Kemarin (Sabtu, 12 Maret 2016), gue dan Ony mendadak 'kabur' ke Purwakarta. Bisa dibilang ini perjalanan yang ngga direncanakan sama sekali. Paginya kebetulan gue harus ke kantor notaris di Depok untuk mengurus dokumen rumah, setelah itu tiba-tiba terbersit niat untuk ke Purwakarta. Ngapain ? Gue mau lihat 'kuburan' kereta di stasiun Purwarkarta.
Gue memang menyimpan minat dan ketertarikan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kereta api listrik (KRL). KRL, atau sekarang trendnya disebut commuter line, sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari gue sejak lama. Sejak SMA, mau ngga mau gue harus mengandalkan KRL sebagai alat transportasi sehari - hari untuk ke sekolah, dan sebaliknya. Saat itu, untuk ukuran siswa SMA, jarak antara rumah gue ke sekolah terbilang jauh. Gue tinggal di Lenteng Agung, dan bersekolah di Cawang. Rasanya gue sudah merasakan segala macam pengalaman getir dan ngga nyamannya sebagai penumpang kereta. Jadwal yang berantakan, kereta rusak, padatnya penumpang kereta yang menghimpit gue dari berbagai arah sampai bikin sesak nafas, segala macam aroma ngga sedap, copet, pelecehan....kayaknya sudah jadi 'makanan' sehari-hari.
Lalu sewaktu kuliah, karena lokasi kampus di Depok, gue ngga terlalu mengandalkan kereta lagi, hanya kadang sesekali pulang kuliah gue ikutan teman-teman naik kereta.
Begitu mulai bekerja, puji Tuhan gue dijauhkan dari transportasi ini. Berdasarkan pengalaman masa SMA dulu, naik kereta itu ngga nyaman banget. Cuma karena terpaksa, ngga ada pilihan lainnya. Jadi, semaksimal mungkin gue hindari menggunakan transportasi yang satu ini. Harus diakui, kereta tuh transportasi yang cepat, hemat waktu, dan murah banget. Namun sebisa mungkin...gue menjauhi diri dari penggunaan KRL, kecuali di saat weekend.
Tapi memang dasar jodoh....3 bulan terakhir gue malah 'dipertemukan' lagi dengan kereta. Seakan-akan mengulang cerita masa SMA dulu, sekarang gue kembali harus mengandalkan dan berteman akrab dengan si ular besi ini. Berhubung 3 bulan terakhir ini gue hijrah bekerja di kawasan Sudirman, Jakarta, jadilah sehari - hari gue menggunakan KRL sebagai alat transportasi dari rumah menuju kantor. Tapi keadaannya sudah jauh berbeda sejak jaman SMA gue dulu. KRL sekarang sudah jauh lebih nyaman, aman, dengan armada yang banyak. Meskipun begitu, bagi gue yang kadang suka sok mencari tantangan, kenikmatan berkereta bukan karena kenyamanannya semata...melainkan dari perjuangannya dan betapa kondisinya yang ngga bisa diprediksi. Seru kan ?
Kembali ke perjalanan ke Purwakarta kemarin, sehari sebelumnya, hari Jumat, gue iseng browsing informasi mengenai 'kuburan' kereta yang ada di stasiun Purwakarta. Menurut gue unik banget, dan gue langsung semangat untuk ke sana. Apa itu kuburan kereta ? Gue penggemar kuburan dan gue juga penggemar kereta. Di telinga gue 'kuburan kereta' terkesan sensasional banget.
Jadilah kelar urusan dengan notaris, gue dan Ony melesat ke Stasiun Depok Lama untuk naik kereta ke stasiun Jakarta Kota. Tujuan gue adalah naik kereta tujuan Purwakarta. Dari informasi yang gue dapatkan, jadwal keberangkatan kereta dari stasiun Jakarta Kota menuju stasiun Purwakarta ada di jam 10:15 pagi dan 12:45 siang. Tiba di stasiun Jakarta Kota, Ony pun antri membeli tiket untuk keberangkatan jam 12:45, harganya murah meriah parah : Rp. 6,000 saja. Ony antri...trus gue ngapain ? Makan ayam goreng lhaa di KFC...
Kereta dijadwalkan tiba di Purwakarta jam 15:15 sore. Tapi sial....mungkin karena harus menunggu banyak kereta lainnya yang lalu-lalang, kereta yang gue tumpangi baru tiba di stasiun Purwakarta nyaris jam 16:00.
Perjalanannya menantang banget....keretanya tuh padat penumpang berikut barang-barangnya, sementara AC (pendingin ruangan) yang tersedia kondisinya ngga optimal. Trus, ngga ada jendela terbuka dan ventilasi apapun...jadilah keadaan di dalam kereta luar biasa panas, gerah, dan dan sumpek.
Perjalanannya menantang banget....keretanya tuh padat penumpang berikut barang-barangnya, sementara AC (pendingin ruangan) yang tersedia kondisinya ngga optimal. Trus, ngga ada jendela terbuka dan ventilasi apapun...jadilah keadaan di dalam kereta luar biasa panas, gerah, dan dan sumpek.
