18 Oktober 2021
Ke Semarang lagiiii....! Pertengahan tahun ini iseng - iseng gue beli voucher hotel Holiday Inn Simpang Lima pas lagi ada promo di tiket.com (kalo ngga salah). Saat itu gue pikir, beli dulu aja voucher hotelnya, berangkat ngga berangkat urusan nanti. Mungkin karena gue bener - bener happy stay di hotel ini pas trip sebelumnya.
Tanggal 15 Oktober 2021 gue pun berangkat dengan kereta api dari stasiun Gambir ke Stasiun Tawang, tiba lewat tengah malam. Ketika di Jakarta, gue ngga niat - niat amat untuk bikin rencana trip kemana - mana selama di Semarang. Tapi pas last minutes, terbersit niat mau ke Parakan. Parakan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Gue teringat ketika sekitar 2 tahun yang lalu, gue hampir join trip bertema heritage gitu ke Parakan. Pertama kali denger dan lihat foto - foto Parakan, gue langsung takjub dan kepengen ke sini. Foto - foto yang gue lihat adalah bangunan - bangunan tua dengan arsitektur Tionghoa yang ada di sana. Gue langsung teringat Lasem saat itu. Gue pikir hanya di Lasem ada sebuah kawasan dengan bangunan - bangunan tua bergaya Tionghoa yang masih lestari. Ternyata ada lagi di Parakan. Gue harus ke sana ! Namun akhirnya gue batal ikutan tripnya, karena persiapannya sangat mendadak.
Tiba - tiba gue teringat Parakan lagi menjelang trip Semarang kali ini. Meskipun pengen banget ke sana, tapi gue tahu tantangan untuk mengeksplor Parakan adalah....siapa yang akan jadi guide gue di sana ? Untuk trip - trip heritage seperti ini, sebagai wisatawan, gue harus ditemani oleh guide lokal di sana, karena agenda trip ini adalah mendatangi rumah - rumah yang biasanya masih dihuni pemiliknya.
Gue pun dengan tekunnya browsing - browsing baik di Facebook maupun IG, dan Puji Tuhan, 'perjuangan' gue ngga sia - sia. Gue mendapatkan kontak, seseorang yang bisa memandu gue selama di Parakan di hari Minggu, 17 Oktober. Senang banget!
Sampai gue tiba di Semarang gue belum mencari informasi mengenai bus menuju Parakan. Gue sempat mendapat rekomendasi untuk naik bus PO Nusantara. Tapi di hari Sabtu, 16 Oktober, gue baru mulai menghubungi pihak agent bus untuk booking tiket. Untung masih kebagian tiket, ternyata peminat bus banyak banget, dengan jam keberangkatan yang sangat terbatas. Mungkin tujuan peminatnya kebanyakan bukan hanya ke Parakan, karena rute bus ini adalah Semarang - Purwokerto via Wonosobo.
Minggu, 17 Oktober, gue berangkat ke pool PO Nusantara di Sukun, Banyumanik sekitar jam 6 pagi, karena bus akan berangkat jam 7 pagi. Kondisi busnya ngga sesuai harapan gue sih. Tapi gue maklum aja, harga tiketnya cuma Rp. 55,000. Pas bus berangkat gue langsung wanti - wanti ke keneknya kalo gue turun di Parakan, tepatnya di Rumah Sakit Kristen (Ngesti Waluyo). Gue pikir perjalanan sampai Parakan akan berlangsung sekitar 3 jam lebih. Tapi ternyata jauh lebih cepat, cuma 2 jam. Gue tertidur selama perjalanan, dan saat terbangun, gue cek Google Map, lokasi yang gue tuju tinggal 2 km lagi. Gue pun turun di RSK, menyeberang jalan, dan menumpang menunggu Mbak Lydia, guide gue, di sebuah kantor agent bus. Di situ gue sekalian beli tiket bus yang sama, untuk kembali ke Semarang di hari yang sama.
Setelah Mbak Lydia menjemput, gue pun diantar untuk melihat pasar tradisional bernama Pasar Entho untuk membeli jajanan pasar khas Parakan. Setelah itu Mbak Lydia membawa gue ke rumah bernama Omah Tjandie "Gotong Royong", yang tadinya merupakan tempat tinggal seorang pendekar kunthaw bernama Louw Tjeng Tie. Gue baru tahu kalo di Indonesia ada pendekar kungfu loh! Saat gue mengeksplor rumah ini, gue dipandu juga oleh Mas Dani yang masih ada hubungan keluarga dengan pemilik rumah ini. Dari Mas Dani, gue mendapatkan banyak cerita menarik mengenai rumah ini dan juga mengenai pendekar Louw Tjeng Tie. Rumahnya selain bagus banget dan masih kokoh, berdiri di tanah yang sangat luas dengan beberapa bangunan lainnya di dalam area yang sama. Di dalamnya gue bisa melihat foto - foto lawas sang pendekar yang diberi julukan Garuda Mas dan anggota keluarganya. Bahkan ada golok 13 pengawal yang dulu digunakan oleh sang pendekar.
