Si pemandu pun mengajak gue dan Ony menuju sebuah sumur untuk mencuci kaki. Meskipun masih tersisa rasa ketakutan ketika berada di dalam sana, tapi untunglah Ony mendorong gue tadi untuk ikutan tour uji nyali ini. Paling ngga, gue ngga akan penasaran lain lagi waktu. 

Dari situ, gue dan Ony kembali berkeliling kawasan Benteng Pendem beberapa saat.Setelah puas, lelah, serta haus, gue pun meninggalkan lokasi untuk menikmati kesegaran es kelapa utuh. 

Satu hal yang bikin acara hunting benteng bersejarah di Cilacap sejauh ini agak terkendala adalah karena masalah pada pocket camera gue yang anehnya habis batere total, padahal sudah semalaman gue charge. Jadilah gue cuma bisa mengandalkan smartphone yang baterenya pun pas-pasan. Namun, terlepas dari masalah kamera, serta kondisi benteng yang terkesan terbengkalai dan minim informasi bagi pengunjung, sejauh ini gue puas dan senang karena akhirnya bisa menginjakkan kaki di sini.







Gudang senjata

Ruang Klinik

Ruang Penjara
Ruang Penjara

Ruang Penjara
Ruang Barak

Bagian luar ruang meriam