I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Wednesday, November 11, 2015

Sekeping Kenangan Beijing (Hari Ketiga) : Mutianyu Great Wall



14 Oktober 2015.

Hari ketiga di Beijing, dan lagi-lagi hari ini gue melewatkan hari penting keluarga yaitu ulang tahun Anggira. Jadi merasa bersalah lagi....

Ini hari yang gue tunggu - tunggu....yaitu rencana gue untuk datang dan melihat langsung Tembok Raksasa alias Great Wall, dengan mata kepala gue sendiri. Yesus yang super maha baik memberikan gue anugerah tak terhingga yaitu kesempatan untuk mengunjungi salah satu tempat paling terkenal sedunia : Tembok Raksasa (Great Wall). Lokasi yang namanya sudah gue dengar sejak di bangku sekolah...Waktu SD, gue lupa mata pelajaran apa, siswa harus hapal 7 (tujuh) keajaiban dunia. Dan Tembok Raksasa Cina akan selalu ada dalam daftar...Buat anak SD yang imut-imut dan polos kayak gue kala itu,  kata-kata "keajaiban dunia" aja terdengar sureal di telinga. Apalagi "Tembok Raksasa"...ya ampun, apa pula itu, dan kayak mana tembok yang berukuran raksasa itu. Kenapa 'tembok' aja menjadi spesial dan mendunia...kenapa urusan tembok ini perlu menjadi bagian ilmu pengetahuan yang perlu diketahui anak SD segala...

Suatu ketika gue pernah juga nonton tayangan di televisi di mana illusionist David Copperfield memberikan suguhan atraksi berjalan menembus Tembok Raksasa Cina. Macam mana menembus tembok ? Pokoknya, semua hal yang gue dengar dan lihat mengenai Tembok Raksasa ini cuma menyisakan rasa penasaran doang....karena saat itu ngga ada teknologi Youtube dan teman-temannya, jadi gue ngga bisa browsing-browsing demi mendapat gambaran seperti apa sebenarnya Tembok Raksasa itu. 


Pagi ini gue begitu bersemangat, dengan euforia dan di saat bersamaan rasa grogi meluap - luap demi menuju tempat yang udah membuat gue penasaran sejak lama. Gue bangun sekitar jam 05:00 pagi, dan mengendap-endap meninggalkan hostel di saat langit masih gelap. Gue naik subway dari Dengshikou Station menuju Dongzhimen Station. Kali ini ngga bisa mampir ke warung bakpau, karena ngga yakin sudah buka atau ngga. Selain itu karena gue takut ketinggalan bus.



Dongzhimen Station terintegrasi dengan Dongzhimen Bus Station. Menurut petunjuk yang gue dapatkan hasil dari browsing sana sini, akan ada Bus No. 867 yang berangkat dari Dongzhimen Outer langsung menuju ke Muntianyu jam 07:00 pagi.


Dari petunjuknya semua terkesan mudah dan simpel. Tapi pagi itu lagi-lagi gue frustasi sejadi-jadinya karena kebingungan mencari halte bus No. 867. Begitu tiba di Dongzhimen, gue langsung melihat terminal bus, tapi gue kebingungan saat mencari yang namanya Dongzhimen Outer. Gue sempat keluar dari terminal menuju jalan raya, yang gue temukan justru Bus No. 916. Sebenarnya bus ini adalah alternatif lainnya menuju Mutianyu, namun nanti di akhir perjalanan, gue harus menggunakan minivan untuk mencapai Mutianyu. Selain masalah keuangan yang super minimalis, gue ngotot untuk tetap menggunakan Bus No. 867 karena idealisme luar biasa untuk mencari tantangan. 

Begini, segala sesuatu yang ada di Beijing ini sebenarnya tantangan buat gue....seringkali bikin gue sampai down banget dan kelelahan fisik dan mental. Sesekali gue sampai mau nangis segala, karena mau kemana pun rasanya sulit banget. Tapi khusus untuk perjalanan Tembok Raksasa ini, gue berjanji untuk mencapainya dengan cara yang paling konvensional. Dan bagi gue cara itu adalah dengan naik Bus No. 867. 

