Gue bangun tidur dengan badan masih pegal. Tidur gue semalam, yang cukup singkat, belum bisa membayar rasa lelah perjalanan selama 8 jam dari Makassar ke Tana Toraja kemarin. Tapi berhubung kemarin malam gue sempat sok percaya diri bisa bangun pagi dan minta Bang Ino untuk jemput sepagi mungkin, dengan berat, gue melangkah meninggalkan kasur gue yang minimalis itu.
Begitu mematikan exhaust fan kamar yang super berisik, gue baru bisa mendengar kalau di luar sana sedang turun hujan. Hmm....sebenarnya gue ngotot minta dijemput pagi karena Bang Ino kemarin bilang akan mengantar gue ke tempat, mungkin yang dimaksud daerah pegunungan gitu, dan gue langsung membayangkan pemandangan yang dimaksud seperti....negeri di atas awan, gitu. Tapi kalau hujan begini, akankah gue beruntung melihat pemandangan indah itu ? Lalu gue pun tiba pada pergumulan antara kembali ke kasur minimalis yang mempesona itu....atau mandi. Akhirnya gue melangkah ke kamar mandi dengan terseok-seok menahan kantuk.
Selesai mandi, gue berpakaian siap 'jalan', dan langsung terjun ke kasur lagi. Mumpung belum dijemput, gue akan menggunakan waktu sebijak mungkin....merebahkan badan.
Ketika Bang Ino tiba di Wisma Sarla, sebenarnya gerimis masih turun. Tapi gue ngga punya pilihan, karena ngga mungkin nungguin hujan benar-benar reda. Begitu di luar wisma gue kaget dan bingung, karena kali ini Bang Ino menggunakan jenis motor trail. Gawat ! Ini bukan jenis motor favorit gue, dan gue hindari sebisa mungkin untuk menaikinya. Ngelihatnya aja sudah bikin cape duluan....gimana naiknya....gimana nanti pas duduk...??! Tapi saat itu gue ngga sempat protes, karena masih hanyut dalam kebingungan. Dengan postur gue yang overweight ini, untuk naik ke boncengannya aja adalah tantangan tersendiri.
Rasanya cuma setingkat lebih ringan dibanding ketika gue berusaha naik ke punggung kuda. Gue ingat waktu berlatih berkuda beberapa tahun silam....untuk naik ke punggung kuda adalah tantangan luar biasa yang gue hadapi. Gue harus dibantu oleh pelatih di sisi kiri, dan kadang Ony di sisi kanan kuda. Entah siapa bertugas apa....yang jelas, ketika kaki kiri gue sudah berpijak di sanggurdi, gue memerlukan bantuan baik fisik maupun mental, agar bisa mengangkat body tambun gue (yang pemalas ini) hingga mendarat di pelana, dan memposisikan kaki kanan di sanggurdi kanan. Kadang gue menggunakan cara curang, yaitu dengan menaiki pagar terlebih dahulu, yang gue gunakan sebagai tangga untuk 'naik' ke punggung kuda. Dan jika hal itu gue lakukan, gue akan mendapatkan teguran sinis dari sang pelatih. Ahh...dia ngga ngerti aja betapa beratnya beban bobot gue dan gerakan yang menurut dia sepele semacam itu ngga mudah untuk gue lakukan.
Rasanya cuma setingkat lebih ringan dibanding ketika gue berusaha naik ke punggung kuda. Gue ingat waktu berlatih berkuda beberapa tahun silam....untuk naik ke punggung kuda adalah tantangan luar biasa yang gue hadapi. Gue harus dibantu oleh pelatih di sisi kiri, dan kadang Ony di sisi kanan kuda. Entah siapa bertugas apa....yang jelas, ketika kaki kiri gue sudah berpijak di sanggurdi, gue memerlukan bantuan baik fisik maupun mental, agar bisa mengangkat body tambun gue (yang pemalas ini) hingga mendarat di pelana, dan memposisikan kaki kanan di sanggurdi kanan. Kadang gue menggunakan cara curang, yaitu dengan menaiki pagar terlebih dahulu, yang gue gunakan sebagai tangga untuk 'naik' ke punggung kuda. Dan jika hal itu gue lakukan, gue akan mendapatkan teguran sinis dari sang pelatih. Ahh...dia ngga ngerti aja betapa beratnya beban bobot gue dan gerakan yang menurut dia sepele semacam itu ngga mudah untuk gue lakukan.
