Hari ini akhirnya gue berkesempatan mengunjungi Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi. Lokasinya berada di Jalan Lembang 58D, Jakarta Pusat. Gue sudah 'mengincar' museum ini sejak mulai pindah kerja ke Jakarta. Berarti sudah 2 bulan lebih...
Setiap pagi, dalam perjalanan commuter line tujuan Sudirman, gue akan melewatinya. Dan setiap pagi pula, setelah meninggalkan stasiun Manggarai menuju Stasiun Sudirman, gue akan memusatkan perhatian, dengan tatapan fokus, memandangi bangunan museum ini. Ngga peduli di saat kondisi gerbong commuter line lagi padat tak terkira sampai badan gue rasanya remuk redam dan bernafas pun sulit, atau di saat kondisinya lagi longgar, gue ngga akan mau berdiri jauh dari pintu kereta. Tujuan gue selalu mengambil posisi dekat pintu adalah supaya bisa melihat bangunan museum, meskipun cuma beberapa detik lamanya.
Setiap pagi, dalam perjalanan commuter line tujuan Sudirman, gue akan melewatinya. Dan setiap pagi pula, setelah meninggalkan stasiun Manggarai menuju Stasiun Sudirman, gue akan memusatkan perhatian, dengan tatapan fokus, memandangi bangunan museum ini. Ngga peduli di saat kondisi gerbong commuter line lagi padat tak terkira sampai badan gue rasanya remuk redam dan bernafas pun sulit, atau di saat kondisinya lagi longgar, gue ngga akan mau berdiri jauh dari pintu kereta. Tujuan gue selalu mengambil posisi dekat pintu adalah supaya bisa melihat bangunan museum, meskipun cuma beberapa detik lamanya.
Pernah juga ketika gue sedang malas makan siang di kantor, gue kepikiran untuk naik Gojek dan melarikan diri ke sini. Tapi batal, karena dengan begitu artinya gue cuma bisa menikmati berada di museum sekitar 1 jam....terlalu singkat. Dan akhirnya hari ini gue dan Ony bisa ke sana....cihuyyy!!
Museum Sasmitaloka Pahlawan tadinya adalah kediaman Jenderal Ahmad Yani, yang terakhir menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat RI, beserta keluarganya. Rumah yang luas dan terkesan antik ini adalah saksi sejarah, tepatnya ketika Jend. Ahmad Yani diculik dan dibunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September, yang berlangsung mulai dari tanggal 30 September 1965 malam hingga 01 Oktober 1965. Ketika itu 7 (tujuh) orang perwira tertinggi Indonesia, salah satunya Jend. Ahmad Yani, serta beberapa orang lainnya, diculik dan dibunuh, sebagai bagian dari usaha pencobaan kudeta.
Gerakan 30 September ini kayaknya salah satu peristiwa sejarah yang paling melekat dalam ingatan gue, karena gue tumbuh di era dimana film propaganda berjudul Pengkhianatan G 30 S PKI diputar setiap tahun, tepatnya setiap tanggal 30 September. Film yang menurut gue lebih menyerupai film horor daripada sejarah. Salah satu tagline yang paling fenomenal dan ngga akan gue lupakan dalam hidup gue adalah "Darah itu merah, Jenderal!" dan itu adalah sisa-sisa kenangan gue akan film yang suram dan mencekam itu.
Kembali ke Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi, nama ini memiliki maksud : tempat semangat juang, jasa, pengabdian dan pengorbanan Pahlawan Revolusi diabadikan. Memasuki rumahnya, gue bisa menyaksikan koleksi foto-foto Jend. Ahmad Yani. Baik dalam kiprah karirnya sebagai perwira Angkatan Darat, sampai dengan peristiwa Gerakan 30 September, dan yang bikin merinding, saat para jenazah korban dievakuasi dari Lubang Buaya.
Pintu
masuk yang disediakan untuk pengunjung bukanlah pintu sembarangan.
Pintu ini adalah salah satu saksi bisu peristiwa mengerikan yang terjadi
pada 01 Oktober 1965 sekitar subuh. Saat itu, tiga orang prajurit
berseragam datang menjemput sang Jenderal, dengan alasan untuk menghadap
Presiden. Jend. Ahmad Yani pun bermaksud untuk berganti pakaian karena
saat itu beliau masih menggunakan pakaian tidurnya. Namun prajurit
berseragam tersebut menolak dan melarangnya, dan hal ini membuat sang
Jenderal marah dan lalu menamparnya. Kemudian beliau menutup pintu,
membalikkan badannya, dan melangkah menuju kamar tidurnya.
Dari balik pintu kaca inilah prajurit tersebut melepaskan tembakannya, diarahkan tepat pada sang Jenderal. Ketujuh peluru mengenai sang Jenderal. Sebagian peluru bersarang di tubuhnya, dan sebagian lagi tembus menerjang sebuah lukisan dan lemari. Jend. Ahmad Yani ambruk di lantai, dengan darah menggenang.