Mengenai rute dan pintu masuk Tembok Raksasa sebenarnya banyak rute yang bisa dipilih, karena Tembok Raksasa yang memang super panjang dan membentang hingga melintasi beberapa kota di Cina. Rute yang paling populer adalah Badaling, Mutianyu, dan Jinshanling & Simatai. Mungkin karena ketiganyalah yang terdekat dari Beijing.

Sejak awal gue sudah berjanji dalam hati kalau gue akan memilih jalur Mutianyu Great Wall yang sebenarnya berjarak tempuh 3 jam lebih dari Beijing. Tapi dari review-review yang gue baca, justru itulah yang bikin Mutianyu Great Wall cenderung lebih sepi pengunjung dibandingkan Badaling yang lebih dekat ke Beijing. Katanya Badaling padat dan ramai oleh pengunjung, dan tempat semacam itu bukanlah favorit gue.

Kembali ke perjuangan mencari Bus No. 867, herannya, meskipun gue bertanya ke beberapa orang berbeda, baik petugas maupun calon penumpang, ngga ada yang tahu di mana 'pangkalan' bus No. 867....atau mungkin mereka ngga ngerti apa yang gue cari atau tanyakan. Mata gue sampai kelelahan mengamati setiap bus yang gue lihat di dalam terminal, berharap menemukan angka '867' di salah satunya. Tapi nihil.

Akhirnya seorang petugas memberitahukan arah yang harus gue tempuh untuk mencari 'pangkalan' Bus No. 867 tersebut. Arah itu membawa gue keluar dari terminal (lagi), dan setelah berada di jalan raya (lagi) gue bingung (lagi) kemana langkah selanjutnya. Gue pun mengambil arah kiri, karena dari kejauhan melihat ada kerumunan bus di arah itu. Setelah berjalan beberapa ratus meter, gue pun melihat semacam terminal bayangan. Gue mendekat, dan puji Tuhan Haleluyah, gue melihat sosok bus dengan nomor 867.


Saat itu ada beberapa orang menunggu di garis antrian. Sekitar jam 07:00 lewat sedikit, bus pun berangkat. Seseorang yang gue kira adalah kru bus, karena saat itu dia mengenakan kemeja layaknya kenek, menanyakan tujuan para penumpang. Dan bagi penumpang yang hendak menuju Mutianyu Great Wall, dia memberikan pesan tambahan bahwa nanti akan diturunkan di suatu jalan, dari situ menyambung naik minivan dengan membayar 25 Yuan. Gue bingung dan mulai curiga ini adalah scam, karena gue ngga pernah membaca informasi seperti ini. Tapi berhubung gue sudah terlalu lelah di pagi itu ditambah dorongan semangat menggebu-gebu menuju Tembok Raksasa secepatnya, gue pun menurut.

Di suatu jalan antah - berantah, setelah perjalanan sekitar 2.5 jam, gue turun bersama beberapa penumpang lainnya, dan mengikuti si kenek gadungan menuju sebuah area parkir. Gue menaiki salah satu mobil yang disediakan, yang katanya akan mengantar ke Mutianyu.

Tiba di Mutianyu, rombongan kecil ini tinggal berjalan beberapa ratus meter dan akhirnya tiba di pintu masuk Mutianyu Great Wall. Gue langsung membeli paket tiket menuju Great Wall (Tembok Raksasa) seharga 160 Yuan, yaitu paket paling ekonomis alias murah. Setelah itu gue membayar ongkos 25 Yuan ke si kenek gadungan dan berpisah dengannya. Dengan membayar 160 Yuan gue mendapatkan fasilitas : shuttle bus menuju pos cable car atau cable way, cableway untuk naik mendekat ke Great Wall, tiket Great Wall itu sendiri, dan Toboggan.