Dan hari ini gue harus berpetualang seharian dengan motor trail. Untuk naik ke atas boncengan gue harus pegangan pada punggung Bang Ino, yang gue yakin pasti terbebani dengan bobot gue yang ngga ringan....biarin....Tantangan berikutnya dimulai tepat ketika motor mulai melaju menuju Batu Tumonga. Ya Tuhan....gue serasa sedang menunggang kuda, tapi kali ini tanpa tali yang bisa gue gunakan untuk pegangan sekaligus kendali. Ngga berdaya....Jadilah gue pasrah berpegangan pada bagian belakang motor, entah apa namanya itu....dan setiap kali tangan gue memegangnya, gue bisa merasakan basah dan kotornya bagian itu, dan gue harus berulang-ulang membersihkan tangan dengan tissue. Kejamnya motor trail!
Tantangannya bertambah berlipat-lipat karena selain jarak yang ditempuh sangat panjang, juga medan yang ngga mudah dan mulus. Kadang menanjak tajam....lalu menurun....kadang jalannya mulus....kadang becek, licin dan berbatu. Yang bisa gue lakukan cuma berusaha (tampak) tenang, dan sesekali menyelipkan doa kepada Yesus sang Maha Pelindung, supaya gue ngga terjatuh atau terpeleset, atau terjungkal ke belakang. Jika itu terjadi, gue mungkin ngga akan tewas....tapi selain itu menyakitkan dan memalukan, gue juga memikirkan kalau celana dan baju yang gue kenakan ngga boleh sampai basah dan kotor, karena stok baju dan celana yang gue bawa dari Jakarta sangat minim.
Tantangannya bertambah berlipat-lipat karena selain jarak yang ditempuh sangat panjang, juga medan yang ngga mudah dan mulus. Kadang menanjak tajam....lalu menurun....kadang jalannya mulus....kadang becek, licin dan berbatu. Yang bisa gue lakukan cuma berusaha (tampak) tenang, dan sesekali menyelipkan doa kepada Yesus sang Maha Pelindung, supaya gue ngga terjatuh atau terpeleset, atau terjungkal ke belakang. Jika itu terjadi, gue mungkin ngga akan tewas....tapi selain itu menyakitkan dan memalukan, gue juga memikirkan kalau celana dan baju yang gue kenakan ngga boleh sampai basah dan kotor, karena stok baju dan celana yang gue bawa dari Jakarta sangat minim.
Meskipun bukan gue yang mengendarai motor, dan bukan gue yang harus membonceng turis Jakarta bertubuh tambun, tapi rasanya gue yang paling lelah dibandingkan Bang Ino. Lelah karena sepanjang jalan menahan rasa takut....
Target pertama untuk melihat 'negeri di atas awan' ngga sesukses yang diharapkan....tapi gue maklum, karena cuaca ngga mendukung. Dan untuk gue pribadi yang tinggal di Jakarta, bisa menyaksikan hamparan dan gerakan kabut, di atas bukit dan sawah, adalah keindahan yang mata gue ngga pernah lihat sebelumnya.
Lokasi selanjutnya adalah Lokomata, kuburan pada batu berukuran besar, yang posisinya dekat dengan jalan utama. Momen di mana gue bisa 'beristirahat' dari motor trail itu adalah momen yang paling gue syukuri. Karena gue bisa mengistirahatkan diri secara fisik dan mental dari perjalanan super menantang itu. Di sini selain bisa memanjakan mata demi melihat kuburan-kuburan khas masyarakat Toraja, keasyikan lainnya adalah gue bisa merendam kaki dengan aliran air yang dingin dan menyegarkan, karena ada semacam sungai kecil di depannya.
