Pagi ini gue meninggalkan rumah lumayan pagi, untuk ukuran hari Sabtu alias libur. Sekitar jam 09:30 pagi gue menuju kantor Pegadaian di kawasan Matraman untuk mengurus jasa titipan. Setelah urusan kelar di sekitar jam 12:00 siang, tujuan berikutnya adalah....Museum Sumpah Pemuda.
Namun yang akan gue share sekarang bukan Museum Sumpah Pemuda, melainkan tujuan gue berikutnya, yaitu Museum Kebangkitan Nasional. Sebenarnya....sejujurnya....(ini memalukan)....gue ngga pernah sadar dan tahu ada museum ini ! Gue mendengar namanya dari salah seorang petugas keamanan di Museum Sumpah Pemuda yang sangat baik dan ramah, ketika sedang mengobrol ringan tadi. Bahkan si bapak petugas inilah yang dengan cekatan dan tanpa diminta memberhentikan bajaj yang lewat depan museum, dan menegosiasikan ongkosnya dengan si sopir. Baik banget....!
Museum Kebangkitan Nasional terletak di Jl. Abdul Rachman Saleh No. 26, Senen, Jakarta Pusat. Dari Museum Sumpah Pemuda, sopir bajaj mengambil arah lurus sampai melewati persimpangan Senen dan Atrium Senen. Kemudian berbelok ke kiri di Paviliun Kartika RSAD Gatot Subroto, di mana setelah berbelok di sisi kiri adalah kantor Pegadaian. Ongkos bajaj dari Museum Sumpah Pemuda ke Museum Kebangkitan Nasional adalah Rp. 10,000.
Tiba di Museum Kebangkitan Nasional, yang dikenal juga sebagai Gedung STOVIA, gue udah terpesona sejak berada di halaman luar bangunannya. Melihat bangunannya jadi teringat dengan foto - foto di buku-buku sejarah yang pernah gue baca. Gue ngga pernah tahu ada bangunan seperti ini masih lestari di Jakarta. Bangunannya tuh kuno, klasik, bergaya kolonial, dan yang jelas megah !
Gedung ini dibangun sejak tahun 1899, dan sudah mengalami peralihan fungsi beberapa kali. Awalnya gedung ini merupakan School Tot Opleiding van Inlandsche Artsengue (STOVIA) atau Sekolah Dokter Bumiputra. Seiring waktu, STOVIA dipindahkan ke kawasan Salemba, yaitu yang sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sejak itu gedung tersebut digunakan sebagai sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat SMP dan SMA. Berikutnya, pada masa pendudukan Jepang, fungsinya berganti menjadi rumah tahanan bagi pasukan Belanda yang melawan Jepang. Dan di masa kemerdekaan, gedung ini menjadi tempat tinggal yang dihuni oleh keluarga tentara Belanda dan Ambon.
Ketika memasuki bagian dalam gedung, gue kembali dibikin terpesona dengan betapa luasnya komplek gedung ini. Di tengah - tengah komplek terdapat taman yang hijau karena banyak dipenuhi pepohonan rindang. Selain itu yang bikin takjub tentu aja bangunan-bangunannya yang...gimana ya....di mata gue terkesan kaku ala militer namun elegan banget !
|
Monumen Peringatan 125 Tahun Pendidikan Kedokteran
di Indonesia |
|
|
Pintu masuk museum |
|
Koridor dan taman |
Ketika hendak membeli tiket masuk, gue bertambah takjub lagi dan lagi, karena harga tiketnya : dua ribu rupiah sahaja. Salut ! Untuk memasuki komplek seindah ini, gue dan pengunjung lainnya cukup merogoh kantong Rp. 2,000 saja. Padahal dari fisik bangunan dan komplek yang sangat luas, namun tampak sangat rapih, bersih dan terawat itu saja, gue ngga bisa membayangkan berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk perawatannya.
