I laugh, I love, I hope, I try, I hurt, I need, I fear, I cry, I blog...Welcome to my blog, welcome to my life !!

Tuesday, April 18, 2017

Waterpark Ala Curug Luhur


Sabtu, 15 April 2017.

Sejak minggu lalu, saat mampir ke Gunung Kapur Ciampea, gue udah mencetuskan niat untuk segera ke kawasan Gunung Salak lagi untuk wisata curug. Kali ini gue pengen berkunjung ke Curug Luhur. Tentu aja Gue dan Ony kembali bermotor santai dengan rute perjalanan yang baru kami 'temukan' yaitu melalui Parung - Ciampea - Leuwiliang. Gue seneng melalui jalan ini, karena masih sepi dan udaranya segar. Plus, di ujung perjalanan nanti akan ada pasar tradisional yang super padat dan macet. Entah kenapa, gue seneng ngeliat hiruk - pikuk kesibukan orang - orang di pasar tradisional. Selain itu, di sini gue juga bisa melihat - lihat bangunan rumah - rumah tua yang masih terawat dan juga Klenteng Hok Tek Bio Ciampea (yang pasti akan gue kunjungi suatu saat).

Ketika tiba di Jalan Raya Leuwiliang, dengan bertanya kesana kemari, gue mengarah ke daerah Cinangneng, Tenjolaya. Arahnya menuju ke lereng Gunung Salak. Di pinggir jalan udah ada papan petunjuk : Curug Luhur. Tapi dari pengalaman gue sewaktu mencari lokasi Curug Nangka beberapa waktu yang lalu, Bogor ini unik. 

Petunjuk tempat wisata, dalam hal ini Curug Luhur atau Curug Nangka, udah bisa ditemui sejak berada di jalan raya utama. Padahal aslinya tuh masih jauhhhhhh....banget. Puluhan kilometer lagi kali!  Dan 'nyebelinnya lagi, petunjuk tadi adalah satu - satunya petunjuk yang ada. Begitu udah memasuki dan menyusuri kawasan yang lebih dalam lagi, yaitu mengarah ke lereng Gunung Salak, ngga ada petunjuk apapun. Padahal jalan yang akan dilalui tuh bukan jalan lurus doang, melainkan ada beberapa persimpangan jalan. Jadi, pengunjung musti rajin - rajin nanya ke warga sekitar. Itulah yang gue dan Ony lakukan. Herannya, walaupun udah aktif bertanya kesana kemari, tetap aja gue beberapa kali kesasar. Hebat ya ?

Singkatnya, kayaknya perjalanan dari rumah Sawangan termasuk mampir beberapa kali untuk sarapan dan beli stok minuman, sampai ke Curug Luhur ditempuh sekitar 3 jam. Begitu melihat lokasinya, rasanya ngga asing banget buat gue. Kayaknya paling ngga gue udah ngelewatin lokasinya 2 kali. Pertama, waktu mau mengunjungi Situs Purbakala Cibalay, trus ketika gue ke Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). 

Waktu itu gue ngga nyadar kalau di situ adalah lokasi sebuah curug. Abis tempatnya meriah banget, warna - warni, banyak bangunan permanen, macam waterpark gitu. Makanya kali ini gue terbingung - bingung dimana lokasi curugnya. 

Untuk masuk ke lokasi Curug Luhur pengunjung harus membayar tiket masuk seharga Rp. 40,000. Alamakjaann....mahal banget. Perasaan harganya hampir sama ama tiket masuk TNGHS. Tapi  please deh...TNGHS kan menyajikan banyak spot dan lokasi piknik....curugnya aja ada banyak. Kalau ini kan hanya sebuah Curug Luhur. Menurut si penjaga loket tiket, harganya segitu karena di dalamnya ada wahana waterpark. Isshh....padahal gue hanya pengen liat curugnya...ngapain jauh-jauh nyari waterpark di sini, di Jakarta bejibun. Tapi akhirnya dengan berat hati gue pun membayar.

Gue langsung mencari lokasi Curug Luhur. Jreeenggg...! Gue kembali mendapat kejutan. Curug Luhurnya sendiri dekat banget lokasinya dari pintu masuk. Seumur - umur rasanya baru kali ini menuju sebuah curug tanpa perlu effort berarti, maksudnya ngga perlu berjalan jauh melalui medan menanjak dan menurun. Di sini malah udah disediain jalan setapak dari semen, jadi memudahkan siapapun yang hendak mendekat ke Curug Luhur. Tapi sekali lagi gue mendapat kejutan....ternyata di curug ini tidak diperbolehkan berenang. Pihak pengelola memasang tali tambang untuk membatasi area curug yang bisa dilalui, agar pengunjung tidak melewati batas tersebut. Pembatas tersebut dimaksudkan agar pengunjung tidak berenang mendekat ke pusaran air terjunnya. Alkisah, pengunjung cuma boleh main air doang di bagian tepi curug yang masih sangat dangkal, atau berfoto - foto dengan background air terjun setinggi sekitar 50 meter yang cantik itu.