Hal menyenangkan dengan di-guide oleh Bang Ino adalah kesabarannya meladeni kemauan, mood, dan sikap gue yang banyak maunya dan kadang aneh, dan juga karena dia cukup fleksibel dalam menuruti permintaan gue. Fleksibel juga dalam hal waktu, karena kayaknya sejauh ini gue diberi kebebasan untuk menikmati suatu tempat, selama atau sesingkat waktu, sesuai keinginan gue. Contohnya kali ini....gue betah dan di'bolehkan' berlama - lama di sini, selain karena gue menikmati pemandangan dan ketenangannya....juga karena gue ngga ingin buru-buru kembali ke motor trail itu.
Hal menyenangkan dengan di-guide oleh Bang Ino adalah kesabarannya meladeni kemauan, mood, dan sikap gue yang banyak maunya dan kadang aneh, dan juga karena dia cukup fleksibel dalam menuruti permintaan gue. Fleksibel juga dalam hal waktu, karena kayaknya sejauh ini gue diberi kebebasan untuk menikmati suatu tempat, selama atau sesingkat waktu, sesuai keinginan gue. Contohnya kali ini....gue betah dan di'bolehkan' berlama - lama di sini, selain karena gue menikmati pemandangan dan ketenangannya....juga karena gue ngga ingin buru-buru kembali ke motor trail itu.
Lokomata |
Berikutnya, gue diantar ke beberapa tempat menakjubkan lainnya yaitu Buntu Lobo' dan Situs Purbakala Bori. Yang paling membuat gue terpesona adalah Buntu Lobo'. Rasanya gue ngga pernah melihat keindahan (alam) semacam itu seumur hidup gue...dan ngga ada kata-kata yang bisa gue gunakan untuk mendeskripsikan tempat itu, pemandangan itu, yang membuat gue seakan-akan tersihir oleh keindahannya. Itu momen dimana hati gue cuma bisa berbisik, "Terberkatilah Tana Toraja, karena mereka memiliki alam seindah ini...." Gue agak berlama - lama di situ....sekali lagi....selain karena gue ingin membebaskan diri dari motor trail itu....karena gue juga ingin memuaskan mata melihat hamparan keindahan di hadapan gue, sambil dalam hati sedikit mengeluh, "Ya Yesus, jika gue merindukan tempat ini dan ingin kembali sini....betapa jauhnya jarak dan waktu yang harus gue tempuh...."
Buntu Lobo' |
Buntu Lobo' |
Bori |
Bori |
Pallawa |
Pallawa |
Pallawa |
Nenek pemintal benang....sayang lupa nanya namanya :( |
'Agenda' yang gue tunggu - tunggu pun tiba....jam makan siang !! Berhubung gue sudah berpesan sejak kemarin kalau gue ingin menikmati hidangan khas lokal, maka gue diantarkan ke sebuah warung makan, dimana, kata Bang Ino, gue bisa memesan menu pantolo' bale, yang katanya terbuat dari ikan lele. Tapi begitu melihatnya langsung, gue super terkejut, karena lelenya berukuran ekstra jumbo, dan gue ngga pernah lihat yang seperti ini di Jakarta atau di mana pun sebelumnya.
Kelar makan, gue minta diantar kembali ke Wisma Sarla terlebih dahulu. Lumayan....di wisma gue sempat mandi, beristirahat sejenak, me-recharge handphone dan kamera, dan menelepon Mama. Menelepon Mama adalah agenda yang tidak boleh dilewatkan dan dilupakan, karena Mama bisa khawatir sejadi-jadinya jika dalam waktu tertentu tidak menerima kabar dari gue. Jika Mama sudah dalam level khawatir dan panik, biasanya Mama akan meminta seluruh anggota keluarga mulai dari Bapak, kedua abang, kakak, dan juga adik gue untuk turut serta mencoba menghubungi gue. Dan hal itu sedikit banyak membebani gue yang mungkin saja sedang berada di lokasi antah-berantah...begitu terlena menikmati petualangan gue, dan mendadak mendapatkan telepon masuk bertubi-tubi dari keluarga gue yang panik (tanpa sebab).