 
 
 


Dengan langkah penuh percaya diri gue menuju lokasi di mana hampir semua orang berkumpul. Tapi begitu gue mendekat dan sang petugas melihat tiket gue, dengan bahasa Cina yang jelas - jelas gue ngga ngerti, sang petugas seperti memberitahukan bahwa gue salah masuk. Maksudnya ? Dengan tangannya sang petugas menunjukkan arah lokasi, yang sebenarnya sudah gue lewati tadi. Dengan bingung gue pun kembali ke lokasi itu. Lalu kejadian yang ngga akan gue lupa seumur hidup gue pun terjadi, hanya dalam waktu sekejap. 


Ketika gue menunjukkan tiket kepada petugas, gue pun dipersilahkan mengikuti arah jalan setapak yang membawa gue menuju...pos cableway. Saat itu gue terkaget-kaget karena 'cableway' yang ada di hadapan gue benar-benar berbeda dengan harapan. Cableway lebih tampak seperti ayunan berbentuk bangku, tanpa pijakan kaki, tanpa peralatan keselamatan...dan di saat mata dan pikiran gue masih bekerja keras mencerna keheranan gue, seorang petugas berteriak-teriak, lagi-lagi dengan bahasa yang ngga gue mengerti, seakan - akan meminta gue untuk segera naik ke ayunan. Masih terbengong-bengong dengan beban botol air mineral di tangan kiri, dan tumpukan tiket di tangan kanan, gue naik ke ayunan itu, dan hanya dalam beberapa detik secara otomatis terpasanglah semacam pegangan yang mungkin dimaksudkan juga sebagai satu-satunya alat pengaman pada ayunan, dan dalam beberapa detik kemudian cableway yang otomatis selalu bergerak membawa gue melayang di atas udara, dengan pemandangan hijau dan horornya hutan belantara di bawah gue.

Gue takut, kaget dan nyaris histeris.  Bibir gue menyebutkan 'Dalam nama Yesus....dalam nama Yesus...' entah mungkin ribuan kali banyaknya. 

Bagaimana menggambarkannya...rasanya jantung gue merosot turun, sampai keluar dari tubuh gue, lalu menggelinding di tanah, dan jatuh ke jurang ! Gue menutup mata dan berdoa sejadi-jadinya berharap doa yang gue panjatkan dalam keadaan panik darurat seperti itu bisa menenangkan gue...


Gue memang bukan penggemar ketinggian. Apalagi berada di atas udara, hanya bersandar pada ayunan yang gue ngga punya keyakinan apapun mengenai keselamatan yang bisa dijanjikannya, angin sejuk dan dingin yang kini seakan-akan bagaikan ancaman karena membuat ayunan ini nampak rapuh dan mudah digerakkan bahkan oleh angin sekalipun, dan hamparan hijau di bawah sana...bagi kebanyakan orang semestinya itu adalah pemandangan indah luar biasa...tapi buat gue yang dipaksa menikmatinya di atas ayunan kabel seperti ini, sulit untuk gue menikmatinya.

Entah berapa lama perjalanan cableway itu, tapi itu adalah perjalanan menyeramkan terlama yang pernah gue lalui...dan gue rasa dalam waktu dekat gue ngga akan siap mengulanginya lagi. 

Untungnya, semua ketakutan mencekam itu langsung terbayar lunas, dengan sensasi rasa bahagia yang timbul begitu gue tersadar bahwa gue sudah menginjakkan kaki di Tembok Raksasa. Rasanya masih percaya ngga percaya....ketika gue melangkah di atas setiap bebatuan kehitaman yang tersusun kokoh, atau ketika gue meniti setiap anak tangganya yang terkadang curam, atau saat mata gue menangkap pemandangan indah nan hijau yang mengelilingi Tembok Raksasa...Rasanya pengen menjedotkan kepala di salah satu sudut tembok yang bersejarah dan fenomenal ini sambil teriak, "Mimpikah ini...mimpikah ini...??"  