Oya, ternyata di rumah ini juga menjadi tempat usaha pembuatan kue bolu. Jadi aroma semerbak bolu bisa tercium di seluruh ruangan.
|
Rumah Omah Tjandie |
|
Koleksi tombak dan foto lawas di rumah Omah Tjandie |
|
Dengan Mbak Lydia |
Dari rumah Omah Tjandie, tujuan berikutnya adalah ke sebuah rumah di Jalan Gambiran, posisinya masih bersebelahan dengan rumah Omah Tjandie. Menurut gue, ini rumah lawas yang paling otentik, cantik dan terawat, yang pernah gue kunjungi dan lihat langsung. Area...ato lebih pas gue sebut kompleks karena di area tersebut terdapat beberapa bangunan - bangunan rumah yang sama cantik dan kokohnya, terdapat dua bangunan rumah utama. Uniknya, rumah pertama yang menghadap ke Jalan Gambiran bergaya arsitektur Tionghoa, sementara bangunan di belakangnya bergaya arsitektur Indische. Gue yang penggemar bangunan kuno dan hal - hal berbau heritage, cuma bisa takjub dan terkagum - kagum selama di sini. Berada di sini beberapa saat rasanya kayak ditarik ke masa lampau dan selain gue bisa menikmati setiap detil keindahan kemanapun mata memandang, gue juga disuguhi rasa tenang dan damai, dan bikin gue betah berlama - lama di situ, meskipun ngga melakukan apapun atau mengobrol dengan siapapun. Perasaan kayak gini adalah ultimate goal ketika gue traveling.
|
Rumah bergaya Indische di Jalan Gambiran |
|
Bagian dalam rumah bergaya Indische di Jalan Gambiran |
|
Rumah bergaya Tionghoa di Jalan Gambiran |
Berhubung udah lewat waktu makan siang, Mbak Lydia pun mengajak gue makan di sebuah kedai makan bernama Bakmie Longkeng 426 yang berada di Jalan / gang Jogomertan. Tempatnya nyaman, teduh, makanannya juga enak dengan harga sangat terjangkau.
Kelar makan siang, Mbak Lydia mengantar ke kediaman Ci Lina, begitu panggilannya. Rumahnya vintage bergaya Tionghoa, mengingatkan gue sama rumah - rumah yang gue lihat di Lasem. Rumah Ci Lina berdiri di atas area yang sangat luas, karena selain bangunan rumah, di bagian samping dan belakangnya juga terdapat bangunan lainnya yang dijadikan gudang tembakau.
|
Bagian dalam rumah Ci Lina |
Dari kediaman Ci Lina, tujuan berikutnya adalah Klenteng Hok Tek Tong yang merupakan klenteng tertua di Parakan. Dari yang gue baca di laman http://parakan.temanggungkab.go.id/ disebutkan Klenteng ini dibangun sejak tahun 1840.
|
Klenteng Hok Tek Tong |
|
Klenteng Hok Tek Tong |
Berikutnya Mbak Lydia mengantarkan gue ke bangunan eks Kawedanan Parakan, yang juga merupakan salah satu bangunan cagar budaya di Parakan.
|
Eks Kawedanan Parakan |
Tujuan berikutnya adalah ke Jembatan Gantung Kali Galeh yang menghubungkan dua desa yaitu Desa Gandurejo dan Desa Kauman. Jembatan sepanjang 90 meter ini diresmikan langsung oleh Bapak Presiden Jokowi di tahun 2017 lho! Tujuan gue ke sini sebenarnya ingin menikmati keindahan Gunung Sumbing dari atas jembatan. Namun sayangnya saat itu sang gunung lagi malu - malu tertutup kabut, jadi sosoknya ngga nampak meskipun udah gue tungguin beberapa saat.
|
Jembatan Kali Galeh |
Berhubung sudah sore, gue dan Mbak Lydia pun menuju lokasi terakhir yaitu kediaman Mbak Lydia, yang dijadikan snake research center 'Tulala'. Di sana Mbak Lydia mengenalkan gue dengan sekitar 60 ular yang diawetkan, 9 ular yang masih hidup dan 5 anjing yang lucu - lucu. Namun berhubung gue masih sangat parno dengan ular, jadi gue belum berani untuk memegang apalagi menggendongnya.
|
Salah satu four legged friendnya Mbak Lydia |
Kunjungan ke rumah Mbak Lydia menjadi destinasi terakhir. Berikutnya, Mbak Lydia mengantarkan gue kembali ke pool bus di seberang RSK, dan sebelumnya mampir ke sebuah toko oleh - oleh khas Parakan. Bus PO Nusantara yang awalnya dijadwalkan berangkat jam 5.30 sore molor ke jam 6.20 sore karena macet di perjalanan.