Gue pikir kali ini Mama lebih tenang melepas kepergian gue ke Makassar dan Tana Toraja, karena sesuai keinginannya, gue ngga keluar negeri, melainkan masih di wilayah Indonesia. Lalu kemarin, 13 Januari 2016, justru kejadian tak terduka terjadi di Jakarta, yaitu teror bom Thamrin. Karena daerah Thamrin dekat dengan lokasi kerja gue dan Anggira (di Sudirman), jadi asumsi gue Mama akan 'sibuk' dan fokus memikirkan keselamatan adik gue satu-satunya ini, putri bungsu Mama, kesayangan Mama, buah hati Mama, belahan jiwa Mama.....Anggira. Gue pikir Mama ngga akan terlalu memikirkan putri keempatnya yang panjang kaki dan doyan keluyuran, karena gue sedang berada nun jauh di luar pulau Jawa.
Tapi tanpa diduga-duga, ketika gue menelepon, Mama justru membuka percakapan dengan, "Cherrrr....Mama nonton di TV katanya di Makassar sedang siaga satu teror bom lhooo....!!" Haduuhh....! Gue jadi bingung....selain selama sejak di Makassar ngga sempat mengakses portal berita manapun, juga karena bingung merespon kekhawatiran Mama.
Di saat yang sama gue juga meratapi....kemana pun gue berpetualang, selalu ada saja alasan untuk Mama mengkhawatirkan keadaan gue. Sebelum keberangkatan ke Makassar rasanya gue ngga pernah mendengar berita negatif mengenai kondisi keamanan di Makassar. Tapi begitu gue tiba di sini hari pertama...jreengggg!!.....mendadak Makassar siaga satu teror bom!
Tapi tanpa diduga-duga, ketika gue menelepon, Mama justru membuka percakapan dengan, "Cherrrr....Mama nonton di TV katanya di Makassar sedang siaga satu teror bom lhooo....!!" Haduuhh....! Gue jadi bingung....selain selama sejak di Makassar ngga sempat mengakses portal berita manapun, juga karena bingung merespon kekhawatiran Mama.
Di saat yang sama gue juga meratapi....kemana pun gue berpetualang, selalu ada saja alasan untuk Mama mengkhawatirkan keadaan gue. Sebelum keberangkatan ke Makassar rasanya gue ngga pernah mendengar berita negatif mengenai kondisi keamanan di Makassar. Tapi begitu gue tiba di sini hari pertama...jreengggg!!.....mendadak Makassar siaga satu teror bom!
"Cei kan lagi di Tana Toraja, Ma...."
"Tapi kau bakalan balik ke Makassar kan ? Waktu kau di Makassar hari Rabu (13 Januari 2016) kemarin itu gimana kondisi di Makassar ? Aman ngga ?" Duhh Mama....ini pertanyaan sulit banget....karena gue cuma beberapa jam saja di Makassar, dan kayaknya Mama lupa bahwa itu adalah pertama kalinya gue menginjakkan kaki di sana. Jadi, bagaimana gue bisa membedakan kondisinya di saat aman atau ngga aman. Ancaman terberat gue selama di Makassar dan Tana Toraja tuh cuma panasnya matahari yang bikin saat ini kulit gue gosong hitam legam.
"Hmmmm.....kayaknya aman-aman aja, Ma..." Gue bingung memberikan jawaban tanpa terkesan takabur atau semacamnya.
"Pokoknya hati-hatilah kau...ngga usah kau ke tempat ramai ya.....jangan ke Mall....memangnya ngga sempat kau lihat berita di sana? Ini beneran, Mama ngga mengada-ada. Makanya kemarin waktu lihat di berita, Mama langsung telepon kau....selalu berdoa kau, Cher !!" Dan supaya Mama tenang, gue cuma menjawab, "Iya Ma...." sambil manggut-manggut.