Begitu tiba di stasiun Purwakarta, rasanya pengen loncat-loncat begitu lihat kereta-kereta bekas ditumpuk-tumpuk sampai tiga lapis. Lokasi ini dikenal sebagai 'kuburan' kereta, karena disinilah gerbong-gerbong kereta yang sudah tidak digunakan lagi, disimpan. Area ini adalah tempat peristirahatan terakhir berbagai jenis kereta, mungkin termasuk kereta lama yang sempat gue naiki semasa SMA dulu. Disusun dengan (menurut gue) rapi jadi pemandangan yang unik dan keren. Selain itu, tumpukan gerbong dengan warna-warni beraneka ragam itu, bikin kuburan kereta ini makin menarik dan mempesona. Caelahhh...!
Tantangan yang gue temui disini adalah adanya larangan untuk memotret dan bahkan larangan untuk berada di lokasi tersebut. Gue dan Ony bingung, alasannya apa ? Sewaktu baru tiba di stasiun Purwakarta dan begitu takjub melihat tumpukan kereta dan lalu memotretnya untuk pertama kali, gue sudah mendapatkan teguran dari seorang petugas keamanan. Meskipun kecewa, tapi gue pikir, mungkin demi alasan keamanan dan keselamatan, karena gue masih di kawasan di mana jalur keretanya dipergunakan untuk lalu-lintas kereta.
Rasa kecewa karena sudah menempuh perjalanan jauh dengan tingkat kenyamanan seminim itu, dan tidak diijinkan untuk menikmati kawasan kuburan kereta, membawa gue dan Ony mengendap-endap mencari jalan lain untuk menikmati kuburan kereta dari sisi lainnya.
Gue ngga mau pulang ke Jakarta begitu saja dengan hati kecewa...Please deh...perjalanan 3 jam lebih penuh keringat dalam kegerahan dahsyat tadi, dan ngga dapat apapun ?! Gue dan Ony pun memilih meninggalkan lokasi stasiun, lalu ke sisi belakang stasiun, dekat dengan rumah-rumah warga.
Gue ngga mau pulang ke Jakarta begitu saja dengan hati kecewa...Please deh...perjalanan 3 jam lebih penuh keringat dalam kegerahan dahsyat tadi, dan ngga dapat apapun ?! Gue dan Ony pun memilih meninggalkan lokasi stasiun, lalu ke sisi belakang stasiun, dekat dengan rumah-rumah warga.
Dan dari situ, gue akhirnya bisa menikmati kuburan kereta dengan leluasa. Horeeee !! Senangnya bukan main....lokasi ini dalam waktu singkat sudah bikin gue penasaran setengah mati. Saking penasarannya, dalam sekejap tanpa pikir panjang, gue sudah menginjakkan kaki di sini. Meskipun sempat ditegur petugas keamanan, tapi akhirnya tetap bisa menikmati sisi lain dari kuburan kereta.
Saat itu, ada beberapa pengunjung lainnya yang sedang hunting foto...maklum, tempatnya tuh unik banget. Dan gue girang membahana demi berada di tengah rongsokan besi tua ini.
Berhubung hari sudah semakin sore dan langit demikian gelap, mendung, dan gerimis mulai turun, gue dan Ony pun meninggalkan lokasi, mengambil langkah kembali ke Jakarta. Lucunya, gue berdua ngga ada petunjuk sama sekali bagaimana cara kembali ke Jakarta. Yang jelas, kereta bukan pilihan karena memang saat itu sudah tidak tersedia lagi kereta tujuan Jakarta. Akhirnya ketika mampir di sebuah warung untuk sekedar membeli minuman, gue dan Ony justru mendapat 'bonus' dari sang pemilik warung nan ramah, yang ngasih tahu transportasi ke arah Jakarta.
Setelah menikmati jajan batagor dan seblak di seberang Taman Air Mancur Sri Baduga, gue dan Ony naik angkutan umum tujuan Sadang No. 02, dengan sebelumnya berjalan kaki beberapa ratus meter menuju sebuah pertigaan yang nampak seperti pasar.
Seharusnya gue bisa naik angkutan ini di depan taman air. Namun karena sore itu taman air tersebut sedang bersiap untuk atraksi air mancur yang akan dilakukan malam harinya, kendaraan pun dialihkan.
Seharusnya gue bisa naik angkutan ini di depan taman air. Namun karena sore itu taman air tersebut sedang bersiap untuk atraksi air mancur yang akan dilakukan malam harinya, kendaraan pun dialihkan.
Tiba di simpangan Sadang, gue dan Ony naik bus AC Wahana Baru tujuan Jakarta (Kampung Rambutan), yang ongkosnya cuma Rp. 18,000. Perjalanan yang lumayan nyaman (kecuali dimana kenek bus merokok nonstop) selama kurang dari 2 jam saja.
No comments :
Post a Comment