Apa yang bisa gue peroleh dari membayar Rp. 2,000 ? Mula-mula gue diarahkan ke ruang informasi, di sana seorang petugas membagikan brosur profil Museum Kebangkitan Nasional ditambah sebuah pulpen...baik banget sih...! snack ama makan siangnya ngga skalian nich ??
|
Lonceng sekolah |
Meninggalkan ruang informasi, gue pun mulai menyusuri dan keluar masuk setiap ruang demi ruang....koridor demi koridor....bangunan demi bangunan...dan berkesempatan menyaksikan barang - barang yang dipamerkan, dilengkapi dengan informasi lengkap berupa tulisan sejarah yang berhubungan dengan museum ini dan tentunya sejarah kebangkitan nasional, yang menurut gue sangat menarik dan detail.
|
Patung dr. Soetomo |
|
Para pengurus organisasi Budi Utomo |
|
Seandainya aku orang Belanda (Ki Hajar Dewantara) |
Mungkin karena asal-muasalnya sebagai sekolah kedokteran, jadi di sini banyak dipamerkan alat-alat dan perlengkapan kedokteran yang digunakan di jaman dulu. Seperti alat - alat bedah...alat pembuatan tablet obat...alat rontgen....alat bantu pernafasan....dan...(gue baru tahu ada alat begini di dunia ini...) alat pemecah kepala! Dan semuanya jauh dari kesan 'canggih' di mata gue. Menarik untuk gue yang melihatnya di masa sekarang, tapi gue rasa mengerikan untuk pasien - pasien yang terpaksa harus menggunakannya di masa itu.
|
Alat pemecah kepala |
|
Alat rontgen |
|
Alat pembuat tablet |
|
Alat penggiling obat-obatan |
|
Alat bantu pernafasan |
Ruangan menarik berikutnya adalah asrama mahasiswa yang berupa bangsal, dilengkapi dengan belasan kasur seadanya, dan juga lemari pakaian. Malah mengingatkan gue sama hostel - hostel tempat gue biasa menginap di saat bekpekeran. Tapi yang ini terkesan sedikit menakutkan.
Gimana pun....ruang pamer seperti ini belum pernah gue lihat dan bayangkan sebelumnya. Unik, dan seakan-akan membawa pengunjung yang memasukinya, kembali ke era tahun 1900an, di mana gedung STOVIA ini masih aktif digunakan. Setelah menyelesaikan kegiatan belajarnya di sekolah, ke sinilah para mahasiswa kedokteran itu akan kembali untuk beristirahat...bercengkerama antar sesama penghuni kamar dengan berisiknya....lalu di malam hari mungkin akan terdengar suara dengkuran bersahut-sahutan....di pagi hari kesibukan dimulai dengan mengantri kamar mandi....Pikiran gue langsung membayangkan dan kangen akan serunya kehidupan ala dormitory...
|
Asrama mahasiswa |
|
Ruang Anatomi |
|
Ruang kelas terbuka |
|
Ruang pameran |
|
Ruang dosen |
Yang bikin gue kurang nyaman berada di gedung STOVIA hanya dua hal. Pertama, berhubung siang tadi cuaca amat sangat panas sekali, jadi gue dilanda kegerahan maksimal ! Ngga semua ruangan dilengkapi fasilitas AC. Di beberapa ruangan, yang bentuknya seperti bangsal, seluruh jendelanya dibiarkan dalam keadaan tertutup. Jadi beberapa ruangan terasa sangat lembab dan pengap. Kedua, karena gue belum sarapan dan makan siang, alias dalam kondisi merana menahan lapar dan haus. Untunglah, Ony yang datang belakangan membawakan gue stok cemilan dan minum...cukup untuk menghilangkan rasa lapar sejenak. Tapi cuma sejenak....
|
Gerah, lapar, tapi happy |
Sebenarnya gue bisa membayangkan nikmatnya berlama - lama di gedung bersejarah ini. Karena ada ketenangan luar biasa yang disuguhkan...Dan mengingat ini bukanlah gedung sembarangan, melainkan gedung yang merupakan saksi sejarah yang sangat fenomenal, menimbulkan sensasi dan perasaan spesial tertentu.
Setelah cukup puas berkeliling menjelajahi hampir setiap sisi dan sudut komplek, karena ngga tahan dengan serangan gerah dan lapar yang terasa, gue dan Ony pun meninggalkan gedung STOVIA.
Jadi, dengan dua ribu rupiah saja, gue menghabiskan waktu sekitar 2 jam di gedung nan antik ini, dan berkesempatan melihat, membaca, dan menyerap informasi dan pengetahuan sejarah yang cukup menarik di dalamnya. Dan menikmati segala ketenangan dan keindahan yang tersaji di dalam komplek, terutama dari bangunan - bangunan klasik dan antiknya, serta tamannya hijau luas. Di lain kesempatan, gue pasti akan berkunjung ke sana lagi...
No comments :
Post a Comment