Dan tubuh sang Jenderal pun diseret melewati lorong dapur dan kamar mandi, menuju pintu keluar yang ada di samping rumah. Kondisi rumah saat itu, dengan jejak darah dimana-mana, didokumentasikan dalam bentuk rangkaian foto yang juga dipajang pada galeri yang terdapat di ruang awal ketika pengunjung masuk tadi.
Mendengar kisahnya dan berada tepat di lokasi kejadiannya, meskipun peristiwa itu terjadi sekitar 50 tahun silam, tapi perasaan ngeri demi membayangkan peristiwa sadis dan menyeramkan itu, ngga bisa terelakkan.
Ketika
masuk ke bagian utama rumahnya, pengunjung diperbolehnya untuk melihat -
lihat seluruh kamar dan ruangan, mulai dari kamar tidur, ruang kerja,
ruang makan, ruang tamu....semuanya. Urusan memotret pun disini
diperbolehkan....kecuali ruang tidur Jend. Ahmad Yani. Kamar ini boleh
dilihat, tapi memotret area ini dilarang.
Seluruh
ruang dan kamarnya masih berisi koleksi barang-barang dan properti
seperti adanya ketika ditempati oleh Jend. Ahmad Yani dan keluarganya.
Berada di sini beberapa saat, memandangi setiap barang, lukisan, dan
foto-foto yang menghiasi rumah ini, dalam kesunyian yang ada, serasa
masuk lorong waktu dan gue ditarik kembali ke tahun - tahun silam itu.
Dan entah mengapa, hal itu menimbulkan perasaan kelam dan sedih,
mengingat ada peristiwa mengerikan pernah terjadi di sini kala itu.
Dari balik pintu kaca inilah prajurit tersebut melepaskan tembakannya, diarahkan tepat pada sang Jenderal. Ketujuh peluru mengenai sang Jenderal. Sebagian peluru bersarang di tubuhnya, dan sebagian lagi tembus menerjang sebuah lukisan dan lemari. Jend. Ahmad Yani ambruk di lantai, dengan darah menggenang.
Dan tubuh sang Jenderal pun diseret melewati lorong dapur dan kamar mandi, menuju pintu keluar yang ada di samping rumah. Kondisi rumah saat itu, dengan jejak darah dimana-mana, didokumentasikan dalam bentuk rangkaian foto yang juga dipajang pada galeri yang terdapat di ruang awal ketika pengunjung masuk tadi.
Mendengar kisahnya dan berada tepat di lokasi kejadiannya, meskipun peristiwa itu terjadi sekitar 50 tahun silam, tapi perasaan ngeri demi membayangkan peristiwa sadis dan menyeramkan itu, ngga bisa terelakkan.
Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi |
Ruangan Ajudan |
Ruang tamu |
Pintu yang ditembus 7 peluru oleh pasukan Cakrabirawa |
Ruang Makan |
Ruang Makan |
Pesan Soekarno |
Catatan harian Jend. Ahmad Yani |
Benda - benda menarik lainnya yang gue lihat di sini, juga menimbulkan perasaan sentimentil tersendiri. Salah satunya adalah tulisan putri Jend. Ahmad Yani, Ibu Amelia, yang berjudul "Suara dari Keabadian".
7 peluru menembus dadaku, merobek-robek jasadku, sekujur tubuhku nyeri dan panas, kudengar tangismu, kudengar jeritanmu anakku, bapak....bapak, tetapi aku tidak berdaya, di tangan mereka.
Gue harus membacanya super perlahan...karena setiap kata yang gue baca, bikin gue merasakan pedih dan sedihnya, dan tanpa sadar mata gue sudah berkaca-kaca.
Mereka melempar dan menginjak-injak tubuhku yang terluka parah,
kemudian membawaku jauh, kudengar mereka berteriak :Yani wis dipateni,
Yani wis dipateni.....
Kali ini, tak terhindarkan, gue membaca setiap untaian kata yang merupakan curahan hati Ibu Amelia, dengan air mata mengalir perlahan....Gue pun memutuskan untuk memotret tulisan dalam pigura itu agar bisa membacanya nanti di rumah.
Ini salah satu museum paling mengesankan buat gue. Berada di sini seperti membaca lembaran sejarah dan membuat gue dan Ony bisa napak tilas peristiwa yang terjadi pada 01 Oktober 1965, yang berakhir dengan gugurnya sang pemilik rumah, sekaligus salah satu pahlawan revolusi, Jend. Ahmad Yani. Museum ini juga menyentuh sisi emosional gue, karena baik ketika berada di dalamnya atau pun ketika meninggalkannya, ada setitik perasaan sedih, suram, dan getir tersisa di hati gue.
Museum ini menjadi salah satu museum favorit gue. Dan gue yakin meskipun sudah berhasil mengunjunginya hari ini, tapi hari - hari esok saat commuter line yang gue tumpangi melintasinya, gue akan selalu memandanginya dengan rasa kagum.
Museum ini menjadi salah satu museum favorit gue. Dan gue yakin meskipun sudah berhasil mengunjunginya hari ini, tapi hari - hari esok saat commuter line yang gue tumpangi melintasinya, gue akan selalu memandanginya dengan rasa kagum.
No comments :
Post a Comment