 

Berdiri di salah satu bagian kecil dari rangkaian Tembok Raksasa yang panjangnya ribuan kilometer, gue cuma bisa menelan rasa kagum dan heran, ngga abis pikir, bagaimana perjuangan dan pengorbanan ribuan atau jutaan orang yang dahulu bekerja keras dan terlibat dalam pembangunan tembok yang diperuntukkan sebagai garis pertahanan ini.
Kalau di masyarakat umum sering terdengar stigma bahwa orang Cina terkenal akan karakter pekerja keras, tekun, dan pantang menyerah, kayaknya Tembok Raksasa ini akan mengingatkan dunia seperti apa nenek moyang bangsa Cina dahulunya dan dari mana karakter-karakter positif itu menurun.

Gue menyusuri hingga ujung dari Mutianyu Great Wall. Meskipun agak melelahkan, tapi rasa girang dan bersyukur karena bisa berada di sini, bikin gue bersemangat. Yang bikin suasana di atas sini tambah menyenangkan adalah karena sepi pengunjung. Selain suasananya jadi tenang dan kadang sunyi, keuntungan lainnya adalah kemudahan memotret dan berfoto karena tidak terganggu dengan ramai dan padatnya pengunjung.



Setelah berada di sini sekitar 2 jam lebih, gue pun mengambil langkah untuk pulang. 'Pulang' berarti gue musti berjuang lagi untuk menuruni pegunungan. Dan bayangan cableway yang harus gue tempuh tadi pagi benar-benar bikin trauma. Kejutan apa lagi yang akan gue hadapi kali ini.

Gue sudah membeli tiket 'Toboggan'. Toboggan adalah semacam kereta berkapasitas satu orang (atau dua orang jika bersama anak kecil), yang dilengkapi roda serta rem, dan akan meluncur dengan kendali si penumpang. Selain kendali berupa rem tadi, kereta seluncur ini bergerak di atas lintasan baja tahan karat juga dengan mengandalkan akselerasi teori gaya gravitasi. Dari brosur yang gue baca tadi pagi, Toboggan ini dibuat dengan teknologi Jerman dan dibangun oleh perusahaan Jerman. Cableway mengerikan tadi pagi itu, entah teknologi apa yang digunakan untuk membuatnya.

Meskipun dengan embel-embel 'teknologi Jerman' sebenarnya ngga serta-merta menyurutkan rasa takut gue untuk menaikinya. Gue sempat ragu beberapa saat, dan hanya bisa melihat dari kejauhan pengunjung-pengunjung lain yang bersemangat menggunakannya. Namun gue ngga punya pilihan....revisi, gue punya pilihan ! Pertama, membeli tiket cablecar yang dipastikan mahal....kedua, trekking alias berjalan kaki sejauh kurang lebih 3-4 jam perjalanan. 

Dari brosur yang sama, gue melihat foto Ibu Negara Amerika Serikat, Michelle Obama pernah mengunjungi Mutianyu Great Wall...dan beliau pun pernah menaiki Toboggan ini. Brosur memuat fotonya yang tampak kegirangan menikmati perjalanan Toboggan itu. Itulah satu-satunya motivasi gue saat itu. Gue berusaha keras meyakinkan diri sendiri bahwa perjalanan itu pastinya akan menyenangkan....lagian, kalau Mrs. Obama berani, gue juga harus berani !! Begitulah tekad membara namun kurang keyakinan yang gue tanamkan demi bisa meninggalkan Mutianyu Great Wall, tanpa perlu tambahan pengeluaran.
Dengan langkah resah, gue pun naik ke atas Toboggan dan mendorong tuas remnya...dan kereta seluncur itu pun bergerak....bergerak sangat mulus dan yang mengherankan, gue merasa sangat nyaman, aman dan menikmati perjalanan ini. Ketika keberanian gue sudah kembali, gue bahkan meningkatkan kecepatannya. Lama-kelamaan, gue dengan cueknya mengeluarkan kamera, menarik tuas rem, dan mulai memotret. Gue girang bukan main. Ini adalah alat transportasi paling hebat, inovatif, dan menghibur yang pernah gue naiki.