Puas di sana, gue menuju beberapa kolam renang yang tersedia di sana. Kondisi kebersihan dan kejernihan airnya saat itu menurut gue sih di bawah standard. Tapi asyiknya, kali ini gue bisa berenang di kolam renang bebas kaporit, karena airnya berasal langsung dari mata air pegunungan. Jadi ngga bikin kulit gue gosong dan bebas rambut lengket. Udah gitu enaknya lagi, berenang di sini disuguhi pemandangan alam yang hijau dan indah yang mengelilingi kawasan waterpark.

Di sana juga terdapat banyak warung dimana pengunjung bisa mampir untuk makan dan minum dengan menu sekedarnya : mie instant, kopi dan teman - temannya. Warung - warung tersebut juga menyediakan tempat istirahat berupa balai-balai buat duduk santai atau merebahkan badan, dan meletakkan barang - barang bawaan. Ongkos sewanya antara Rp. 10,000-Rp. 15,000,-

Overall, Curug Luhur lumayanlah. Tapi jadi agak kasian ngeliatnya. Semestinya khan curug ini daya tarik utamanya. Namun bangunan - bangunan (kolam renang, warung, dll), disekitarnya mengurangi keindahan alaminya secara drastis. 

Setelah cukup puas berenang, dan karena hujan udah mulai mengguyur, gue dan Ony pun meninggalkan lokasi Curug Luhur. Perjalanan pulang pun jadi makin menantang karena diiringi hujan super lebat.

Tuesday, April 11, 2017

Mana Di Mana Gunung Kapur Ciampea


Sabtu, 8 April 2017.

Siang itu mendadak dan secara spontan gue kepengen mau menjelajah Bogor. Hahhhh...?! Bogor mulu ?? Biarin.... ! Bogor tuh punya segudang potensi wisata berupa lokasi - lokasi keren dan eksotis, yang bikin rasa penasaran gue akan kota ini ngga ada abisnya.

Tapi, kali ini gaya gue ama Ony agak nyeleneh...Kita berdua mau mencari jalan/arah yang sama sekali belum pernah kita lewati sebelumnya, alias benar - benar asing. Jalan yang mana ? Entah kenapa di pikiran gue terbersit niat untuk menuju Bogor melalui pertigaan Rumpin (Parung). Kalau dari arah Sawangan, Depok, menuju arah Pasar Parung setelah melewati daerah Ciseeng, nanti bakal ada sebuah pertigaan, kalau ke kanan menuju Rumpin (Gunung Munara, Danau Jayamix, dll), dan sesuai petunjuk arah yang tersedia, kalau ke kiri menuju ke Ciampea (Bogor).

"Ciampea" sebenarnya bukan daerah yang asing - asing amat buat gue. Tahun 2014 yang lalu, gue pernah ke sini sampai dua kali karena terpesona oleh prasasti - prasasti bersejarah (Wisata Prasasti Di Bogor). Tapi waktu itu gue dan Ony ke sana menggunakan kendaraan umum, dari kota Bogor.

Rencananya kali ini gue dan Ony akan menjelajah Ciampea, yang sebenarnya gue ngga tahu ada apaan lagi di sana. Buat gue pribadi, melakukan perjalanan ke tempat yang baru pertama kali gue datangi itu sendiri udah merupakan 'piknik' yang menyenangkan banget sih.

Gue dan Ony bermotor santai ngikutin jalan yang ada. Pokoknya, semuanya serba santai....bahkan baju yang gue kenakan sore itu pun santai banget, sama persis kalo gue lagi nyuci baju aja di rumah. 

Mengenai arah perjalanan, ngga membingungkan kok, karena ngga ada belokan atau pertigaan atau perempatan dan semacamnya. Ketika akhirnya tiba di sebuah pertigaan, petunjuk jalan yang ada begini, ke kiri : Semplak dan Dramaga, ke kanan : Ciampea dan Leuwiliang. Gue dan Ony memilih ke kanan, arah Ciampea.