Gue pun meninggalkan wisma lagi, menuju tujuan terakhir, Londa. Londa....dibandingkan dengan area kuburan yang sudah gue kunjungi di Toraja ini seinget gue ini yang paling besar (batunya...eh, tebingnya...? Hmmm....sampai sekarang gue masih bingung menyebutnya...) Dan daya tariknya karena saking besarnya jadi menyerupai gua-gua yang bisa disusuri oleh pengunjung, meskipun ngga terlalu dalam. Dan tentunya di dalam sana banyak terdapat peti-peti mati, tengkorak, tulang belulang, dan sebagainya. Agar bisa masuk dan melihat-lihat di dalamnya, gue harus menyewa jasa seorang penunjuk jalan yang siaga dengan sebuah lampu petromaks.
Londa unik dan keren....tapi dari semua kuburan yang sudah gue kunjungi selama di Toraja, favorit gue adalah Tampangallo, yang gue kunjungi kemarin. Alasannya, karena tempatnya sepi dan tersembunyi...sunyi...dan baik peti-peti mati, tengkorak dan tulang belulang serta patung-patung yang ada di sana tampak berusia jauh lebih tua. Alasan lainnya, karena tempat itu sudah bikin gue ketakutan setengah mati ketika memasukinya.
Sepulang dari Londa, hal yang gue lakukan adalah mengajak Bang Ino menikmati kopi Toraja yang fenomenal. Tentu saja gue memesan kopi yang paling 'ringan' karena gue ngga mau kopi ini mengganggu acara tidur gue di bus dalam perjalanan Toraja - Makassar nanti malam.
Londa unik dan keren....tapi dari semua kuburan yang sudah gue kunjungi selama di Toraja, favorit gue adalah Tampangallo, yang gue kunjungi kemarin. Alasannya, karena tempatnya sepi dan tersembunyi...sunyi...dan baik peti-peti mati, tengkorak dan tulang belulang serta patung-patung yang ada di sana tampak berusia jauh lebih tua. Alasan lainnya, karena tempat itu sudah bikin gue ketakutan setengah mati ketika memasukinya.
Sepulang dari Londa, hal yang gue lakukan adalah mengajak Bang Ino menikmati kopi Toraja yang fenomenal. Tentu saja gue memesan kopi yang paling 'ringan' karena gue ngga mau kopi ini mengganggu acara tidur gue di bus dalam perjalanan Toraja - Makassar nanti malam.
Londa |
Londa |
Londa |
Londa |
Londa |
Dan akhirnya gue kembali ke wisma, dan dengan berat hati mengucapkan selamat tinggal pada guide paling kooperatif, dan tentunya berjiwa petualang, yang pernah gue temui sepanjang sejarah kaki panjang gue melangkah alias traveling. Bang Ino adalah bagian penting dari perjalanan gue yang istimewa dan tak terlupakan di Tana Toraja selama dua hari ini. Dan gue sangat berterima kasih karena dia salah satu yang berperan mewujudkan impian ulang tahun gue untuk berkunjung ke Tana Toraja, yang meskipun singkat, namun sangat berkesan.
Dan mengucapkan selamat tinggal pada Toraja ternyata lebih berat lagi. Rasanya ada sebagian dari hati gue tertinggal di sini, dan bikin gue sudah merindukannya meskipun belum melangkah meninggalkannya. Mungkin karena gue sudah lama memimpikan untuk ke sini....atau mungkin karena waktu gue di sini terlalu singkat....atau karena Toraja memiliki pesona keindahan, baik budaya maupun alamnya yang jauh melebihi harapan gue....atau karena dalam beberapa hal gue melihat budayanya yang sangat mirip dengan budaya Batak....entah deh. Bagi gue, perjalanan Toraja ini adalah salah satu hadiah ulang tahun paling istimewa yang pernah gue dapatkan. Makasih Yesus !
No comments :
Post a Comment