 
 
 


Akhirnya gue tiba di pintu masuk/keluar cableway. Gue meninggalkan lokasi dengan hati bersorak-sorai menahan rasa bahagia. Perjalanan ke Mutianyu Great Wall ini adalah pengalaman paling seru yang pernah gue lakukan dan ngga akan terlupakan. 

Saat itu gue ngga langsung menuju halte shuttle bus, melainkan mampir ke Stone Museum yang jaraknya ngga jauh. Lagian gue beruntung, karena saat itu ngga ada penjaga sama sekali, gue bebas masuk berkeliaran di dalamnya tanpa harus membeli tiket masuk.

 

Setelah puas di Stone Museum, barulah gue menuju halte shuttle bus. Dengan perjalanan sangat singkat, gue sudah tiba lagi di area pintu utama Mutianyu Great Wall. Di sana gue disambut oleh puluhan orang yang seakan-akan menawarkan sesuatu. Ternyata mereka menawarkan jasa minivan, yang akan mengantar gue sampai halte Bus No. 916 terdekat. Gue sampai kewalahan menolaknya. Gue sebenarnya tertarik untuk sekedar menanyakan harganya, namun orang-orang ini begitu agresif.

Gue sempat masuk ke dalam kantor pelayanan informasi untuk menanyakan informasi transportasi umum ke Beijing. Berhubung terlalu rumit dan ngga menjamin akan lebih murah, gue pun keluar dan mendekat ke salah satu perempuan yang menawarkan jasa minivan tadi, dan mulai menawar harga. Kesepakatan pun terjadi, gue hanya perlu membayar 20 Yuan. 

Gue diantar sampai ke sebuah halte dimana gue bisa naik Bus No. 916. Bus yang ditunggu pun tiba, gue naik dan siap menikmati perjalanan kembali ke Dongzhimen Station, Beijing selama kurang lebih 3 jam ke depan. 

Mengenang hal luar biasa yang sudah gue lakukan hari ini, dengan segala keseruan, rintangan, perjuangan mengalahkan rasa takut, dan lain sebagainya, gue hanya bisa tersenyum dan mengucapkan jutaan kali rasa syukur pada Yesus yang sudah bersama gue dalam setiap detik langkah gue hari ini. Dan hati gue mengumandangkan lagu kesayangan nan indah dan selalu menenangkan :

Tiap langkahku, diatur oleh Tuhan
dan tangan kasih kasihNya, memimpinku
Di tengah badai dunia menakutkan
Hatiku tetap tenang teduh

Tiap langkahku, ku tahu yang Tuhan pimpin
ke tempat tinggi ku dihantarNya
hingga sekali nanti aku tiba
Di rumah Bapa sorga yang baka

Monday, November 02, 2015

Sekeping Kenangan Beijing (Hari Kedua) : Tiananmen Square, Forbidden City dan Jingshan Park


 13 Oktober 2015.

Hari kedua di Beijing...agak sedikit sedih dan merasa bersalah....karena hari ini Rico ulang tahun, dan gue jauh dari rumah. Padahal selama ini gue pantang traveling kalau ada anggota keluarga yang berulang tahun, atau ada acara - acara penting kayak Natal dan Tahun Baru.

Awalnya di hari kedua ini pengen ke Mutianyu Great Wall, namun kondisi fisik gue belum siap. Kemarin gue kecapean dan kurang tidur, ditambah secara mental masih belum siap. Pengalaman kemarin, bertahan di jalanan, apalagi tersesat di Beijing ini berat banget. Terlebih jika gue musti keluar kota, Mutianyu, pasti tantangannya berlipat-lipat kali.