Enjoy banget rasanya ngelewatin jalan ini, karena cenderung sepi dan masih hijau. Tiba di kawasan Pasar Tradisional Ciampea, gue 'terpesona' ngelihat bukit kapur yang berada tepat di belakang pasar. Karena penasaran pengen ke situ, gue pun menepi ke Pasar Ciampea dan bertanya ke seorang warga. Warga yang ramah ini memberikan petunjuk menuju Gunung Kapur Ciampea. Caranya yaitu melalui jalan besar ke arah Leuwiliang, lalu nanti belok ke kiri, tepatnya ketika ada papan petunjuk "SMA 1 Ciampea" (seberang perumahan Dermaga Pratama, kalo ngga salah). Setelah masuk jalan kecil ini, gue dan Ony berkali - kali nanya ke warga dekat situ, mengenai arah menuju Gunung Kapur.

Menyusuri jalan raya arah Leuwiliang tuh kayak nostalgia akan perjalanan 'panjang' dan melelahkan yang pernah gue tempuh ketika hendak menuju Maoseleum Van Motman (Cerita Dari Bogor : Pesona Mausoleum Van Motman). Masih teringat gimana gigih dan pantang menyerahnya gue saat itu demi melihat komplek pemakaman milik keluarga Van Motman itu. Udah jaraknya jauh banget dari Bogor Kota, ngga punya info jelas mengenai cara ke sana, macet total, angkutan umumnya ngetem mulu...lengkap sudah !

Dan, tibalah gue dan Ony di kawasan Gunung Kapur Ciampea. Untuk memasuki kawasannya, gue harus melewati hutan jati yang sangat luas dan lumayan rimbun. Setelah melewati hutan jati, pengunjung akan menemukan sebuah pos kecil dan membayar tiket masuk Rp. 5,000 per orang.



Sekitar 200 meter dari pos masuk, gue dan Ony mulai mendaki bebatuan yang cenderung curam menuju puncak Gunung Kapur yang diberi nama Bukit Roti. Ngga ngerti deh kenapa dinamakan begitu.

Tiba di puncak, pemandangan yang tersaji adalah hamparan bebatuan yang mirip karang, teksturnya bolong - bolong dan tajam gitu....Jadi mirip tipis ama yang gue lihat di Goa Sunyaragi, Cirebon. Dari atas sini, gue bisa melihat dengan leluasa daerah Ciampea dan Leuwiliang, hingga Gunung Salak segala. Rasanya damai banget nongkrong di puncak sini....pemandangannya indah, udaranya sejuk, dan suasananya hening. Sebenarnya ada beberapa pengunjung lainnya yang juga asyik menikmati sore di puncak Bukit Roti, tapi ngga banyak - banyak amat, dan ngga macam alay - alay yang heboh dan berisik gitu.


Yang bikin seru pas mendaki atau memanjat menuju bukit Roti tuh karena medannya curam banget. Kadang gue sampai harus kayak merayap di bebatuannya biar ngga jatuh....maklumlah, body gue kan tambun, jadi agak susah menjaga keseimbangan. Bukitnya sebenarnya ngga tinggi - tinggi amat kok....jadi sebenarnya Gunung Kapur ini cocok banget buat pengunjung berstamina pas - pasan kayak gue gini.

Ketika berada di puncak Bukit Roti gue sempat mengobrol dengan seorang pengunjung lainnya, rupanya warga lokal Ciampea. Selain berbaik hati ngebantuin foto - foto, pemuda ini juga ngasih tahu mengenai spot - spot menarik lainnya di sekitar Gunung Kapur ini, yaitu Bukit Galau dan Bukit Lalana. Gue dan Ony langsung bertekad untuk segera mencari dan mengunjungi kedua lokasinya lain waktu.

Saat jam menunjukkan pukul 5 sore, gue dan Ony pun bersiap menuruni bukit Roti. Sebenarnya gue berdua betah berlama - lama di situ, tapi gimana dong....langit udah mulai gelap dan Bukit Roti semakin sepi ditinggalkan pengunjungnya. Udah gitu, gue juga mempertimbangkan perjalanan nan paaaaannnjaaannng...yang harus gue dan Ony lalui untuk kembali ke rumah nanti. Anggap aja perjalanan kali ini untuk perkenalan dulu, next time gue akan ke sini lagi lebih pagian.

Oya, Gunung Kapur Ciampea ini katanya juga salah satu lokasi favorit untuk camping loh! Tapi gue agak bingung gimana pengunjung bisa camping di situ, berhubung jarang dan sedikit banget tanah yang datar. Udah gitu, di kawasan ini juga masih bisa ditemui satwa monyet - monyet liar. Trus lagi, toilet atau sumber air bersih cuma ada di bawah, di kawasan hutan jati. Kesimpulannya, kalau gue mau camping dan bermalam di Bukit Roti mungkin gue akan stop minum mulai jam 3 sore deh.

Gue dan Ony pun melangkah pulang menyusuri hutan jati dengan hati girang, dan niat menggebu - gebu untuk balik lagi ke Gunung Kapur Ciampea ini, secepatnya.