Ketika bus datang, yang gue khawatirkan pun terjadi, gue ngga kebagian bangku. Gue pun minta bantuan kenek untuk mendapatkan bangku sesuai nomor yang tertera di tiket gue. Orang yang menduduki bangku gue, direlokasi entah kemana.
Perjalanan kembali ke Semarang memakan waktu lebih lama, mungkin karena hujan di sepanjang perjalanan dan kemacetan di beberapa titik. Saat bus sudah memasuki kawasan Semarang, disinilah insiden terjadi. Di saat bus berhenti di Transmart Banyumanik dan hampir sebagian penumpang turun, gue tenang - tenang aja duduk dengan asumsi bus tersebut akan berhenti di pool Sukun, lokasi yang sama bus diberangkatkan tadi pagi. Dari Transmart, gue memperhatikan bus malah berbelok ke arah kanan, dan tiba - tiba sudah memasuki gerbang tol. Gue mulai panik ! Ya Tuhan Yesus, gue mau dibawa kemana ?!
Meskipun dalam hati panik luar biasa, gue tetap berusaha tampak tenang. Gue ngga bisa melihat petunjuk arah jalan karena gelap dimana - mana. Sekonyong - konyong gue semakin bisa menerima kebodohan gue yang ngga ikutan turun di Transmart tadi. Ketakutan terbesar gue adalah....apakah bus ini akan menuju Surabaya ? Kalo iya, trus nyampe sana jam brapa, dan gue akan tinggal dimana ? Kalo masih siang dan terang sih ngga masalah, tapi kalo udah larut malam dan gelap gulita pas nyampe terminal, gimana nasib gue nanti ?? Rasanya pengen nangis saking takutnya, namun lagi - lagi, gue masih berusaha tampak tenang dan masih enggan bertanya ke kenek atau sopir.
Gue menoleh ke penumpang yang duduk di belakang gue dan bertanya tujuan akhir bus tersebut. Ke Demak, Kudus....jawabnya singkat. Saat itu gue agak lega. Kudus jaraknya masih ngga terlalu jauh dari Semarang. Gue pernah juga malam - malam lewat situ saat menuju Lasem dari Terminal Terboyo Semarang.
Lalu gue bilang ke si penumpang kalo gue salah turun, mestinya di Semarang tadi. Si pemuda, meskipun bersikap sedikit cuek, dengan berbaik hati membuka smartphonenya untuk cek lokasi saat itu. Trus dia bilang kalo saat itu lokasi masih di Semarang. Gue pun langsung mendekati sopir dan seakan - akan sedang melakukan pengakuan dosa gue bilang, "Pak, saya salah turun, mestinya tadi di Semarang. Saya mau ke Simpang Lima, gimana caranya ?" Pak Sopir dan Pak Kenek kompak merespon semacam....wahhh harusnya turun tadi....mestinya nanya kalo bingung...semacam itu deh. Pak Sopir yang baik dan nampak khawatir dengan ketersesatan gue langsung menghentikan bus di depan RSI Sultan Agung, sambil bilang, "Turun di sini aja ya, yang masih terang. Nanti naik Grab aja". Dan gue pun turun di depan pintu keluar parkir RSI Sultan Agung. Jalanan sekeliling gelap gulita, cuma RSI ini aja yang terang.
Gue pun langsung membuka aplikasi Grab untuk mencari Grab Car. Notifikasinya, semua driver terdekat sedang busy. Lalu Grab Bike...lagi - lagi semua driver busy. Trus gue buka Go Car. Puji Tuhan, gue langsung mendapatkan driver yang posisinya ga jauh dari situ. Begitu di dalam mobil Go Car sang driver nanya apakah gue menunggu lama sampai mendapatkan driver. Gue bilang ngga, kayaknya hanya 5 menit. Menurut drivernya, di area itu sangat jarang ada ojek atau taksi online, bisa menunggu sampai 1 jam. Aduh...gue bersyukur banget!
Gue tiba di hotel dengan kelegaan yang tak terkatakan. Waktu di dalam bus dengan ketidakpastian gue akan dibawa kemana tadi itu, jantung kayaknya udah copot dan menggelinding ke sana kemari.
Meskipun dengan insiden salah turun bus tadi, gue sangat terkesan, happy, dan puas dengan perjalanan ke Parakan ini, yang gue arrange secara mendadak. Gue sangat terkesan dengan keindahan Parakan, dengan keramahan warganya, dengan kebaikan dan handalnya pemandu gue, Mbak Lydia. Dan selain itu, dengan kenekatan gue yang berani untuk menempuh perjalanan ke tempat baru, demi menjawab rasa penasaran untuk mengunjungi sesuatu yang sudah lama bikin gue penasaran. Parakan pastinya destinasi yang ingin gue kunjungi lagi suatu saat, karena gue baru sadar, Parakan kaya akan obyek wisata, baik budaya maupun alamnya, dan kunjungan singkat gue kali ini, yang cuma kurang dari 24 jam ini, masih jauh dari cukup untuk bisa mengeksplorasi keindahan Parakan yang lainnya.