Lagian pagi ini gue agak telat bangun, sementara kalau mau ke Mutianyu Great Wall, targetnya gue harus bangun jam 05:00 pagi, karena bus ke sana akan berangkat dari terminal jam 07:00. Entah terminal mana...gue masih harus pelajari rutenya lebih lanjut nanti.

Jadi hari ini gue rencanakan untuk mengunjungi Tiananmen Square dan Forbidden City. Ya Yesus....tiap kali dengar dan bilang "Forbidden City", rasanya masih belum percaya, gue akhirnya akan menginjakkan kaki di sana sesaat lagi....

Sebelum ke Dengshikou Station, gue mampir dulu ke warung bakpau di Dengshikou Street, untuk membeli sarapan. Sebenarnya gue antara merasa iba dan salut sama diri sendiri. Dalam sekejap gue bisa membiasakan diri dan merubah pola makan. Jadi beginilah yang akan gue lakukan sampai hari terakhir gue di Beijing ini. Di pagi hari sebelum ke Dengshikou Station gue akan mampir untuk membeli bakpau dan jagung rebus, kadang ditambah somay, lalu melahap semuanya. Kemudian gue akan berpetualang seharian penuh, dan baru kembali ke Dengshikou area di malam hari, dan menyantap makan malam.

Peta rutinitas sehari-hari
Warung bakpau, somay dan jagung rebus

Kesimpulannya adalah gue ngga pernah makan siang. Alasannya, karena kebiasaan buruk saat traveling, gue  ngga pernah mau urusan perut mengganggu langkah gue. Maksudnya, di siang hari, tepatnya di jam-jam makan siang, bisa dipastikan gue sedang berada di suatu tempat wisata tertentu. Dan kadang sulit bagi gue mencari tempat makan di tempat-tempat tersebut. Kalaupun ada, harganya lumayan selangit. Sebagai gambaran, seporsi makan sederhana jika berada di tempat-tempat wisata paling murah 45 Yuan belum termasuk minum. Berhubung gue dengan nekadnya datang ke Beijing membawa uang sangat minimalis, maka gue harus mensiasati masalah ini. Caranya dengan sarapan sekenyang-kenyangnya di pagi hari, dan makan sepuasnya di malam hari. 

Tubuh gue cukup hebat dalam menyesuaikan diri terhadap kondisi dompet. Di pagi hari gue akan cukup puas dan kenyang hanya dengan makan 2 buah bakpau (jangan bayangkan bakpau di Jakarta, yang ini ukuran kecil), 1 buah somay, 1 buah jagung rebus, dan kopi. Kadang gue akan membeli biskuit atau jagung rebus untuk bekal makan siang. Kalau Mama tahu pasti akan ngomel sejadi-jadinya dan berteriak histeris, "Kalau kau cuma mau jadi gembel dan cari penyakit, bagusan ngga usah kau keluar negeri segala!!" 


Tiananmen Square

Kembali ke petualangan gue hari kedua ini, untuk menuju Tiananmen Square sangat mudah. Mula-mula gue naik kereta Subway dari Dengshikou Station menuju Dongdan Station untuk berganti Subway ke Line 5, yang akan mengantar gue sampai Tiananmen East Station. Tiba di sana, lagi-lagi gue lihat Tiananmen sudah dipenuhi oleh pengunjung. Untuk masuk ke kawasan Tiananmen Square, pemeriksaan terhadap pengunjung serta barang-barang pribadi yang dibawa, cukup ketat. 

Begitu akhirnya tiba di Tiananmen Square, tepatnya di hadapan bangunan megah bertembok merah dengan foto Mao Zedong berukuran super besar terpampang di temboknya, ingatan gue langsung kembali ke masa-masa kuliah dulu, ketika gue pernah menonton video demonstrasi besar-besaran yang terjadi di Beijing pada tahun 1989, dimana seorang pengunjuk rasa berdiri dengan gagah dan beraninya menghadang barisan tank yang bergerak ke arahnya. Itu aksi dan video yang fenomenal yang bahkan sampai sekarang gue masih dan akan tetap ingat.

Mundur lagi sebelum peristiwa demonstrasi 1989 yang berakhir menjadi insiden berdarah itu, Tiananmen Square adalah tempat di mana Mao Zedong untuk pertama kali memproklamasikan berdirinya negara Republik Rakyat Cina pada tanggal 01 Oktober 1949. Jadi, Tiananmen Square ini adalah bagian penting dari sejarah Cina.


Gue pun membeli tike tiket masuk Tiananmen Square seharga RMB 15. Di sini pengunjung bisa memasuki Mausoleum Mao Zedong, dimana jenasah Mao Zedong, sang pendiri negara Republik Rakyat Cina, disemayamkan. Tentunya pengunjung ngga bisa menyaksikan jenasah pimpinan partai komunis tersebut.

Hal agak lucu dan menarik yang sering gue saksikan di tempat-tempat wisata di Beijing ini adalah peraturan 'tidak boleh memotret' yang banyak diberlakukan, salah satunya di dalam Mausoleum Mao Zedong ini. Namun, peraturan seperti ini sepertinya biasa dilanggar oleh pengunjungnya.

Jadi, di dalam bangunan mausoleum terdapat penjaga yang berkostum super keren kayak di film - film Hongkong : rambut wet look, berjas hitam, sepatu mengkilap, serta berkaca mata hitam. Sepanjang waktu penjaga berteriak-teriak penuh amarah kepada para pengunjung, karena rata-rata hampir semuanya justru sibuk memotret. Ajaibnya, sepanjang waktu juga para pegunjung bersikap cuek bebek seperti mengacuhkan peringatan sang penjaga yang meskipun tampak keren namun menakutkan karena diliputi amarah itu....potret - memotret berlanjut terus. Dan penjaga pun yang entah karena putus asa, atau karena ada keperluan, atau pergantian shift, justru menghilang. Tugas mulianya digantikan oleh penjaga lainnya, yang serta-merta berteriak-teriak lagi mengingatkan para pengunjung untuk tidak mengambil gambar, dan lagi-lagi diacuhkan oleh para pengunjung....yang entah tidak mendengar atau pura-pura tidak mendengar peringatan sang penjaga.


Forbidden City

Setelah melewati Tiananmen Square, lokasi berikutnya adalah....Forbidden City !!! Antrian tiket Forbidden City panjang bukan main, dan gue berada di antrian kurang lebih 30 menit, demi membeli tiket masuk seharga 60 Yuan. Secara administrasi, tempat ini dinamakan juga Palace Museum. Bagi gue, sampai kapan pun gue akan menyebutnya Forbidden City, alias Kota Terlarang, karena di telinga gue terkesan puitis dan misterius banget.

Disebut sebagai 'Kota Terlarang' karena memang seperti layaknya kota di dalam kota, merupakan komplek istana pada masa Dinasti Ming dan Dinasti Qing, seluas 72 hektar. Pada masa kekaisaran, hanya para keluarga kerajaan serta tentara yang diperbolehkan memasuki lokasi istana. Tanpa seijin kaisar, rakyat biasa dilarang memasuki lokasi kerajaan. Karena itulah disebut istana / Kota Terlarang.

Mengenai namanya yang indah dan puitis, gue menyimpan rasa kagum akan nama-nama istana atau bangunan atau ruang yang ada di tempat-tempat bersejarah di Cina. Misalnya di Forbidden City ini, yang memiliki sekitar 8,000 ruang, yang masing-masing memiliki nama, dan bagi gue nama-namanya unik, indah, dan itu....puitis sekali, misalnya : Palace of Longevity and Health (Soukhang gong)....Hall of the Supreme Principle (Taiji dian)...Palace of Compassion and Tranquility (Cining gong)....Palace of Eternal Longevity (Yongshou gong)...dan lain sebagainya.

Dengan bangunan-bangunannya yang megah dan penuh detil indah serta menawan, ditambah nama-namanya yang ngga kalah indah dan sangat filosofis, menurut gue Forbidden City menjadi bukti dan peninggalan nyata betapa tingginya kebudayaan dan cita rasa seni yang dimiliki bangsa Cina.

Diperlukan stamina yang prima, stok makanan melimpah, sepatu jalan yang mendukung, serta kamera dengan kapasitas tak terhingga untuk bisa menjelajahi Forbidden City. Karena luasnya bukan main dan setiap elemen terlalu indah untuk dilewatkan. Selain itu, mungkin dibutuhkan waktu minimal 4-5 jam agar puas mengeklsplorasi Tiananmen Square dan Forbidden City...sekali lagi, ini berasa menjelajahi sebuah kota kecil. Ciri khasnya, ini adalah kota yang sangat indah dan kaya nilai seni dan sejarah, jadi ketika melewatinya ngga mungkin cuma melengos doang...Pasti para pengunjung, termasuk gue, dibuat takjub luar biasa atas keindahannya.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Jingshan Park

Meskipun gue udah super kelelahan sehabis mengeksplorasi Tiananmen Square dan Forbidden City, disertai rasa lapar yang menggebu-gebu, tapi gue ngotot untuk lanjut ke Jingshan Park, yang posisinya hanya perlu menyeberang jalan dari pintu keluar Forbidden City. Alasannya, karena gue berusaha semaksimal mungkin untuk mengatur jadwal dan rute petualangan harian gue sesistimatis mungkin. Maksudnya, Jingshan Park ini kan ada dalam satu area (yang berdekatan) dengan Tiananmen Square dan Forbidden City....jadi misi gue hari ini adalah menyelesaikan eksplorasi tempat-tempat wisata yang ada di kawasan ini.

Gue ngga bisa menjadwalkannya ke lain hari, karena jadwal gue sejak kemarin sudah mundur, jadi bisa dibilang gue ngga ada slot kosong lagi sampai hari terakhir di Beijing ini *sok sibuk*

Sebenarnya untuk menjelajah dan menikmati keindahan Jingshan Park ini diperlukan energi dan waktu yang ngga sedikit. Karena selain luas, Jingshan Park ini memiliki 5 puncak, yang tiap puncaknya sayang untuk dilewatkan, tapi untuk mencapainya harus meniti anak tangga yang cukup panjang....alias melelahkan.

Meskipun kaki gue udah super lelah dan nyeri kesakitan, tapi gue tetap memaksakan diri untuk mengeksplorasi Jingshan Park ini. Modalnya selain tekad dan rasa ingin tahu yang dahsyat, juga jagung rebus sebagai sumber karbohidrat dan tenaga, yang gue beli di dekat pintu masuk Jingshan Park tadi.
 
 

Jadi hari ini gue berhasil mengunjungi Tiananmen Square, Forbidden City, serta Jingshan Park. Dalam hati gue memberikan tepukan tangan yang paling keras ditambah salam hormat sambil sujud tiga kali untuk diri sendiri, diiringi suara terompet membahana serta tarian kemenangan, karena berhasil mengunjungi ketiga tempat ini dengan menggunakan alat transportasi umum, dan tanpa menggunakan paket tour atau semacamnya. Bahkan misi gue untuk bukan sekedar 'mengunjungi' pun terwujud, karena gue memberikan waktu seluas-luasnya untuk diri sendiri untuk mengeksplorasi tempat-tempat tersebut dan memuaskan rasa penasaran yang terpendam selama ini.
 
Lelahnya.... ? Jangan ditanya....jangan ditanya juga gimana rasa nyeri luar biasa pada kedua telapak kaki gue. Tapi kepuasannya ? Tak terlukiskan...semua impian masa kecil, mengenai lokasi-lokasi indah ala film kungfu jaman dulu yang terekam sempurna di benak gue, akhirnya hari ini bisa gue lihat langsung dengan mata kepala sendiri. Makasih Yesus!